"Bagaimanapun Nur masih istri, Mas! Hatinya pasti sedih jadi Mas ingin menghiburnya. Mas nggak mau Nur minta cerai karena masih butuh dia. Sampai Mas bisa menguasai semua miliknya baru Mas akan menceraikannya."
Tanpa mereka ketahui diam-diam Nuraini mendengarkan pembicaraan mereka di balik pintu. Awalnya dia tidak sengaja karena ingin melihat keadaan adik madunya tapi tak disangka mendapat pengakuan mengejutkan. Nuraini menutup mulutnya yang kaget dengan perkataan suaminya. Benarkah yang dikatakan Fahri, kenapa harus membohonginya. Tak cukupkah luka yang digores karena pengkhianatan. Kini harus ditambah harta miliknya yang ingin direbut. Nuraini masih terpekur di depan pintu, sampai kemudian terdengar tawa cekikan Melisa diiringi lenguhan keduanya di dalam kamar membuatnya tersadar dan jijik. Menatap pintu dengan nyalang dan penuh amarah. Wanita cantik berhijab coklat itupun berlalu dengan perasaan hancur. Dalam satu hari ini sudah berapa kali dia mendapat kejutan dari suaminya. Harapannya untuk mendapat ridho suami pun pupus, kini tinggal satu jalan. Gegas Nuraini memasuki kamar lalu mengunci pintunya agar Fahri tidak menyelonong masuk lagi seperti tadi. Disambar ponselnya yang ada di meja rias, lalu menuju balkon untuk menelepon. Nuraini ingin mendapat jawaban dari keputusan hatinya. Setelah dicari nomor yang dituju dan menekan tombol panggilan, terdengar nada sambung di seberang sana. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapa lembut suara wanita. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, maaf mengganggu Umi Khadijah," jawab Nuraini segan. "Nggak apa-apa, Sayang! Gimana kabar kamu, Nuraini?" tanyanya balik. "Alhamdulillah baik! Umi, Aini mau meminta solusi atas masalah rumah tangga yang rumit ini. Aini bingung harus bagaimana mengambil keputusan." "Apa kamu sudah minta petunjuk Allah? Sholat istikharah, pinta semua padaNYA karena Dia yang akan memberi jalan keluarnya. Jangan ceritakan masalah rumah tanggamu pada orang lain karena itu aib. Kecuali dia memang bisa dipercayai untuk menjaga amanah." Nuraini begitu takzim mendengar nasehat Umi Khadijah. Selama ini ustazah itulah tempat dia bertanya tentang berbagai hal kehidupan hingga sedikit banyak membawa pengaruh yang baik padanya. "Aini belum melaksanakan sholat istikharah, Umi. Sekarang ingin mendengar solusi dari Umi dulu agar hati Aini nggak bimbang." "Aini percaya dengan Umi? Dengan cerita pada Umi berarti Aini menaruh kepercayaan pada Umi untuk memegang amanah." "Insya Allah, Umi. Aini percaya sebab belum cerita pada orang tua juga jadi baru Umi yang pertama." Kemudian mengalirlah cerita dari bibir Nuraini mulai dari suaminya yang pulang membawa Melisa hingga pembicaraan mereka di kamar tadi. Terdengar Umi Khadijah menghela napas berulang kali dan beristigfar. "Begitulah Umi, awalnya Nurani ikhlas bila dimadu dan berusaha menerima keadaan ini tapi ternyata Mas Fahri sudah terlalu jauh. Dia bahkan ingin menghancurkan Aini, apakah Aini mesti menerima semua ini atau berpisah?" isak Nuraini. "Sabar, Aini! Ingat Allah itu nggak tidur pasti Dia melihat semua perbuatan hambanya. Menurut Umi tinggal terpisah sudah bagus agar bisa terhindar dari hal buruk seperti mendengar pembicaraan itu. Tapi kalo keputusanmu ingin berpisah dari suamimu coba bicarakan pada orang tua masing-masing. Kumpulkan mereka semua agar bisa melakukan mediasi, saran Umi jangan gegabah ambil keputusan. Bisa aja saat ini suami kamu dalam pengaruh buruk istri keduanya," jelas Ustazah Khadijah panjang lebar. "Iya, Umi. Insya Allah, Aini akan jalankan seperti saran Umi. Makasih banyak Umi nasehatnya." "Sama-sama, Aini! Ingat selalu doakan suamimu agar dapat hidayah dan rumah tangga kalian bahagia selamanya." Akhirnya sambungan telepon ditutup, Nuraini bisa menghembuskan napas lega. Kini dia sudah tau harus bagaimana, sebelum menelepon tadi di pikirannya sudah terbesit ingin mengusir suami dan istri keduanya dari rumah. Nuraini masih ingin mempertahankan rumah tangga dengan semampunya. Apabila segala usaha yang dilakukan tidak berhasil maka langkah terakhir adalah berpisah. Langit semakin senja, di ujung sana terlihat semburat merah jingga sudah akan tenggelam. Nuraini melirik jam di dinding kamar, belum ada tanda suaminya menghampiri. Apa dia begitu terlena bersama adik madunya. Usai menghela napas diayunkan kakinya menuju kamar mandi. Dia tidak perlu turun ke bawah karena di kamarnya ada sendiri. Baru saja siap berganti pakaian terdengar ketukan di pintu. "Nur, boleh Mas masuk?" Suara Fahri yang terdengar dari luar memutuskan Nuraini memakai hijab. Walaupun hatinya masih sakit tapi diusahakan untuk berdamai. Dia mengalah bukan berarti kalah juga tidak akan membiarkan suaminya dikuasai istri keduanya. "Masuk, Mas!" pinta Nuraini setelah membuka pintu. "Ada apa?" tanyanya begitu Fahri baru saja menghempaskan tubuhnya di ranjang. "Maaf kalo kebersamaan kita tadi terganggu karena Melisa sakit perut. Sekarang dia sudah baik-baik saja," ucap Fahri tersenyum. Bagaimana tidak baik, Mas! Wong kalian saja baru asyik memadu kasih. Aku tau kalo Melisa hanya pura-pura sakit perut, batin Nuraini. "Nggak apa-apa, Mas! Lagian dia sedang hamil pasti ingin selalu diperhatikan. Sayangnya aku nggak bisa merasakan anak dalam perutku," keluh Nuraini meraba perutnya dengan sedih. Sebagai istri, Nuraini juga ingin seperti wanita lain yang bisa memberi keturunan. Dia ingin anaknya kelak memanggil bunda, panggilan yang penuh kasih sayang. Fahri tidak sampai hati melihat kesedihan di wajah istrinya. Jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali membuat wanita itu hamil tapi setiap akan menjamahnya lelaki itu seperti enggan. Bukan karena Nuraini tidak cantik, hanya saja wajah yang kusam membuat Fahri jadi kurang bernapsu. Lain dengan Melisa yang selalu berdandan dan rajin ke salon. Melihat penampilannya saja sudah membuat Fahri selalu ingin menerkam. Sebenarnya Nuraini bukan tidak berdandan, tapi dia hanya memakai bedak tipis dan pelembab bibir. Apalagi bila keluar rumah, istri pertamanya itu tidak ingin berdandan membuat Fahri sedikit malu jalan dengannya. Bagi Nuraini, berdandan hanya di rumah khusus untuk suaminya. Sejak menikah dia selalu menerapkan sunnah dan adab sebagai istri yang diajarkan Ustazah Khadijah. Oleh karena itu, Fahri yang tidak memahami hal itu pun menjadi salah paham. "Oh iya, Mas ingin bertanya kapan kamu membeli rumah untuk Melisa?" tanya Fahri yang membuat Nuraini mengerutkan kening. Hampir saja dia lupa kalo sudah berjanji akan membelikan madunya itu rumah. Nuraini merasa Melisa sudah tidak sabar ingin menjauhkan Fahri dengannya. "Besok aku tanya temanku dulu, Mas. Dia punya properti yang mau dijual, semoga aja ada yang cocok," jawab Nuraini sedikit malas. "Oke, Mas akan sampaikan pada Melisa agar bersabar dulu. Soalnya dia ingin mengundang orang tua dan sanak saudaranya di rumah baru," ucap Fahri lagi enteng tanpa memikirkan perasaan istri pertamanya. Nuraini menghela napasnya, menatap wajah Fahri. Wanita itu seperti tidak mengenal suaminya lagi, kemana Fahri yang dulu. Lelaki yang tidak pernah menyakitinya sekalipun, tapi sejak memiliki Melisa, Fahri sudah berubah banyak. Fahri beranjak akan pergi dan langkahnya terhenti kala mendengar ucapan istrinya. "Mas, apakah kamu nggak mencintaiku lagi?"Fahri beranjak akan pergi dan langkahnya terhenti kala mendengar ucapan istrinya. "Mas, apakah kamu nggak mencintaiku lagi?" Lelaki itu berbalik badan dan tersenyum, "Mas mencintaimu, Nur!" Kamu bohong kan, Mas! Tidak mungkin kamu masih mencintaiku setelah apa yang kamu perbuat padaku hari ini, batin Nuraini mendengus. Dirinya menatap punggung Fahri yang berjalan keluar setelah mengucapkan cinta. Bila dulu kata cinta itu begitu melambungkan Nuraini. Walaupun hidup berdua tanpa anak, bagi wanita berumur dua puluh lima itu tidak masalah. Asal kasih sayang Fahri tidak berkurang maka persoalan lain tidak dia pusingkan. Teringat janji yang dipinta Fahri tadi, Nuraini menghubungi seorang teman. Tidak berapa lama dering panggilan tersambung. "Assalamu'alaikum, Nuraini!" "Wa'alaikumussalam, maaf mengganggu kesibukan kamu Mas Tommy," ucap Nuraini segan. "Nggak apa-apa, hum! Ada apa tumben meneleponku?" Nuraini mentralkan jantungnya yang berdebar, sebenarnya dia tidak ingin lagi berhubu
Selesai sholat, Nuraini turun menuju meja makan di mana hidangan yang dimasak tadi ia letakkan. Namun, dirinya kaget mendapati Fahri dan Melissa sedang makan. Dia merasa sedih suaminya tidak mengajaknya makan bersama. Melihat Nuraini muncul, Fahri segera menoleh. Tanpa rasa bersalah berucap dengan entengnya. "Makan, Nur!" "Iya, Mas! Kenapa nggak menungguku tadi?" tanya Nuraini dengan senyum. "Melisa katanya sudah lapar jadi kami makan duluan," ucap Fahri menyikut Melisa yang masih asyik makan. Melisa cuma mengangguk dan meneruskan makannya. Nuraini hanya tersenyum miris melihat madunya seperti orang kelaparan. Diambilnya nasi lalu melihat lauk yang tinggal sedikit, wanita itu menghela napas. "Maaf, Mbak! Lauknya tinggal sedikit abisnya masakan Mbak enak, kalo kurang nanti Mbak bisa masak lagi," celetuk Melisa seenaknya. Nuraini mendengus menatap Melisa, dipikirnya masak itu tidak lelah apa. Akhirnya terpaksa dia makan dengan lauk yang tinggal sedikit itu. Fahri juga terlihat ac
Ponsel kembali bergetar menyentak lamunan Nuraini. Masuk pesan dari Tommy yang mengirim foto sertifikat lengkap dengan namanya. [Aini, sebenarnya rumah itu untuk siapa?] "Maaf Mas Tommy, kalo bisa antarkan kunci rumah dengan sertifikatnya hari ini?" balas Nuraini beralih telepon tanpa menjawab pertanyaan Tommy. Di seberang sana lelaki itu menghela napas, Nuraini mendengarnya karena ponsel begitu dekat di bibir. Maafkan aku Mas Tommy tidak bisa memberitahumu yang sebenarnya, batinnya sendu. "Baiklah, kalo itu maumu. Sebentar lagi akan Mas kirim."Nuraini menghentikan obrolan setelah mengucapkan terima kasih. Benar saja tak butuh lama dua puluh menit kemudian seorang kurir berteriak dari luar. "Paket!" Gegas Nuraini turun setelah memakai hijabnya, saat kakinya baru saja menapak di bawah pintu kamar terbuka. Fahri dan Melisa yang keluar dari kamar juga mendengar teriakan paket. "Kamu ada pesan barang, Nur?" tanya Fahri yang melihat istri pertamanya itu buru-buru ke depan. "Iya,
Tok, tok, tok! Nuraini terkejut ada yang mengetuk jendela mobilnya. Gegas dihapus air matanya dan membuka kacanya, terlihat seraut wajah lelaki dengan rahang mengetat. "Aini, kamu berhutang penjelasan pada Mas!" ujar lelaki itu yang tak lain adalah Tommy. "Mas Tommy?" "Ya, kamu harus jelaskan apa yang terjadi. Mas sudah melihat sendiri. Kamu beli rumah untuk Fahri, lalu siapa wanita itu?" Nuraini menghela napas, tidak mungkin lagi ditutupi semua kalo Tommy sudah tau. Dia merasa malu dengan keadaannya, pasti lelaki itu akan mencemoh dirinya yang tidak becus mengurus suami. "Aini?" panggil Tommy lagi karena dilihat wanita di depannya jadi melamun. "Jangan di sini, Mas! Kita cari tempat lain aja, di cafe misalnya. Aku akan jalan duluan, Mas naik mobil sendiri aja," ucap Nuraini akhirnya mengalah. "Baiklah, Mas ikuti mobil kamu dari belakang. Tapi kamu nggak apa-apa 'kan menyetir?" tanya Tommy cemas. Nuraini menggeleng dan tersenyum. Nuraini melesatkan roda empat itu dengan stabi
Ponsel berdering, Nuraini mengambil dari dalam tas kecil. Membuka layarnya ada notifikasi pesan masuk lewat aplikasi gagang hijau. Dari Mas Fahri, gumamnya pelan. Nuraini mengerutkan alisnya setelah membaca pesan itu. [Nur, Mas nggak nyangka kalo kamu mengusir Mas karena sudah punya lelaki lain. Kamu selingkuh ternyata, Mas kecewa sama kamu] ditambah emot sedih. Lekas Nuraini membalas pesan suaminya yang telah salah paham. [Mas, kamu salah. Aku nggak selingkuh, lelaki tadi itu adalah pemilik rumah yang aku beli dan dia datang untuk menagih pembayaran] Nuraini terpaksa berbohong tentang siapa Tommy. Dia tidak mau melibatkan lelaki parlente itu dengan masalah rumah tangganya dan Fahri tidak perlu tau juga siapa Tommy. Wanita berhijab itu meletakkan ponselnya di meja. Tommy yang sedari tadi memperhatikan menjadi penasaran siapa yang sudah mengirim pesan hingga membuat wanita di depannya itu mengerutkan alisnya. "Dari Mas Fahri," ucap Nuraini sebelum Tommy sempat bertanya. "Apa ka
"Ada yang mengirim pada Papa foto Fahri sedang memeluk wanita di sebuah pusat perbelanjaan. Katakan, apa benar ini Fahri?" Degh! Hati Nuraini mencelos saat Bram menunjukkan beberapa foto di ponselnya. Ranti juga terhenyak dari duduknya begitu matanya menatap foto menantunya itu. "Nak, ini benar Fahri suamimu?" tanya Ranti berusaha sabar. Wanita yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu tidak mau marah sebelum pasti tau yang sebenarnya. Nuraini hanya menunduk, haruskah dia mengatakan yang sejujurnya. Ingin disangkal pun foto itu sangat terlihat jelas, pelukan mesra mereka yang dua hari ini selalu diperlihatkan di depannya. "Kenapa diam? Benar ini Fahri 'kan?" Bram kembali bertanya dengan tegas. Lelaki yang masih nampak gagah itu begitu tidak menyukai pengkhianatan. "Katakan saja, Nak! Kami nggak akan menyalahkanmu," hibur Ranti setelah mendengar isakan Nuraini. Bram mendengkus, dia sudah menduga tanpa Nuraini menjawab dengan isakan saja itu artinya memang putrinya sedang meng
"Mama dan Papaku datang, mereka menanyakan Mas tapi aku bilang Mas lagi keluar kota," ucap Nuraini dibuat secemas mungkin agar Fahri tidak curiga. 'Degh! Bagaimana ini kalo mertuaku sampai tau aku menikah lagi. Pasti mereka akan mendepakku,' batin Fahri galau. "Mas, bagaimana bisa sekarang kamu pulang? Tapi jangan bawa Melisa," ucap Nuraini lirih. "Ehm, Mas nggak mungkin meninggalkan Melisa sendiri, Nur!" Nuraini menghela napas, dia sudah tau suaminya tidak bakal mau meninggalkan istri keduanya itu. Ranti dan Bram yang mendengarkan pun merasa geram. Sengaja Nuraini menelepon depan orang tuanya dengan mengaktifkan loudspeaker. "Ya sudah kalo kamu nggak mau, Mas! Aku akan bilang pada orang tuaku kalo kamu menikah lagi. Siap-siap aja menerima gugatan cerai," sergah Nuraini. "Jangan, Nur! Tolong beri Mas kesempatan, jangan bilang pada Papa dan Mama. Mas akan bujuk Melisa biar sementara dia tinggal sendiri dulu," pinta Fahri terdengar memelas. "Apa, Mas! Kamu mau meninggalkan aku?"
Tapi segera dicegat Fahri, "Apa, mereka di sini seminggu?" "Iya, soalnya orang tuaku super sibuk dan jarang ada waktu. Jadi, saat ini mereka sedang berlibur makanya menginap di sini. Kenapa, nggak rela pisah lama-lama dengan Melisa?" "Bukan, tapi kasihan kalo dia tinggal sendiri apalagi sedang hamil," keluh Fahri kacau. Sudah seperti ini pun kamu tetap tidak bisa berpaling dari Melisa, Mas. Kalo aku mau sekarang bisa saja mendepakmu tapi kalo semudah itu kamu pasti senang. Kamu harus merasakan penderitaan dulu seperti yang kurasakan, batin Nuraini mendengkus. Wanita muda itu membiarkan Fahri termenung di kamar lalu melangkah keluar. Hatinya sakit setiap kali dari mulut suaminya keluar tentang Melisa. Seolah-olah wanita perebut itu lebih penting dari dirinya. "Bagaimana Fahri?" tanya Ranti pelan setelah duduk di samping ibunya. "Dia terkejut saat Aini bilang Mama dan Papa mau menginap selama seminggu. Bukan itu aja, Mas Fahri malah mencemaskan Melisa di sana padahal kita tau oran
"Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga
Kala Nuraini masih tertidur, Ranti bergerak cepat. Menelepon seseorang yang biasa dia suruh mencari target. Sesuai petunjuk yang diberi Tono tadi. "Halo, kamu cari seseorang dengan nama Hendra di kampung Melati. Setelah dapat langsung interogasi, nanti kabari saya biar saya yang bicara melalui telepon," ucap Ranti lalu memutuskan sambungan telepon. "Pak Diman!" panggilnya pada Sang supir yang juga standby di rumah anaknya. Diman yang sedang mengobrol dengan satpam menoleh, mendengar namanya dipanggil datang tergopoh-gopoh. "Ya, Nyonya!" "Tolong kamu jaga tuan kamu di rumah sakit, jangan ada yang boleh masuk tanpa ijin saya. Kalo dia nekat hubungi saya, biar saya yang bicara!" "Baik, Nyonya! Siap laksanakan," jawab supir hormat. "Pergilah sekarang juga! Ini uangnya kamu ambil, jangan lupa beli bekal nasi biar kamu nggak bolak balik," pinta Ranti. Setelah mengucapkan terima kasih, Diman segera berlalu. Begitulah Ranti sebagai majikan tidak pernah pelit, jika menyuruh pasti dia a
"Mas, katakan kalo itu nggak benar? Nggak mungkin aku anaknya Papa Nur. Nggak mungkin ...!" jerit Melisa menjambak rambutnya. "Mel, tenanglah! Seharusnya kamu senang kalo memang kamu anaknya Bram," hibur Fahri. "Mana mungkin aku tenang, aku aja sangat membenci Nur. Aku nggak mau saudaraan dengannya, Mas!" "Sssttt, coba kamu pikir! Jika kamu anaknya Bram, kamu bisa nuntut harta gono gini. Bagaimanapun ada hak kamu di dalamnya, jadi kamu bisa bersaing dengan Nur," hasut Fahri tersenyum. Melisa mendongak, mencerna kata Fahri barusan. Benar, kalo dia menuntut harta gono gini pada Bram maka dia pun bisa merasakan kemewahan seperti Nuraini. Dia sudah bosan hidup dalam kesusahan terus, apalagi kini tengah mengandung seorang anak. Ya, sekarang itu satu-satunya jalan sebagai loncatan dirinya untuk kaya. Gaya hedon pun mulai berseliweran dalam kepalanya. Dia akan mengendarai mobil kemanapun dan shoping di Mall sepuasnya juga gabung dalam geng sosialitas kelas atas. Bibirnya melengkung mem
"Jangan lukai anakmu, anak ini benar anak Fahri tapi anak yang dikandung Melisa bukanlah anak Fahri," jelas Ranti membuat Nuraini dan Tommy kaget. "Lalu anak siapa, Mah?" "Anak yang dikandung Melisa itu anak perkosaan mantan pacarnya dulu!" "Apa, benarkah itu? Mama tau dari mana?" tanya Nuraini tak percaya. Ranti mengangguk menghela napas sebentar. "Saat di Bali itu, setelah Papamu dan Fatma ketahuan sedang bermain di kamar oleh Pak Tono. Seketika itu juga beliau menjatuhkan talak pada wanita yang menggilai Papamu. Setelah itu Pak Tono membeberkan semuanya pada Mama tentang Fatma dan juga Melisa. "Awalnya Mama juga kaget dan nggak ingin mempercayai tapi melihat bagaimana dulu kelakuan Fatma pasti menurun pada anaknya." "Kenapa baru sekarang Mama katakan, setelah Aini berkata akan menceraikan Mas Fahri?" Kini ada sedikit penyesalan dalam hati wanita yang tengah mengandung itu. "Mama rasa pun nggak akan ada pengaruh bila Fahri tau. Dia pasti nggak akan percaya pada ucapan Mama se