Seorang wanita berjalan cepat menghampiri Hana yang masih berada dalam pangkuan cowok bernama Justin itu. Ya, tentu dengan wajah penuh emosi.
"Apa yang kamu lakukan dengan gadis ini?! Kamu keterlaluan, Justin!" Ia benar-benar kesal dan emosi saat mendapati hal yang tak terduga di depan matanya.Bahkan saat wanita itu berkoar-koar dengan penuh emosi di depannya, tak terbesit rasa takut atau rasa bersalah di wajah Justin. Toh, ia juga tak melakukan apa-apa. Oke ... mungkin hanya sekadar ciuman.Perlahan ia berjalan menuju tempat tidur, memindahkan Hana yang masih tak sadarkan diri dalam pangkuannya. Kemudian, berjalan menuju kamar mandi seolah mengabaikan wanita itu.Keluar dengan pakain casual lengkap. Oke ... dan justru kali inilah dirinya malah terlihat kaget. Karena apa? Di dalam kamarnya sudah terlihat beberapa orang berkumpul, termasuk kedua orang tuanya. Apa mereka semua tak ingat, kalau ini adalah kamarnya. Apa mereka semua lupa, kalau ia tak suka ada orang lain yang masuk ruang pribadinya tanpa izin?"Ada apa ini?" tanya Justin heran. "Aku sudah bilang, kan, jangan memasuki kamarku tanpa ijin. Apa perlu ku buat di depan pintu agar semua orang bisa membacanya?!" Bicara dengan nada emosi."Apa yang sudah kamu perbuat pada gadis itu?" tanya seorang laki-laki paruh baya, sambil menunjuk kearah Hana yang tak sadarkan diri di kasur.Justin tersenyum di sudut bibirnya, kemudian duduk di sofa dengan sikap cuek. "Ayolah ... kalian jangan ikut berpikiran aneh-aneh seperti yang dilakukan Alice," balasnya melirik kearah wanita yang memergokinya sedang mencium Hana."Aneh-aneh apanya? Justin ... aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu sedang berciuman dengan gadis itu!" Kalau bisa mengeluarkan api dari mulutnya, bisa dipastikan semua yang ada di kamar ini akan hangus disambar."Dan masalahnya buat kamu, apa?" tanya Justin balik."Tentu saja ini masalah besar buatku, Justin. Karena kamu adalah ...""Hentikan!" bentak Justin saat Alice ingin melanjutkan perkataannya. Iya, ia tak suka dengan kalimat yang akan dikatakan wanita itu selanjutnya.Justin beranjak dari kursinya, kemudian berdiri dihadapan Alice. "Ralat," ucapnya. "Aku bukan sedang berciuman dengannya, tapi lebih tepatnya lagi justru aku yang menciumnya. Aku yang menciumnya, Alice. Paham?!"Alice berniat menampar Justin, tapi tentu saja ia tak akan membiarkan itu terjadi. Dengan cepat Justin menyambar tangan wanita itu dan menghentakkannya dengan kasar."Jangan coba-coba menyentuhku!""Jangan bersikap seburuk itu pada Alice, Justin," lerai Arum, mamanya."Kalau Mama mau membelanya, di tempat lain saja ... jangan dihadapanku. Karena itu tak akan mempan untukku," komentarnya atas tindakan mamanya.Di sana ada orang tuanya dan juga orang tua Alice. Bahkan beberapa kekuarga terdekat pun juga hadir. Sepertinya wanita ini dengan cepat menghubungi semua orang untuk mengadilinya. Hanya beberapa saat di kamar mandi, buktinya semua orang sudah berkumpul."Justin! Kamu sudah begitu keterlaluan memperlakukan Alice begitu buruk," tambah papanya Alice."Diam! Jangan ikut campur jika tak tahu kejadiannya!"Satu bentakan, mampu membuat kucing liar diam seketika."Kalian siapa?" tanya Hana yang tiba-tiba sadar dengan ekspressi kaget di wajahnya. Ya ... bagaimana ia tak kaget, tiba-tiba malah dihadapkan dengan banyak orang. Bahkan tak ada yang dikenalinya satupun.Semua mata kini memandang kearahnya.Hana ingin bangun, tapi dengan cepat Justin kembali mendorong gadis itu hingga kembali ke posisi tidurnya. "Ingat, kan, kalau kamu tak mengenakan pakaian?"Matanya langsung membola, selimut yang tadinya berniat ia singkirkan, kini justru ia tarik hingga kembali menutupi seluruh tubuhnya dan menyisakan wajahnya yang terlihat."Tuh, benar, kan ... dengar apa kata Justin. Pasti diantara mereka sudah terjadi sesuatu. Aku yakin sekali." Alice lagi-lagi tak terima dengan apa yang terjadi pada Justin dan Hana."Heyyy ... Tante, apa yang kamu katakan?!" tanya Hana bingung. Seakan-akan sebuah tuduhan terburuk sedang ditujukan padanya."Diam kamu! Gara-gara kamu semua ini terjadi. Kamu, kan, yang menggoda Justin hingga semua ini terjadi?!""Apa? Menggoda? Yang benar saja ngomongnya, Tante. Yakali aku godain om-om. Otakku masih normal, berjalan pada jalur yang lurus. Harusnya saya yang marah ... kenapa dia tiba-tiba tidur di sebelahku dan meluk-meluk aku?" tunjuk Hana mengarah pada Justin."Apa kamu bilang, Tante? Kamu pikir saya ini Tante kamu?""Bukan Tanteku, tapi lebih tepatnya mirip tante-tante," ungkap Hana jujur. Kalau bohong, kan, dosa. Ya kan gaes.Justin hanya bisa memijit kepalanya dengan semua yang terjadi malam ini. Iya, ini masih tengah malam dan semua keluarganya malah membuat masalah di kamarnya."Semuanya keluar!" perintah Justin."Apa?!" Alice malah kaget mendengar suruhan Justin."Apa kamu nggak dengar? Keluar dari kamarku, sekarang!""Justin! Gadis itu ...""Keluar sekarang!"Iya, semua keluar dari kamar itu, termasuk Hana yang dengan cepat beranjak dari posisinya. Dengan masih melilitkan selimut di badannya, ia berjalan menuju pintu keluar. Sungguh, saat mendengar perintah Justin yang terkesan menakutkan itu membuatnya bergidik ngeri juga. Layaknya mendengar auman seekor singa jantan yang siap mengamuk."Aku tidak memintamu keluar, kan?"Langkah Hana terhenti seketika, kemudian berbalik badan mengarahkan pandangannya pada Justin. Semua orang yang posisinya juga sudah berada di luar kamar menatap aneh perkataan Justin. Termasuk Alice."Siapa?" tanya Hana."Kamu."Mendengar perkataan Justin, membuat Alice seakan ingin mengeluarkan taring panjang."Om, aku ini seorang gadis. Dan kini hidupku sudah punya masalah besar denganmu. Jadi, apalagi mau mu? Apa belum cukup mengambil ciumanku? Apa belum cukup dengan tidur dan memelukku?"Astaga! Keingat ciuman membuat otaknya jadi seakan begeser. Tak tahukah laki-laki ini kalau itu adalah ciuman pertamanya?"Kalian berdua keterlaluan!!" pekik Alice.Justin mendekati Hana dan tersenyum licik. "Nanggung, kan? Lebih baik ciptakan masalah besar sekalian," komentar Justin sambil menaik-turunkan alisnya menatap dan menghampiri Hana.Hana hanya membalas perkataan Justin dengan ekspressi bingung. "Apa maksudmu?"Tak menjawab pertanyaan Hana, ia justru menarik gadis itu kembali dan menutup pintu kamarnya dengan cepat."Justin!!"Itu adalah teriakan terakhir dari Alice yang terdengar. Kemungkinan besar wanita itu sedang heboh di luar sana mengeluarkan omelan dan kekesalannya. Ya ... ia sudah hapal betul seperti apa kepribadian buruk seorang Alice. Sudah tak diragukan lagi."Om maunya apa, sih?!" Hana berteriak-teriak di depan Justin "Sudah cukup masalah tadi, jangan ditambah lagi. Sekarang, buka pintunya karena aku mau keluar!""Sudahlah, aku juga nggak akan berbuat macam-macam padamu," ujar Justin menyentil dahi Hana dan berjalan menuju tempat tidur.Apa yang dia katakan? Nggak mau berbuat macam-macam padanya, tapi malah mengurungnya di sini. Apa dia tak berpikir kalau orang-orang yang ada di luaran sana lah yang sedang memikirkan apa yang tengah terjadi di dalam sini."Sebenarnya maumu apa, sih? Aku bingung, loh.""Sudah ku katakan, kan ... aku hanya ingin membuatmu dalam masalah yang lebih besar saja," jawab Justin santai.Haruskah ia menertawakan dirinya sendiri yang punya banyak masalah, tapi om-om ini malah kekurangan masalah."Apa hidupmu kurang bermasalah, hingga ingin menciptakan sebuah masalah? Terserah. Tapi jangan mengajakku dalam masalahmu!"Justin duduk di pinggiran tempat tidur. Menatap gadis yang masih terlihat cemas di depannya. "Sadarlah. Sebenarnya bukan aku yang membuat masalah, tapi kamu. Ini kamarku, apa otakmu sedang tak beres hingga sampai memasuki kamarku?"Hana sedikit terdiam dan tertunduk dengan tampang bersalahnya. "Oke, aku minta maaf dibagian itu. Soalnya di acara tadi dikerjai teman-temanku hingga mabuk dan ..."Justin berdecak sambil bersidekap dada. "Waww ... apa ini tak terlalu berlebihan? Masih SMA, kan ... dan sudah minum-minum?"Hana memandang kesal kearah Justin. "Om, bisa dengar apa yang ku jelaskan, tidak? Aku dikerjai teman-temanku. Paham?""Tak meyakinkan," balas Justin kembali berfokus pada ponsel di tangannya.Hana sekarang bingung harus berbuat apa. Berteriak? Yakali. Di depan pintu kamar ada keluarga laki-laki ini saja, mereka tak bisa berbuat apa-apa.Hana menyambar pakaian miliknya yang tergeletak di lantai dan berjalan menuju kamar mandi. Setidaknya ia tak membuat mata laki-laki ini terus berfokus pada tubuhnya. Mengatakan bodynya tak menggairahkan, tapi malah menciumnya? Apa maksudnya coba.Setelah mengenakan pakaiannya, ia menyambar ponsel miliknya yang ada di nakas. Kemudian mencari kontak orang tuanya. Apa-apaan maksud orang ini mengurungnya di sini? Apa dia seorang pembunuh berdarah dingin? Atau, pedofil?"Hallo, Pa ..."Mendengar itu, Justin yang tadinya abai, langsung beranjak dari duduknya dan merebut ponsel milik Hana dengan cepat. Tapi tak berhasil karena gadis itu malah mempertahankannya."Berikan padaku," pintanya memaksa."Papa ... bantuin aku! Aku dikurung sama cowok ..."Belum selesai perkataannya, Justin berhasil mengambil alih ponsel miliknya. Kesal, dengan cepat ia mengambil sebuah bantal dan memukuli Justin dengan benda itu."Keluarin aku dari kamar ini, Om. Aku nggak mau di sini!" teriaknya masih memukuli Justin.Justin dengan sengaja mendorong Hana ke tempat tidur ... kemudian dengan cepat menindih gadis itu agar tak bisa berbuat apa-apa."Lepasin aku!!" pekiknya terus berontak saat kedua tangannya ditahan oleh Justin."Ya ampun, kenapa kamu seliar ini, hem?""Biarin!""Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu," komentar Justin."Kenapa? Apa aku harus tersenyum manis padamu? Apa aku harus menunjukkan sikap lembutku padamu? Nggak akan!"Justin tersenyum. "Hana," gumamnya mengarah pada bandul kalung yang melingkar di leher Hana. "Nama yang bagus," tambahnya memuji."Terimakasih. Tapi maaf, pujianmu tak membuat rasa kesalku padamu hilang, Om. Jadi, lepasin aku! Aku nggak mau di sini denganmu. Orang tuaku pasti nyariin," jelasnya kembali heboh."Jangan bicara lagi, aku pusing mendengar suaramu yang cempereng itu.""Om ... lepasin aku," rengeknya berlanjut.Justin semakin mendekatkan wajahnya pada Hana. "Apa aku harus menciummu lagi, agar bibirmu itu bisa diam seketika?"Belum kejadian, tapi ancaman Justin sukses membuatnya bungkam seketika sambil menggigit bibir bawahnya."Awas saja kalau sampai melakukannya lagi," umpat Hana."Jangan mengancamku balik.""Kenapa? Om pikir aku takut padamu?"Justin lagi-lagi tersenyum mendapatkan sikap seperti itu dari Hana. Biasanya nggak ada wanita yang berani melawannya, bahkan Alice sekalipun. Tapi kali ini, ia seolah kalah oleh seorang anak SMA."Jangan menatapku dengan tatapan mesum seperti itu," komentar Hana saat merasa kalau Justin terus menatapnya. Ia tertawa receh. "Jangan bilang kalau tiba-tiba Om ...""Benar sekali, aku menyukaimu," timpalnya langsung mencium bibir Hana.Hana kaget dengan apa yang dilakukan Justin padanya. Bahkan, saking kagetnya ia seolah hanya bisa diam membatu. Seperti sebuah aliran listrik sedang menjalar memasuki aliran darahnya, hingga ia dibuat tak sanggup untuk bergerak sekalipun.Justin yang tadinya mencengkeram pergelangan tangan Hana, perlahan beralih pindah ke telapak tangan gadis itu ... seolah menautkan dengan tangannya. Ya, ia merasakan rasa kaget Hana dari genggaman tangan itu yang mengerat.Justin awalnya hanya berniat membuat Hana diam, tapi lama kelamaan ia malah menikmati ciuman itu. Rasa yang benar benar membuatnya seakan tak ingin melepaskan.Hana seolah bingung dengan apa yang ia rasakan. Perasaan apa ini? Kenapa ia malah seolah pasrah mendapatkan perlakuan ini dari Justin?Sebuah hantaman di pintu kamar, sontak membuat keduanya kaget. Bahkan ciuman yang dilakukan Justin pun terhenti seketika dengan posisinya yang masih berada di atas tubuh Hana."Hana!!"Mata Hana melotot, mendapati siapa yang menghampirinya kini. Sontak, dengan cepat ia mendorong Justin yang masih berada di atas badannya, hingga menyingkir. Setelah itu ia segera beranjak dari tempat tidur dengan tampang cemas. "Papa," ujarnya menghampiri seorang laki-laki paruh baya."Apa yang kamu lakukan?!" tanya laki-laki paruh baya itu dengan wajah penuh emosi. Bagaimana ia tak emosi, mendapati anak gadisnya malah beradegan seperti itu di depan matanya sendiri. Mending kalau hanya dapat info dari orang lain, lah ini justru melihat langsung."Aku nggak lakuin apa-apa, Pa," jawab Hana. "Dia yang bikin masalah buatku," tambahnya menunjuk kearah Justin yang masih duduk di pinggiran tempat tidur dengan ekspressi santai, seolah tak sedang terjadi masalah apa-apa.Emil, papanya Hana menatap tajam kearah Justin. Perlahan melangkah untuk semakin mendekat. Tapi tiba-tiba dahinya berkerut saat memikirkan sesuatu ketika mendapati siapa yang sedang berhadapan dengannya kini. "Kamu Justin, k
Pagi ini Justin selesai dengan setelan kantor yang sudah menutupi tubuh atletisnya. Setelah kejadian menghebohkan semalam, membuatnya tak berminat untuk melanjutkan tidur di hotel itu dan memilih kembali ke rumah."Pagi," sapa Alice dengan senyuman manisnya, menyambut Justin yang hendak sarapan. "Buang jauh-jauh senyumanmu itu," balasnya menanggapi sikap Alice yang baginya itu tak akan membuatnya luluh. Jangankan luluh, bahkan mengedarkan pandangan pada dia saja seakan membuat harinya menjadi buruk.Alice memasang wajah ketus dengan sikap Justin. "Kenapa, sih, sikapmu begitu terus padaku? Apa aku ada salah?"Justin tersenyum licik. "Masih bertanya kenapa? Perlukah aku menyebutkan satu persatu kesalahanmu?!"Alice menarik napasnya berat seolah mencoba bersabar dengan sikap buruk Justin padanya. Ini hampir satu tahun dan dirinya masih saja didinginkan oleh laki-laki ini. Bahkan laki-laki lain rela antri untuk mendapatkan dirinya, sedangkan Justin malah sebaliknya."Buka mulutmu," pinta
Justin, dialah yang mereka dapati tengah berdiri dibelakang keduanya."Ini urusan keluarga saya, jadi jangan ikut campur!"Justin tak membalas perkataan Emil. Ia berjalan melewati sepasang suami istri itu dan mendekati Hana yang masih terduduk di lantai. Membantu gadis itu untuk kembali bangkit, kemudian membawa dia berdiri berhadap-hadapan dengan Emil dan Arini."Dia begini, juga karena saya. Jadi, ini juga termasuk urusan saya!"Emil marah saat Justin memegang tangan putrinya. Berniat menyingkirkan pegangan itu, tapi Justin malah menghentakkan tangannya dengan kasar."Apa yang kamu lakukan?!""Jangan menyakitinya lagi!" Emosi Justin mulai kesal dengan sikap Emil pada Hana."Dia putri saya!"Entah apa yang kini tengah dipikirkan Justin, hingga ia bisa bersikap seperti itu. Dan yang membingungkan, kenapa rasanya tak rela saja melihat perlakuan buruk Emil pada Hana. Ambisinya untuk melindungi gadis ini tiba-tiba saja meningkat. Aneh, bukan?Ia melirik kearah Hana yang memang juga berus
Hana terus berontak saat empat orang wanita sedang menyerangnya. Bagaimana tidak, mereka dengan seenaknya menanggalkan pakaiannya dan memaksanya untuk mandi. Apa-apaan banget, kan. Dikira ia anak kecil yang harus dibantuin membuka pakaian."Apa harus kami bantu mandinya, Nona?""Nggak usah!" bentaknya."Baiklah, kalau begitu kami akan menunggu di sini untuk membantu mengenakan pakaian Anda," jelas salah satu dari mereka.Hana memasang wajah kesal. "Keluar sekarang!" bentaknya meminta keempat wanita itu untuk pergi."Maaf, Nona ... Tuan meminta kami untuk menyiapkan Anda."Menyiapkan katanya? Dikira dirinya sejenis makanan cepat saji yang harus disiapkan."Keluar sekarang!" Bentakan itu kembali ia ucapkan. Dan kali ini mereka setuju dan melangkah keluar dari kamar itu.Hana menutup pintu kamar dengan kasar dan menghentak-hentakkan kakinya sambil berteriak-teriak kesetanan. Jujur saja, ini sepertinya ia sudah mulai gila. Apa-apaan laki-laki mesum itu ... membawanya dengan paksa dan seka
Justin mendekat kearah Hana. Tadi saat Alice berada di sana, dia hanya melonggarkan satu kancing kemejanya, tapi sekarang lihatlah, dia malah menanggalkan benda itu dari tubuhnya."Om, jangan melakukan apapun padaku!" teriak Hana mendorong Justin yang mendekat padanya. Bagaimana ia tak histeris dengan sikap Justin yang seperti itu."Han ... aku sudah memintamu untuk bersiap dari tadi tadi pagi dan kini sudah sore haripun kamu masih seperti ini. Apalagi kalau bukan menungguku yang harus turun tangan menyiapkanmu."Matilah ia kini. Itulah yang ada dalam pikiran Hana saat berhadapan dengan Justin. Demi apa jika sampai cowok ini bersikap aneh aneh padanya. Mana sampai buka baju lagi. Aduh, matanya sudah tak baik-baik saja saat ini.Justin menarik Hana menuju kamar mandi, meskipun gadis itu terus berteriak-teriak menolak."Jangan bilang kalau Om mau mandiin aku?" Hanya menebak."Tepat sekali," sahut Justin."Aku nggak mau! Aku bisa mandi sendiri, Om!" Teriak Hana."Telat! Kenapa saat aku s
Dalam perjalanan, Hana terus bertanya dan bertanya kemana dirinya akan dibawa. Tapi Justin seolah tak berminat untuk menjawab pertanyaannya. Jangan-jangan ini om-om mau membawanya ke tempat penjualan anak? Duh, yang benar saja kalau iya.Mobil kini berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar. Tak jauh berbeda dengan rumah milik laki laki ini. Pikiran Hana mulai berkecamuk, karena antara rasa takut dan penasaran seolah jadi satu di dalam otaknya."Ini rumah siapa, Om?" tanya Hana saat Justin memaksanya untuk turun dan masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. Padahal tinggal menjawab, apakah jawabannya begitu sulit?Sampai di dalam, ia langsung memasang ekspressi kaget. Ada beberapa orang di sana yang sedang mengarahkan pandangan padanya. Parahnya lagi, di antara mereka semua ada kedua orang tuanya juga."Loh, Mama sama Papa kok ada di sini?" tanyanya bingung.Ia memang senang bercampur haru, tapi tentu saja masih bingung dengan semua ini. Nggak mungkin, ka
Tak ingin panik, tak ingin cemas dan berharap tak ingin menghiraukan keadaan Justin. Entah kenapa rasanya kok sulit sekali ia lakukan. Bahkan rasanya seolah tak ingin beranjak sebelum dia sadarkan diri. Setidaknya ia akan ada di sini hingga Alice datang.Duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Justin, kini matanya justru memandang kearah cincin yang melingkar di jari manisnya. Kemudian beralih pada cincin yang ada di jari cowok yang belum sadarkan diri itu. Berniat menyentuh tangan dia, tapi dorongan pintu dengan kasar membuatnya tersentak kaget."Justin! Kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu, sih?"Hana sampai menutup kedua telinganya saat mendengar rentetan panjang dengan volume level tinggi itu. Ya, siapa lagi yang punya mulut serombeng itu kalau bukan Alice.Kini fokus Alice beralih pada Hana dan berjalan mendekat. "Kamu ... pasti semua gara-gara kamu! Benar, kan? Apa yang kamu lakukan pada Justin?! Dasar gadis penggoda! Perusak rumah tangga orang. Harusnya kamu tak data
Justin melepaskan Hana dari pelukannya, memastikan keadaan gadis yang tiba-tiba saja membuatnya jatuh cinta. "Ada apa? Kenapa menangis? Katakan padaku, Han?" tanya Justin. Hana melepaskan tangan Justin yang bertengger di kedua pundaknya. "Om, jangan bersikap seperti ini terus padaku! Aku capek dengan masalah yang ku hadapi. Apa perlu aku bersujud di kaki mu, agar mau melepaskanku dari semua ini?!" "Melepaskan? Maksudmu melepaskan kamu dari tanganku. Begitukah?" Justin terkekeh. "Jangankan melepaskan kamu dari kehidupanku, membiarkanmu lepas dari genggamanku beberapa detik saja tak akan ku biarkan. Jadi, jangan berharap banyak untuk itu, Hana." Hana berniat pergi dari sana, tapi dengan cepat Justin kembali menarik lengan dan mendorongnya hingga jatuh ke sofa. Tak hanya itu, kini Justin mencengkeram kedua lengannya dan menindihnya. "Sudah ku katakan, kan ... kamu nggak akan pergi dan nggak akan bisa kemana-mana tanpa ijin dariku. Paham?!" "Lepasin, Om ... ini sakit," ringisnya saa