"Apa syaratnya?" tanya Fahri tak sabar. Dirinya juga sangat bahagia Nuraini bisa menerima Melisa dan calon anaknya.
Nuraini menatap netra suaminya yang bersinar. Dia tau tidak bisa menolak, keputusan yang diambilnya juga bukan untuk menyenangkan mereka berdua. Tapi semata-mata dilakukan untuk dirinya sendiri. Walaupun dia mencintai suaminya, bisa saja menginginkan sebuah perpisahan. Akan tetapi, wanita cantik itu tau diharamkan surga bagi istri yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar. Semua Nuraini lakukan untuk menggapai ridho Tuhannya. Dia sudah mengerti bahwa hanya ada dua jalan bagi istri untuk mencapai surga yaitu ridho suami dan ridho Allah. Ya, Nuraini rela dimadu demi menggapai kedua ridho itu. "Syaratnya, aku ingin tinggal terpisah. Sebaiknya Mas carikan rumah buat Melisa," jawab Nuraini tersenyum. "Memang kenapa Mbak kalo kita tinggal serumah?" tanya Melisa tak mengerti. Melisa terkejut, bagaimana mungkin madunya memiliki pemikiran seperti itu. Dia berharap bisa tinggal di rumah besar dan mewah yang ditempati suaminya ini. "Iya, Nur kenapa mesti tinggal terpisah? Kalo kalian satu rumah kan bisa cepat akur dan kita bisa saling menjaga. Kalo ada apa-apa nggak pusing kesana kemari," protes Fahri juga tak paham. "Mas, tinggal bersama itu nggak baik. Bukankah para istri Rasululullah saw pun tinggal terpisah. Itu untuk mencegah saling benturan dan cemburuan, Mas." "Jadi, Mbak cemburu padaku? Karena aku bisa hamil sedangkan Mbak nggak!" ucap Melisa menyindir. Kembali hati Nuraini tersayat mendengarnya, disabarkan hatinya agar tetap tenang. Tanpa menjawab pertanyaan Melisa, dia mengulang lagi syaratnya. "Bukankah kalian ingin aku menerima jadi kalo syarat itu nggak bisa dipenuhi maka cuma ada jalan terakhir. Terpaksa kita berpisah, Mas," ujar Nuraini tegas. Fahri melongo, tidak menyangka Nuraini akan meminta cerai. Tentu saja permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena selama ini lelaki itu hanya menumpang hidup pada istrinya. Melisa pikir bahwa rumah besar dan semua fasilitas mewah yang digunakan Fahri adalah miliknya. Tanpa dia ketahui semua aset itu adalah milik Nuraini, Fahri hanya bertugas mengelolanya. "Bagaimana, Mas? Kalo Melisa mau, aku akan belikan dia rumah. Tapi nggak sebesar rumah ini," ucap Nuraini dengan senyum manisnya. "Mas, aku mau tinggal di sini aja," rengek Melisa bergelayut manja di lengan Fahri. "Mas tau, Mel! Tapi bukankah kamu sudah setuju asal Nuraini mengijinkan, kamu mau tinggal di mana saja bersama Mas," bujuk Fahri menjawil dagu Melisa mesra. Nuraini yang melihat kemesraan suaminya dengan Melisa merasa sedih. Tidak dipungkiri ada rasa cemburu yang menjalar di relung hatinya. Selama ini dia sudah memberikan apa saja buat Fahri, namun tidak cukup untuk membuat kesetiaan Fahri bertahan selamanya. "Untuk beberapa hari aku mengijinkan Melisa tinggal di rumah ini sebelum rumah terbeli. Bawa dia istirahat, Mas!" pinta Nuraini lalu bangkit dan kembali ke kamarnya. Setelah Nuraini menghilang, Fahri membawa Melisa ke kamar tamu yang terletak di lantai bawah. Dengan manyun, dilangkahkan kakinya menuju sebuah tempat yang akan digunakan untuk tidur. Melisa merebahkan tubuhnya di ranjang, seharian duduk membuat punggungnya lelah. Sebenarnya dia bosan duduk terlalu lama tapi demi tercapainya tujuan untuk tinggal di rumah ini, dia pun mengesampingkan egonya. "Kamu istirahat dulu ya!" ucap Fahri saat dilihatnya Melisa memejamkan mata. "Mas mau kemana?" tanyanya sambil memegang tangan Fahri. Lelaki itu mendekat dan mengecup tangan Melisa lembut, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut. "Mas mau menemui Nuraini sebentar, ada yang mau Mas bicarakan dengannya." "Tapi Mas janji jangan berhubungan badan dengannya selama aku hamil. Lagian Mbak Nur juga nggak bisa hamil percuma juga Mas sentuh dia," pinta Melisa tapi lebih menyerupai perintah. Fahri mengerutkan keningnya, merasa permintaan Melisa aneh. Nuraini masih istrinya dan wajar sebagai suami tetap menjalankan kewajibannya. Namun, demi menyenangkan hati Melisa Fahri hanya mengangguk. Langkah kaki tegap Fahri menapaki tangga satu demi satu hingga tiba di lantai atas. Begitu sudah di depan pintu dia mengatur napasnya dan membuka pintu. Nuraini yang kaget lantas buru-buru memakai hijabnya. Entah kenapa setelah suaminya membawa pulang wanita lain, dia menjadi sensitif hingga auratnya pun ingin tertutup dari suaminya. "Mas, ada apa?" tanya Nuraini langsung duduk membetulkan penampilannya. Sepertinya dia sedang akan istirahat. Fahri yang juga kaget dengan sikap istrinya yang tidak seperti biasa pun menjadi salah tingkah. "Boleh Mas masuk?" "Masuklah, Mas." Fahri duduk di sebelah Nuraini yang menggeser duduknya hingga berjarak. Lagi-lagi lelaki itu dibuat heran tapi mungkin paham istrinya masih shock. Nuraini terdiam menunggu Fahri bicara, kali ini wanita yang kini jadi kakak madu tidak banyak bicara. Dia takut akan menjadi bertengkar kalo tidak bisa mengerem bicaranya. Ridho itu masih dibutuhkannya. "Mas minta maaf kalo sudah menyakiti hatimu dengan pernikahan kedua Mas. Tapi percayalah Mas nggak ingin bercerai darimu," tekan Fahri seraya ingin menggenggam tangan istrinya. "Nggak apa-apa, Mas! Bukankah selama ini aku selalu mengabulkan apapun permintaan Mas. Selama untuk mendapat ridhomu aku ikhlas," jawab Nuraini lembut. Mendengar penuturan istrinya membuat Fahri merasa bersalah. Nuraini yang begitu sabar dan lembut telah dia lukai begitu besar. Apalagi kini Melisa telah mengandung anaknya yang seharusnya anak itu berada dalam rahimnya. Untuk menebus kesalahannya, Fahri mencoba menyentuh istrinya. Diraihnya tangan Nuraini yang tidak menolak karena tatapan lelaki itu mampu menembus benteng pertahanannya. Setelah berhasil, Fahri mendekatkan wajahnya kemudian mereka saling berciuman. Napas keduanya memburu dan tangan Fahri mulai bekerja akan membuka kancing yang dikenakan Nuraini. Lelaki itu sudah berhasrat dan ingin menuntaskannya, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba terdengar teriakan dari luar kamar. Fahri menghentikan aksinya pun dengan Nuraini yang merapikan kembali baju dan hijabnya yang sudah berantakan. "Sepertinya suara Melisa, Mas. Coba lihat sana!" pinta Nuraini. Gegas Fahri bangkit dan berjalan membuka pintu. Dilihatnya Melisa berdiri di depan pintu sambil memegang perutnya. "Aduh, Mas! Perutku sakit!"Nuraini yang berdiri di belakang Fahri pun terkejut. "Mas, cepat bawa ke rumah sakit!" "Nggak usah, Mas! Cukup gendong aja aku ke kamar, dibawa tidur aja sudah baikan," ucapnya mengangkat tangan agar digendong Fahri. "Nur, Mas bawa Melisa dulu ke kamar ya!" Nuraini mengangguk dan tetap menatap Fahri yang menggendong Melisa turun ke bawah. Melisa menoleh ke arah kakak madunya seperti mengejek. "Bukankah tadi kamu istirahat, kenapa bisa naik ke atas?" tanya Fahri setelah membaringkan Melisa di ranjang. "Kamu sudah janji nggak akan menyentuh Mbak Nur, Mas! Aku lihat tadi kalian akan berhubungan jadi aku cegah dengan pura-pura sakit," jawab Melisa cemberut. "Bagaimanapun Nur masih istri, Mas! Hatinya pasti sedih jadi Mas ingin menghiburnya. Mas nggak mau Nur minta cerai karena masih butuh dia. Sampai Mas bisa menguasai semua miliknya baru Mas akan menceraikannya." Tanpa mereka ketahui diam-diam Nuraini mendengarkan pembicaraan mereka di balik pintu."Bagaimanapun Nur masih istri, Mas! Hatinya pasti sedih jadi Mas ingin menghiburnya. Mas nggak mau Nur minta cerai karena masih butuh dia. Sampai Mas bisa menguasai semua miliknya baru Mas akan menceraikannya." Tanpa mereka ketahui diam-diam Nuraini mendengarkan pembicaraan mereka di balik pintu. Awalnya dia tidak sengaja karena ingin melihat keadaan adik madunya tapi tak disangka mendapat pengakuan mengejutkan. Nuraini menutup mulutnya yang kaget dengan perkataan suaminya. Benarkah yang dikatakan Fahri, kenapa harus membohonginya. Tak cukupkah luka yang digores karena pengkhianatan. Kini harus ditambah harta miliknya yang ingin direbut. Nuraini masih terpekur di depan pintu, sampai kemudian terdengar tawa cekikan Melisa diiringi lenguhan keduanya di dalam kamar membuatnya tersadar dan jijik. Menatap pintu dengan nyalang dan penuh amarah. Wanita cantik berhijab coklat itupun berlalu dengan perasaan hancur. Dalam satu hari ini sudah berapa kali dia mendapat kejutan dari suaminya. H
Fahri beranjak akan pergi dan langkahnya terhenti kala mendengar ucapan istrinya. "Mas, apakah kamu nggak mencintaiku lagi?" Lelaki itu berbalik badan dan tersenyum, "Mas mencintaimu, Nur!" Kamu bohong kan, Mas! Tidak mungkin kamu masih mencintaiku setelah apa yang kamu perbuat padaku hari ini, batin Nuraini mendengus. Dirinya menatap punggung Fahri yang berjalan keluar setelah mengucapkan cinta. Bila dulu kata cinta itu begitu melambungkan Nuraini. Walaupun hidup berdua tanpa anak, bagi wanita berumur dua puluh lima itu tidak masalah. Asal kasih sayang Fahri tidak berkurang maka persoalan lain tidak dia pusingkan. Teringat janji yang dipinta Fahri tadi, Nuraini menghubungi seorang teman. Tidak berapa lama dering panggilan tersambung. "Assalamu'alaikum, Nuraini!" "Wa'alaikumussalam, maaf mengganggu kesibukan kamu Mas Tommy," ucap Nuraini segan. "Nggak apa-apa, hum! Ada apa tumben meneleponku?" Nuraini mentralkan jantungnya yang berdebar, sebenarnya dia tidak ingin lagi berhubu
Selesai sholat, Nuraini turun menuju meja makan di mana hidangan yang dimasak tadi ia letakkan. Namun, dirinya kaget mendapati Fahri dan Melissa sedang makan. Dia merasa sedih suaminya tidak mengajaknya makan bersama. Melihat Nuraini muncul, Fahri segera menoleh. Tanpa rasa bersalah berucap dengan entengnya. "Makan, Nur!" "Iya, Mas! Kenapa nggak menungguku tadi?" tanya Nuraini dengan senyum. "Melisa katanya sudah lapar jadi kami makan duluan," ucap Fahri menyikut Melisa yang masih asyik makan. Melisa cuma mengangguk dan meneruskan makannya. Nuraini hanya tersenyum miris melihat madunya seperti orang kelaparan. Diambilnya nasi lalu melihat lauk yang tinggal sedikit, wanita itu menghela napas. "Maaf, Mbak! Lauknya tinggal sedikit abisnya masakan Mbak enak, kalo kurang nanti Mbak bisa masak lagi," celetuk Melisa seenaknya. Nuraini mendengus menatap Melisa, dipikirnya masak itu tidak lelah apa. Akhirnya terpaksa dia makan dengan lauk yang tinggal sedikit itu. Fahri juga terlihat ac
Ponsel kembali bergetar menyentak lamunan Nuraini. Masuk pesan dari Tommy yang mengirim foto sertifikat lengkap dengan namanya. [Aini, sebenarnya rumah itu untuk siapa?] "Maaf Mas Tommy, kalo bisa antarkan kunci rumah dengan sertifikatnya hari ini?" balas Nuraini beralih telepon tanpa menjawab pertanyaan Tommy. Di seberang sana lelaki itu menghela napas, Nuraini mendengarnya karena ponsel begitu dekat di bibir. Maafkan aku Mas Tommy tidak bisa memberitahumu yang sebenarnya, batinnya sendu. "Baiklah, kalo itu maumu. Sebentar lagi akan Mas kirim."Nuraini menghentikan obrolan setelah mengucapkan terima kasih. Benar saja tak butuh lama dua puluh menit kemudian seorang kurir berteriak dari luar. "Paket!" Gegas Nuraini turun setelah memakai hijabnya, saat kakinya baru saja menapak di bawah pintu kamar terbuka. Fahri dan Melisa yang keluar dari kamar juga mendengar teriakan paket. "Kamu ada pesan barang, Nur?" tanya Fahri yang melihat istri pertamanya itu buru-buru ke depan. "Iya,
Tok, tok, tok! Nuraini terkejut ada yang mengetuk jendela mobilnya. Gegas dihapus air matanya dan membuka kacanya, terlihat seraut wajah lelaki dengan rahang mengetat. "Aini, kamu berhutang penjelasan pada Mas!" ujar lelaki itu yang tak lain adalah Tommy. "Mas Tommy?" "Ya, kamu harus jelaskan apa yang terjadi. Mas sudah melihat sendiri. Kamu beli rumah untuk Fahri, lalu siapa wanita itu?" Nuraini menghela napas, tidak mungkin lagi ditutupi semua kalo Tommy sudah tau. Dia merasa malu dengan keadaannya, pasti lelaki itu akan mencemoh dirinya yang tidak becus mengurus suami. "Aini?" panggil Tommy lagi karena dilihat wanita di depannya jadi melamun. "Jangan di sini, Mas! Kita cari tempat lain aja, di cafe misalnya. Aku akan jalan duluan, Mas naik mobil sendiri aja," ucap Nuraini akhirnya mengalah. "Baiklah, Mas ikuti mobil kamu dari belakang. Tapi kamu nggak apa-apa 'kan menyetir?" tanya Tommy cemas. Nuraini menggeleng dan tersenyum. Nuraini melesatkan roda empat itu dengan stabi
Ponsel berdering, Nuraini mengambil dari dalam tas kecil. Membuka layarnya ada notifikasi pesan masuk lewat aplikasi gagang hijau. Dari Mas Fahri, gumamnya pelan. Nuraini mengerutkan alisnya setelah membaca pesan itu. [Nur, Mas nggak nyangka kalo kamu mengusir Mas karena sudah punya lelaki lain. Kamu selingkuh ternyata, Mas kecewa sama kamu] ditambah emot sedih. Lekas Nuraini membalas pesan suaminya yang telah salah paham. [Mas, kamu salah. Aku nggak selingkuh, lelaki tadi itu adalah pemilik rumah yang aku beli dan dia datang untuk menagih pembayaran] Nuraini terpaksa berbohong tentang siapa Tommy. Dia tidak mau melibatkan lelaki parlente itu dengan masalah rumah tangganya dan Fahri tidak perlu tau juga siapa Tommy. Wanita berhijab itu meletakkan ponselnya di meja. Tommy yang sedari tadi memperhatikan menjadi penasaran siapa yang sudah mengirim pesan hingga membuat wanita di depannya itu mengerutkan alisnya. "Dari Mas Fahri," ucap Nuraini sebelum Tommy sempat bertanya. "Apa ka
"Ada yang mengirim pada Papa foto Fahri sedang memeluk wanita di sebuah pusat perbelanjaan. Katakan, apa benar ini Fahri?" Degh! Hati Nuraini mencelos saat Bram menunjukkan beberapa foto di ponselnya. Ranti juga terhenyak dari duduknya begitu matanya menatap foto menantunya itu. "Nak, ini benar Fahri suamimu?" tanya Ranti berusaha sabar. Wanita yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu tidak mau marah sebelum pasti tau yang sebenarnya. Nuraini hanya menunduk, haruskah dia mengatakan yang sejujurnya. Ingin disangkal pun foto itu sangat terlihat jelas, pelukan mesra mereka yang dua hari ini selalu diperlihatkan di depannya. "Kenapa diam? Benar ini Fahri 'kan?" Bram kembali bertanya dengan tegas. Lelaki yang masih nampak gagah itu begitu tidak menyukai pengkhianatan. "Katakan saja, Nak! Kami nggak akan menyalahkanmu," hibur Ranti setelah mendengar isakan Nuraini. Bram mendengkus, dia sudah menduga tanpa Nuraini menjawab dengan isakan saja itu artinya memang putrinya sedang meng
"Mama dan Papaku datang, mereka menanyakan Mas tapi aku bilang Mas lagi keluar kota," ucap Nuraini dibuat secemas mungkin agar Fahri tidak curiga. 'Degh! Bagaimana ini kalo mertuaku sampai tau aku menikah lagi. Pasti mereka akan mendepakku,' batin Fahri galau. "Mas, bagaimana bisa sekarang kamu pulang? Tapi jangan bawa Melisa," ucap Nuraini lirih. "Ehm, Mas nggak mungkin meninggalkan Melisa sendiri, Nur!" Nuraini menghela napas, dia sudah tau suaminya tidak bakal mau meninggalkan istri keduanya itu. Ranti dan Bram yang mendengarkan pun merasa geram. Sengaja Nuraini menelepon depan orang tuanya dengan mengaktifkan loudspeaker. "Ya sudah kalo kamu nggak mau, Mas! Aku akan bilang pada orang tuaku kalo kamu menikah lagi. Siap-siap aja menerima gugatan cerai," sergah Nuraini. "Jangan, Nur! Tolong beri Mas kesempatan, jangan bilang pada Papa dan Mama. Mas akan bujuk Melisa biar sementara dia tinggal sendiri dulu," pinta Fahri terdengar memelas. "Apa, Mas! Kamu mau meninggalkan aku?"
"Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga
Kala Nuraini masih tertidur, Ranti bergerak cepat. Menelepon seseorang yang biasa dia suruh mencari target. Sesuai petunjuk yang diberi Tono tadi. "Halo, kamu cari seseorang dengan nama Hendra di kampung Melati. Setelah dapat langsung interogasi, nanti kabari saya biar saya yang bicara melalui telepon," ucap Ranti lalu memutuskan sambungan telepon. "Pak Diman!" panggilnya pada Sang supir yang juga standby di rumah anaknya. Diman yang sedang mengobrol dengan satpam menoleh, mendengar namanya dipanggil datang tergopoh-gopoh. "Ya, Nyonya!" "Tolong kamu jaga tuan kamu di rumah sakit, jangan ada yang boleh masuk tanpa ijin saya. Kalo dia nekat hubungi saya, biar saya yang bicara!" "Baik, Nyonya! Siap laksanakan," jawab supir hormat. "Pergilah sekarang juga! Ini uangnya kamu ambil, jangan lupa beli bekal nasi biar kamu nggak bolak balik," pinta Ranti. Setelah mengucapkan terima kasih, Diman segera berlalu. Begitulah Ranti sebagai majikan tidak pernah pelit, jika menyuruh pasti dia a
"Mas, katakan kalo itu nggak benar? Nggak mungkin aku anaknya Papa Nur. Nggak mungkin ...!" jerit Melisa menjambak rambutnya. "Mel, tenanglah! Seharusnya kamu senang kalo memang kamu anaknya Bram," hibur Fahri. "Mana mungkin aku tenang, aku aja sangat membenci Nur. Aku nggak mau saudaraan dengannya, Mas!" "Sssttt, coba kamu pikir! Jika kamu anaknya Bram, kamu bisa nuntut harta gono gini. Bagaimanapun ada hak kamu di dalamnya, jadi kamu bisa bersaing dengan Nur," hasut Fahri tersenyum. Melisa mendongak, mencerna kata Fahri barusan. Benar, kalo dia menuntut harta gono gini pada Bram maka dia pun bisa merasakan kemewahan seperti Nuraini. Dia sudah bosan hidup dalam kesusahan terus, apalagi kini tengah mengandung seorang anak. Ya, sekarang itu satu-satunya jalan sebagai loncatan dirinya untuk kaya. Gaya hedon pun mulai berseliweran dalam kepalanya. Dia akan mengendarai mobil kemanapun dan shoping di Mall sepuasnya juga gabung dalam geng sosialitas kelas atas. Bibirnya melengkung mem
"Jangan lukai anakmu, anak ini benar anak Fahri tapi anak yang dikandung Melisa bukanlah anak Fahri," jelas Ranti membuat Nuraini dan Tommy kaget. "Lalu anak siapa, Mah?" "Anak yang dikandung Melisa itu anak perkosaan mantan pacarnya dulu!" "Apa, benarkah itu? Mama tau dari mana?" tanya Nuraini tak percaya. Ranti mengangguk menghela napas sebentar. "Saat di Bali itu, setelah Papamu dan Fatma ketahuan sedang bermain di kamar oleh Pak Tono. Seketika itu juga beliau menjatuhkan talak pada wanita yang menggilai Papamu. Setelah itu Pak Tono membeberkan semuanya pada Mama tentang Fatma dan juga Melisa. "Awalnya Mama juga kaget dan nggak ingin mempercayai tapi melihat bagaimana dulu kelakuan Fatma pasti menurun pada anaknya." "Kenapa baru sekarang Mama katakan, setelah Aini berkata akan menceraikan Mas Fahri?" Kini ada sedikit penyesalan dalam hati wanita yang tengah mengandung itu. "Mama rasa pun nggak akan ada pengaruh bila Fahri tau. Dia pasti nggak akan percaya pada ucapan Mama se