Setelah selesai berbenah diri, Hana turun dan berjalan menuju meja makan ... dengan tas ransel yang ia jinjing. Saat sampai, terlihat Justin sudah ada di sana, begitupun dengan Alice. Ayolah, pagi ini ia disambut tatapan menjengkelkan dari wanita itu. Kalau tak ada Justin di sini, mungkin ia akan dicekek oleh tante-tante itu.Hana tak langsung duduk, tapi malah menghampiri Justin ... berdiri dihadapan laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu."Om Justin, aku ...""Jangan berpikir untuk tak sarapan," timpal Justin menyanggah perkataan Hana. "Ayo duduk dan sarapanmu," perintahnya seakan tahu saja niat Hana.Jujur saja, ia tak nyaman berada di sini. Apalagi dengan adanya Alice, seolah ia sedang dihadapkan dengan orang yang paling membencinya di dunia. Ya, pada kenyataannya memang begitu.Hana duduk di kursi yang ada di sebelah Justin dan mulai menikmati sarapan yang sudah tersedia. Diam, bahkan ia tak melemparkan pandangan ke arah Alice ataupun Justin sedikitpun. Ingin menghabiskan
Hana berjalan menuju kelasnya yang terletak di lantai dua. Yap, baru beberapa hari tak datang ke kampus, membuat ia rindu. Apalagi para sahabat dan juga ... kekasihnya.Langkahnya semakin ia percepat saat hendak mencapai kelas, tapi seolah mobil yang direm ... langkahnya terhenti seketika saat melihat sebuah adegan. Iya, ini bukan adegan mesum, tapi meski begitu sukses membuatnya patah hati.Niatnya yang menuju kelas ia kesampingkan. Melangkah menghampiri seorang cowok dan cewek yang posisinya ada dekat pintu masuk kelas sebelah. Iya, hanya ngobrol, tapi jujur saja ... ia melihat ada rasa antara keduanya. Terlihat sekali dari sikap dan raut wajah mereka saat bicara dan menatap."Noval," panggil Hana.Panggilan itu membuat si pemilik nama langsung berbalik badan saat namanya dipanggil. Ya, ekspressi kaget seperti ketahuan selingkuh, itulah yang terpancar di wajah si cowok saat mendapati Hana ada dihadapannya."Hana ... kamu kok ada di sini?"Hana terkekeh mendengar pertanyaan yang ditu
"Han, lo bawa mobil atau dianterin?" tanya Rhea saat pulang."Dianterin," jawabnya."Kalau gitu ayok gue anter pulang," ajak Rhea."Eh, nggak usah ... ada yang jemput. Kok," tolak Hana cepat.Yakali Rhea mengantarkannya pulang. Sobatnya kan enggak tahu kalau ia dan orang tuanya sedang bermasalah. Bisa-bisa terbongkar semuanya termasuk hubungannya dengan Justin. Untuk saat ini ia belum sanggup untuk menghadapi kedua sobatnya."Papa lo?"Belum sempat Hana menjawab, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan kekar menghampiri Hana dan berdiri sedikit menundukkan kepalanya tanda hormat."Maaf, Nona ... Tuan meminta saya untuk menjemput," ujarnya.Clara, Rhea dan Leta memasang tampang heran. Siapa orang ini? Bahkan ketiganya mengenal sopir keluarga Hana dan yang pasti bukan laki-laki ini.Hana sudah deg-deg'an. Ya, takut sahabatnya mulai bertanya tanya."Gue balik duluan, ya," ujarnya segera pamit.Dengan cepat ia melangkah menuju di mana mobil terparkir. Sampai di dekat mobil, sang sopir langsu
Noval membuatnya sakit hati dan patah hati ... membuat air matanya seolah terbuang percuma saja. Menangisi sesuatu yang tak penting, mungkin apa yang dikatakan Justin memang benar. Ia seakan gila di sini, tapi Noval di luaran sana malah sebaliknya. Kadang ia berpikir, kalau masalah percintaan, yang tersakiti justru lebih banyak pihak perempuan.Menangis berjam-jam, itu membuat capek bathin dan perasaan. Hingga Justin datang dan menyediakan tempat bersandar. Tak bisa membohongi perasaannya, berada di dekapan cowok ini memang lebih nyaman daripada memeluk sebuah guling tak bernyawa.Tengah malam, entah kenapa ia terbangun. Mendapati dirinya tidur berbantalkan kedua paha Justin dengan posisi dia yang tertidur duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Tangan itu berada di pucuk kepalanya, seakan akan sedang berusaha membuatnya nyaman."Ya ampun, gue ketiduran," gumamnya perlahan-lahan bangun agar gerakannya tak membuat cowok itu terbangun.Ia tahu betul kalau Justin pasti capek dengan pek
Saat ia berniat melepaskan kemeja itu dari badannya, tiba-tiba saja Hana malah menahan niatnya."Kenapa?""Om mau ngapain?" tanya Hana dengan wajah cemas."Buka baju, gerah," katanya."Nggak boleh," larang Hana kekeuh menahan tangan Justin agar tak melanjutkan niat itu.Justin tersenyum melihat tingkah Hana yang menurutnya suka berpikiran yang tidak tidak."Masih kecil, jangan memikirkan yang tidak-tidak," balasnya malah membelai lembut kepala Hana. "Kalau aku mau, aku bisa melakukannya kapanpun. Toh, aku ini suamimu, kan. Tapi aku masih mengingat statusmu saat ini. Atau, kamu justru memang ingin aku melakukannya?"Tatapan mesum itu menerpanya. Ayolah, ia tak seberani itu juga, loh, melawan Justin. Hanya sesekali keberaniannya muncul. Malah lebih banyak takutnya ketimbang berani.Ia segera menghindari Justin, baik tatapan ataupun posisinya. Kemudian menyambar guling dan memilih untuk pindah menuju sofa."Ngapain kamu di sofa?""Menghindari sesuatu yang menakutkan," jawabnya langsung s
Hembusan napas menerpa wajahnya ... membuat tidur nyenyaknya seolah sengaja dibangunkan. Matanya melek seketika dan dikejutkan dengan Justin yang lagi-lagi ada dihadapannya.Oke, ini bukan yang pertama kali terjadi. Mau kaget pun sepertinya akan aneh. Yang jelas cowok ini masih berada di jalur aman, tak melakukan sesuatu yang membuatnya terkena serangan jantung di pagi hari.Ingin segera bangun, tapi wajah tidur dan tenang itu tiba-tiba saja membuat niatnya terhenti. Ia terhipnotis untuk terus memandangi. Bahkan jarinya kini dengan tak tahu dirinya menyentuh wajah itu. Ayolah, ia tak bermaksud apa-apa, tapi jarinya tak bisa dikondisikan.Padahal lagi fokus-fokusnya, tiba-tiba kaget saat Justin seketika membuka mata dan langsung menatap ke arahnya. Dengan cepat ia singkirkan tangannya dari wajah itu dan bangun.'Ini memalukan,' pikirnya membatin sambil menggetok kepalanya dengan tangan."Kamu kenapa?" tanya Justin"Ah, enggak kenapa-kenapa, kok, Om," jawabnya yang tiba-tiba jadi gugup.
Saat kembali dari toilet di kampus, entah kenapa pikirannya tak tenang. Bahkan beberapa kali menabrak orang saat berjalan. Dan lebih bodohnya lagi pikirannya itu justru tertuju pada Justin. Parah, kan. Padahal ini posisinya habis putus cinta, loh. Dan ia tak memikirkan itu sama sekali.Tadi pagi ia tak pamit, bahkan pergi dalam keadaan tak baik. Yakinlah kalau cowok itu marah akan sikapnya. Hatinya semakin tak tenang saja.Baru juga duduk di kursi, tiba-tiba ponselnya berdering. Hatinya semakin dibuat deg-deg'an saat tertera nama rentetan nomer yang tak dikenal di layar datar itu. Segera menggeser tanda berbentuk gagal telepon berwarna hijau untuk menjawab."Hallo," sahutnya."Selamat siang, Mbak Hana, ya. Saya sekretarisnya Bapak Justin. Bisa tidak, Mbak ke kantor sebentar."Bahkan ia belum mendengar kabar apa-apa, tapi hatinya sudah dibuat cemas duluan. Tangannya sampai gemetaran."I-iya, ada apa, ya?"Ia yang tadinya duduk di kursi kelas, kini memilih untuk beranjak dan berjalan k
Ia segera menghampiri dan memegangi gadis itu agar tak jatuh. "Hana, jangan ngelakuin hal aneh-aneh! Cepetan turun!"Hana mengelakkan tangan Justin yang memeganginya. "Aku yang jadi penyebab kemarahanmu, kan. Jadi, sekarang aku mau bunuh diri. Aku capek membujukmu. Nanti kalau aku nggak ada, hidup Om akan tenang seperti sebelum mengenalku. Dan Tante Alice juga akan berkurang musuhnya," ujar Hana yang posisinya sudah berdiri di atas kursi dekat jendela. Tinggal lompat saja.Justin langsung saja mengangkat tubuh Hana dan mendudukkannya di kursi. Kini kedua tangannya mengunci pergerakan gadis itu agar tak bisa pergi."Kamu bunuh aku dulu, baru bisa kamu bunuh diri," bisik Justin dengan geram.Hana malah tersenyum mendengar perkataan Justin. "Om pikir otakku sedangkal itu, sampai mau bunuh diri. Yang benar saja," balasnya tersenyum jahil.Justin merasa kali ini dirinya jadi korban penipuan. "Kamu mempermainkanku?""Ya, maaf," responnya dengan wajah memelas.Justin hendak beranjak dari pos