"Ntaran dulu atuh, Ay. Lima menit lagi. Aku kan masih kangen."
"Tapi kamu bilang lima menitnya udah sepuluh kali, Sayang," kata Samuel dengan tak berdaya, sambil membelai belakang kepala Annabelle yang membenamkan wajah di dadanya. "Udah hampir sejam kamu meluk aku. Nggak pegel berdiri terus kayak gini?""Enggak."Suara Annabelle sedikit teredam di dada Samuel. Dia tak peduli kakinya terasa kebas karena berdiri di lantai tanpa alas kaki, sementara Samuel sudah mengenakan jaket dan sepatunya, bersiap pulang setelah menunaikan shalat maghrib dan makan malam bersama.Bahkan, satu set pakaian Samuel yang sudah Annabelle cuci dan setrika telah dia masukkan ke ransel Samuel yang kini tergeletak di samping pintu. Entah mengapa, kali ini ada rasa tak rela membiarkan Samuel pulang.Sebagai seorang wanita normal, rasanya mungkin wajar jika Annabelle ingin berlama-lama bersama suaminya, mengingat mereka baru beberapa hari menikah. Terutama ketika An'Memendam tak selalu senyap, pun begitu pula dengan bersuara—tak selalu berisik.'Satu kalimat itu terlintas dalam benaknya setelah satu jam berbaring di tempat tidur, tetapi mata Annabelle masih enggan terpejam. Tak henti benaknya merenungi suasana hatinya yang tak keruan malam itu.Annabelle terpikir akan segelintir ucapan dari orang-orang yang pernah menjadi simpanan Om-om, atau bahkan istri muda dari sang tuan kaya.Katanya, lebih baik menjadi yang kedua tapi selalu diutamakan—daripada menjadi yang pertama tapi diduakan.Faktanya, Annabelle menyadari bahwa kalimat itu pasti terucap dari mulut-mulut wanita yang hidupnya tak beruntung karena tak bisa menjadi satu-satunya wanita dalam kehidupan si pria.Mereka berkilah, mengelak dari situasi yang tak mengenakan karena hanya bisa dijadikan yang kedua. Akhirnya dia mengerti, mereka hanya menjadikan kegetiran hidup mereka sebagai guyonan semata, karena sejatinya nasib tak beruntung memang h
"Tuh kan, liburan jadinya batal lagi!""Kamu bisa liat nggak sih aku lagi sakit? Jangankan pergi liburan, berangkat ke rumah sakit aja aku nggak kuat. Nggak denger tadi dokter yang ke sini bilang apa? Paham nggak sih yang dibutuhin orang sakit itu cuma istirahat?""Tapi tiket sama semua kebutuhannya udah—""Bukan kamu juga kan yang ngeluarin uang?" Samuel mengerang sambil mencubit-cubit tengah alis saat kepalanya terasa semakin berdenyut-denyut. "Bisa nggak kamu jangan bahas ini dulu?"Yunita berubah tak senang, tak peduli meski Samuel terbaring di tempat tidur dengan jarum infus yang terpasang di punggung tangan kanannya."Ya udah, aku nggak akan bahas-bahas liburan lagi," ujar Yunita dengan suara sedikit janggal. "Tapi tiga minggu lagi ulang tahun pernikahan kita yang ke sepuluh. Nggak apa-apa liburan batal, tapi aku pengen ngadain acara aja di villa kita, undang semua—""Iya, iya, iya ...," tukas Samuel, tak tahan dengan gerutuan Yunita. "Terserah, kamu atur aja sendiri ... Bisa t
Rasa rindu dan kekecewaan di hati Annabelle perlahan berubah menjadi rasa takut dan kekhawatiran. Dia mencoba memberanikan diri menghubungi Samuel dengan menggunakan private nomor, tetapi nomor pria itu tidak bisa dihubungi.Terbersit pemikiran untuk memberanikan diri dan mendatangi penginapan atau villa Samuel, tetapi dia lebih khawatir akan kemungkinan bertemu istri Samuel—dan menimbulkan kesalahpahaman bagi rumah tangga pria itu.Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya Annabelle memutuskan untuk menghubungi nomor Anji terlebih dahulu. Beruntung saat itu nomor Anji bisa dihubungi, dan dia tak ragu untuk langsung mengutarakan apa yang menjadi kecemasannya."A, Om Samuel belum pulang dari Bali, ya?" tanya Annabelle setelah mendengar Anji menyapanya."Eh, ke Bali-nya kan batal, Annabelle. Si Om sakit semenjak dua minggu—""Hah? Sakit apa?" Annabelle terlonjak terkejut, bahkan dia merasa kesulitan bernapas untuk beberapa detik. "Kok bisa sih? Kok Aa nggak ngabarin aku?""Lupa,
"Aku?" Annabelle tersentak, nyaris tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Aku bahkan nggak tau penyakit itu kayak gimana. Kok bisa Ay ngerasa aku nularin—""Justru itu, bisa saja karena kamu nggak tau bahwa kamu udah mengidap gejala penyakit itu tanpa kamu sadari selama ngelayanin—""Aku tau benar siapa aja yang aku layan—""Dan itu nggak pake kondom?" Samuel menebak tanpa tedeng aling-aling. "Kamu nggak ada lho minta aku pake kondom saat pertama kali aku booking kamu. Apa itu juga berlaku untuk semua tamu-tamu yang udah kamu layani?"Annabelle nyaris tak bisa bernapas untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Samuel. Bibirnya bergerak terbuka, tetapi kemudian tertutup lagi saat menyadari bagaimana cara Samuel menatapnya, seolah-olah asumsi pria itu benar adanya.Setelah beberapa saat, entah dari mana gagasan itu muncul dari dalam benak Annabelle dan membuat dia tiba-tiba berkata, "Bisa jadi penyakit itu nular dari istri pertama kamu yang—""Annabelle, jaga ucapanmu!" tukas Samuel din
Hati Annabelle terasa remuk. Bahkan dia bisa mendengar bagaimana hatinya pecah berkeping-keping. Akan tetapi, dia tahu tak akan guna jika berbicara dengan orang yang memang sedang di luar kendalinya.Annabelle juga tak bisa memaksa Samuel agar percaya pada apa yang dia katakan, karena dia tak bisa membuktikan kata-katanya. Yang dia tahu, Samuel tak mungkin selamanya berada di bawah kendali itu.Namun, dia juga tahu, akan sulit bagi Samuel untuk pulih jika keimanannya lebih tipis dari tisu. Sama seperti dirinya yang menjerumuskan diri menjadi pelacur, karena imannya yang terlalu kecil. Jadi, tak heran jika mereka lebih mudah dikuasai oleh hawa nafsu, bahkan makhluk astral yang sengaja dihadirkan untuk mengendalikan Samuel.Mengalah, mungkin itu yang bisa Annabelle lakukan sekarang. Sebenarnya, dia ingin membawa Samuel pergi, karena merasa yakin Samuel tak akan mendekatkan diri pada Tuhan, kecuali hanya karena dipaksa.Namun, dia tahu reaksi yang akan diterima adalah penolakan dan sikap
'Aku mencintaimu, Wahai Semestaku ... Aku tak bisa berteriak pada semesta ku, karena aku tahu dia bisa mendengar bisikan jiwaku.'Annabelle tak tahu seberapa lama dia menangis, terutama ketika lagi-lagi setiap bisikan lembut ucapan Samuel terus berdengung di telinganya.Yang dia tahu, kepalanya terasa berdenyut-denyut akibat begitu banyak air mata yang terus keluar tanpa bisa dikendalikan.Yang Annabelle tahu, dia bahkan tak sanggup untuk mengatakan pada diri sendiri bahwa dia bukan tak pernah merasakan kegagalan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Bahwa perceraian bukan hal yang bisa melumpuhkan semangatnya dalam merajut kehidupan.Hanya saja, miris rasanya saat mengingat usia dia yang baru dua puluh satu tahun, tetapi sudah dua kali gagal berumah tangga.Dua minggu lalu, dia bisa mengatakan pada diri sendiri, bahwa takdirnya menjadi istri simpanan bukan untuk diratapi.Akan tetapi, saat ini rasanya ribuan kata-kata penyemangat pun seolah hilang dalam benaknya. Mungkin, sekali saja
Anji terdiam, tahu bahwa Annabelle sedang bersusah payah menahan tangis. Hal yang jarang dia lihat semenjak mengenal Annabelle yang kerap mewarnai percakapan mereka dengan lelucon polosnya.Tak ingin terlalu lama terjebak di situasi yang membuat serba salah, akhirnya Anji buru-buru berbalik dan melangkah menuju motornya sambil berkata, "Ya udah, anggap aja itu biaya masa idah dan kompensasi atas rasa sakit yang kamu terima. Lagian, itu surat atas nama kamu. Kalau dikasihin ke si Om Samuel terus bininya tau atas nama Annabelle, bisa berabe juga urusannya."Annabelle tertawa getir. Lagi-lagi semua demi menjaga hati istri Samuel. Namun, bukan kalimat itu yang membuat Annabelle semakin nyeri, tetapi ...Kompensasi atas rasa sakit katanya? Apakah itu seimbang dengan rasa sakit yang ditorehkan Samuel ketika menuding dirinya yang menularkan penyakit seksual pada Samuel dan istrinya?"Maksudnya, kamu dikasih ruko sama mantan suamimu, Neng?""Iya, Pak," balas Annabelle setelah menjelaskan pada
"Hamil? Kok bisa?"Annabelle nyaris tak percaya ketika dokter menjelaskan kabar tersebut sambil menunjukkan strip uji kehamilan dengan dua garis merah, yang menyatakan dirinya positif hamil.Dokter wanita paruh baya yang bertugas di puskesmas itu sedikit mengernyit melihat reaksi Annabelle yang tercengang. Dia membetulkan kacamata baca yang bertengger di hidungnya saat berupaya menjelaskan."Gini, ya, Teh Annabelle. Tadi kan saya udah bilang, memang mual muntah sama meriang yang dikeluhin sama Teteh itu bisa aja gejala asam lambung. Tapi, tadi kan Tetehnya tau di perutnya udah kepegang kayak gitu. Udah saya bilang Teteh hamil, masih aja nggak percaya. Sekarang hasil tespeknya garis dua kayak gini, masih nggak percaya juga?""Tapi, Bu Dokter, aku udah sebulan lebih nggak berhubungan. Kenapa bisa hamil kayak gini?""Hmm?" Sang dokter terdiam sejenak sebelum kemudian bertanya dengan sabar, "Kapan HPHT—Hari Pertama Haid Terakhir?"Annabelle tercengang mendengar pertanyaan tersebut. Kapan
Samuel berhasil tiba di rumah ketika waktu menunjukkan pukul lima subuh, persis seperti yang Annabelle ingatkan.Selimut tebal berbulu lembut menggulung di atas betis Annabelle, dan Samuel memperkirakan wanita itu tampaknya berulang kali terbangun. Lalu, keadaan kembali menyeret Samuel pada realita tentang Annabelle. Menyadarkan dirinya tentang apa yang sudah dia lakukan pada wanita itu.Wanita yang sekali lagi Samuel paksa untuk masuk ke kehidupan dirinya dengan sisa-sisa kebahagiaan yang mungkin masih dia miliki. Jika Samuel berpikir masa lalunya begitu mengerikan, lalu bagaimana dengan Annabelle yang tadi siang histeris di rumah sakit?Samuel berjalan mengendap-endap ke arah tempat tidur, menarik selimut dan menutupi tubuh Annabelle. Meski gerakan Samuel begitu hati-hati, tetapi tetap saja hal itu membuat Annabelle terperanjat dengan mata terbelalak sekaligus. Untuk beberapa saat, keterkejutan jelas mewarnai Annabelle.Lalu, kemudian wanita itu mengembuskan napas lega— meskipun wa
"Banyak, Om, banyak ..." Annabelle menaikkan dagu dan menatap Samuel dengan angkuh."Misalnya?" Samuel menaikkan sebelah alis, mendesak penjelasan yang sama sekali tidak bisa dia pahami."Kan waktu itu kamu kasih aku sembilan juta, waktu kamu bilang mau pergi ke Bali sama istri dan anakmu selama sebelas hari, kamu janjinya mau luangin waktu seharian buat aku kalau udah pulang—""Anna, aku udah hampir dua minggu ini nemenin kamu seharian, masa kamu masih mau ungkit—""Dengerin dulu ih!" gerutu Annabelle kesal.Jadi, Samuel mengamati Annabelle sambil menahan sorot geli. Samuel menatap Annabelle lekat-lekat sementara dia menanti untaian kalimat yang akan bergulir di bibir ranum istrinya."Nih, yah, dengerin ... Kalau sebelas hari kepergian kamu sama dengan satu hari buat aku, aku perkirakan waktu kita berpisah itu selama dua ratus dua puluh hari, yang artinya utang waktu kamu buat aku itu ada dua puluh hari ..."Annabelle memelototi Samuel ketika pria itu hampir menertawainya, dan saat S
Tepat pukul sepuluh malam, Annabelle dan Samuel bersama anak mereka tiba di villa. Annabelle sudah terlihat sangat lelah, seolah ingin segera melemparkan tubuhnya ke tempat tidur— tak berbeda dengan Samuel.Namun, sayangnya Samuel tak bisa langsung beristirahat, terutama karena dia sudah ditunggu Dika sejak tadi.Selama tinggal di villa, Annabelle sudah terbiasa melihat kehadiran adik lelaki Samuel yang datang setiap malam, dan dia tak pernah mempertanyakan apa yang dilakukan Samuel dan adiknya.Saat itu, dia memilih untuk sama sekali tak peduli dengan apa yang dilakukan Samuel, atau pun ke mana pria itu pergi.Akan tetapi, kali ini mungkin dia harus sedikit peduli dan mencari tahu lebih banyak tentang suaminya. Terutama setelah dia Annabelle menyadari bahwa rumah tangganya dengan Samuel kali ini benar-benar dimulai dari awal, dengan status yang jelas berbeda dari sebelumnya."Kamu istirahat duluan, nanti aku nyusul," kata Samuel setelah mengantar Annabelle ke kamar. "Kalau mau mandi
Untuk pertama kalinya Annabelle memindai wajah Yunita, seolah merekam wajah dan penampilan wanita tersebut dalam memorinya. Namun, semakin menyadari bahwa wajah Yunita begitu mulus dan pandai bersolek, Annabelle semakin membandingkan dirinya dengan wanita itu, dan tak salah jika dia berkecil hati untuk saat ini.Yunita mengenakan jeans hitam ketat, dipadu atasan merah muda yang juga ketat, sehingga membentuk setiap lekuk tubuh wanita itu. Bahkan, kerah bajunya yang berpotongan rendah sedikit memperlihatkan payudaranya yang penuh dan tampak sintal.Harus Annabelle akui, bahwa dirinya lebih pendek dari pada Yunita. Posisi mereka yang berdekatan membuatnya tersadar bahwa tinggi Annabelle hanya sebatas dagu Yunita. Dari awal melihat wanita itu, pandangan Annabelle memang hanya terfokus pada bibir dan mata Yunita, tetapi kini dia juga bisa melihat hidung Yunita sedikit lebih mancung dibanding dirinya.Hal tersebut membuat Annabelle berpikir, pantas saja dulu Samuel langsung menceraikan Ann
"Kamu aja yang ke sana, aku nunggu di sini. Ngambil Samantha doang, terus nanti kamu langsung—""Kamunya ikut turun, Anna," tukas Samuel yang berdiri sambil menahan pintu di dekat Annabelle. Terkadang, Samuel harus ekstra sabar saat mendapati Annabelle bersikap kekanak-kanakan seperti itu. "Aku khawatir bakalan sedikit lama, soalnya si Alfian udah seminggu nggak ketemu aku. Ikut turun, ya?""Ish, tapi kan aku malu sama kakak kamu, Om!" Annabelle memberingis masam. "Pas ketemu waktu itu aku bentak-bentak kakak kamu. Masa sekarang—""Sayang, nggak apa-apa, dia juga nggak ambil hati, kok," Samuel membujuk sambil mengulurkan tangan, tetapi Annabelle tetap tak bergerak dari kursinya. "Lagian, kamu bilang kan waktu itu kaget karena Samantha nggak ada. Turun, yuk? Kakakku nggak suka gigit orang, kok."Annabelle tampak ragu. Sekali lagi dia mengedarkan pandangan ke depan, pada sederet motor yang terparkir di pelataran rumah. Sesungguhnya, dia benar-benar malu saat berpikir akan berhadapan den
"Kamu mah bener-bener keterlaluan. Udah mah ngasih hadiah ke cowok lain, ngerepotin sampe harus nemenin kamu nyari kantor pos buat kirim barang. Terbuka sih terbuka sama suami, nggak mau nyembunyiin hal apa pun, tapi kalau sampe perhatiannya kayak gitu, aku juga bisa sakit hati, Anna."Annabelle memiringkan kepala melihat bagaimana wajah Samuel begitu kusut, sementara bibir Samuel terus menggerutu selagi pria itu melaju dengan kecepatan tinggi.Bahkan, manuver-manuver yang dilakukan Samuel sedikit kasar. Dan Annabelle hanya bisa kasihan sekaligus berbunga-bunga melihat kecemburuan Samuel yang begitu besar.Sebelumnya, Annabelle tak pernah merasa dicemburui sebegitu terang-terangan oleh pria. Jadi, ketika Samuel bersikap demikian, bukan salah Annabelle jika dia ingin berlama-lama melihat suaminya terbakar cemburu. Entah mengapa, ada kebanggaan tersendiri bagi Annabelle dicemburui oleh pria yang dia cintai, suaminya."Ya udah ntar mah nggak usah bilang-bilang kamu kalau aku mau kasih ha
"Bisa nggak sih beli susunya di minimarket pertigaan villa aja? Kanapa harus ke mall cuma mau beli susu doang?""Nggak ada salahnya mampir sekalian lewat 'kan?" Samuel menggandeng tangan Annabelle ketika berjalan memasuki gedung pusat perbelanjaan."Emang susunya Samantha beneran udah mau abis?" Annabelle berusaha mengingat-ingat sebelum akhirnya kembali berkata, "Perasaan aku liat masih ada dua kaleng yang belum dibuka. Minggu lalu kan kamu belinya tiga, masa seminggu udah abis semua sih?"Samuel tak menjawab, hanya mengulum senyum nakal sambil melirik Annabelle ketika mereka berjalan ke ekskalator.Annabelle mendongak dan menyadari bahwa susu Samantha yang katanya habis hanya alasan Samuel agar dia mau diajak mampir ke mall. Jadi, tak heran jika sekarang Annabelle mendengkus jengkel dan mengempas tangan Samuel yang menggandengnya."Dasar pria licik," gerutu Annabelle ketika mereka tiba di lantai dua. "Udah pulang aja sekarang. Ini udah sore, kasian Samantha.""Pulang sekarang atau
"Jadi itu alesannya kenapa kamu juga konsultasi ke dokter Cheppy?" Annabelle tak tahu sejak kapan air matanya bercucuran saat lagi-lagi mengetahui fakta yang dialami Samuel selama ini.Ketika Samuel hanya mengangguk dan mengembuskan napas berat, Annabelle kembali menambahkan dengan pedih, "Kenapa Om nggak datang sejak awal dan ngasih tau aku, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu butuh aku?"Air wajah Samuel masam dan serba salah ketika sejak tadi tak bisa menghentikan tangis Annabelle. "Akunya malu, Anna. Aku sadar udah nyakitin kamu, aku takut kamu nggak maafin aku," kata Samuel pahit. "Lagian, aku bener-bener takut, takut aku bawa penyakit yang ujung-ujungnya bakal nular ke kamu. Aku nggak mau kamu sampe kenapa-kenapa gara-gara aku.""Nyampe nahan diri nggak mau nemuin aku, padahal kamu kangen pengen ketemu aku? Gitu?" Annabelle terisak-isak menahan sesak. "Padahal, setelah aku tau kalau aku hamil, tiap hari aku nungguin kamu. Tiap hari aku berdoa supaya Tuhan buka hati kamu biar sek
Malam itu, seusai menjatuhkan talak tiga pada Yunita, Samuel langsung pergi tanpa membawa Alfian. Awalnya, Samuel berpikir dia bisa melepaskan Alfian begitu saja.Akan tetapi, kehilangan Alfian ternyata jauh lebih menyakitkan dari pada kehilangan Annabelle dan pengkhianatan yang dilakukan Yunita.Ketika malam semakin larut dan semakin banyak Samuel meneguk Marteel, dia mendapati dirinya semakin hancur dalam kesendirian dan rasa sakit.Dalam kondisinya yang berada di bawah pengaruh alkohol, benak Samuel dipenuhi oleh bayang-bayang Annabelle yang begitu terluka ketika dia menceraikannya tadi sore.Samuel tertawa getir saat berkelebat pemikiran bahwa karma tersadis yang dia lakukan pada Annabelle dibayar kontan sebelum dua puluh empat jam. Samuel tak bisa menebak seberapa terlukanya Annabelle, tetapi dia sadar, rasa sakit yang dia dapatkan saat ini mungkin tak sebanding dengan luka yang dirasakan Annabelle.Meski demikian, Samuel hanya berharap wanita itu belum benar-benar jatuh cinta p