Candra bersikukuh mengajak Vania pulang ke rumah mereka. Saat itu Vania benar-benar menolak, tapi kedua orang tua Vania meminta putrinya untuk membicarakan permasalahan rumah tangganya baik-baik. Vania tidak ingin bertengkar dengan Candra di rumah orangtuanya, hingga Vania pun kembali ke rumah Candra dengan penuh keterpaksaan.
"Mulai sekarang, aku akan adil padamu dan Irma. Tiga hari aku menginap di sini, dan tiga hari menginap di sana. Aku harap kita tidak bertengkar lagi ya? Vania, percayalah padaku, aku sangat mencintaimu, dan tak ingin kehilanganmu," ucap Candra sambil menggenggam kedua tangan Vania penuh kasih sayang.
Vania tak menjawab, dia langsung berjalan masuk ke dalam rumah itu menuju arah kamarnya. Dia sudah lama tidak lagi percaya dengan mulut manis suaminya. Terlalu sakit jika membayangkan suaminya dan sahabatnya bersama, bahkan sampai Irma hamil anaknya.
Terlebih setelah dua bulan ini dia
Di sisi lain, terlihat Irma sedang berjalan mondar-mandir di depan rumahnya. Dia terlihat kesal menunggu Candra pulang, dan nampak terus menunggu dengan wajah penuh emosi."Kemana sih mas Candra ini? Bukankah dia bilang mau makan siang di rumah? Kenapa dia tidak juga pulang? Belum lagi, orang kantor bilang kalau mas Candra hanya ke kantor sebentar, lalu pergi lagi. Kemana mad Candra pergi? Jangan bilang kalau dia pergi menemui istri pertamanya dan dua bocah ingusan itu. Sialan! Tidak bisa dibiarkan! Satu-satunya orang yang harus diperhatikan mas Candra hanya aku dan anakku saja. Kedua anak Vania itu tidak boleh merebut cinta dan kasih sayang Candra terhadap putraku nanti. Hanya putraku yang boleh dapat perhatian dan kasih sayang dari ayahnya. Aku harus melakukan segala cara untuk membuat mas Candra tetap di sisiku, dan selalu ada di pihakku," gumam Irma penuh ambisi.Irma mengusap-usap lembut perutnya, dan berjalan ke arah ruang
Vania sampai di kantor, tempat dia bekerja. Dia turun dari mobil, dan berjalan masuk ke dalam kantor itu dengan wajah kebingungan. Dia menatap para karyawan yang terlihat berlalu lalang di sekitar pintu kantor. Hingga tiba-tiba, seorang pria datang menghampiri Vania dan menyambutnya dengan ramah untuk masuk ke dalam kantor itu."Nona Vania, akhirnya anda datang. Silahkan masuk, dan ikut lah denganku untuk mulai bekerja!" ucap Hans, asisten pribadi Galang."Ya, baiklah."Vania mengikuti langkah kaki pria itu menuju lift di lantai 18. Dia pun sampai di lantai khusus direktur, dan berjalan menuju ruangan khusus sekretaris yang berada di sebelah ruangan direktur utama.Setelah mendapatkan meja kerja, dan beberapa pekerjaan sederhana dari Hans, Vania pun langsung mulai bekerja, dan fokus dengan pekerjaannya.Mata Vania sekilas melihat ke sekeliling tempat itu. Ada em
Meskipun Vania sedikit penasaran, tapi dia tidak bisa mengetahui tentang identitas direkturnya itu. Terlebih saat ini dia baru saja masuk kerja. Ingin rasanya Vania melihat secara langsung, pria yang ada di dalam ruangan direktur itu. Hanya ingin memastikan, apakah sungguh yang ada di dalam ruangan itu adalah Galang, mantan pacarnya yang kini menjadi kakak iparnya itu.Tapi saat Vania ingin bertemu dengan direkturnya, Hans punya seribu alasan untuk menolak Vania menemui atasannya itu. Semua pekerjaan sekretaris, tidak langsung diberikan pada direktur, melainkan harus melalui Hans dulu, sebelum dia memberikan dokumen perusahaan pada direkturnya.Seharian, Vania tak bisa fokus kerja. Dia beberapa kali melirik ke arah jendela kantor direkturnya itu. Hingga tanpa sadar jam sudah menunjukkan pukul empat sore, di mana saat itu adalah waktu pulang untuk para karyawan perusahaan."Kak Galang, apa sungguh itu ka
Setelah menutup panggilan telepon dari Irma, Candra kembali ke kamar. Sebenarnya apa yang Candra katakan di telepon mengenai dirinya yang tinggal dengan Vania karena kebutuhan biologis, itu tidak benar. Kenyataan yang sebenarnya karena Candra rindu istrinya, dan ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan sang istri. Tidak dapat dipungkiri oleh Candra, selama dua bulan tinggal bersama dengan Irma membuat dia sesak, dan tak bisa bernafas sama sekali. Semua hal harus sesuai keinginan Irma, semuanya hanya bisa diatur oleh Irma, hingga Candra merasa tidak nyaman berada di sisi wanita itu.Candra tahu sifat Irma yang licik. Selama ini Candra dibuat sibuk dengan urusannya hingga mengabaikan istri pertama dan dua anaknya. Semakin lama Candra tinggal dengan Irma, semakin tahu betapa banyaknya akal bulus Irma yang ingin memisahkan Vania darinya. Setiap kali Candra hendak pergi menemui Vania, Irma akan menggunakan bayinya untuk menggagalkan niat Candra bertemu kelu
Vania memakan sarapan yang diberikan padanya dari bos misterius itu. Nasi goreng dengan telur dadar, daun selada, kacang polong rebus, potongan wortel rebus, dan buncis rebus. Semua itu adalah makanan yang selalu dimakan Galang untuk sarapan waktu mereka pacaran. Vania memakan makanan itu, dan memisahkan wortel rebus yang tidak dia sukai. Hal yang dilakukan Vania pun mengingatkan dia tentang Galang, dimana biasanya Galang akan marah kalau Vania mulai pilih-pilih makanan dan menyisakan wortel di piringnya."Bagaimana kabarmu sekarang, kak? Maafkan aku yang selama ini menghindarimu, dan tak pernah menjelaskan alasan aku menikahi adikmu. Tapi percayalah, kamu tetap menjadi pria terbaik yang pernah ada di dalam hatiku. Semua yang aku lakukan ini, karena merasa tidak pantas lagi untukmu, setelah aku ternoda oleh adikmu malam itu. Aku terlalu malu untuk bertemu denganmu. Apalagi menjelaskan kejadian aku diberi obat oleh pria asing, hingga akhirnya malah tidur de
Sementara di tempat lain, terlihat Candra sedang fokus dengan pekerjaan kantornya. Dia terlihat merapikan dokumen perusahaan, dan bersiap untuk pergi rapat. Sebelum beranjak, tiba-tiba tangan Candra tak sengaja menjatuhkan foto pernikahan dia dan Vania. Hal itu membuat Candra terkejut dan langsung berjongkok untuk merapikan pecahan bingkai foto pernikahannya itu."Kenapa bisa jatuh? Aku benar-benar tidak hati-hati!" gumam Candra sambil mengutip satu demi satu pecahan bingkai foto itu.Saat sedang mengutip pecahan kaca di bingkai foto yang pecah, tiba-tiba Irma masuk ke dalam ruangan Candra dengan wajah panik dan khawatirnya."Jangan dipegang! Nanti tanganmu terluka, Mas!" ucap Irma dengan wajah khawatirnya."Aku tidak hati-hati, dan menjatuhkan bingkai foto pernikahan ini. Tidak tahu kenapa, aku merasa sedikit kepikiran dengan tindakan Vania baru-baru ini. Dia buat aku pusing,
Candra terus bicara dengan penuh kemarahan. Dia bahkan tidak membiarkan Vania untuk menjelaskan, hanya sibuk menghina, dan menilai Vania dari sisi pemikirannya sendiri. Mendengar kata-kata hujatan, dan hinaan dari sang suami, tentu saja Vania diam, menyadari seburuk itu dirinya di mata Candra selama ini."Vania, selama ini aku baik padamu. Selama ini semua yang kumiliki, aku berikan untukmu. Tapi setelah semua hal baik kuberikan, apakah kamu masih berniat kembali pada kakakku? Vania, tahu malulah sedikit! Sekalipun kamu tidak tahu malu ingin mendekati kakakku, kakakku tidak akan terima wanita penggoda yang sudah menikah seperti kamu. Kamu sungguh benar-benar mengecewakan aku! Demi bisa merebut kembali hati kakakku, kamu bahkan rela jadi sekretaris di perusahaan miliknya. Vania, aku tidak tahu kalau kamu sungguh sudah kehilangan urat malu demi bisa kembali bersama kakakku," oceh Candra yang tak henti menghina Vania dengan mulut kasarnya.
Suara tangis terdengar menyayat hati, terdengar dari dua anak yang dikurung Irma di kamar mandi itu. Tapi tak ada rasa iba, dan rasa perduli sedikitpun di wajah Irma, mendengar tangisan dua anak malang itu."Kak, kapan mama pulang? Tante Irma jahat! Tania gak mau dikurung di kamar mandi lagi seperti ini. Tania lapar, Tania ingin makan, Tania kedinginan, kak!" oceh gadis kecil itu dengan bibir gemetar, menahan rasa dingin dan lapar yang menjadi satu."Kakak minta maaf. Kakak gak bisa jaga adik. Gara-gara kakak gak bisa jagain adik, kamu jadi dikurung di sini sama kakak. Maafin kak Kanaya ya, dik!" ucap Kanaya sambil memeluk tubuh adiknya yang gemetar.Keduanya terlihat berpelukan, dan menunjukan keperdulian satu sama lain. Terlihat wajah Kanaya gelisah, saat memegangi dahi adiknya yang panas dan pucat saat itu.Dengan cepat Kanaya menggedor-gedor pintu kamar mandi untuk meminta
Vania pun makan malam bersama Candra dan dua anaknya. Dia melihat Candra begitu memanjakan dua anaknya. Dimana saat itu Candra menyuapi kedua putrinya dengan penuh kasih sayang. Walaupun hati Vania sudah lama dikecewakan oleh Candra, tapi melihat anak-anaknya bisa tertawa bahagia bersama ayah mereka, itu sudah lebih dari cukup untuk Vania. "Tania, makan pelan-pelan! Kemari, biar papa suapi!" ucap Candra sambil mengusap bibir putri bungsunya dengan sapu tangan di tangannya. "Pa, aku juga mau disuapi!" pinta Kanaya, yang ikut manja pada papanya. "Baiklah. Hari ini papa akan suapi kalian sampai kalian kenyang!" balas Candra yang berakhir membuat mereka tertawa bersama-sama. Setelah selesai makan malam, Candra mendekati Vania. Walaupun sebelumnya sempat marah karena Vania mengusir Irma dan bayinya dari rumah itu, tapi Candra tidak bisa mengendalikan dirinya untuk mendatangi Vania setelah dia pulang dinas. Bahkan sebelum pulang menemui Irma, Candra sengaja datang ke rumah Vania leb
Galang yang melihat Vania melamun, menatap ke arah mobil Irma, segera menepuk pundak gadis itu. Vania pun menoleh ke arah Galang, lalu kembali menatap mobil Irma yang pergi meninggalkan tempat itu. "Kamu kenapa? Khawatir pada adik brengsekku itu? Kasihan karena dia diselingkuhi istri keduanya? Vania, ingatlah, dia juga selingkuh dan menyakiti kamu juga anak-anak! Ini hanya balasan yang cepat atau lambat pasti akan diterima oleh seorang pengkhianat," ucap Galang yang membuat Vania menundukkan kepalanya dalam-dalam."Kamu benar. Ini adalah balasan. Sama seperti hal yang terjadi padaku sekarang. Ini semua balasan karena aku pernah menyakiti hatimu, dan mengkhianati kamu," gumam Vania pelan. "Tidak, itu tidak sama.""Tapi kenyataannya, aku memang selingkuh, dan menikahi adik dari pacarku sendiri. Maafkan aku! Hal yang terjadi padaku saat ini, adalah balasan atas semua hal buruk yang pernah aku lakukan padamu. Aku benar-benar minta maaf!" "Bodoh! Aku tidak pernah membencimu. Kamu sama s
Galang yang melihat Vania terus menangis, tak tahan, dan bergegas menarik tangan Vania hingga gadis itu jatuh di dalam pelukannya. Galang tidak tahu kenapa, perasaannya ikut sedih melihat kondisi Vania yang menderita seperti saat ini. Kalau memang sudah lelah, kenapa tidak pisah saja. Kenapa Vania bersikukuh bertahan dalam pernikahan yang hanya melukai hatinya. "Sudah cukup! Jangan menangis lagi! Sebagai atasanmu, yang memberikan kamu gaji setiap bulan, aku minta kamu berhenti menangis!" ucap Galang sambil mempererat pelukannya di tubuh Vania. Vania yang menangis pun, sedikit merekahkan senyuman. Dia melihat keperdulian di mata Galang, dari ketusnya tutur kata yang diucapkan sang bos saat itu. "Bos, jangan keterlaluan! Ini bukan waktu kerjaku. Kamu masih mau menindasku, dan tidak mengizinkan aku menangis di hari liburku? Dasar bos jahat!" gerutu Vania sambil melepaskan pelukannya dan memukul lembut dada Galang. "Aw... Vania, kamu pukul aku? Aku baik-baik datang untuk menghibur
Keesokan harinya, Vania terlihat sibuk mengurus kedua buah hatinya yang ingin pergi bermain di hari libur sekolah. Sudah lama dia tidak pernah mengajak dua anaknya bermain. Kebetulan punya uang dari Galang yang memberikan uang muka jual mobil, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan menyenangkan hati dua putrinya. "Bi Sumi, Bi Imah, saya dan anak-anak mau pergi ke taman bermain. Hari ini tidak perlu masak makan siang. Kami akan makan di luar!" ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari dua pembantu rumahnya. "Baik, nyonya.""Oh iya. Ini uang gaji kalian selama dua bulan. Maaf, aku baru bisa memberikannya hari ini. Kedepannya, mohon bantuannya untuk tetap menjaga rumah dan menjaga dua putriku. Terima kasih, Bi!" "Nyonya kenapa sungkan? Kami sudah anggap nyonya seperti keluarga sendiri," balas Imah sambil memegang tangan majikannya. "Iya. Nyonya banyak bantu keluarga saya dulu. Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada nyonya dan nona kecil. Kedepannya, kami juga akan sel
Setelah cukup lama menangis di pelukan Galang, Vania pun sadar kembali dari lamunannya. Dia melepaskan pelukan itu, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan bosnya itu. "Maafkan saya. Saya bertindak sembarangan. Saya tidak seharusnya menangis sampai air mata saya mengotori kemeja anda. Maaf!" ucap Vania yang disambut senyum kecil dari Galang. Pria itu tak bicara. Tapi tangan kanannya mengusap lembut pucuk kepala Vania dengan penuh kasih sayang. Rasa kasih sayang yang sama seperti saat Galang menjadi kekasih Vania sembilan tahun lalu. Tanpa dirasa, ternyata pernikahannya dengan Candra sudah hampir hancur dalam kurun waktu satu tahun oleh kehadiran Irma, yang tak lain adalah sahabat baik Vania. "Makan ice cream dan kue coklatnya! Kuatkan diri! Kalau bukan untuk aku, setidaknya kuatkan diri untuk kedua anak-anakmu yang masih kecil. Kalau kamu rapuh, bagaimana bisa menjaga mereka dengan baik. Benar bukan?" ucap Galang yang disambut senyum dan anggukkan kepala dari Vania.
Mendengar kata-kata Candra, Vania menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Merasa sikap suaminya padanya semakin keterlaluan. Hanya dari beberapa kata provokasi dari Irma, suaminya langsung menyalahkan dia atas hal yang dilakukan kedua anaknya. Mau membela diri pun sudah tidak ada keinginan, dia lebih suka mengakhiri perbincangan tak mengenakan itu tanpa bicara apa-apa. "Ya, aku salah. Semua salahku. Kamu selingkuh dengan teman baikku, itu juga salahku. Kamu menikahi Irma, itu juga salahku. Kamu hamili Irma, itu juga salahku. Semua salahku di mataku kan, Mas? Kalau memang begitu, cepat ceraikan aku, dan jadikan Irma istrimu satu-satunya!" gumam Vania sambil berjalan pergi dengan kedua anak-anaknya. "Vania, tunggu dulu! Apa yang barusan kamu gumamkan? Vania! Kenapa setiap kali bertengkar, kamu selalu mengungkit kata cerai. Vania, kembali! Aku belum selesai bicara!" teriak Candra dengan wajah kesalnya. Vania tak perduli. Dia naik mobilnya bersama dua anaknya. Tubuhnya agak geme
Saat Irma bergumam sendiri, tiba-tiba Candra masuk ke dalam kamar itu dan menatap tajam ke arah Irma. Dia terlihat lelah. Matanya sayup menatap ke arah wanita yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. "Irma, aku ada hal yang ingin aku bicarakan!" ucap Candra sambil duduk di samping gadis itu. "Ada apa, Mas?" tanya Irma sambil menyembunyikan buku rekening selundupannya dari Candra. "Aku lihat Vania kehilangan banyak berat badan. Sepertinya dia sedang banyak pikiran. Irma, bisakah kamu tanyakan pada Vania, apa yang dia butuhkan. Bagaimana pun dia juga istriku, dan juga wanita yang melahirkan anak-anakku. Jika dia butuh uang, atau butuh hal yang bisa aku selesaikan, tolong beritahu aku, aku akan bantu sebisaku!" ucap Candra yang hanya disambut senyum dan anggukkan kepala dari Irma. "Sampai matipun aku tidak akan melakukan apapun yang kamu minta, Mas. Semakin kamu perhatian pada Vania, semakin aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri," batin Irma, dengan bibir yang
Vania berbaring di tempat tidur, dan menatap wajah dua putrinya yang sudah tidur di tempat tidurnya. Semakin ingat sikap Candra terhadapnya, semakin besar keinginan Vania berpisah dengan pria itu. Tapi setiap kali pikiran itu melintas di benaknya, Vania menatap dua anaknya. Dia takut kalau keputusannya pisah dengan Candra akan mempengaruhi kedua putrinya. Vania hampir putus asa dibuatnya. Namun bertahan hidup dengan Candra dalam pernikahan yang berat sebelah pun tidak menguntungkan baginya. Sekarang bukan hanya Candra tidak pernah datang menemani dia dan anak-anaknya, tapi jatah bulanan yang biasa diberikan Candra untuk anak-anaknya pun sudah dua bulan tak diberikan. Mau bicara dan membahas tentang itu, tapi di pikiran Candra hanya ada Irma, dan keinginan istri keduanya. Tak pernah Candra perduli, seberapa sulit kehidupan Vania menghidupi dua anaknya selama ini. Tok... Tok... Tok... Vania membuka pintu kamar, dan mendapati dua pembantu rumah sedang berdiri di depan pintunya. V
Irma masih belum puas hati mengolok-olok Vania. Dia masih menatap istri pertama suaminya itu dengan sorot mata penuh keserakahan. "Vania, kedepannya mas Candra akan sibuk mengurus aku dan bayi laki-laki kami. Aku harap, kamu bisa pengertian dan tidak mempermasalahkan ini ya? Kamu adalah teman baikku. Kamu pasti paling tahu isi hatiku lebih dari siapapun.""Heh, teman baik?" gumam Vania, mencibir kata-kata Irma. "Sudah selesai kah? Aku sungguh masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jika memang kamu sudah puas bicara, biarkan aku pergi. Semoga kamu dan bayi kamu selamat!" ucap Vania sambil berjalan keluar dari ruang persalinan itu. Setelah berbicara dengan Vania, Irma pun melanjutkan persalinannya dengan dokter dan suster di rumah sakit. Saat mendengar suara bayi menangis dari ruang persalinan, Candra terlihat senang dan langsung bergegas menuju arah pintu untuk segera masuk melihat putra kecilnya yang baru lahir. Saat itu juga Vania merasa dibuang, dan langsung diabaikan ol