Selesai sholat, Nuraini turun menuju meja makan di mana hidangan yang dimasak tadi ia letakkan. Namun, dirinya kaget mendapati Fahri dan Melissa sedang makan. Dia merasa sedih suaminya tidak mengajaknya makan bersama.
Melihat Nuraini muncul, Fahri segera menoleh. Tanpa rasa bersalah berucap dengan entengnya. "Makan, Nur!" "Iya, Mas! Kenapa nggak menungguku tadi?" tanya Nuraini dengan senyum. "Melisa katanya sudah lapar jadi kami makan duluan," ucap Fahri menyikut Melisa yang masih asyik makan. Melisa cuma mengangguk dan meneruskan makannya. Nuraini hanya tersenyum miris melihat madunya seperti orang kelaparan. Diambilnya nasi lalu melihat lauk yang tinggal sedikit, wanita itu menghela napas. "Maaf, Mbak! Lauknya tinggal sedikit abisnya masakan Mbak enak, kalo kurang nanti Mbak bisa masak lagi," celetuk Melisa seenaknya. Nuraini mendengus menatap Melisa, dipikirnya masak itu tidak lelah apa. Akhirnya terpaksa dia makan dengan lauk yang tinggal sedikit itu. Fahri juga terlihat acuh dan makan dengan lahap. Pasti tenaga mereka terkuras habis karena seharian asyik memadu kasih terus. Lama-lama Nuraini jengah dan ingin segera mendepak madunya dari rumah. Bunyi sendawa keluar dari mulut Melisa menandakan ia telah kenyang. Namun, rasanya tidak sopan bila berbunyi di depan orang. Melisa tidak peduli hal itu, baginya asal perut kenyang maka hati pun senang. "Mas, aku udah kenyang!" ujar Melisa bangun dari duduknya. "Mau kemana?" tanya Nuraini merasa heran. Sehabis makan madunya bukan membereskan malah langsung pergi. "Mau duduk di depan, Mbak! Masa' iya di sini terus lihat Mbak makan," jawabnya."Tolong taruh piring kotor bekas makan kamu di westafel. Boleh juga sekalian dicuci," pinta Nuraini. "Aku 'kan sedang hamil, Mbak! Nggak boleh capek," kilahnya menolak. "Hanya melakukan ringan seperti itu nggak capek, kalo nggak mau nyuci seenggaknya bereskan dan taruh di westafel," tekan Nuraini tetap menyuruh Melisa. Kali ini dia tidak mau terlalu lemah agar madunya tau dia siapa. "Mas!" rengek Melisa pada Fahri yang baru aja siap makan. "Ya sudah, kamu ke depan aja biar Mas yang nyuci nanti," ucap Fahri membela Melisa yang melangkah pergi dengan senang. Nuraini terdiam dengan perlakuan suaminya, mulai sekarang dia akan membiasakan dulu. Nanti setelah tiba saatnya dia akan memberi pelajaran untuk keduanya. "Mas, kamu terlalu memanjakan Melisa. Dia akan semakin malas dan menyuruh Mas ini itu," keluh Nuraini yang mengutarakan ketidaksukaan hatinya. "Nggak apa-apa, Melisa sedang hamil jadi sebisanya Mas bantu dan jaga dia. Seharusnya kamu sebagai kakak madu juga membantunya, membereskan dan mencuci piring kamu kan bisa kenapa menyuruh Melisa lagi." "Selama ini Mas juga nggak pernah begitu padaku tapi dengan senang hati aku melakukan semua. Hanya untuk mendapat ridho kamu Mas, tapi aku nggak ikhlas kalo Melisa seperti ini," lanjut Nuraini sedih. "Sudahlah, Mas juga nggak repot. Jadi, jangan samakan dirimu dengan Melisa. Dia sedang mengandung anak Mas dan sudah tiga tahun kamu pun belum hamil." Perkataan Fahri barusan seperti menyayat hati Nuraini dengan pisau, sungguh perih. Bukan kemauannya bila belum hamil. tapi semua juga tak lepas dari peran Fahri yang tidak mau bekerjasama. Suaminya seakan lupa siapa yang sebenarnya tidak ingin memiliki anak. Dalam diam Nuraini hanya menatap punggung Fahri yang sedang mencuci piring kotor bekas mereka. Sedangkan di depannya masih teronggok tanpa disentuh. Menunjukkan Fahri enggan mengurus dirinya lagi. "Mas, mulai besok Melisa sudah bisa tinggal di rumah barunya. Sebaiknya Mas juga berkemas," ucap Nuraini beranjak pergi setelah meletakkan piring kotornya di meja dapur. Biarlah kalo tidak dicuci Fahri, bisa dia cuci sendiri nanti. "Maksud kamu apa Nur menyuruh Mas berkemas?" tanya Fahri tidak mengerti. Nuraini menghela napas, suaminya tidak tau atau pura-pura. "Bukankah Mas bilang ingin menjaga Melisa dan aku lihat Mas selalu lengket padanya sepanjang hari. Jadi sebaiknya Mas tinggal dengannya saja." Usai mengucapkan itu, Nuraini melengos pergi menuju kamar. Dikunci pintunya lalu mengambil koper dan membereskan semua pakaian Fahri. Cukup sampai di sini aja dia bersabar, kalo suaminya ingin selalu bersama madunya maka dia ijinkan. Dengan begitu hatinya tidak terlalu sakit terus menerus melihat perlakuan yang tidak adil itu. "Nur, buka pintunya!" panggil Fahri dari luar. Wanita berhijab itu menyeret koper lalu membuka pintu. Fahri melongo melihat koper di depannya. Tanpa ijin, istri pertamanya sudah berniat mengusirnya. Lelaki itu khawatir setelah dia tinggal bersama Melisa maka Nuraini akan menggugat cerai. "Nur, Mas bisa jelaskan tapi bukan seperti ini. Mas akan bagi waktu dalam seminggu untukmu dan Melisa," bujuk Fahri meraih tangannya. "Sudahlah, Mas! Nggak perlu dijelaskan, aku ngerti kok! Tinggallah dengan Melisa dengan nyaman, aku nggak apa-apa sendirian di sini," ucap Nuraini mencoba tersenyum. "Baiklah, tapi janji kamu nggak akan memberitau orang tua kita soal ini," mohon Fahri memelas. Nuraini mengangguk, baginya kekhawatiran Fahri hanya sebuah alasan agar kedok busuk mereka tidak ketahuan. Tapi, Nuraini sudah mengetahui semuanya dan pelan-pelan dia ingin menyingkirkan Melisa. Usai Nuraini menutup pintu, Fahri turun dengan membawa kopernya. Diantara senang dan sedikit sedih dia berjalan menuju kamar di mana Melisa berada. Istri keduanya itu terkejut Fahri masuk dengan kopernya. "Loh, kenapa Mas? Mbak Nur mengusir Mas?" Fahri menggeleng lesu. "Bukan, Nur bilang besok kamu sudah bisa menempati rumah baru jadi menyuruh Mas tinggal denganmu." "Mas nggak senang tinggal denganku? Kok masam begitu wajahnya?" "Mas hanya takut setelah Mas pergi dari rumah ini, Nuraini akan menggugat cerai," alibi Fahri. "Biar aja kalo Mbak Nur minta cerai, yang penting kita sudah punya rumah, anak ini juga pekerjaan Mas yang mapan itu," kilahnya tak mengerti dengan pemikiran suaminya. "Sudahlah, kalo Mas nggak senang Mas tinggalkan aja aku. Anak ini biar aku gugurkan," ucap Melisa lagi merajuk. "Jangan, iya Mas akan tinggal denganmu, Sayang!" goda Fahri merayu Melisa dengan menggelitik pinggangnya. Kedua insan itu pun masih tertawa bahagia, sementara di kamar atas hati Nuraini gundah gulana. Benarkah keputusan yang diambilnya tadi? Mengijinkan suaminya tinggal dengan Melisa sama aja seperti kehilangan ridho. Nuraini tidak akan bisa melayani Fahri seperti biasa. Apa yang dilakukannya nanti kalo suaminya tidak ada di rumah bersamanya? Pasti dia akan kesepian sepanjang hari tapi juga tidak sanggup melihat kemesraan yang dipertontonkan mereka kepadanya. Tiba-tiba ponselnya berdering, masuk notifikasi pesan di gagang hijau. Gegas Nuraini membukanya dan pesan itu dari Tommy yang mengirimkan gambar rumah. Entah suatu kebetulan karena balasan untuk mereka atau memang sudah takdir, foto rumah yang ditawarkan begitu kecil. [Maaf, Aini! Cuma rumah ini yang tersisa dan paling kecil tapi tenang aja untuk kamu Mas kasih gratis] pesan dari Tommy. [Nggak apa-apa, Mas! Aku akan tetap bayar biarpun kecil, katakan harganya biar aku transfer sekarang] balas Nuraini. [Nggak usah, Mas ikhlas! Mas juga sudah membuat sertifikat atas namamu sekalian. Anggap aja itu hadiah dari Mas untuk ulang tahun pernikahanmu dengan Fahri] Membaca itu perasaan Nuriani sedih, sebenarnya besok adalah aniversari ke tiga rumah tangganya. Dia yakin Fahri pasti tidak ingat karena Melisa sudah menguasai semua hati dan pikiran suaminya. Kenapa Tommy yang hanya sahabat dan kakak baginya ingat aniversari mereka, sedangkan suaminya malah lupa. Kembali Nuraini menghembus napas yang tiap tarikan kini terasa berat. Ponsel kembali bergetar menyentak lamunan Nuraini. Masuk pesan dari Tommy yang mengirim foto sertifikat lengkap dengan namanya. [Aini, sebenarnya rumah itu untuk siapa?]Ponsel kembali bergetar menyentak lamunan Nuraini. Masuk pesan dari Tommy yang mengirim foto sertifikat lengkap dengan namanya. [Aini, sebenarnya rumah itu untuk siapa?] "Maaf Mas Tommy, kalo bisa antarkan kunci rumah dengan sertifikatnya hari ini?" balas Nuraini beralih telepon tanpa menjawab pertanyaan Tommy. Di seberang sana lelaki itu menghela napas, Nuraini mendengarnya karena ponsel begitu dekat di bibir. Maafkan aku Mas Tommy tidak bisa memberitahumu yang sebenarnya, batinnya sendu. "Baiklah, kalo itu maumu. Sebentar lagi akan Mas kirim."Nuraini menghentikan obrolan setelah mengucapkan terima kasih. Benar saja tak butuh lama dua puluh menit kemudian seorang kurir berteriak dari luar. "Paket!" Gegas Nuraini turun setelah memakai hijabnya, saat kakinya baru saja menapak di bawah pintu kamar terbuka. Fahri dan Melisa yang keluar dari kamar juga mendengar teriakan paket. "Kamu ada pesan barang, Nur?" tanya Fahri yang melihat istri pertamanya itu buru-buru ke depan. "Iya,
Tok, tok, tok! Nuraini terkejut ada yang mengetuk jendela mobilnya. Gegas dihapus air matanya dan membuka kacanya, terlihat seraut wajah lelaki dengan rahang mengetat. "Aini, kamu berhutang penjelasan pada Mas!" ujar lelaki itu yang tak lain adalah Tommy. "Mas Tommy?" "Ya, kamu harus jelaskan apa yang terjadi. Mas sudah melihat sendiri. Kamu beli rumah untuk Fahri, lalu siapa wanita itu?" Nuraini menghela napas, tidak mungkin lagi ditutupi semua kalo Tommy sudah tau. Dia merasa malu dengan keadaannya, pasti lelaki itu akan mencemoh dirinya yang tidak becus mengurus suami. "Aini?" panggil Tommy lagi karena dilihat wanita di depannya jadi melamun. "Jangan di sini, Mas! Kita cari tempat lain aja, di cafe misalnya. Aku akan jalan duluan, Mas naik mobil sendiri aja," ucap Nuraini akhirnya mengalah. "Baiklah, Mas ikuti mobil kamu dari belakang. Tapi kamu nggak apa-apa 'kan menyetir?" tanya Tommy cemas. Nuraini menggeleng dan tersenyum. Nuraini melesatkan roda empat itu dengan stabi
Ponsel berdering, Nuraini mengambil dari dalam tas kecil. Membuka layarnya ada notifikasi pesan masuk lewat aplikasi gagang hijau. Dari Mas Fahri, gumamnya pelan. Nuraini mengerutkan alisnya setelah membaca pesan itu. [Nur, Mas nggak nyangka kalo kamu mengusir Mas karena sudah punya lelaki lain. Kamu selingkuh ternyata, Mas kecewa sama kamu] ditambah emot sedih. Lekas Nuraini membalas pesan suaminya yang telah salah paham. [Mas, kamu salah. Aku nggak selingkuh, lelaki tadi itu adalah pemilik rumah yang aku beli dan dia datang untuk menagih pembayaran] Nuraini terpaksa berbohong tentang siapa Tommy. Dia tidak mau melibatkan lelaki parlente itu dengan masalah rumah tangganya dan Fahri tidak perlu tau juga siapa Tommy. Wanita berhijab itu meletakkan ponselnya di meja. Tommy yang sedari tadi memperhatikan menjadi penasaran siapa yang sudah mengirim pesan hingga membuat wanita di depannya itu mengerutkan alisnya. "Dari Mas Fahri," ucap Nuraini sebelum Tommy sempat bertanya. "Apa ka
"Ada yang mengirim pada Papa foto Fahri sedang memeluk wanita di sebuah pusat perbelanjaan. Katakan, apa benar ini Fahri?" Degh! Hati Nuraini mencelos saat Bram menunjukkan beberapa foto di ponselnya. Ranti juga terhenyak dari duduknya begitu matanya menatap foto menantunya itu. "Nak, ini benar Fahri suamimu?" tanya Ranti berusaha sabar. Wanita yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu tidak mau marah sebelum pasti tau yang sebenarnya. Nuraini hanya menunduk, haruskah dia mengatakan yang sejujurnya. Ingin disangkal pun foto itu sangat terlihat jelas, pelukan mesra mereka yang dua hari ini selalu diperlihatkan di depannya. "Kenapa diam? Benar ini Fahri 'kan?" Bram kembali bertanya dengan tegas. Lelaki yang masih nampak gagah itu begitu tidak menyukai pengkhianatan. "Katakan saja, Nak! Kami nggak akan menyalahkanmu," hibur Ranti setelah mendengar isakan Nuraini. Bram mendengkus, dia sudah menduga tanpa Nuraini menjawab dengan isakan saja itu artinya memang putrinya sedang meng
"Mama dan Papaku datang, mereka menanyakan Mas tapi aku bilang Mas lagi keluar kota," ucap Nuraini dibuat secemas mungkin agar Fahri tidak curiga. 'Degh! Bagaimana ini kalo mertuaku sampai tau aku menikah lagi. Pasti mereka akan mendepakku,' batin Fahri galau. "Mas, bagaimana bisa sekarang kamu pulang? Tapi jangan bawa Melisa," ucap Nuraini lirih. "Ehm, Mas nggak mungkin meninggalkan Melisa sendiri, Nur!" Nuraini menghela napas, dia sudah tau suaminya tidak bakal mau meninggalkan istri keduanya itu. Ranti dan Bram yang mendengarkan pun merasa geram. Sengaja Nuraini menelepon depan orang tuanya dengan mengaktifkan loudspeaker. "Ya sudah kalo kamu nggak mau, Mas! Aku akan bilang pada orang tuaku kalo kamu menikah lagi. Siap-siap aja menerima gugatan cerai," sergah Nuraini. "Jangan, Nur! Tolong beri Mas kesempatan, jangan bilang pada Papa dan Mama. Mas akan bujuk Melisa biar sementara dia tinggal sendiri dulu," pinta Fahri terdengar memelas. "Apa, Mas! Kamu mau meninggalkan aku?"
Tapi segera dicegat Fahri, "Apa, mereka di sini seminggu?" "Iya, soalnya orang tuaku super sibuk dan jarang ada waktu. Jadi, saat ini mereka sedang berlibur makanya menginap di sini. Kenapa, nggak rela pisah lama-lama dengan Melisa?" "Bukan, tapi kasihan kalo dia tinggal sendiri apalagi sedang hamil," keluh Fahri kacau. Sudah seperti ini pun kamu tetap tidak bisa berpaling dari Melisa, Mas. Kalo aku mau sekarang bisa saja mendepakmu tapi kalo semudah itu kamu pasti senang. Kamu harus merasakan penderitaan dulu seperti yang kurasakan, batin Nuraini mendengkus. Wanita muda itu membiarkan Fahri termenung di kamar lalu melangkah keluar. Hatinya sakit setiap kali dari mulut suaminya keluar tentang Melisa. Seolah-olah wanita perebut itu lebih penting dari dirinya. "Bagaimana Fahri?" tanya Ranti pelan setelah duduk di samping ibunya. "Dia terkejut saat Aini bilang Mama dan Papa mau menginap selama seminggu. Bukan itu aja, Mas Fahri malah mencemaskan Melisa di sana padahal kita tau oran
[Mas, kamu ngapain sih! Kenapa nggak angkat teleponku?] [Kok cuma dibaca aja] Kembali pesan masuk tapi cuma Nuraini baca saja. [Mas pasti lagi bersenang-senang dengan Nur 'kan. Jangan bilang Mas menyentuh dia] ditambah emot merajuk. Nuraini yang tergelitik pun ingin mengerjai Melisa. Dia berpura-pura menjadi Fahri. Gegas diketiknya balasan sebelum suaminya terbangun. [Iya, memangnya kenapa Mas menyentuh Nur? Dia masih istri Mas, kami baru saja memadu kasih. Mas sangat puas karena malam ini Nur begitu cantik dan menggairahkan] Nuraini cekikan saat mengetik pesan tersebut. Membayangkan Melisa pasti kepanasan di sana, wanita itu begitu senang sambil melirik Fahri yang terlelap. [Mas pasti bohong! Mas sudah janji nggak akan menyentuh Nur lagi sejak aku hamil] [Kalo nggak percaya, Mas akan kirim fotonya] Tidak lama foto Nuraini kirim setelah tanda silang biru berarti sudah dilihat Melisa. Cepat Nuraini hapus kembali agar Fahri tidak curiga. Benar saja ponsel berdering, Melisa memang
Melisa tambah kesal, sambil menunggu dipukul-pukulnya gerbang seraya teriak. "Mas Fahri, Mas ... Aku datang, buka gerbangnya!" Suara cempreng Melisa yang ribut membuat Ranti melongok dari pintu. Wanita itu melihat satpam berjalan ke arah rumah. "Siapa dia?" tanyanya pada satpam. "Katanya istri kedua Den Fahri, Nyonya! Ingin ketemu Den Fahri," lapor satpam. "Katakan aja Fahri nggak ada di sini, usir dia! Jangan sampai Fahri tau kedatangannya," titah Ranti lalu menutup pintu. Satpam segera kembali ke posnya lalu menyampaikan pesan majikannya pada Melisa. "Benarkan kalo saya istri kedua Mas Fahri!" "Maaf, Den Fahri nggak ada di rumah. Jadi, silakan anda pergi!" "Bohong! Mas Fahri pasti di rumah, dia masih tidur 'kan! Pak, biarkan saya masuk. Mas Fahri ... Mas bangun. Kalo nggak aku bongkar pada orang tua Nur tentang pernikahan kita!" teriak Melisa dengan lebih kencang. "Diam, kalo nggak saya pukul!" bentak satpam mengacungkan pentungan. Melisa yang melihatnya menciut, apalagi s
"Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga
Kala Nuraini masih tertidur, Ranti bergerak cepat. Menelepon seseorang yang biasa dia suruh mencari target. Sesuai petunjuk yang diberi Tono tadi. "Halo, kamu cari seseorang dengan nama Hendra di kampung Melati. Setelah dapat langsung interogasi, nanti kabari saya biar saya yang bicara melalui telepon," ucap Ranti lalu memutuskan sambungan telepon. "Pak Diman!" panggilnya pada Sang supir yang juga standby di rumah anaknya. Diman yang sedang mengobrol dengan satpam menoleh, mendengar namanya dipanggil datang tergopoh-gopoh. "Ya, Nyonya!" "Tolong kamu jaga tuan kamu di rumah sakit, jangan ada yang boleh masuk tanpa ijin saya. Kalo dia nekat hubungi saya, biar saya yang bicara!" "Baik, Nyonya! Siap laksanakan," jawab supir hormat. "Pergilah sekarang juga! Ini uangnya kamu ambil, jangan lupa beli bekal nasi biar kamu nggak bolak balik," pinta Ranti. Setelah mengucapkan terima kasih, Diman segera berlalu. Begitulah Ranti sebagai majikan tidak pernah pelit, jika menyuruh pasti dia a
"Mas, katakan kalo itu nggak benar? Nggak mungkin aku anaknya Papa Nur. Nggak mungkin ...!" jerit Melisa menjambak rambutnya. "Mel, tenanglah! Seharusnya kamu senang kalo memang kamu anaknya Bram," hibur Fahri. "Mana mungkin aku tenang, aku aja sangat membenci Nur. Aku nggak mau saudaraan dengannya, Mas!" "Sssttt, coba kamu pikir! Jika kamu anaknya Bram, kamu bisa nuntut harta gono gini. Bagaimanapun ada hak kamu di dalamnya, jadi kamu bisa bersaing dengan Nur," hasut Fahri tersenyum. Melisa mendongak, mencerna kata Fahri barusan. Benar, kalo dia menuntut harta gono gini pada Bram maka dia pun bisa merasakan kemewahan seperti Nuraini. Dia sudah bosan hidup dalam kesusahan terus, apalagi kini tengah mengandung seorang anak. Ya, sekarang itu satu-satunya jalan sebagai loncatan dirinya untuk kaya. Gaya hedon pun mulai berseliweran dalam kepalanya. Dia akan mengendarai mobil kemanapun dan shoping di Mall sepuasnya juga gabung dalam geng sosialitas kelas atas. Bibirnya melengkung mem
"Jangan lukai anakmu, anak ini benar anak Fahri tapi anak yang dikandung Melisa bukanlah anak Fahri," jelas Ranti membuat Nuraini dan Tommy kaget. "Lalu anak siapa, Mah?" "Anak yang dikandung Melisa itu anak perkosaan mantan pacarnya dulu!" "Apa, benarkah itu? Mama tau dari mana?" tanya Nuraini tak percaya. Ranti mengangguk menghela napas sebentar. "Saat di Bali itu, setelah Papamu dan Fatma ketahuan sedang bermain di kamar oleh Pak Tono. Seketika itu juga beliau menjatuhkan talak pada wanita yang menggilai Papamu. Setelah itu Pak Tono membeberkan semuanya pada Mama tentang Fatma dan juga Melisa. "Awalnya Mama juga kaget dan nggak ingin mempercayai tapi melihat bagaimana dulu kelakuan Fatma pasti menurun pada anaknya." "Kenapa baru sekarang Mama katakan, setelah Aini berkata akan menceraikan Mas Fahri?" Kini ada sedikit penyesalan dalam hati wanita yang tengah mengandung itu. "Mama rasa pun nggak akan ada pengaruh bila Fahri tau. Dia pasti nggak akan percaya pada ucapan Mama se