Mata Hana melotot, mendapati siapa yang menghampirinya kini. Sontak, dengan cepat ia mendorong Justin yang masih berada di atas badannya, hingga menyingkir. Setelah itu ia segera beranjak dari tempat tidur dengan tampang cemas.
"Papa," ujarnya menghampiri seorang laki-laki paruh baya."Apa yang kamu lakukan?!" tanya laki-laki paruh baya itu dengan wajah penuh emosi. Bagaimana ia tak emosi, mendapati anak gadisnya malah beradegan seperti itu di depan matanya sendiri. Mending kalau hanya dapat info dari orang lain, lah ini justru melihat langsung."Aku nggak lakuin apa-apa, Pa," jawab Hana. "Dia yang bikin masalah buatku," tambahnya menunjuk kearah Justin yang masih duduk di pinggiran tempat tidur dengan ekspressi santai, seolah tak sedang terjadi masalah apa-apa.Emil, papanya Hana menatap tajam kearah Justin. Perlahan melangkah untuk semakin mendekat. Tapi tiba-tiba dahinya berkerut saat memikirkan sesuatu ketika mendapati siapa yang sedang berhadapan dengannya kini."Kamu Justin, kan?""Benar," jawab Justin singkat.Rasanya ia ingin meluapkan rasa emosinya pada Justin saat mengingat kejadian barusan. Tapi semua rasa itu seolah terhenti ketika mengingat siapa sosok Justin sebenarnya."Ada masalah?" tanya Justin balik pada Emil."Apa yang kamu lakukan pada putri saya?!"Justin beranjak dari duduknya, kemudian berdiri dihadapan Emil. "Saya nggak melakukan apa-apa dan ini juga bukan salah saya. Tanya pada putri Anda, kenapa ini semua bisa terjadi?""Yang benar saja kalian menyalahkan Justin untuk masalah ini. Sudah jelas sekali kalau gadis ini yang menggodanya. Kalian benar-benar membuat masalah dalam keluarga saya!"Alice muncul lagi, karena masih tak terima kalau Justin berurusan dengan Hana. Apalagi cowok itu malah memilih dia. Lalu, bagaimana nasibnya selanjutnya?"Diam! Ini bukan urusanmu!" bentak Justin pada Alice.Alice memang takut pada Justin, tapi untuk urusan kali ini ia tak mau ambil resiko terburuk. "Justin, aku berhak ikut campur untuk masalah ini, karena aku ..."Perkataan Alice terhenti seketika saat tatapan tajam itu mengarah padanya. Seperti sebuah badai yang menghentikan langkahnya tiba-tiba."Justin, jangan membentak Alice seperti itu lagi. Ingat, dia itu ...""Semuanya bisa diam, tidak! Atau silahkan keluar dari kamarku!!"Oke ... semuanya diam saat Justin sudah mengeluarkan suaranya. Bahkan, orang tuanya dibuat terdiam. Bukan apa-apa, hanya saja mereka tahu seperti apa watak Justin yang kalau semakin dilawan dan dibantah, justru akan semakin menjadi-jadi. Dia tak akan melihat status sekalipun saat emosi."Han, jelasin sama Papa apa yang sebenarnya terjadi?! Dan jangan katakan kalau kamu sudah melakukan kesalahan terbesar itu!"Ia pastikan dirinya akan habis kena marah sama papanya. Ini bukan hanya larangan pacaran yang dilanggarnya, tapi lebih parah lagi. Jangan sampai dirinya didepak dari silsilah keluarga hanya karena kesalahan yang nggak jelas ini."Hana!" Bentak Emil saat Hana masih diam membatu."Aku nggak lakuin apa-apa, Pa. Beneran," ungkapnya memastikan. Tapi entahlah, ia juga tak tahu apa yang sudah terjadi."Apa yang kamu katakan!? Kamu mau membuat nama orang tuamu dan keluargamu buruk di mata semua orang. Begitukah?""Papa ... semalam aku mabuk dan salah masuk kamar. Tapi aku pastikan antara aku dan dia," tunjuknya kearah Justin yang masih diam tanpa rasa cemas. "Nggak terjadi apa-apa. Aku yakin itu."Mendengar penjelasan Hana, langsung saja ia layangkan tamparan kearah wajah gadis itu. Tapi terhenti saat Justin justru menahannya tangannya."Jangan lakukan itu pada Hana," komentar Justin.Kalau Hana salah, mungkin ia akan biarkan tamparan mendarat di pipi gadis itu, tapi di sini dia hanya melakukan kesalahan kecil. Hanya salah masuk kamar. Dan ia juga tak melakukan apa-apa pada Hana, pun sebaliknya. Hanya saja di saat semua orang muncul, keduanya sedang beradegan mesra. Itulah yang jadi pemicu.Kebayang, kan, gimana tampang juteknya Alice saat mendapati sikap baik Justin pada Hana? Bahkan sebagai wanita terdekat dalam kehidupan Justin, ia tak pernah diperlakukan sebaik itu."Saya tahu kalau ini salah, tapi jangan melakukan kekerasan itu padanya. Lagian, saya juga nggak melakukan apa-apa pada Hana. Dan itu saya pastikan." Justin meyakinkan Emil.Emil memandang ketus kearah Justin. "Mendapati putrinya berada di dalam satu kamar dengan seorang laki-laki, bahkan sedang beradegan ..." Ia tak bisa mengucapkan perkataan itu. "Apa menurutmu sebagai orang tua, saya tak merasa cemas? Dia itu seorang gadis, masih SMA ... meskipun tak melakukan hal yang lebih, tetap saja namanya sudah dipandang buruk!" jelas Emil.Hana mulai menangis. "Tapi beneran, Pa ... aku nggak lakuin apa-apa." Ia tak menyangka jika masalah ini dampaknya begitu buruk. Kalau tahu begini, mending tadi tak menelepon papanya."Diam! Pernyataanmu bahkan tak mempengaruhi penilaian Papa padamu, Hana!""Sudah saya katakan, jangan membentaknya lagi!" Kali ini Justin merasa tak rela saja kalau Hana dimarahi, meski oleh orang tuanya sekalipun.Emil menarik lengan Hana dengan kasar dari pegangan Justin, kemudian memandang dingin pada cowok itu. "Saya tahu kalau kamu punya pengaruh besar dalam bisnis, tapi untuk urusan pribadi, tetap saja itu beda arah!"Setelah menyatakan rasa sakit hatinya itu, Emil membawa paksa Hana dari sana dengan paksa. Bahkan ia mencengkeram tangan putrinya itu, bentuk rasa marahnya."Sakit, Pa," isaknya saat cengkeraman papanya terasa menyakitkan di lengannya.Seperginya Emil dan Hana dari sana, Alice mendekati Justin yang masih berdiri diam di posisinya."Kamu lihat, kan, sekarang? Bahkan papanya saja memandangnya buruk. Sementara kamu seolah terus membelanya tanpa memikirkan perasaanku." Menyentuh wajah Justin dengan lembut, tapi sikapnya malah dibalas kasar oleh Justin yang menyentakkaan tangannya.Justin masih diam. Pikirannya seolah fokus pada Hana."Apa yang terjadi padamu? Apa yang telah dia lakukan padamu hingga membuatmu lupa diri? Ini baru beberapa jam dan kamu sudah berhasil dipengaruhi oleh gadis SMA itu!"Tadinya tak menghiraukan ocehan Alice, tapi makin dibiarkan justru mulut wanita ini seakan-akan tak berniat diam.Menatap ke arah orang tuanya. "Ma, Pa ... tolong bawa dia pergi dari sini sebelum sesuatu yang buruk ku lakukan padanya!""Justin!" Bentakan itu berasal dari papanya Alice."Sekarang!" Matanya memerah menatap tajam kearah laki laki paruh baya yang sepertinya tak rela saat Alice ia perlakuan buruk.Iya, bentakannya itu membuat orang tuanya dan orang tua Alice segera berlalu dari sana. Termasuk Alice yang masih tak terima dengan perlakuan Justin padanya.****Emil menyeret Hana hingga ke dalam kamar yang berada di lantai dua. Beberapa kali gadis itu terjerembab atas tarikan Emil, tapi dengan tanpa rasa kasihan dia menarik kembali gadis itu hingga berdiri.Arini yang saat itu berada di kamar langsung bergegas mengikuti langkah anak dan suaminya menuju lantai atas. Apalagi tangisan Hana begitu jelas terdengar, membuat rasa penasarannya semakin menjadi."Ada apa ini? Kenapa memperlakukan Hana seperti itu?" tanya Arini tampak kesal pada suaminya."Tanya pada putrimu, apa yang sudah dia lakukan," ungkap Emil menunjuk kearah gadis yang kini terduduk di lantai kamar sambil menangis.Arini menghampiri Hana. "Ada apa, sih, Han? Bilang sama Mama.""Ma, aku ...""Putri satu-satunya di rumah ini, melakukan kebodohan yang membuat hidupnya hancur. Bahkan keluarga kita akan ikut hancur gara gara kelakuannya!""Apa?" Arini semakin dibuat bingung."Dia berada dalam satu kamar dengan seorang laki-laki. Dan kamu tau apa yang ku dapati saat masuk? Mereka malah sedang beradegan ..." Ia memijit pelipisnya. Kepalanya seakan mau meledak mengingat kejadian itu. Berharap penampakan itu hilang dari ingatannya.Arini kini memandang kearah Hana. "Apa benar itu, Han?" tanyanya seolah tak percaya. Bahkan berharap ini semua nggak benar.Tangis Hana semakin menjadi-jadi. "Enggak, Ma ... aku nggak lakuin apapun. Aku hanya salah masuk kamar dan ...""Jadi, apa menurutmu yang Papa dapati saat masuk tadi adalah sebuah kebohongan. Begitukah?"Arini benar-benar merasa shock dengan kejadian ini. Berharap Hana akan menjadi gadis yang benar, justru malah membuat masalah besar. Ia memang tak menyaksikan langsung, tapi mendengar kalau suaminya bicara begitu tentu saja ia percaya."Dan asal kamu tahu, laki-laki yang bersamanya adalah Justin," tambah Emil mengungkapkan."Apa?!" Arini kaget.Bukan apa-apa, hanya saja Justin bukan orang sembarangan dalam bidang bisnis. Untuk itulah, semua bisnismen pasti mengenalnya ... yang kalau bermasalah dengan dia, pasti akan dibuat kalah telak. Tapi sekarang justru Hana malah menciptakan masalah itu dengan Justin."Apa semua orang mengetahui kejadian ini?" tanya Arini pada Emil."Keluarga dia ada di sana saat kejadian.""Astaga, Hana! Jujur saja, Mama kecewa sama kamu! Karena masalah ini, kamu sudah membuat keluarga kita bermasalah dengan orang yang tak tepat. Semuanya hancur!"Saking kesalnya, Arini sampai mengumpat pada Hana habis habisan. Ia seolah melupakan kalau gadis yang masih menangis itu adalah putrinya."Tapi aku nggak lakuin hal apapun sama dia, Ma. Bahkan sampai saat inipun ku pastikan kalau aku masih gadis," jelas Hana memastikan."Meskipun begitu kenyataannya, tapi tetap saja tak semua orang bisa berpikiran positive! Mana ada gadis baik-baik berada dalam satu kamar dengan seorang laki-laki! Pikir dong, Hana ... pikir!"Emil menarik napasnya panjang, berusaha menahan emosinya agar tak makin menjadi."Mulai sekarang, kamu nggak boleh keluar dari kamar! Nggak akan ada lagi shooping, jalan-jalan, apalagi sekolah! Diam di kamar adalah hukuman yang harus kamu jalani, Hana!"Arini melangkah keluar dari sana diikuti oleh Emil. Tak hanya itu, dari luar keduanya bahkan mengunci pintu kamar.Apalagi yang ia lakukan kini kalau bukan menangis. Ya, menangisi kebodohan yang telah dilakukannya. Menyesal karena menghubungi papanya. Berharap membantu, justru masalahnya bertambah besar.Sekarang apalagi kalau bukan hanya diam di kamar layaknya seorang penjahat yang di penjara karena sudah melakukan tindakan kejahatan. Menghabiskan hari-hari penuh kebosanan sampai mati. Ia akan mati konyol di kamar ini.Pagi ini Justin selesai dengan setelan kantor yang sudah menutupi tubuh atletisnya. Setelah kejadian menghebohkan semalam, membuatnya tak berminat untuk melanjutkan tidur di hotel itu dan memilih kembali ke rumah."Pagi," sapa Alice dengan senyuman manisnya, menyambut Justin yang hendak sarapan. "Buang jauh-jauh senyumanmu itu," balasnya menanggapi sikap Alice yang baginya itu tak akan membuatnya luluh. Jangankan luluh, bahkan mengedarkan pandangan pada dia saja seakan membuat harinya menjadi buruk.Alice memasang wajah ketus dengan sikap Justin. "Kenapa, sih, sikapmu begitu terus padaku? Apa aku ada salah?"Justin tersenyum licik. "Masih bertanya kenapa? Perlukah aku menyebutkan satu persatu kesalahanmu?!"Alice menarik napasnya berat seolah mencoba bersabar dengan sikap buruk Justin padanya. Ini hampir satu tahun dan dirinya masih saja didinginkan oleh laki-laki ini. Bahkan laki-laki lain rela antri untuk mendapatkan dirinya, sedangkan Justin malah sebaliknya."Buka mulutmu," pinta
Justin, dialah yang mereka dapati tengah berdiri dibelakang keduanya."Ini urusan keluarga saya, jadi jangan ikut campur!"Justin tak membalas perkataan Emil. Ia berjalan melewati sepasang suami istri itu dan mendekati Hana yang masih terduduk di lantai. Membantu gadis itu untuk kembali bangkit, kemudian membawa dia berdiri berhadap-hadapan dengan Emil dan Arini."Dia begini, juga karena saya. Jadi, ini juga termasuk urusan saya!"Emil marah saat Justin memegang tangan putrinya. Berniat menyingkirkan pegangan itu, tapi Justin malah menghentakkan tangannya dengan kasar."Apa yang kamu lakukan?!""Jangan menyakitinya lagi!" Emosi Justin mulai kesal dengan sikap Emil pada Hana."Dia putri saya!"Entah apa yang kini tengah dipikirkan Justin, hingga ia bisa bersikap seperti itu. Dan yang membingungkan, kenapa rasanya tak rela saja melihat perlakuan buruk Emil pada Hana. Ambisinya untuk melindungi gadis ini tiba-tiba saja meningkat. Aneh, bukan?Ia melirik kearah Hana yang memang juga berus
Hana terus berontak saat empat orang wanita sedang menyerangnya. Bagaimana tidak, mereka dengan seenaknya menanggalkan pakaiannya dan memaksanya untuk mandi. Apa-apaan banget, kan. Dikira ia anak kecil yang harus dibantuin membuka pakaian."Apa harus kami bantu mandinya, Nona?""Nggak usah!" bentaknya."Baiklah, kalau begitu kami akan menunggu di sini untuk membantu mengenakan pakaian Anda," jelas salah satu dari mereka.Hana memasang wajah kesal. "Keluar sekarang!" bentaknya meminta keempat wanita itu untuk pergi."Maaf, Nona ... Tuan meminta kami untuk menyiapkan Anda."Menyiapkan katanya? Dikira dirinya sejenis makanan cepat saji yang harus disiapkan."Keluar sekarang!" Bentakan itu kembali ia ucapkan. Dan kali ini mereka setuju dan melangkah keluar dari kamar itu.Hana menutup pintu kamar dengan kasar dan menghentak-hentakkan kakinya sambil berteriak-teriak kesetanan. Jujur saja, ini sepertinya ia sudah mulai gila. Apa-apaan laki-laki mesum itu ... membawanya dengan paksa dan seka
Justin mendekat kearah Hana. Tadi saat Alice berada di sana, dia hanya melonggarkan satu kancing kemejanya, tapi sekarang lihatlah, dia malah menanggalkan benda itu dari tubuhnya."Om, jangan melakukan apapun padaku!" teriak Hana mendorong Justin yang mendekat padanya. Bagaimana ia tak histeris dengan sikap Justin yang seperti itu."Han ... aku sudah memintamu untuk bersiap dari tadi tadi pagi dan kini sudah sore haripun kamu masih seperti ini. Apalagi kalau bukan menungguku yang harus turun tangan menyiapkanmu."Matilah ia kini. Itulah yang ada dalam pikiran Hana saat berhadapan dengan Justin. Demi apa jika sampai cowok ini bersikap aneh aneh padanya. Mana sampai buka baju lagi. Aduh, matanya sudah tak baik-baik saja saat ini.Justin menarik Hana menuju kamar mandi, meskipun gadis itu terus berteriak-teriak menolak."Jangan bilang kalau Om mau mandiin aku?" Hanya menebak."Tepat sekali," sahut Justin."Aku nggak mau! Aku bisa mandi sendiri, Om!" Teriak Hana."Telat! Kenapa saat aku s
Dalam perjalanan, Hana terus bertanya dan bertanya kemana dirinya akan dibawa. Tapi Justin seolah tak berminat untuk menjawab pertanyaannya. Jangan-jangan ini om-om mau membawanya ke tempat penjualan anak? Duh, yang benar saja kalau iya.Mobil kini berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar. Tak jauh berbeda dengan rumah milik laki laki ini. Pikiran Hana mulai berkecamuk, karena antara rasa takut dan penasaran seolah jadi satu di dalam otaknya."Ini rumah siapa, Om?" tanya Hana saat Justin memaksanya untuk turun dan masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. Padahal tinggal menjawab, apakah jawabannya begitu sulit?Sampai di dalam, ia langsung memasang ekspressi kaget. Ada beberapa orang di sana yang sedang mengarahkan pandangan padanya. Parahnya lagi, di antara mereka semua ada kedua orang tuanya juga."Loh, Mama sama Papa kok ada di sini?" tanyanya bingung.Ia memang senang bercampur haru, tapi tentu saja masih bingung dengan semua ini. Nggak mungkin, ka
Tak ingin panik, tak ingin cemas dan berharap tak ingin menghiraukan keadaan Justin. Entah kenapa rasanya kok sulit sekali ia lakukan. Bahkan rasanya seolah tak ingin beranjak sebelum dia sadarkan diri. Setidaknya ia akan ada di sini hingga Alice datang.Duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Justin, kini matanya justru memandang kearah cincin yang melingkar di jari manisnya. Kemudian beralih pada cincin yang ada di jari cowok yang belum sadarkan diri itu. Berniat menyentuh tangan dia, tapi dorongan pintu dengan kasar membuatnya tersentak kaget."Justin! Kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu, sih?"Hana sampai menutup kedua telinganya saat mendengar rentetan panjang dengan volume level tinggi itu. Ya, siapa lagi yang punya mulut serombeng itu kalau bukan Alice.Kini fokus Alice beralih pada Hana dan berjalan mendekat. "Kamu ... pasti semua gara-gara kamu! Benar, kan? Apa yang kamu lakukan pada Justin?! Dasar gadis penggoda! Perusak rumah tangga orang. Harusnya kamu tak data
Justin melepaskan Hana dari pelukannya, memastikan keadaan gadis yang tiba-tiba saja membuatnya jatuh cinta. "Ada apa? Kenapa menangis? Katakan padaku, Han?" tanya Justin. Hana melepaskan tangan Justin yang bertengger di kedua pundaknya. "Om, jangan bersikap seperti ini terus padaku! Aku capek dengan masalah yang ku hadapi. Apa perlu aku bersujud di kaki mu, agar mau melepaskanku dari semua ini?!" "Melepaskan? Maksudmu melepaskan kamu dari tanganku. Begitukah?" Justin terkekeh. "Jangankan melepaskan kamu dari kehidupanku, membiarkanmu lepas dari genggamanku beberapa detik saja tak akan ku biarkan. Jadi, jangan berharap banyak untuk itu, Hana." Hana berniat pergi dari sana, tapi dengan cepat Justin kembali menarik lengan dan mendorongnya hingga jatuh ke sofa. Tak hanya itu, kini Justin mencengkeram kedua lengannya dan menindihnya. "Sudah ku katakan, kan ... kamu nggak akan pergi dan nggak akan bisa kemana-mana tanpa ijin dariku. Paham?!" "Lepasin, Om ... ini sakit," ringisnya saa
Justin sibuk di ruang kerjanya dengan setumpuk kertas dan map dihadapannya. Tak ke kantor, bukan berarti ia akan tidur-tiduran nggak jelas. Ayolah, ini adalah kebiasaan yang sudah ia lakukan semenjak lama. Jadi, tak akan ada keluhan dengan semua ini. Malah lebih heran lagi jika semua pekerjaan tak berada di sekelilingnya.Sebuah ketukan pintu membuat fokusnya buyar. Diam, tak merespon dan kembali menatap tumpukan kertas dihadapannya.Lagi, ketukan itu kini membuatnya rada kesal. Berani-beraninya orang di rumah ini merusak konsentrasinya bekerja.Beranjak dari kursi dan dengan langkah cepat berjalan menuju pintu. Ia ingin tahu, siapa pelaku dan calon korban kemarahannya kali ini.Pintu dibuka, hendak langsung emosi, tapi semua itu seolah menghilang dari niatnya saat mendapati siapa yang ada dihadapannya kini."Hana," gumamnya."Maaf aku mengganggu. Aku cuman mau nganterin ini," ujarnya menyodorkan satu gelas teh hangat pada Justin.Justin langsung menerima itu."Takutnya Om masuk angin