Kala Nuraini masih tertidur, Ranti bergerak cepat. Menelepon seseorang yang biasa dia suruh mencari target. Sesuai petunjuk yang diberi Tono tadi. "Halo, kamu cari seseorang dengan nama Hendra di kampung Melati. Setelah dapat langsung interogasi, nanti kabari saya biar saya yang bicara melalui telepon," ucap Ranti lalu memutuskan sambungan telepon. "Pak Diman!" panggilnya pada Sang supir yang juga standby di rumah anaknya. Diman yang sedang mengobrol dengan satpam menoleh, mendengar namanya dipanggil datang tergopoh-gopoh. "Ya, Nyonya!" "Tolong kamu jaga tuan kamu di rumah sakit, jangan ada yang boleh masuk tanpa ijin saya. Kalo dia nekat hubungi saya, biar saya yang bicara!" "Baik, Nyonya! Siap laksanakan," jawab supir hormat. "Pergilah sekarang juga! Ini uangnya kamu ambil, jangan lupa beli bekal nasi biar kamu nggak bolak balik," pinta Ranti. Setelah mengucapkan terima kasih, Diman segera berlalu. Begitulah Ranti sebagai majikan tidak pernah pelit, jika menyuruh pasti dia a
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
"Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
"Nur, buka pintunya!" Ketukan pintu depan terdengar di saat wanita yang bergelar istri itu sedang beribadah. Setelah salam, gegas dia turun ke lantai bawah. Hatinya bertanya-tanya siapa yang datang pada siang hari terik seperti ini. "Mas?" Tatapan kaget Nuraini menyambut suaminya di depan pintu terpampang jelas. Namun, bukan saja waktunya yang tidak biasa lelaki itu pulang kerja. Melainkan dengan sosok wanita di belakang suaminya itu. Tanpa peduli dengan keheranan istrinya, Fahri langsung masuk begitu saja dengan menggenggam tangan wanita yang dibawanya. Lalu mereka duduk di sofa ruang tamu. Nuraini yang masih belum mengerti siapa wanita yang datang bersama Fahri pun tetap bersabar. Diambilnya dua gelas air minum seperti yang biasa ia lakukan kala suaminya pulang kerja. "Minum airnya, Mas, Mbak!" pinta Nuraini. Netranya menatap wanita di samping Fahri dengan penuh tanda tanya. Pandangannya lalu beralih pada tangan keduanya yang saling menggenggam erat. Jauh di lubuk hati Nurai
"Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga
Kala Nuraini masih tertidur, Ranti bergerak cepat. Menelepon seseorang yang biasa dia suruh mencari target. Sesuai petunjuk yang diberi Tono tadi. "Halo, kamu cari seseorang dengan nama Hendra di kampung Melati. Setelah dapat langsung interogasi, nanti kabari saya biar saya yang bicara melalui telepon," ucap Ranti lalu memutuskan sambungan telepon. "Pak Diman!" panggilnya pada Sang supir yang juga standby di rumah anaknya. Diman yang sedang mengobrol dengan satpam menoleh, mendengar namanya dipanggil datang tergopoh-gopoh. "Ya, Nyonya!" "Tolong kamu jaga tuan kamu di rumah sakit, jangan ada yang boleh masuk tanpa ijin saya. Kalo dia nekat hubungi saya, biar saya yang bicara!" "Baik, Nyonya! Siap laksanakan," jawab supir hormat. "Pergilah sekarang juga! Ini uangnya kamu ambil, jangan lupa beli bekal nasi biar kamu nggak bolak balik," pinta Ranti. Setelah mengucapkan terima kasih, Diman segera berlalu. Begitulah Ranti sebagai majikan tidak pernah pelit, jika menyuruh pasti dia a
"Mas, katakan kalo itu nggak benar? Nggak mungkin aku anaknya Papa Nur. Nggak mungkin ...!" jerit Melisa menjambak rambutnya. "Mel, tenanglah! Seharusnya kamu senang kalo memang kamu anaknya Bram," hibur Fahri. "Mana mungkin aku tenang, aku aja sangat membenci Nur. Aku nggak mau saudaraan dengannya, Mas!" "Sssttt, coba kamu pikir! Jika kamu anaknya Bram, kamu bisa nuntut harta gono gini. Bagaimanapun ada hak kamu di dalamnya, jadi kamu bisa bersaing dengan Nur," hasut Fahri tersenyum. Melisa mendongak, mencerna kata Fahri barusan. Benar, kalo dia menuntut harta gono gini pada Bram maka dia pun bisa merasakan kemewahan seperti Nuraini. Dia sudah bosan hidup dalam kesusahan terus, apalagi kini tengah mengandung seorang anak. Ya, sekarang itu satu-satunya jalan sebagai loncatan dirinya untuk kaya. Gaya hedon pun mulai berseliweran dalam kepalanya. Dia akan mengendarai mobil kemanapun dan shoping di Mall sepuasnya juga gabung dalam geng sosialitas kelas atas. Bibirnya melengkung mem
"Jangan lukai anakmu, anak ini benar anak Fahri tapi anak yang dikandung Melisa bukanlah anak Fahri," jelas Ranti membuat Nuraini dan Tommy kaget. "Lalu anak siapa, Mah?" "Anak yang dikandung Melisa itu anak perkosaan mantan pacarnya dulu!" "Apa, benarkah itu? Mama tau dari mana?" tanya Nuraini tak percaya. Ranti mengangguk menghela napas sebentar. "Saat di Bali itu, setelah Papamu dan Fatma ketahuan sedang bermain di kamar oleh Pak Tono. Seketika itu juga beliau menjatuhkan talak pada wanita yang menggilai Papamu. Setelah itu Pak Tono membeberkan semuanya pada Mama tentang Fatma dan juga Melisa. "Awalnya Mama juga kaget dan nggak ingin mempercayai tapi melihat bagaimana dulu kelakuan Fatma pasti menurun pada anaknya." "Kenapa baru sekarang Mama katakan, setelah Aini berkata akan menceraikan Mas Fahri?" Kini ada sedikit penyesalan dalam hati wanita yang tengah mengandung itu. "Mama rasa pun nggak akan ada pengaruh bila Fahri tau. Dia pasti nggak akan percaya pada ucapan Mama se