"Han, lo bawa mobil atau dianterin?" tanya Rhea saat pulang."Dianterin," jawabnya."Kalau gitu ayok gue anter pulang," ajak Rhea."Eh, nggak usah ... ada yang jemput. Kok," tolak Hana cepat.Yakali Rhea mengantarkannya pulang. Sobatnya kan enggak tahu kalau ia dan orang tuanya sedang bermasalah. Bisa-bisa terbongkar semuanya termasuk hubungannya dengan Justin. Untuk saat ini ia belum sanggup untuk menghadapi kedua sobatnya."Papa lo?"Belum sempat Hana menjawab, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan kekar menghampiri Hana dan berdiri sedikit menundukkan kepalanya tanda hormat."Maaf, Nona ... Tuan meminta saya untuk menjemput," ujarnya.Clara, Rhea dan Leta memasang tampang heran. Siapa orang ini? Bahkan ketiganya mengenal sopir keluarga Hana dan yang pasti bukan laki-laki ini.Hana sudah deg-deg'an. Ya, takut sahabatnya mulai bertanya tanya."Gue balik duluan, ya," ujarnya segera pamit.Dengan cepat ia melangkah menuju di mana mobil terparkir. Sampai di dekat mobil, sang sopir langsu
Noval membuatnya sakit hati dan patah hati ... membuat air matanya seolah terbuang percuma saja. Menangisi sesuatu yang tak penting, mungkin apa yang dikatakan Justin memang benar. Ia seakan gila di sini, tapi Noval di luaran sana malah sebaliknya. Kadang ia berpikir, kalau masalah percintaan, yang tersakiti justru lebih banyak pihak perempuan.Menangis berjam-jam, itu membuat capek bathin dan perasaan. Hingga Justin datang dan menyediakan tempat bersandar. Tak bisa membohongi perasaannya, berada di dekapan cowok ini memang lebih nyaman daripada memeluk sebuah guling tak bernyawa.Tengah malam, entah kenapa ia terbangun. Mendapati dirinya tidur berbantalkan kedua paha Justin dengan posisi dia yang tertidur duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Tangan itu berada di pucuk kepalanya, seakan akan sedang berusaha membuatnya nyaman."Ya ampun, gue ketiduran," gumamnya perlahan-lahan bangun agar gerakannya tak membuat cowok itu terbangun.Ia tahu betul kalau Justin pasti capek dengan pek
Saat ia berniat melepaskan kemeja itu dari badannya, tiba-tiba saja Hana malah menahan niatnya."Kenapa?""Om mau ngapain?" tanya Hana dengan wajah cemas."Buka baju, gerah," katanya."Nggak boleh," larang Hana kekeuh menahan tangan Justin agar tak melanjutkan niat itu.Justin tersenyum melihat tingkah Hana yang menurutnya suka berpikiran yang tidak tidak."Masih kecil, jangan memikirkan yang tidak-tidak," balasnya malah membelai lembut kepala Hana. "Kalau aku mau, aku bisa melakukannya kapanpun. Toh, aku ini suamimu, kan. Tapi aku masih mengingat statusmu saat ini. Atau, kamu justru memang ingin aku melakukannya?"Tatapan mesum itu menerpanya. Ayolah, ia tak seberani itu juga, loh, melawan Justin. Hanya sesekali keberaniannya muncul. Malah lebih banyak takutnya ketimbang berani.Ia segera menghindari Justin, baik tatapan ataupun posisinya. Kemudian menyambar guling dan memilih untuk pindah menuju sofa."Ngapain kamu di sofa?""Menghindari sesuatu yang menakutkan," jawabnya langsung s
Hembusan napas menerpa wajahnya ... membuat tidur nyenyaknya seolah sengaja dibangunkan. Matanya melek seketika dan dikejutkan dengan Justin yang lagi-lagi ada dihadapannya.Oke, ini bukan yang pertama kali terjadi. Mau kaget pun sepertinya akan aneh. Yang jelas cowok ini masih berada di jalur aman, tak melakukan sesuatu yang membuatnya terkena serangan jantung di pagi hari.Ingin segera bangun, tapi wajah tidur dan tenang itu tiba-tiba saja membuat niatnya terhenti. Ia terhipnotis untuk terus memandangi. Bahkan jarinya kini dengan tak tahu dirinya menyentuh wajah itu. Ayolah, ia tak bermaksud apa-apa, tapi jarinya tak bisa dikondisikan.Padahal lagi fokus-fokusnya, tiba-tiba kaget saat Justin seketika membuka mata dan langsung menatap ke arahnya. Dengan cepat ia singkirkan tangannya dari wajah itu dan bangun.'Ini memalukan,' pikirnya membatin sambil menggetok kepalanya dengan tangan."Kamu kenapa?" tanya Justin"Ah, enggak kenapa-kenapa, kok, Om," jawabnya yang tiba-tiba jadi gugup.
Saat kembali dari toilet di kampus, entah kenapa pikirannya tak tenang. Bahkan beberapa kali menabrak orang saat berjalan. Dan lebih bodohnya lagi pikirannya itu justru tertuju pada Justin. Parah, kan. Padahal ini posisinya habis putus cinta, loh. Dan ia tak memikirkan itu sama sekali.Tadi pagi ia tak pamit, bahkan pergi dalam keadaan tak baik. Yakinlah kalau cowok itu marah akan sikapnya. Hatinya semakin tak tenang saja.Baru juga duduk di kursi, tiba-tiba ponselnya berdering. Hatinya semakin dibuat deg-deg'an saat tertera nama rentetan nomer yang tak dikenal di layar datar itu. Segera menggeser tanda berbentuk gagal telepon berwarna hijau untuk menjawab."Hallo," sahutnya."Selamat siang, Mbak Hana, ya. Saya sekretarisnya Bapak Justin. Bisa tidak, Mbak ke kantor sebentar."Bahkan ia belum mendengar kabar apa-apa, tapi hatinya sudah dibuat cemas duluan. Tangannya sampai gemetaran."I-iya, ada apa, ya?"Ia yang tadinya duduk di kursi kelas, kini memilih untuk beranjak dan berjalan k
Ia segera menghampiri dan memegangi gadis itu agar tak jatuh. "Hana, jangan ngelakuin hal aneh-aneh! Cepetan turun!"Hana mengelakkan tangan Justin yang memeganginya. "Aku yang jadi penyebab kemarahanmu, kan. Jadi, sekarang aku mau bunuh diri. Aku capek membujukmu. Nanti kalau aku nggak ada, hidup Om akan tenang seperti sebelum mengenalku. Dan Tante Alice juga akan berkurang musuhnya," ujar Hana yang posisinya sudah berdiri di atas kursi dekat jendela. Tinggal lompat saja.Justin langsung saja mengangkat tubuh Hana dan mendudukkannya di kursi. Kini kedua tangannya mengunci pergerakan gadis itu agar tak bisa pergi."Kamu bunuh aku dulu, baru bisa kamu bunuh diri," bisik Justin dengan geram.Hana malah tersenyum mendengar perkataan Justin. "Om pikir otakku sedangkal itu, sampai mau bunuh diri. Yang benar saja," balasnya tersenyum jahil.Justin merasa kali ini dirinya jadi korban penipuan. "Kamu mempermainkanku?""Ya, maaf," responnya dengan wajah memelas.Justin hendak beranjak dari pos
Justin membuat seharinya jadi berantakan. Bahkan ia sampai kabur dari kampus karena rasa cemasnya. Jadi, perasaan apa yang ia tujukan pada Justin? Apa benar ini cinta? Atau hanya rasa nyaman yang kebetulan bisa diberikan Justin padanya?Ia tak ingin Justin kenapa-kenapa, makanya meminta untuk pulang dan istirahat di rumah. Setidaknya agar dia bisa menenangkan pikiran. Tapi apa? Baru saja menginjakkan kaki di rumah, keduanya malah dihadapkan pada Alice yang menyambut dengan wajah kesal. Bukan pada Justin, tapi padanya."Kenapa kalian bisa pulang bareng?" tanyanya pada Alice dengan tampang sinis."Tadi aku ...""Jangan lupakan kalau dia istriku, jadi apa salahnya jika dia pulang denganku." Justin yang malah menjawab pertanyaan Alice. "Dan satu lagi. Aku sudah memberikanmu peringatan untuk tak terus mengurusi kehidupanku ataupun Hana. Terserah, kamu mau menghamburkan semua hartaku, silahkan. Aku tak perduli.""Justin, kamu sakit, ya?" tanya Alice tiba-tiba cemas melihat wajah Justin yang
Hana sampai di sebuah cafe, tempat janjiannya bersama para sahabatnya. Iya, ini adalah jalan yang terbaik. Ia tak ingin membohongi mereka terlalu lama. Setidaknya ada yang tahu statusnya saat ini selain keluarganya. Terlebih saat ia butuh solusi, palingbtidak ada temoatnya untuk meminta pendapat.Gilanya lagi itu sopir malah berniat mengekori langkahnya masuk cafe. Ini membuat tanduk di puncak kepalanya seakan tumbuh."Nggak usah dianterin, saya cuman ketemu sama teman," ujarnya."Tapi, Nona ...""Balik pulang aja. Saya nggak bakalan lama," perintah Hana langsung saja meninggalkan laki-laki itu memasuki area cafe.Itu baru satu orang loh, ya ... masih banyak stok model begituan penjaga yang disiapkan Justin untuknya. Lama lama, ke toilet pun dirinya bakalan dikawal, tuh.Dengan langkah cepat ia berjalan mencari keberadaan para sahabatnya. Hingga akhirnya ia lihat dari kejauhan lambaian tangan Clara yang mengarah padanya.Ya, seperti biasa. Ini adalah cafe favorite tempat mereka berkum