Keesokan harinya, Candra berangkat ke kantor dan berpamitan pada sang istri. Dia membawa dua anaknya ke sekolah dan berlanjut pergi ke kantor.
Saat tiba di kantor, dia langsung bergelut dengan pekerjaan di dalam ruang kerjanya. Hingga sekitar pukul sebelas siang, Candra dikejutkan dengan kedatangan Irma ke kantor itu untuk menemui dirinya.
"Mas, aku datang membawakan makan siang untukmu! Bayinya sepertinya begitu merindukan papanya sampai terus mendesak aku datang ke sini. Cobalah cicipi masakan buatanku! Ini kali pertama aku membuat makanan. Aku harap kamu suka!" ucap Irma, berperan seperti dia istri Candra.
Uhukkk... Uhukkk...
Candra yang saat itu tengah meminum air putih, tersedak seketika. Kemunculan Irma di kantornya, tentu membuat para karyawan Candra bertanya-tanya tentang asal usul wanita itu. Terlebih beberapa karyawan adalah teman baik Vania. Bisa gawat kalau ada yang mela
Di sisi lain, Vania sedang menyiapkan puding coklat untuk kedua anak perempuannya. Terlihat dia begitu senang, dan membawa puding hasil buatannya itu ke meja makan untuk disantap dua buah hatinya. Hingga tiba-tiba, suara ponsel Vania berdering. Hal itu membuat Vania berjalan ke arah kamarnya untuk menerima panggilan telepon itu."Halo, Ana, ada apa?" tanya Vania dengan si penelpon."Halo, Vania. Aku ada kabar penting untuk aku beritahukan padamu," ucap wanita di telepon itu dengan suara sedikit pelan."Ada apa? Hal penting apa yang mau kamu laporkan padaku?""Ini mengenai pak Candra, suamimu! Tadi saat mendekati makan siang, ada seorang wanita cantik datang ke kantor pak Candra. Dia membawa rantang makanan, dan terlihat sangat antusias sekali ingin bertemu pak Candra. Tolong katakan padaku, siapa wanita itu? Apakah dia pacar suamimu? Apakah kamu tahu kalau pak Candra punya pac
Candra berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah balkon sambil mengeluarkan rokok di saku celananya. Rokok pun dia hisap, dan dinyalakan dengan korek api di tangannya. Sesaat Candra merasa lebih tenang, dan merasa sedikit hilang beban di pundaknya. Hingga dia memeriksa ponsel di kantung jas kantornya, dan mendapati hampir dua puluh panggilan tak terjawab dari Vania."Ya Tuhan, aku lupa mengabari Vania! Dia pasti menungguku dengan gelisah di rumah. Aku harus memberi kabar padanya, agar dia tidak khawatir!" gumam Candra sambil berusaha menelpon Vania.Belum sempat menghubungi Vania, ponsel Candra sudah mati karena kehabisan baterai. Melihat hal itu, Candra merasa kesal, dan hampir melempar ponselnya yang dia rasa tak berguna karena mati di saat dibutuhkan. Candra pun masuk ke dalam rumah, dan mencari charger ponsel, hingga tiba-tiba Irma bangun mendengar suara bising yang ditimbulkan Candra."Mas, kamu c
Waktu berlalu cepat, seminggu sudah Candra pergi dinas di luar negeri. Vania pun tak curiga sama sekali dengan apa yang dikatakan suaminya itu. Dia percaya kalau sang suami memang bekerja dan sedang dinas di luar negeri.Namun kenyataannya berbeda, saat Vania bertemu dengan Ana di sebuah mini market. Keduanya pun berbincang dan mengobrol banyak hal sambil makan siang bersama. Kebetulan hari itu hari libur. Vania membawa kedua anaknya ke rumah ibunya, sementara dia berbelanja ke mini market untuk membeli kebutuhan keluarganya."Ana, kamu juga belanja ya? Lama tidak bertemu! Mau ngobrol sebentar dan makan siang bersama gak? Sudah lama kita tidak ngobrol bareng sejak aku menikah dan berhenti kerja di kantor suamiku," ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari Ana."Kebetulan sekali ketemu di sini! Aku sedang menunggu Rara untuk makan siang juga. Kita kumpul bareng dan ngobrol-ngobrol yuk! Rara pasti sen
Tak terasa sudah satu bulan Candra tinggal di rumah Irma. Dia hanya sesekali pulang ke rumah Vania, hanya untuk mengajak kedua putrinya jalan-jalan di hari libur. Vania pun tak pernah bertanya tentang hal yang dilakukan suaminya. Sudah tidak ingin mendengar penjelasan yang mungkin malah akan menyakiti hatinya.Hingga tiba-tiba, Candra datang malam itu ke rumah Vania dengan membawa banyak oleh-oleh untuk kedua anak perempuannya. Dia pun memberikan hadiah untuk Vania, semua hadiah adalah barang-barang mewah dengan harga tinggi."Vania, kamu suka hadiah yang aku belikan untukmu gak? Aku beli kalung berlian paling mahal untukmu. Ini hanya ada satu di dunia. Cincin ini juga. Aku belikan berlian permata merah untukmu. Ini benar-benar paling mahal yang aku beli dari klien di luar negeri. Tas, baju, dan sepatu pun, semua aku beli dengan harga mahal. Bahan berkualitas, limited edition di luar negeri. Suka tidak?" tanya Candra yang terliha
Tak ada jawaban dari Vania, hanya pelukan kesedihan yang dia ungkapkan untuk meluapkan kehancuran hatinya saat itu. Kanaya mengusap air mata Vania, merasa ikut sedih dengan hal yang terjadi pada ibunya saat itu."Ma, kalau papa selingkuh dan mau menikahi Tante Irma, kenapa mama tidak pisah saja dengan papa? Papa sudah lebih dari sebulan tidak pulang. Pasti papa tinggal di rumah Tante Irma kan?" ucap Kanaya lagi."Ma, Kanaya gak mau lihat mama sedih. Kalau papa nyakitin mama, Kanaya akan ada di pihak mama. Kanaya gak akan biarin papa tindas mama, dan sakiti mama," sambungnya lagi.Mendengar itu, Vania semakin menangis sedih. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa saat ini selain pasrah. Dia tahu ketidakmampuannya untuk hidup mandiri tanpa Candra. Selama ini, uang, pakaian, rumah mewah, dan semua hal yang dia dapatkan diberikan oleh suaminya. Kalau saat ini dia pisah tanpa persiapan, itu hanya akan menyengsa
Di tempat lain, di sebuah negara di luar negeri, terlihat Galang, kakak Candra, tengah memegang sebuah foto di tangannya. Foto itu adalah foto dia dan Vania, saat mereka bersama dulu. Sampai detik ini, tidak pernah sekalipun Galang bisa melupakan kenangan indah bersama Vania. Siapa yang mengira, jika pria yang akan merebut wanita yang dicintainya, tak lain adalah adik kandungnya sendiri.Galang menghela nafas. Sudah bertahun-tahun, tapi entah mengapa, dia sama sekali tidak bisa merelakan Vania menjadi adik iparnya. Itu juga alasan dia, tidak pernah sekalipun pulang ke negara tempat asalnya, karena tak ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vania bersama dengan adik kandungnya. Dia bisa mengatakan dengan mulutnya, bahagia Vania adalah bahagianya. Tapi kenyataannya, setiap kali diminta papanya mengurus perusahaan di tempat asalnya, Galang menolak. Tentu alasannya tak lain karena hatinya tak sanggup melihat Vania bahagia dengan adik kandungnya sendiri.&
Beberapa hari kemudian, terlihat Galang membulatkan tekad untuk kembali ke negaranya. Terlebih saat mendengar kabar dari Ana, kalau sikap Candra pada Vania mulai berbeda. Keduanya sudah tidak tinggal dalam satu rumah, bahkan Vania beberapa hari ini tinggal di rumah orangtuanya bersama kedua anak perempuannya.Galang jadi penasaran, sebenarnya secantik apa wanita yang bersaing memperebutkan cinta Candra dengan Vania hingga Candra yang dulu menggilai Vania mengabaikan istrinya itu. Galang juga ingin tahu, kabar mantan kekasih, yang sampai detik ini tidak bisa dia lupakan itu.Akhirnya setelah persetujuan dari papanya, Galang pulang untuk membuat cabang perusahaan baru di negara itu. Tentu saja kedua orangtuanya senang, melihat putra sulungnya yang dulu betah menetap di luar negeri, akhirnya pulang ke rumah. Rasa bersalah pun terlihat di wajah mereka, setiap kali membayangkan putra bungsunya menikahi kekasih Galang. Hal itu juga yan
Galang terus memperhatikan Vania dari kaca mobilnya itu. Sesekali dia tersenyum dan terus memandangi wajah Vania dari kejauhan. Wajah cantik yang sudah dia rindukan selama delapan tahun ini, akhirnya bisa kembali dia lihat secara langsung dengan kedua matanya.Pria itu terus memperhatikan Vania dan setiap gerak gadis itu. Wajah cantik yang dulu selalu tersenyum manja, dan penuh dengan kebahagiaan, tiba-tiba menjadi wajah penuh kesedihan, berusaha tegar, tapi menyimpan berjuta kesedihan. Itulah siratan yang tersirat di wajah Vania saat ini."Vania, sudah lama. Sudah sangat lama. Aku benar-benar tidak bisa menghilangkan rasa rinduku padamu. Aku tidak bisa menekan rasa cintaku padamu. Vania, apakah kamu juga pernah sekali saja merindukan aku seperti aku merindukanmu?" gumam Galang pelan.Galang menghela nafas panjang, dan berusaha untuk mengendalikan dirinya yang ingin berlari keluar mobil lalu memeluk man
Vania pun makan malam bersama Candra dan dua anaknya. Dia melihat Candra begitu memanjakan dua anaknya. Dimana saat itu Candra menyuapi kedua putrinya dengan penuh kasih sayang. Walaupun hati Vania sudah lama dikecewakan oleh Candra, tapi melihat anak-anaknya bisa tertawa bahagia bersama ayah mereka, itu sudah lebih dari cukup untuk Vania. "Tania, makan pelan-pelan! Kemari, biar papa suapi!" ucap Candra sambil mengusap bibir putri bungsunya dengan sapu tangan di tangannya. "Pa, aku juga mau disuapi!" pinta Kanaya, yang ikut manja pada papanya. "Baiklah. Hari ini papa akan suapi kalian sampai kalian kenyang!" balas Candra yang berakhir membuat mereka tertawa bersama-sama. Setelah selesai makan malam, Candra mendekati Vania. Walaupun sebelumnya sempat marah karena Vania mengusir Irma dan bayinya dari rumah itu, tapi Candra tidak bisa mengendalikan dirinya untuk mendatangi Vania setelah dia pulang dinas. Bahkan sebelum pulang menemui Irma, Candra sengaja datang ke rumah Vania leb
Galang yang melihat Vania melamun, menatap ke arah mobil Irma, segera menepuk pundak gadis itu. Vania pun menoleh ke arah Galang, lalu kembali menatap mobil Irma yang pergi meninggalkan tempat itu. "Kamu kenapa? Khawatir pada adik brengsekku itu? Kasihan karena dia diselingkuhi istri keduanya? Vania, ingatlah, dia juga selingkuh dan menyakiti kamu juga anak-anak! Ini hanya balasan yang cepat atau lambat pasti akan diterima oleh seorang pengkhianat," ucap Galang yang membuat Vania menundukkan kepalanya dalam-dalam."Kamu benar. Ini adalah balasan. Sama seperti hal yang terjadi padaku sekarang. Ini semua balasan karena aku pernah menyakiti hatimu, dan mengkhianati kamu," gumam Vania pelan. "Tidak, itu tidak sama.""Tapi kenyataannya, aku memang selingkuh, dan menikahi adik dari pacarku sendiri. Maafkan aku! Hal yang terjadi padaku saat ini, adalah balasan atas semua hal buruk yang pernah aku lakukan padamu. Aku benar-benar minta maaf!" "Bodoh! Aku tidak pernah membencimu. Kamu sama s
Galang yang melihat Vania terus menangis, tak tahan, dan bergegas menarik tangan Vania hingga gadis itu jatuh di dalam pelukannya. Galang tidak tahu kenapa, perasaannya ikut sedih melihat kondisi Vania yang menderita seperti saat ini. Kalau memang sudah lelah, kenapa tidak pisah saja. Kenapa Vania bersikukuh bertahan dalam pernikahan yang hanya melukai hatinya. "Sudah cukup! Jangan menangis lagi! Sebagai atasanmu, yang memberikan kamu gaji setiap bulan, aku minta kamu berhenti menangis!" ucap Galang sambil mempererat pelukannya di tubuh Vania. Vania yang menangis pun, sedikit merekahkan senyuman. Dia melihat keperdulian di mata Galang, dari ketusnya tutur kata yang diucapkan sang bos saat itu. "Bos, jangan keterlaluan! Ini bukan waktu kerjaku. Kamu masih mau menindasku, dan tidak mengizinkan aku menangis di hari liburku? Dasar bos jahat!" gerutu Vania sambil melepaskan pelukannya dan memukul lembut dada Galang. "Aw... Vania, kamu pukul aku? Aku baik-baik datang untuk menghibur
Keesokan harinya, Vania terlihat sibuk mengurus kedua buah hatinya yang ingin pergi bermain di hari libur sekolah. Sudah lama dia tidak pernah mengajak dua anaknya bermain. Kebetulan punya uang dari Galang yang memberikan uang muka jual mobil, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan menyenangkan hati dua putrinya. "Bi Sumi, Bi Imah, saya dan anak-anak mau pergi ke taman bermain. Hari ini tidak perlu masak makan siang. Kami akan makan di luar!" ucap Vania yang disambut anggukan kepala dari dua pembantu rumahnya. "Baik, nyonya.""Oh iya. Ini uang gaji kalian selama dua bulan. Maaf, aku baru bisa memberikannya hari ini. Kedepannya, mohon bantuannya untuk tetap menjaga rumah dan menjaga dua putriku. Terima kasih, Bi!" "Nyonya kenapa sungkan? Kami sudah anggap nyonya seperti keluarga sendiri," balas Imah sambil memegang tangan majikannya. "Iya. Nyonya banyak bantu keluarga saya dulu. Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada nyonya dan nona kecil. Kedepannya, kami juga akan sel
Setelah cukup lama menangis di pelukan Galang, Vania pun sadar kembali dari lamunannya. Dia melepaskan pelukan itu, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan bosnya itu. "Maafkan saya. Saya bertindak sembarangan. Saya tidak seharusnya menangis sampai air mata saya mengotori kemeja anda. Maaf!" ucap Vania yang disambut senyum kecil dari Galang. Pria itu tak bicara. Tapi tangan kanannya mengusap lembut pucuk kepala Vania dengan penuh kasih sayang. Rasa kasih sayang yang sama seperti saat Galang menjadi kekasih Vania sembilan tahun lalu. Tanpa dirasa, ternyata pernikahannya dengan Candra sudah hampir hancur dalam kurun waktu satu tahun oleh kehadiran Irma, yang tak lain adalah sahabat baik Vania. "Makan ice cream dan kue coklatnya! Kuatkan diri! Kalau bukan untuk aku, setidaknya kuatkan diri untuk kedua anak-anakmu yang masih kecil. Kalau kamu rapuh, bagaimana bisa menjaga mereka dengan baik. Benar bukan?" ucap Galang yang disambut senyum dan anggukkan kepala dari Vania.
Mendengar kata-kata Candra, Vania menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Merasa sikap suaminya padanya semakin keterlaluan. Hanya dari beberapa kata provokasi dari Irma, suaminya langsung menyalahkan dia atas hal yang dilakukan kedua anaknya. Mau membela diri pun sudah tidak ada keinginan, dia lebih suka mengakhiri perbincangan tak mengenakan itu tanpa bicara apa-apa. "Ya, aku salah. Semua salahku. Kamu selingkuh dengan teman baikku, itu juga salahku. Kamu menikahi Irma, itu juga salahku. Kamu hamili Irma, itu juga salahku. Semua salahku di mataku kan, Mas? Kalau memang begitu, cepat ceraikan aku, dan jadikan Irma istrimu satu-satunya!" gumam Vania sambil berjalan pergi dengan kedua anak-anaknya. "Vania, tunggu dulu! Apa yang barusan kamu gumamkan? Vania! Kenapa setiap kali bertengkar, kamu selalu mengungkit kata cerai. Vania, kembali! Aku belum selesai bicara!" teriak Candra dengan wajah kesalnya. Vania tak perduli. Dia naik mobilnya bersama dua anaknya. Tubuhnya agak geme
Saat Irma bergumam sendiri, tiba-tiba Candra masuk ke dalam kamar itu dan menatap tajam ke arah Irma. Dia terlihat lelah. Matanya sayup menatap ke arah wanita yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. "Irma, aku ada hal yang ingin aku bicarakan!" ucap Candra sambil duduk di samping gadis itu. "Ada apa, Mas?" tanya Irma sambil menyembunyikan buku rekening selundupannya dari Candra. "Aku lihat Vania kehilangan banyak berat badan. Sepertinya dia sedang banyak pikiran. Irma, bisakah kamu tanyakan pada Vania, apa yang dia butuhkan. Bagaimana pun dia juga istriku, dan juga wanita yang melahirkan anak-anakku. Jika dia butuh uang, atau butuh hal yang bisa aku selesaikan, tolong beritahu aku, aku akan bantu sebisaku!" ucap Candra yang hanya disambut senyum dan anggukkan kepala dari Irma. "Sampai matipun aku tidak akan melakukan apapun yang kamu minta, Mas. Semakin kamu perhatian pada Vania, semakin aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri," batin Irma, dengan bibir yang
Vania berbaring di tempat tidur, dan menatap wajah dua putrinya yang sudah tidur di tempat tidurnya. Semakin ingat sikap Candra terhadapnya, semakin besar keinginan Vania berpisah dengan pria itu. Tapi setiap kali pikiran itu melintas di benaknya, Vania menatap dua anaknya. Dia takut kalau keputusannya pisah dengan Candra akan mempengaruhi kedua putrinya. Vania hampir putus asa dibuatnya. Namun bertahan hidup dengan Candra dalam pernikahan yang berat sebelah pun tidak menguntungkan baginya. Sekarang bukan hanya Candra tidak pernah datang menemani dia dan anak-anaknya, tapi jatah bulanan yang biasa diberikan Candra untuk anak-anaknya pun sudah dua bulan tak diberikan. Mau bicara dan membahas tentang itu, tapi di pikiran Candra hanya ada Irma, dan keinginan istri keduanya. Tak pernah Candra perduli, seberapa sulit kehidupan Vania menghidupi dua anaknya selama ini. Tok... Tok... Tok... Vania membuka pintu kamar, dan mendapati dua pembantu rumah sedang berdiri di depan pintunya. V
Irma masih belum puas hati mengolok-olok Vania. Dia masih menatap istri pertama suaminya itu dengan sorot mata penuh keserakahan. "Vania, kedepannya mas Candra akan sibuk mengurus aku dan bayi laki-laki kami. Aku harap, kamu bisa pengertian dan tidak mempermasalahkan ini ya? Kamu adalah teman baikku. Kamu pasti paling tahu isi hatiku lebih dari siapapun.""Heh, teman baik?" gumam Vania, mencibir kata-kata Irma. "Sudah selesai kah? Aku sungguh masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jika memang kamu sudah puas bicara, biarkan aku pergi. Semoga kamu dan bayi kamu selamat!" ucap Vania sambil berjalan keluar dari ruang persalinan itu. Setelah berbicara dengan Vania, Irma pun melanjutkan persalinannya dengan dokter dan suster di rumah sakit. Saat mendengar suara bayi menangis dari ruang persalinan, Candra terlihat senang dan langsung bergegas menuju arah pintu untuk segera masuk melihat putra kecilnya yang baru lahir. Saat itu juga Vania merasa dibuang, dan langsung diabaikan ol