Alih-alih mengerti dan memahami pengakuan Samuel yang blak-blakan, Annabelle justru merasa bulu kuduknya meremang dan bergidik ngeri setelah mendengar kalimat yang dilontarkan Samuel dengan jelas dan tegas.
Baiklah, beberapa saat lalu Annabelle memang mengatakan dirinya bukan anak-anak. Namun, sekarang dia tak cukup dewasa untuk bisa mengerti dan mencerna kata-kata Samuel.Bagaimana mungkin seorang pria yang baru saja menjawab panggilan dari istrinya, lalu di detik berikutnya bisa dengan begitu mudah minta dimengerti perasaannya oleh wanita lain?Butuh upaya keras bagi Annabelle untuk mencari jawaban itu, tetapi otaknya terlalu terbatas, dan dia kesulitan memahami pria yang jelas-jelas jauh lebih tua daripada dirinya itu.Terlebih lagi, mereka baru saja bertemu satu kali. Jadi, menurut Annabelle, terlalu prematur jika dia harus memahami perasaan Samuel."Lebih baik kita nggak usah ketemu lagi." Akhirnya Annabelle kembali menemukan suaranya, dan hal itu berhasil membuat Samuel yang tengah memanuver persneling mobilnya tertohok dan seketika menatap Annabelle dengan tak habis pikir.Alih-alih melajukan mobil dan keluar dari parkiran klub, Samuel justru mengembuskan napas kasar. Annabelle yang duduk menatap keluar jendela langsung terperanjat saat pria itu tiba-tiba mencondongkan tubuh ke arahnya, memaksa Annabelle agar menoleh dan seketika memagut bibirnya dengan posesif.Annabelle bisa merasakan napas Samuel begitu memburu, seperti seseorang yang dikuasai emosi—dan begitu juga bibir Samuel menguasai bibir Annabelle. Sangat rakus dan penuh dahaga. Annabelle berupaya mendorong bahu Samuel, tetapi pria itu tak berniat melepaskan pagutannya yang semakin intens.Samuel menahan kedua bahu Annabelle agar tak melawan, sementara bibirnya terus mengulum bibir Annabelle hingga wanita itu kesulitan bernapas. Samuel baru menghentikan ciumannya saat menyadari pipi Annabelle basah, sementara kedua mata wanita itu terpejam rapat."Annabelle," bisikan Samuel terdengar parau saat mengecup pipi Annabelle, kemudikan menyadari tubuh wanita itu menggigil sehingga Samuel langsung menyalakan lampu kabin.Pria itu melipat kekhawatiran saat menyadari wajah Annabelle berubah pucat. Wanita itu tak membuka mulut atau berkomentar sepatah kata pun, tetapi air matanya terus bercucuran—meski Annabelle sendiri berupaya menghentikan tangisnya.Annabelle tak tahu kenapa insiden yang terjadi lebih dari tujuh tahun lalu itu tiba-tiba muncul dalam benaknya, tepat ketika Samuel menciumnya dengan agresif. Sekujur tubuh Annabelle terasa nyeri saat mengingat apa yang dia alami saat itu.Seharusnya dia sudah bisa melupakan kejadian terpahit dalam hidupnya, mengingat dia masih hidup dan bertahan hingga saat ini. Namun, ketika menyadari di sanalah titik kehancuran dalam kehidupan Annabelle, rasanya sampai mati pun dia tak bisa terima mengingat tak ada hal baik yang dia rasakan setelah insiden itu."Maaf," kata Samuel, menyadari bahwa wanita itu tampaknya benar-benar terkejut dan ketakutan dengan tindakannya. "Aku cuma nggak bisa ngontrol emosi waktu kamu bilang nggak mau ketemu lagi. Seminggu ini aku bener-bener kangen kamu, Annabelle."Samuel menjauhkan tubuhnya dari Annabelle, menyambar kotak tisu dari atas dashboard, lalu meletakkan di atas paha Annabelle, sementara dia menarik beberapa lembar tisu dan menyeka air mata wanita itu."Om Samuel," kata Annabelle sengau, sementara pria itu masih berupaya mengeringkan air mata di pipinya. "Aku … a-aku harus ngasih tau sesuatu. Aku mau bicara serius, tapi aku mau makan dulu."Samuel tak tahu apakah dia harus panik atau tertawa mendengar ucapan Annabelle, dan dia tak bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya dipikirkan wanita itu.Namun, Samuel tak membuang-buang waktu lagi saat mendengar Annabelle ingin makan. Samuel mematikan lampu kabin, manuver-manuver yang dilakukannya tampak sedikit lebih rileks saat menyadari bahwa Annabelle tidak marah, atau berusaha meminta pulang."Mau makan apa?" tanya Samuel dengan nada rendah saat mobil memasuki jalan raya, dan karena terlalu fokus mengemudi, dia tak menyadari bahwa Annabelle tengah memerhatikannya.Annabelle masih memikirkan setiap kata-kata Samuel, terutama kelakuan Samuel yang menciumnya dengan cara tak terduga.Memang, Annabelle bukan seorang gadis atau wanita polos yang tak pernah dicium. Dia janda, dan dia tahu banyak hal—meski usianya baru menginjak dua puluh satu tahun.Namun, dia baru pertama kali bertemu dengan pria aneh seperti Samuel—yang menciumnya dengan kasar seolah sedang meluapkan kekesalan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata."Bubur ayam," kata Annabelle singkat sambil kembali menarik perhatiannya dari memerhatikan Samuel.Samuel memberingis geli saat berkomentar, "Minumnya susu ultra rasa stroberi, makanannya bubur ayam. Oke, kamu bukan anak-anak. Tapi gadis yang unik. Ngomong-ngomong, di mana nyari bubur jam segini? Aku nggak suka bubur, dan ini udah hampir subuh, Annabelle."Alis Annabelle yang tebal natural sedikit bertautan."Aku janda, bukan gadis," sahut Annabelle datar. "Di pertigaan itu ada bubur ayam Cianjur yang buka 24 jam.""Janda rasa gadis," gumam Samuel pelan. "Nggak usah bahas-bahas status kayak gitu, Annabelle. Orang juga nggak akan tau kalau kamu udah pernah nikah. Badan kamu kecil, persis anak remaja, apalagi kalau kamu berpenampilan santai kayak—""Itu mah lebay namanya, Om," pungkas Annabelle, tetapi dia tak bisa untuk tidak merasa tersipu oleh pujian Samuel—meski dia tahu pujian yang diucapkannya terlalu berlebihan. "Bukan mau bahas, tapi cuma ngingetin kalau aku bukan gadis. Barusan kan Om bilang aku gadis unik, cuma—""Annabelle, Annabelle …" Samuel tertawa saat menghentikan kalimat wanita itu, tetapi raut wajahnya berubah serius saat melanjutkan, "Ada yang salah dengan nada bicaramu. Kamu terlalu berkecil hati karena statusmu ini. Tapi, seharusnya kamu bersyukur, dibandingkan para gadis yang tak bisa mempertahankan kegadisannya dan mengaku paling suci, padahal kelakuannya lebih murahan dari seorang janda, bahkan lont* sekalipun."Annabelle tertegun mendengar kalimat Samuel yang penuh penegasan. Baiklah, satu hal lagi yang membuat hati Annabelle terasa nyeri dan dia bertanya-tanya, apakah kesucian dari seorang gadis memang begitu penting bagi seorang pria?Jika memang begitu, Annabelle tahu kenapa suaminya tak pernah menghargai dia—terutama dia menikah karena perjodohan.Bukan, Annabelle bukan menyesali telah bercerai dengan mantan suaminya. Namun, sekali lagi hal itu membuatnya kembali terngiang atas insiden tahun itu.Andai saja dia tidak mengalaminya, mungkin suami Annabelle tak akan mengungkit tentang kegadisan, dan menjadikan itu sebagai alasan hingga bisa memperbudak dan bersikap semaunya kan?Bahkan, itu juga kah alasan suaminya berselingkuh dengan mantan istrinya, membelenggu Annabelle dengan pernikahan paling buruk yang berjalan hampir dua tahun itu kan?"Di sebelah mana yang jual buburnya?"Pertanyaan Samuel berhasil membuyarkan lamunan Annabelle, lalu tersadar bahwa mereka sudah berada di tempat yang dituju.Annabelle menunjuk pada kedai yang didominasi cat berwarna tosca, lalu Samuel memarkirkan mobilnya, dan Annabelle tak ingin menunggu Samuel hingga membukakan pintu untuknya.Selain dia bisa membuka pintu sendiri dan melangkah turun, Annabelle sudah tak tahan ingin segera makan karena melewatkan makan malam saat dia terlalu sibuk bernyanyi di villa.Jadi, ketika Samuel berjalan masuk kedai menyusul Annabelle, wanita itu sudah berdiri sambil memesan makanannya."Mau makan apa, Om?" tanya Annabelle spontan saat Samuel berdiri di sampingnya, dia sedikit tegang ketika pria itu menyampirkan sebelah tangannya di bahu Annabelle. "Bubur apa nasi goreng?"Samuel mengernyit melihat selembar daftar menu di tangan Annabelle. Selain nasi goreng dan bubur, kedai itu hanya menyajikan berbagai mie dan aneka minuman. Melihat kondisi kedai tampak
Annabelle mendapati dirinya bergelung di pelukan Samuel saat mendengar alarm yang dia set pukul enam pagi. Tentu saja mereka masih berpakaian lengkap, dan mereka baru tertidur satu jam lalu setelah memutuskan menginap di salah satu hotel melati yang tak jauh dari tempat mereka berbincang.Meski mereka hanya menghabiskan waktu dengan berdebat panjang lebar di kedai bubur hingga hampir pukul lima pagi, tetapi tetap saja itu membuat seluruh tubuh Annabelle terasa remuk, dan rasanya dia tak sanggup untuk bangun dari tempat tidur.Namun, mengingat bahwa Annabelle beralasan pada sang ibu akan menginap di rumah temannya, tentu saja dia harus segera berada di sana, khawatir adik laki-lakinya akan datang menjemput.Pergerakan kecil Annabelle yang berusaha turun dari tempat tidur berhasil membuat Samuel terjaga dan menggeliat dari tidurnya."Mau ke mana, Ma?" gumam Samuel sambil menggeliat, yang tampaknya belum sadar dengan siapa dia tertidur. Namun, di detik berikutnya pria itu langsung terper
"Aku nggak lepas tangan loh, Anna." Sekali lagi Samuel menghidu feromon—aroma tubuh khas Annabelle yang lebih senang memakai parfum bayi. "Bentar lagi, wanginya ngangenin sih.""Tapi pegel," gerutu Annabelle sambil mendorong tubuh Samuel kuat-kuat, dan berhasil membuat pria itu berguling ke samping. "Aku ikut pulang bareng, ya?"Tanpa menunggu jawaban dari Samuel, Annabelle langsung beranjak dari tempat tidur, menutupi tubuh polosnya dengan handuk dan berderap ke kamar mandi.Ketika Annabelle keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian, Samuel sudah mengenakan pakaiannya dengan lengkap, dan pria itu duduk bersandar pada sofa di depan televisi sambil memainkan ponsel, lengkap dengan sebatang rokok yang dia nikmati.Samuel mengamati Annabelle mengenakan pakaiannya semalam, gerakannya begitu cepat seolah-olah melebihi seseorang yang terlambat masuk sekolah. Untuk ukuran wanita, Annabelle tak membuang lebih banyak waktu untuk bersiap-siap. Bahkan wanita itu tak bersusah payah merias
"Widih, Annabelle … cakep bener lu dapet ikan kakap!" Juwita—teman Annabelle, berseru sambil menggeleng-gelengkan kepala saat membawa masuk Annabelle ke rumahnya, dia nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat. "Jadi, yang semalem jemput lu di villa itu Om Samuel, ya?"Annabelle mengangguk membenarkan, lalu percakapan mereka terhenti sejenak saat Juwita mencari minuman dari lemari es di dekat pintu dapur.Rumah Juwita tak begitu luas, hanya satu kamar berukuran tiga meter, ruang tamu beralaskan permadani merah yang sama besar dengan ukuran kamar tidurnya, lalu dapur kecil dan kamar mandi.Juwita pernah mengatakan bahwa rumah itu adalah bagian warisan peninggalan orang tuanya—setelah saudara-saudaranya membagi rata. Jadi, salah satu alasan kenapa Annabelle sering berkunjung ke rumah Juwita, yaitu karena Juwita pun sering meminta ditemani agar tak sendirian.Masing-masing kakaknya sudah berkeluarga, sedangkan adiknya yang paling kecil ikut dengan kakak pertamanya. Sementara Juwita send
Jauh dari Annabelle yang berada di kediaman Juwita, Samuel masih duduk malas dalam mobil yang terparkir di pelataran rumahnya yang tampak sepi, dan Samuel meyakini istrinya pasti pergi menemani Alfian sekolah.Dia tak bisa untuk tidak tergelitik saat membaca pesan balasan dari Annabelle, lalu kembali mengetik dan membalasnya lagi.To: Room 2: [Kamu lama-lama makin ngangenin. Ngomong-ngomong, tidur dulu sana. Kabarin kalau sampe sore masih di rumah Juwita, nanti aku jemput. Aku udah sampe rumah. Have a nice day, Red Cherry.]Mengingat bahwa Samuel tidak menyembunyikan statusnya sebagai seorang yang sudah beristri, dia yakin Annabelle cukup mengerti bahwa Samuel baru saja memberi kode agar Annabelle tak membalas pesannya lagi.Samuel turun dari mobil dan menutup pintu. Derap sneaker Samuel begitu santai di atas teras dengan keramik putih mengilap, melewati dua pilar tingga dan meraih kunci rumah dari saku jaket.Namun, sebelum memasukkan kunci ke lubang pintu, salah satu dari kedua daun
Samuel memutuskan kembali pulang setelah meyakini bahwa istrinya memang hanya pergi ke sekolah Alfian—tidak berbuat sesuatu yang pernah dilakukan Yunita dua tahun lalu.Sambil berupaya menekan kecurigaan yang menggelegak dalam jiwanya, Samuel kembali menunggangi motor dan memacu perlahan. Meski dia sempat tidak yakin bahwa Yunita sedang mengobrol dengan orang yang disebut sebagai ibunya teman Alfian, tetapi bisa saja Yunita memang sedang mengobrol dengan beliau melalui SMS atau telepon.Setelah tiba di rumah beberapa menit kemudian dan merasa sedikit tenang karena kecurigaannya tak terbukti, Samuel menyimpan ponselnya di atas meja rias, lalu berganti pakaian dan langsung tidur.Walau bagaimanapun, setelah terjaga dari kemarin sore, hanya tertidur satu jam pagi hari, dan berakhir dengan pergulatan luar biasa bersama Annabelle, tentu saja Samuel sekarang merasa bahwa dia benar-benar perlu tidur sejenak.Dia tak perlu bersusah payah untuk memikirkan tamu-tamu yang menyewa villa dan pengin
Yunita tersenyum malu-malu, dia memang mengaku sebagai Vita. Bukan nama palsu, tetapi diambil dari nama belakangnya—Yunita Pusvitasari."Kamu lebih tampan dari pada di foto, Mas," kata Yunita dengan senyum nakal. "Keliatan lebih muda juga.""Ah, kamu bisa aja. Biasa aja, kok," sahut Aldi enteng. "Eh, beneran aman kan kita ketemuan? Aku khawatir kamu udah ada yang punya, ntar tau-tau kita digerebek padahal aku udah jauh-jauh dateng dari Jakarta, sampe relain—""Udah tenang aja, Mas," potong Yunita buru-buru, suaranya berubah sedikit sendu. "Kan aku bilang kalau aku janda udah dua tahun. Suami dan anakku meninggal kecelakaan, makanya aku baru bisa buka hati lagi buat laki-laki lain. Aku terlalu cinta sama suamiku, sampe nggak rela gantiin posisi dia sama laki-laki lain. Tapi untungnya temenku pada ngingetin kalau aku harus bangkit dan buka hati lagi, kalau—""Jangan sedih, Vit," tukas Aldi sambil mengusap-usap bahunya. "Aku udah sering denger kamu cerita di telepon sambil nangis. Makanya
Samuel langsung menelpon sang istri, panggilan tersambung, tetapi tak kunjung dijawab. Dengan langkah malas dia mengambil rokok dari saku jaket, air wajahnya bertambah masam saat menyadari rokoknya habis."Al, Papa tolong beliin rokok dong," kata Alfian sambil mengambil dua lembar uang seratus ribuan dari dompet dan keluar dari kamar.Sambil mengunyah makanan, Alfian mengulurkan tangan untuk mengambil uang yang disodorkan papanya. "Rokok apaan, Pa? Rokok mentol mah nggak ada di warung mang Iyan.""Itu mah rokok si mama," kata Samuel. "Beliin Garpit—Gudang garam filter, satu slop. Di warung depan rumah aja, jangan jauh-jauh.""Alfian mau jajan sekalian, ya?" kata Alfian dengan mulut masih tersumpal makanan. "Tapi di warung mang Iyan di depan rumah mah nggak ada es krim. Jadi mau di warung si Ucok aja.""Kejauhan, Al," kata Samuel sambil memberengut. "Lagian di warung itu mah kamu harus nyebrang jalan raya. Ntaran aja kalo mau beli es krim mah kita supermarket. Jajan yang lain aja dulu."
Samuel berhasil tiba di rumah ketika waktu menunjukkan pukul lima subuh, persis seperti yang Annabelle ingatkan.Selimut tebal berbulu lembut menggulung di atas betis Annabelle, dan Samuel memperkirakan wanita itu tampaknya berulang kali terbangun. Lalu, keadaan kembali menyeret Samuel pada realita tentang Annabelle. Menyadarkan dirinya tentang apa yang sudah dia lakukan pada wanita itu.Wanita yang sekali lagi Samuel paksa untuk masuk ke kehidupan dirinya dengan sisa-sisa kebahagiaan yang mungkin masih dia miliki. Jika Samuel berpikir masa lalunya begitu mengerikan, lalu bagaimana dengan Annabelle yang tadi siang histeris di rumah sakit?Samuel berjalan mengendap-endap ke arah tempat tidur, menarik selimut dan menutupi tubuh Annabelle. Meski gerakan Samuel begitu hati-hati, tetapi tetap saja hal itu membuat Annabelle terperanjat dengan mata terbelalak sekaligus. Untuk beberapa saat, keterkejutan jelas mewarnai Annabelle.Lalu, kemudian wanita itu mengembuskan napas lega— meskipun wa
"Banyak, Om, banyak ..." Annabelle menaikkan dagu dan menatap Samuel dengan angkuh."Misalnya?" Samuel menaikkan sebelah alis, mendesak penjelasan yang sama sekali tidak bisa dia pahami."Kan waktu itu kamu kasih aku sembilan juta, waktu kamu bilang mau pergi ke Bali sama istri dan anakmu selama sebelas hari, kamu janjinya mau luangin waktu seharian buat aku kalau udah pulang—""Anna, aku udah hampir dua minggu ini nemenin kamu seharian, masa kamu masih mau ungkit—""Dengerin dulu ih!" gerutu Annabelle kesal.Jadi, Samuel mengamati Annabelle sambil menahan sorot geli. Samuel menatap Annabelle lekat-lekat sementara dia menanti untaian kalimat yang akan bergulir di bibir ranum istrinya."Nih, yah, dengerin ... Kalau sebelas hari kepergian kamu sama dengan satu hari buat aku, aku perkirakan waktu kita berpisah itu selama dua ratus dua puluh hari, yang artinya utang waktu kamu buat aku itu ada dua puluh hari ..."Annabelle memelototi Samuel ketika pria itu hampir menertawainya, dan saat S
Tepat pukul sepuluh malam, Annabelle dan Samuel bersama anak mereka tiba di villa. Annabelle sudah terlihat sangat lelah, seolah ingin segera melemparkan tubuhnya ke tempat tidur— tak berbeda dengan Samuel.Namun, sayangnya Samuel tak bisa langsung beristirahat, terutama karena dia sudah ditunggu Dika sejak tadi.Selama tinggal di villa, Annabelle sudah terbiasa melihat kehadiran adik lelaki Samuel yang datang setiap malam, dan dia tak pernah mempertanyakan apa yang dilakukan Samuel dan adiknya.Saat itu, dia memilih untuk sama sekali tak peduli dengan apa yang dilakukan Samuel, atau pun ke mana pria itu pergi.Akan tetapi, kali ini mungkin dia harus sedikit peduli dan mencari tahu lebih banyak tentang suaminya. Terutama setelah dia Annabelle menyadari bahwa rumah tangganya dengan Samuel kali ini benar-benar dimulai dari awal, dengan status yang jelas berbeda dari sebelumnya."Kamu istirahat duluan, nanti aku nyusul," kata Samuel setelah mengantar Annabelle ke kamar. "Kalau mau mandi
Untuk pertama kalinya Annabelle memindai wajah Yunita, seolah merekam wajah dan penampilan wanita tersebut dalam memorinya. Namun, semakin menyadari bahwa wajah Yunita begitu mulus dan pandai bersolek, Annabelle semakin membandingkan dirinya dengan wanita itu, dan tak salah jika dia berkecil hati untuk saat ini.Yunita mengenakan jeans hitam ketat, dipadu atasan merah muda yang juga ketat, sehingga membentuk setiap lekuk tubuh wanita itu. Bahkan, kerah bajunya yang berpotongan rendah sedikit memperlihatkan payudaranya yang penuh dan tampak sintal.Harus Annabelle akui, bahwa dirinya lebih pendek dari pada Yunita. Posisi mereka yang berdekatan membuatnya tersadar bahwa tinggi Annabelle hanya sebatas dagu Yunita. Dari awal melihat wanita itu, pandangan Annabelle memang hanya terfokus pada bibir dan mata Yunita, tetapi kini dia juga bisa melihat hidung Yunita sedikit lebih mancung dibanding dirinya.Hal tersebut membuat Annabelle berpikir, pantas saja dulu Samuel langsung menceraikan Ann
"Kamu aja yang ke sana, aku nunggu di sini. Ngambil Samantha doang, terus nanti kamu langsung—""Kamunya ikut turun, Anna," tukas Samuel yang berdiri sambil menahan pintu di dekat Annabelle. Terkadang, Samuel harus ekstra sabar saat mendapati Annabelle bersikap kekanak-kanakan seperti itu. "Aku khawatir bakalan sedikit lama, soalnya si Alfian udah seminggu nggak ketemu aku. Ikut turun, ya?""Ish, tapi kan aku malu sama kakak kamu, Om!" Annabelle memberingis masam. "Pas ketemu waktu itu aku bentak-bentak kakak kamu. Masa sekarang—""Sayang, nggak apa-apa, dia juga nggak ambil hati, kok," Samuel membujuk sambil mengulurkan tangan, tetapi Annabelle tetap tak bergerak dari kursinya. "Lagian, kamu bilang kan waktu itu kaget karena Samantha nggak ada. Turun, yuk? Kakakku nggak suka gigit orang, kok."Annabelle tampak ragu. Sekali lagi dia mengedarkan pandangan ke depan, pada sederet motor yang terparkir di pelataran rumah. Sesungguhnya, dia benar-benar malu saat berpikir akan berhadapan den
"Kamu mah bener-bener keterlaluan. Udah mah ngasih hadiah ke cowok lain, ngerepotin sampe harus nemenin kamu nyari kantor pos buat kirim barang. Terbuka sih terbuka sama suami, nggak mau nyembunyiin hal apa pun, tapi kalau sampe perhatiannya kayak gitu, aku juga bisa sakit hati, Anna."Annabelle memiringkan kepala melihat bagaimana wajah Samuel begitu kusut, sementara bibir Samuel terus menggerutu selagi pria itu melaju dengan kecepatan tinggi.Bahkan, manuver-manuver yang dilakukan Samuel sedikit kasar. Dan Annabelle hanya bisa kasihan sekaligus berbunga-bunga melihat kecemburuan Samuel yang begitu besar.Sebelumnya, Annabelle tak pernah merasa dicemburui sebegitu terang-terangan oleh pria. Jadi, ketika Samuel bersikap demikian, bukan salah Annabelle jika dia ingin berlama-lama melihat suaminya terbakar cemburu. Entah mengapa, ada kebanggaan tersendiri bagi Annabelle dicemburui oleh pria yang dia cintai, suaminya."Ya udah ntar mah nggak usah bilang-bilang kamu kalau aku mau kasih ha
"Bisa nggak sih beli susunya di minimarket pertigaan villa aja? Kanapa harus ke mall cuma mau beli susu doang?""Nggak ada salahnya mampir sekalian lewat 'kan?" Samuel menggandeng tangan Annabelle ketika berjalan memasuki gedung pusat perbelanjaan."Emang susunya Samantha beneran udah mau abis?" Annabelle berusaha mengingat-ingat sebelum akhirnya kembali berkata, "Perasaan aku liat masih ada dua kaleng yang belum dibuka. Minggu lalu kan kamu belinya tiga, masa seminggu udah abis semua sih?"Samuel tak menjawab, hanya mengulum senyum nakal sambil melirik Annabelle ketika mereka berjalan ke ekskalator.Annabelle mendongak dan menyadari bahwa susu Samantha yang katanya habis hanya alasan Samuel agar dia mau diajak mampir ke mall. Jadi, tak heran jika sekarang Annabelle mendengkus jengkel dan mengempas tangan Samuel yang menggandengnya."Dasar pria licik," gerutu Annabelle ketika mereka tiba di lantai dua. "Udah pulang aja sekarang. Ini udah sore, kasian Samantha.""Pulang sekarang atau
"Jadi itu alesannya kenapa kamu juga konsultasi ke dokter Cheppy?" Annabelle tak tahu sejak kapan air matanya bercucuran saat lagi-lagi mengetahui fakta yang dialami Samuel selama ini.Ketika Samuel hanya mengangguk dan mengembuskan napas berat, Annabelle kembali menambahkan dengan pedih, "Kenapa Om nggak datang sejak awal dan ngasih tau aku, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu butuh aku?"Air wajah Samuel masam dan serba salah ketika sejak tadi tak bisa menghentikan tangis Annabelle. "Akunya malu, Anna. Aku sadar udah nyakitin kamu, aku takut kamu nggak maafin aku," kata Samuel pahit. "Lagian, aku bener-bener takut, takut aku bawa penyakit yang ujung-ujungnya bakal nular ke kamu. Aku nggak mau kamu sampe kenapa-kenapa gara-gara aku.""Nyampe nahan diri nggak mau nemuin aku, padahal kamu kangen pengen ketemu aku? Gitu?" Annabelle terisak-isak menahan sesak. "Padahal, setelah aku tau kalau aku hamil, tiap hari aku nungguin kamu. Tiap hari aku berdoa supaya Tuhan buka hati kamu biar sek
Malam itu, seusai menjatuhkan talak tiga pada Yunita, Samuel langsung pergi tanpa membawa Alfian. Awalnya, Samuel berpikir dia bisa melepaskan Alfian begitu saja.Akan tetapi, kehilangan Alfian ternyata jauh lebih menyakitkan dari pada kehilangan Annabelle dan pengkhianatan yang dilakukan Yunita.Ketika malam semakin larut dan semakin banyak Samuel meneguk Marteel, dia mendapati dirinya semakin hancur dalam kesendirian dan rasa sakit.Dalam kondisinya yang berada di bawah pengaruh alkohol, benak Samuel dipenuhi oleh bayang-bayang Annabelle yang begitu terluka ketika dia menceraikannya tadi sore.Samuel tertawa getir saat berkelebat pemikiran bahwa karma tersadis yang dia lakukan pada Annabelle dibayar kontan sebelum dua puluh empat jam. Samuel tak bisa menebak seberapa terlukanya Annabelle, tetapi dia sadar, rasa sakit yang dia dapatkan saat ini mungkin tak sebanding dengan luka yang dirasakan Annabelle.Meski demikian, Samuel hanya berharap wanita itu belum benar-benar jatuh cinta p