Ponsel kembali bergetar menyentak lamunan Nuraini. Masuk pesan dari Tommy yang mengirim foto sertifikat lengkap dengan namanya.
[Aini, sebenarnya rumah itu untuk siapa?] "Maaf Mas Tommy, kalo bisa antarkan kunci rumah dengan sertifikatnya hari ini?" balas Nuraini beralih telepon tanpa menjawab pertanyaan Tommy. Di seberang sana lelaki itu menghela napas, Nuraini mendengarnya karena ponsel begitu dekat di bibir. Maafkan aku Mas Tommy tidak bisa memberitahumu yang sebenarnya, batinnya sendu. "Baiklah, kalo itu maumu. Sebentar lagi akan Mas kirim."Nuraini menghentikan obrolan setelah mengucapkan terima kasih. Benar saja tak butuh lama dua puluh menit kemudian seorang kurir berteriak dari luar. "Paket!" Gegas Nuraini turun setelah memakai hijabnya, saat kakinya baru saja menapak di bawah pintu kamar terbuka. Fahri dan Melisa yang keluar dari kamar juga mendengar teriakan paket. "Kamu ada pesan barang, Nur?" tanya Fahri yang melihat istri pertamanya itu buru-buru ke depan. "Iya, Mas!" jawab Nuraini pendek. Kedua insan itu hanya diam memperhatikan Nuraini dari dalam rumah. Melisa yang selalu iri dengan kehidupan madunya pun merayu suaminya. "Mas, lihat tuh Mbak Nur enak bisa pesan barang-barang mahal. Aku mau dong, Mas!" rengeknya. "Iya, nanti kan kamu butuh baju dan perlengkapan bayi. Siapa tau Nur pesan untukmu," jawab Fahri enteng dan percaya bila paket itu berisi perlengkapan bayi. Mata bulat Melisa berbinar, kalo benar apa yang dikatakan suaminya alangkah mudahnya untuk memeras madunya itu. Dia sudah tak sabar Nuraini memberikan paket itu padanya. Saat Nuraini akan masuk, Melisa yang melihat di tangan madunya itu hanya berupa amplop coklat besar hatinya pun kecewa. Bayangan yang membuatnya tadi senang pupus sudah. "Mbak, kata Mas Fahri paket itu perlengkapan bayiku?" celetuk Melisa menunjuk. Perkataan Melisa barusan membuat wanita berhijab itu mendelik. Kenapa adik madunya itu begitu merasa dia akan belikan perlengkapan bayi. "Nggak kok! Kebutuhan kamu dan bayimu itu bukan tanggung jawabku tapi Mas Fahri. Iya 'kan Mas," ucap Nuraini menoleh ke suaminya. "Eh iya, Mas pikir pun tadi kamu mau belikan perlengkapan bayi untuk Melisa karena besok dia akan menempati rumah barunya," jawab Fahri gelagapan. "Oh iya, apakah kalian sudah berkemas? Besok pagi jam delapan kita akan berangkat." Usai berkata seperti itu Nuraini berlalu menuju kamarnya kembali. Sebenarnya dia sangat bosan di kamar terus tapi bila keluar dan melihat keduanya hatinya akan terluka. Jadi, mulai besok Nuraini tidak akan mendapati pemandangan yang membuatnya cemburu dan sedih lagi. Melisa sangat gembira setelah dikatakan besok sudah bisa pindah. Tak sabar untuk memberitahukan orang tua dan saudaranya. "Mau kemana, Mel?" tanya Fahri yang melihat istri keduanya jalan terburu-buru. "Mau nelepon orang tua, Mas. Besok sudah bisa ke rumah baru kita," jawab Melisa sambil lalu. Fahri hanya mengangguk tersenyum turut senang dengan kabar ini. Namun, sedetik kemudian wajahnya nampak kuyu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling dalam rumah. Setelah pindah nanti dia pasti merindukan rumah ini. Sudah tiga tahun bersama Nuraini, banyak kenangan yang telah mereka lalui. Bahkan segala ucapan dan perlakuannya masih diingat jelas dan saat bagian janjinya pada istri pertamanya untuk setia menyentak. Dirinya seakan tertampar telah melupakan janji itu. Dengan begitu egois telah menyakiti Nuraini dan menghadirkan Melisa ke dalam hidup mereka. Matanya berhenti menatap pintu kamar di lantai atas, pintu itu terbuka sedikit. Dia yakin Nuraini pasti sedang melihatnya dari dalam. Kenapa kamu menatap ke sini terus, Mas? Apakah kamu menyesal telah membuatku sakit? Ataukah kamu tidak rela meninggalkan rumah ini. Tapi aku tau kamu pasti bahagia bisa terus bersama Melisa, batin Nuraini sedih kemudian menutup pintu. Suara debum pintu kamar atas mengejutkan Fahri. Dia merasa Nuraini semakin menjaga jarak padanya. Fahri masih tidak percaya kalo wanita yang sudah mengangkat derajatnya itu begitu mudah menyuruhnya tinggal bersama Melisa. "Tapi ah sudahlah, lagian Nuraini juga tidak menuntut cerai dan itu masih mengamankan posisiku," gumam Fahri santai. *** Esoknya setelah sarapan mereka berangkat menuju perumahan. Lagi-lagi Nuraini harus bersabar saat Melisa minta duduk di depan sebelah Fahri. "Nggak apa-apa, Mas," ucap Nuraini mengalah. Melisa menunjukkan kemenangannya dengan tersenyum. Dia merasa bila di rumahnya bukan lagi madunya yang jadi ratu. Akan ditunjukkan pada Nuraini bahwa dia pun bisa berkuasa. Nuraini memberikan alamat rumah itu pada Fahri, mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah perumahan. Hati Melisa sudah senang melihat deretan rumah mewah yang besar dan bertingkat. "Ini benar rumahnya, Mbak?" tanya Melisa melongo tak percaya. Mobil berhenti sesuai petunjuk Nuraini yang tertawa dalam hati melihat ekspresi madunya. Melisa pikir mungkin rumah yang dibeli untuknya mewah seperti yang mereka lewati tadi. "Iya, sudah sampai. Ayo turun!" ucap Nuraini tersenyum. Fahri juga tak kalah terkejut, pasalnya rumah yang dibeli Nuraini hanya rumah biasa. Tidak bertingkat juga kecil. Tempatnya juga paling ujung hingga agak tersingkir dari rumah mewah lainnya. "Mas?" rengek Melisa akan protes. Tapi Fahri pun tidak tau harus bicara apa. Nuraini memberikan kunci rumah pada suaminya. "Bukalah, Mas! Mulai sekarang ini rumah kalian berdua." Fahri menerimanya dan membuka pintu begitu melihatnya hati keduanya kembali kecewa. Tiada perabotan apapun di dalamnya kosong melompong. "Mbak, kenapa rumahnya kecil begini juga nggak ada isinya lagi. Gimana kami bisa hidup di sini?" protes Melisa akhirnya. Nuraini melipat kedua tangannya di dada. "Kenapa, kamu nggak mau?" "Bukan sih, Mbak! Aku pikir rumahnya besar seperti yang lain. Ternyata kecil kek gini udah gitu nggak ada barang-barangnya," keluh Melisa. "Oh, kamu mau barang suruh Mas Fahri yang beli. Ingat, kebutuhanmu itu tanggung jawab Mas Fahri. Rumah sudah aku yang beli jadi sekarang segala apapun yang kamu perlukan minta aja sama suami. Aku harap kamu nggak mengeluh. Sebagaimana dulu Fahri masih susah begitu juga kalian mulai rumah tangga ini. Jadi, kamu jangan mau enaknya aja," jelas Nuraini panjang lebar. Lalu Nuraini beralih pada Fahri sambil menadahkan tangannya. "Oh iya Mas, sini kunci mobilnya. Mulai sekarang Mas nggak bisa naik mobil lagi." "Nggak bisa gitulah, Nur! Kalo Mas nggak ada mobil gimana mau kerja nanti? Sudahlah kamu ngasih rumah ini tanpa perabot tapi jangan ambil mobil juga." Kini giliran lelaki itu yang protes. "Mas, berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Kamu masih ingat saat akan menikahiku, dulu kamu itu nggak punya apa-apa tapi aku nggak protes. Malah dengan ikhlas aku berikan kamu segalanya tapi inilah balasanmu padaku. Jadi, Mas terima aja semua ini," ucap tegas Nuraini lalu mengambil kunci mobil dari tangan Fahri. "Aku mau pulang dan Mas masih tetap boleh pulang ke rumahku. Aku akan tetap melayani Mas seperti biasa, tapi maaf kalo untuk kebutuhan Melisa aku nggak bisa bantu lagi."Nuraini keluar rumah setelah berucap demikian. Hati Melisa mencelos, begitu juga dengan Fahri. Alamat hidupnya pasti akan menderita lagi, terbesit sedikit penyesalan dalam hatinya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dia hanya bisa pasrah. Walaupun Nuraini terlihat tegar di depan Fahri dan Melisa tidak dipungkiri ada rasa sedih yang mengalir. Suami yang begitu dicintainya bahkan lebih memilih tinggal bersama istri keduanya. Air mata dibiarkannya mengalir setelah duduk di dalam mobil. Nuraini akan mengemudikan sendiri mobilnya pulang. Menatap kembali ke arah rumah yang dibeli untuk madunya dengan perasaan hancur sebelum menghidupkan roda empat itu. Tok, tok, tok! Nuraini terkejut ada yang mengetuk jendela mobilnya. Gegas dihapus air matanya dan membuka kacanya, terlihat seraut wajah lelaki dengan rahang mengetat. "Aini, kamu berhutang penjelasan pada Mas!" ujar lelaki itu yang tak lain adalah Tommy.Tok, tok, tok! Nuraini terkejut ada yang mengetuk jendela mobilnya. Gegas dihapus air matanya dan membuka kacanya, terlihat seraut wajah lelaki dengan rahang mengetat. "Aini, kamu berhutang penjelasan pada Mas!" ujar lelaki itu yang tak lain adalah Tommy. "Mas Tommy?" "Ya, kamu harus jelaskan apa yang terjadi. Mas sudah melihat sendiri. Kamu beli rumah untuk Fahri, lalu siapa wanita itu?" Nuraini menghela napas, tidak mungkin lagi ditutupi semua kalo Tommy sudah tau. Dia merasa malu dengan keadaannya, pasti lelaki itu akan mencemoh dirinya yang tidak becus mengurus suami. "Aini?" panggil Tommy lagi karena dilihat wanita di depannya jadi melamun. "Jangan di sini, Mas! Kita cari tempat lain aja, di cafe misalnya. Aku akan jalan duluan, Mas naik mobil sendiri aja," ucap Nuraini akhirnya mengalah. "Baiklah, Mas ikuti mobil kamu dari belakang. Tapi kamu nggak apa-apa 'kan menyetir?" tanya Tommy cemas. Nuraini menggeleng dan tersenyum. Nuraini melesatkan roda empat itu dengan stabi
Ponsel berdering, Nuraini mengambil dari dalam tas kecil. Membuka layarnya ada notifikasi pesan masuk lewat aplikasi gagang hijau. Dari Mas Fahri, gumamnya pelan. Nuraini mengerutkan alisnya setelah membaca pesan itu. [Nur, Mas nggak nyangka kalo kamu mengusir Mas karena sudah punya lelaki lain. Kamu selingkuh ternyata, Mas kecewa sama kamu] ditambah emot sedih. Lekas Nuraini membalas pesan suaminya yang telah salah paham. [Mas, kamu salah. Aku nggak selingkuh, lelaki tadi itu adalah pemilik rumah yang aku beli dan dia datang untuk menagih pembayaran] Nuraini terpaksa berbohong tentang siapa Tommy. Dia tidak mau melibatkan lelaki parlente itu dengan masalah rumah tangganya dan Fahri tidak perlu tau juga siapa Tommy. Wanita berhijab itu meletakkan ponselnya di meja. Tommy yang sedari tadi memperhatikan menjadi penasaran siapa yang sudah mengirim pesan hingga membuat wanita di depannya itu mengerutkan alisnya. "Dari Mas Fahri," ucap Nuraini sebelum Tommy sempat bertanya. "Apa ka
"Ada yang mengirim pada Papa foto Fahri sedang memeluk wanita di sebuah pusat perbelanjaan. Katakan, apa benar ini Fahri?" Degh! Hati Nuraini mencelos saat Bram menunjukkan beberapa foto di ponselnya. Ranti juga terhenyak dari duduknya begitu matanya menatap foto menantunya itu. "Nak, ini benar Fahri suamimu?" tanya Ranti berusaha sabar. Wanita yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu tidak mau marah sebelum pasti tau yang sebenarnya. Nuraini hanya menunduk, haruskah dia mengatakan yang sejujurnya. Ingin disangkal pun foto itu sangat terlihat jelas, pelukan mesra mereka yang dua hari ini selalu diperlihatkan di depannya. "Kenapa diam? Benar ini Fahri 'kan?" Bram kembali bertanya dengan tegas. Lelaki yang masih nampak gagah itu begitu tidak menyukai pengkhianatan. "Katakan saja, Nak! Kami nggak akan menyalahkanmu," hibur Ranti setelah mendengar isakan Nuraini. Bram mendengkus, dia sudah menduga tanpa Nuraini menjawab dengan isakan saja itu artinya memang putrinya sedang meng
"Mama dan Papaku datang, mereka menanyakan Mas tapi aku bilang Mas lagi keluar kota," ucap Nuraini dibuat secemas mungkin agar Fahri tidak curiga. 'Degh! Bagaimana ini kalo mertuaku sampai tau aku menikah lagi. Pasti mereka akan mendepakku,' batin Fahri galau. "Mas, bagaimana bisa sekarang kamu pulang? Tapi jangan bawa Melisa," ucap Nuraini lirih. "Ehm, Mas nggak mungkin meninggalkan Melisa sendiri, Nur!" Nuraini menghela napas, dia sudah tau suaminya tidak bakal mau meninggalkan istri keduanya itu. Ranti dan Bram yang mendengarkan pun merasa geram. Sengaja Nuraini menelepon depan orang tuanya dengan mengaktifkan loudspeaker. "Ya sudah kalo kamu nggak mau, Mas! Aku akan bilang pada orang tuaku kalo kamu menikah lagi. Siap-siap aja menerima gugatan cerai," sergah Nuraini. "Jangan, Nur! Tolong beri Mas kesempatan, jangan bilang pada Papa dan Mama. Mas akan bujuk Melisa biar sementara dia tinggal sendiri dulu," pinta Fahri terdengar memelas. "Apa, Mas! Kamu mau meninggalkan aku?"
Tapi segera dicegat Fahri, "Apa, mereka di sini seminggu?" "Iya, soalnya orang tuaku super sibuk dan jarang ada waktu. Jadi, saat ini mereka sedang berlibur makanya menginap di sini. Kenapa, nggak rela pisah lama-lama dengan Melisa?" "Bukan, tapi kasihan kalo dia tinggal sendiri apalagi sedang hamil," keluh Fahri kacau. Sudah seperti ini pun kamu tetap tidak bisa berpaling dari Melisa, Mas. Kalo aku mau sekarang bisa saja mendepakmu tapi kalo semudah itu kamu pasti senang. Kamu harus merasakan penderitaan dulu seperti yang kurasakan, batin Nuraini mendengkus. Wanita muda itu membiarkan Fahri termenung di kamar lalu melangkah keluar. Hatinya sakit setiap kali dari mulut suaminya keluar tentang Melisa. Seolah-olah wanita perebut itu lebih penting dari dirinya. "Bagaimana Fahri?" tanya Ranti pelan setelah duduk di samping ibunya. "Dia terkejut saat Aini bilang Mama dan Papa mau menginap selama seminggu. Bukan itu aja, Mas Fahri malah mencemaskan Melisa di sana padahal kita tau oran
[Mas, kamu ngapain sih! Kenapa nggak angkat teleponku?] [Kok cuma dibaca aja] Kembali pesan masuk tapi cuma Nuraini baca saja. [Mas pasti lagi bersenang-senang dengan Nur 'kan. Jangan bilang Mas menyentuh dia] ditambah emot merajuk. Nuraini yang tergelitik pun ingin mengerjai Melisa. Dia berpura-pura menjadi Fahri. Gegas diketiknya balasan sebelum suaminya terbangun. [Iya, memangnya kenapa Mas menyentuh Nur? Dia masih istri Mas, kami baru saja memadu kasih. Mas sangat puas karena malam ini Nur begitu cantik dan menggairahkan] Nuraini cekikan saat mengetik pesan tersebut. Membayangkan Melisa pasti kepanasan di sana, wanita itu begitu senang sambil melirik Fahri yang terlelap. [Mas pasti bohong! Mas sudah janji nggak akan menyentuh Nur lagi sejak aku hamil] [Kalo nggak percaya, Mas akan kirim fotonya] Tidak lama foto Nuraini kirim setelah tanda silang biru berarti sudah dilihat Melisa. Cepat Nuraini hapus kembali agar Fahri tidak curiga. Benar saja ponsel berdering, Melisa memang
Melisa tambah kesal, sambil menunggu dipukul-pukulnya gerbang seraya teriak. "Mas Fahri, Mas ... Aku datang, buka gerbangnya!" Suara cempreng Melisa yang ribut membuat Ranti melongok dari pintu. Wanita itu melihat satpam berjalan ke arah rumah. "Siapa dia?" tanyanya pada satpam. "Katanya istri kedua Den Fahri, Nyonya! Ingin ketemu Den Fahri," lapor satpam. "Katakan aja Fahri nggak ada di sini, usir dia! Jangan sampai Fahri tau kedatangannya," titah Ranti lalu menutup pintu. Satpam segera kembali ke posnya lalu menyampaikan pesan majikannya pada Melisa. "Benarkan kalo saya istri kedua Mas Fahri!" "Maaf, Den Fahri nggak ada di rumah. Jadi, silakan anda pergi!" "Bohong! Mas Fahri pasti di rumah, dia masih tidur 'kan! Pak, biarkan saya masuk. Mas Fahri ... Mas bangun. Kalo nggak aku bongkar pada orang tua Nur tentang pernikahan kita!" teriak Melisa dengan lebih kencang. "Diam, kalo nggak saya pukul!" bentak satpam mengacungkan pentungan. Melisa yang melihatnya menciut, apalagi s
Pukul setengah delapan Nuraini dan keluarga sudah tiba di bandara. Menjejakkan kaki masuk ke dalam sambil menyeret koper menuju tempat penyimpanan tas dan koper. "Mas Fahri ...!" Fahri membulatkan matanya setelah tau siapa yang memanggil. Seketika langkah mereka terhenti melihat seorang wanita memanggil lalu mendekati Fahri. Lelaki itu jadi salah tingkah dan menoleh ke arah Nuraini yang melongo. Wangi parfum yang dikenakan wanita itu tercium begitu dekat. Ranti dan Bram memicingkan mata karena tidak mengenalnya tapi sebersit kecurigaan melanda dalam hati mereka. "Siapa dia, Fahri?" tanya Ranti. "Ehm, kenalkan Tan saya ____" Belum selesai bicara, tangan wanita itu ditarik Fahri keluar. "Mah, Pah, kalian duluan masuk nanti Fahri menyusul. Nur, kamu temani mereka!" desaknya lalu secepatnya membawa wanita itu keluar. "Mah, Pah, Aini mau melihat Mas Fahri. Mama sama Papa nggak apa-apa 'kan di dalam dulu?" "Nggak apa-apa, pergilah! Takutnya nanti Fahri batal berangkat." Setelah men
"Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga
Kala Nuraini masih tertidur, Ranti bergerak cepat. Menelepon seseorang yang biasa dia suruh mencari target. Sesuai petunjuk yang diberi Tono tadi. "Halo, kamu cari seseorang dengan nama Hendra di kampung Melati. Setelah dapat langsung interogasi, nanti kabari saya biar saya yang bicara melalui telepon," ucap Ranti lalu memutuskan sambungan telepon. "Pak Diman!" panggilnya pada Sang supir yang juga standby di rumah anaknya. Diman yang sedang mengobrol dengan satpam menoleh, mendengar namanya dipanggil datang tergopoh-gopoh. "Ya, Nyonya!" "Tolong kamu jaga tuan kamu di rumah sakit, jangan ada yang boleh masuk tanpa ijin saya. Kalo dia nekat hubungi saya, biar saya yang bicara!" "Baik, Nyonya! Siap laksanakan," jawab supir hormat. "Pergilah sekarang juga! Ini uangnya kamu ambil, jangan lupa beli bekal nasi biar kamu nggak bolak balik," pinta Ranti. Setelah mengucapkan terima kasih, Diman segera berlalu. Begitulah Ranti sebagai majikan tidak pernah pelit, jika menyuruh pasti dia a
"Mas, katakan kalo itu nggak benar? Nggak mungkin aku anaknya Papa Nur. Nggak mungkin ...!" jerit Melisa menjambak rambutnya. "Mel, tenanglah! Seharusnya kamu senang kalo memang kamu anaknya Bram," hibur Fahri. "Mana mungkin aku tenang, aku aja sangat membenci Nur. Aku nggak mau saudaraan dengannya, Mas!" "Sssttt, coba kamu pikir! Jika kamu anaknya Bram, kamu bisa nuntut harta gono gini. Bagaimanapun ada hak kamu di dalamnya, jadi kamu bisa bersaing dengan Nur," hasut Fahri tersenyum. Melisa mendongak, mencerna kata Fahri barusan. Benar, kalo dia menuntut harta gono gini pada Bram maka dia pun bisa merasakan kemewahan seperti Nuraini. Dia sudah bosan hidup dalam kesusahan terus, apalagi kini tengah mengandung seorang anak. Ya, sekarang itu satu-satunya jalan sebagai loncatan dirinya untuk kaya. Gaya hedon pun mulai berseliweran dalam kepalanya. Dia akan mengendarai mobil kemanapun dan shoping di Mall sepuasnya juga gabung dalam geng sosialitas kelas atas. Bibirnya melengkung mem
"Jangan lukai anakmu, anak ini benar anak Fahri tapi anak yang dikandung Melisa bukanlah anak Fahri," jelas Ranti membuat Nuraini dan Tommy kaget. "Lalu anak siapa, Mah?" "Anak yang dikandung Melisa itu anak perkosaan mantan pacarnya dulu!" "Apa, benarkah itu? Mama tau dari mana?" tanya Nuraini tak percaya. Ranti mengangguk menghela napas sebentar. "Saat di Bali itu, setelah Papamu dan Fatma ketahuan sedang bermain di kamar oleh Pak Tono. Seketika itu juga beliau menjatuhkan talak pada wanita yang menggilai Papamu. Setelah itu Pak Tono membeberkan semuanya pada Mama tentang Fatma dan juga Melisa. "Awalnya Mama juga kaget dan nggak ingin mempercayai tapi melihat bagaimana dulu kelakuan Fatma pasti menurun pada anaknya." "Kenapa baru sekarang Mama katakan, setelah Aini berkata akan menceraikan Mas Fahri?" Kini ada sedikit penyesalan dalam hati wanita yang tengah mengandung itu. "Mama rasa pun nggak akan ada pengaruh bila Fahri tau. Dia pasti nggak akan percaya pada ucapan Mama se