"Syukurlah, keadaan Nyonya Kina dan calon bayinya baik-baik saja." Samantha tersenyum tipis pada Kina. Dia sudah memeriksa kondisi Kina dan bayi dikandungan perempuan ini. Untungnya, kandungan Kina termasuk kuat. "Jangan khawatir, Nyonya Kina." Samantha meraih tangan Kina yang terasa dingin, dia mengusapnya lembut lalu menggenggamnya. Kina menggelengkan kepala. "Aku tidak panik," bohongnya, menunduk lalu menatap kosong ke arah bawah. "Tuan Zayyan tidak akan marah. Tuan hanya sedikit khawatir pada Nyonya dan bayi kalian," ucap Samantha. "Jika boleh saya bertanya, kenapa Nyonya nekat melompat ke sungai? Apakah Nyonya … tertekan atau ada suara di kepala Nyonya yang menyuruh Nyonya melompat?" Kina menggelengkan kepala. "Kondisiku nggak separah itu, Kak. Sudah ku katakan aku baik-baik saja," jawab Kina dengan nada setengah kesal. Jika memang dia pernah depresi dan gila, bukan berarti selamanya dia seperti itu. Dia telah melewati itu, Kina merasa hidup kembali dengan pribadi yang
"Nyonya dan bayinya baik-baik saja, Tuan. Nyonya nekat melompat ke sungai karena buku dari Tuan yang dianggap sangat berharga bagi Nyonya. Untuk Nathalia, Nyonya mengaku muak karena merasa Nathalia dan Kakaknya memiliki kesamaan. Meskipun niat Nathalia baik, untuk saat ini sebaiknya jangan pertemukan keduanya dulu, Tuan. Sepertinya Nyonya memiliki trauma kepada orang-orang yang punya kepribadian, kemiripan serta tingkah laku seperti Sheila," Samantha melaporkan. Sejujurnya Samantha cukup kaget karena Jabier ada di ruangan ini. Katanya Jabier datang untuk pekerjaan dan sekarang ingin pulang–mendesak Samantha untuk cepat-cepat menyelesaikan urusan dengan Zayyan agar Samantha sekalian pulang dengannya. "Wow, Dude." Jabier bertepuk tangan, antusias mendengar perkataan Samantha. "Sekarang kau tahta tertinggi seorang Kina. Bagaimana perasaanmu, Heh?" Jabier menaikkan sebelah alis, menyunggingkan evil smirk ke arah Zayyan. Zayyan hanya menatap Jabier dengan dingin. Tak mengatakan apapun
"Angie." Mendengar suara bariton yang memanggilnya, Kina reflek berhenti tertawa dan langsung menoleh ke arah seseorang tersebut. Melihat mimik wajah suaminya yang dipenuhi pancaran khawatir, ekspresi dongkol seketika muncul pada Kina. "Kau tidak apa-apa?" tanya Zayyan, duduk di sebelah Kina dengan langsung menarik perempuan itu dalam dekapannya. Kina yang kesal, memberontak. Dia memukul dada bidang Zayyan lalu menggeser tempat duduk supaya menjauh dari Zayyan. "Aku tidak gila, tidak kesurupan juga," ucap Kina lantang. 'Ketawa dikit langsung dikira kumat. Nasib mantan orang gila gini amat yah,' batin Kina, masih menatap berang ke arah Zayyan. "Hum." Zayyan berdehem pelan, dia mendekati Kina lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke atas pangkuannya–mendudukkan Kina di sana. "Maaf, aku hanya khawatir, Kitten," ucapnya sembari mengecup ubun-ubun Kina secara berulang. "Aku sudah sehat dan aku tidak gila," ungkap Kina, mendongak kepada Zayyan–menatap suaminya tersebut dengan tampang mu
"Bagaimana kau akan jatuh cinta padaku, sedangkan kau lebih suka berbagi cerita dengan temanmu dibandingkan aku, Kina Anggita Azam!!" dingin Zayyan sembari meraih handphone Kina, menatap pesan dari pemuda bernama Bintang tersebut. Kina mendongak ke arah Zayyan, memperhatikan wajah kaku suaminya secara panik. Kina seperti sedang ketahuan berselingkuh padahal dia tidak begitu. Kina buru-buru merampas ponselnya, akan tetapi Zayyan lebih dulu menjauhkan ponsel tersebut dari jangkauan Kina. Saat Kina ingin beranjak dari pangkuan pria itu karena tak nyaman dengan aura mengerikan sang suami, Zayyan mengeratkan pelukannya. Kina terjebak dan semakin takut. Bagaimana tidak? Wajah Zayyan seperti ingin mengulitinya hidup-hidup. "Bintang dan aku bersahabat, dan hubungan kami tidak pernah melebihi batas. Kalau tidak percaya, baca saja chetku dengannya," ucap Kina, bersuara santai tetapi dia berkeringat dingin. "Aku tahu kalian bersahabat," jawab Zayyan datar, menjatuhkan kepala di pundak Kina.
Zayyan mengusap-usap puncak Kina, mengecup beberapa kali demi menenangkan istrinya. "Habis itu … aku benci banget ke Nathalia. Dia mirip seperti Sheila. Mereka orang jahat yang sama-sama pernah-- mau merebut Zana da-dariku," ucap Kina susah payah, suaranya mendadak rapuh dan bergetar. Pundak Kina naik turun, napasnya tak teratur karena guncangan emosional. Hatinya sangat sakit ketika ingat tulisan Sheila di diary itu. Kina mengerjapkan mata, berusaha menyembunyikan bulir kristal yang akan jatuh dari sana. Yang paling Kina sesali adalah … belum sempat dia balas dendam pada Sheila, perempuan itu sudah duluan mati. Padalah Kina ingin-- setidaknya menampar dan menjambak Sheila. Kina sangat ingin meluapkan kemarahannya pada wanita jahat itu. Sangat!Tes'Bulir kristal itu pada akhirnya berhasil jatuh. Namun, dengab cepat jemari Zayyan mengusap. Hal tersebut membuat Kina mendongak, menepis tangan Zayyan dan buru-buru mengusap air mata sendiri. Kina bersedia berteriak dan meraung sepert
Tanpa Kina sadari, sejak tadi interaksi Kina dan Zana tersebut diperhatikan oleh seseorang. Setelah puas berbelanja, Kina dan Zana ke kasir untuk melakukan transaksi pembayaran. Mereka antri tetapi tidak terlalu panjang. Hingga saat giliran keduanya, seseorang berdehem dari belakang Kina. Sontak Kina menoleh ke arah belakangnya. "Ekhem." Kina menoleh ke belakang, reflek menaikkan kedua alis sembari menatap pria di belakangnya dengan ekspresi sedikit kaget dan canggung. "Hai, Kin," sapa pria itu. Seperti sebelumnya, selalu hangat dan manis. "Oh hai, Ed," sapa Kina balik, tersenyum seadanya pada Edgar. "Makin cantik yah," puji pria itu terus terang, tersenyum manis dan tak canggung sama sekali. Kecuali matanya yang bergerak tak tenang, gugup karena kembali bertemu dengan perempuan yang pernah ia taksir. "Terimakasih, Ed," jawab Kina, lagi dan lagi seadanya. Kina bukan ingin bersikap sok-sokan ataupun sombong, dia sedang menjaga sesuatu. Terakhir kali dia dan Edgar bertemu, Zayyan
Zayyan mengerutkan kening ketika ponselnya berdering. Dari posisi berbaring, Zayyan langsung mengambil posisi duduk. Seulas senyuman muncul di bibir, hanya karena melihat nama kontak yang menghubunginya. 'Kesayangan'Zayyan langsung mengangkat telepon, menempelkan ponsel di telinga. 'Halo, Daddy.' Suara manis dan lembut menyapa dari seberang sana. Zayyan kembali tersenyum, suara putrinya sangat menggemaskan. Dia segera meraih kemeja yang sempat ia lepas kemudian kembali mengenakannya. "Humm?" Zayyan berdehem, berjalan ke balkon kamar lalu menatap ke bawah. Mobil yang sering istrinya gunakan sudah ada di depan, itu berarti kedua perempuan yang ia cintai sudah pulang. Zayyan berada di rumahnya, pulang dari kantor khusus untuk mengantar tas istrinya yang telah ditemukan. Dia kira dia akan bertemu dengan Kina saat ke sini, ternyata Kina sudah berangkat menjemput Zana. Pada akhirnya Zayyan mengirim pesan pada istrinya, memberitahu bahwasanya tas Kina telah ditemukan dan Zayyan meleta
Zayyan membuka pintu ruangannya, menatap sosok perempuan cantik yang terlihat sedang memegang sesuatu. Mata Zayyan yang tajam, tentu mengenali dan melihat benda apa yang istrinya tersebut pegang. "Angie.''Brug.'Karena kaget, benda tersebut terlepas dari tangan Kina. Kina begitu terkejut saat mendengar suara bariton Zayyan memanggil namanya. Dia segera buru-buru berjongkok, meraih bunga mawar yang sudah diberi resin tersebut. Namun, sebuah tangan lebih dulu merampasnya dari Kina. "Mas Zay, aku tidak sengaja menjatuhkannya," ucap Kina cepat, takut dimarahi oleh Zayyan karena merusak benda istimewa milik suaminya. Sepertinya benda itu memang sangat berharga. Cara Zayyan menatap bunga tersebut, begitu dalam dan penuh makna–membuat Kina semakin takut dimarahi. "Ini masih bisa diperbaiki. Jangan khawatir," ucap Zayyan santai, dia meraih pergelangan tangan Kina kemudian membawa Kina dari depan rak. Saat melewati meja kerjanya, Zayyan meletakkan bunga mawar resin. Zayyan mendudukkan K
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali