Bara yang sedang bekerja di dalam kamar merasa ada yang ganjil. Ia menoleh ke arah jendela kamar Keira yang sedikit terbuka. Nalurinya langsung memberitahunya bahwa sesuatu tidak beres. “Kei?” panggilnya sambil berjalan cepat menuju jendela. Saat melihat ke luar, ia tidak menemukan Keira di dalam kamar.Kepanikan mulai merayap dalam diri Bara. Ia langsung berlari keluar, mencari keberadaan Keira di sekitar rumah. Namun, gadis itu tidak ada di mana-mana. Sambil berlari ke pantai, Bara merasa jantungnya berdegup kencang. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Keira?Bara menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan Keira dari kejauhan. Kelegaan menyelimuti hatinya saat melihat gadis itu baik-baik saja, tetapi rasa khawatir dan marah bercampur aduk dalam dirinya.Bara akhirnya mendekati Keira dengan langkah cepat “Keira! Apa yang sedang kamu lakukan di sini? Keira tersentak dan menoleh. Melihat Bara berdiri di beberapa jengkal dari dirinya dengan wajah memerah, ia merasa jantungnya ham
Setelah membisikkan kata maaf, dengan tangan gemetar, Keira mencoba menyentuh tangan Om Bara yang tertidur di sampingnya. Semenjak kembali masuk rumah sakit, Keira merasakan tubuhnya semakin lemah. Saking lemahnya, bahkan berbicara pun terasa sangat sulit. Namun, hatinya yang dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan membuat tangan Keira tanpa sadar bergerak sendiri menyentuh tangan Om Bara.Bara tersentak saat merasakan sensasi dingin menyentuh kulitnya. Ketika menyadari bahwa itu adalah tangan Keira, ia tersenyum lega. "Keira, kamu sudah bisa menggerakkan tanganmu!" seru Bara dengan penuh kebahagiaan.Keira tersenyum tipis, walau bibirnya terlihat pucat. "Maafin aku, Om Bara," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Keira nyesel enggak dengerin saran Om. Padahal semua imbauan dan larangan yang Om bilang di Villa adalah anjuran dari dokter."Bara mengangguk dan menggenggam tangan Keira dengan lembut. "Om sudah tidak mempermasahkannya, Kei. Yang terpenting sekarang keadaanmu s
Derasnya hujan di luar seolah mencerminkan kegelisahan yang melanda hati Bara saat ia berlari mengikuti tim medis yang membawa Keira ke ruang ICU. Suara roda brankar yang berderit di sepanjang lorong rumah sakit bercampur dengan deru napas Bara yang memburu. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah pucat Keira yang terbaring lemah.Tampaknya kondisi Keira semakin kritis. Dalam perjalanan menuju ruang perawatan intensif, Bara tak henti-hentinya berdoa dalam hati, berharap Keira dapat melewati cobaan ini. Perasaan takut kehilangan Keira begitu kuat, seolah menguasai seluruh pikirannyaSetelah tiba di ICU, para dokter dan perawat bergegas menangani Keira. Mereka segera melakukan berbagai tindakan medis untuk menstabilkan kondisi Keira. Mereka dengan cekatan memasang infus, memeriksa tekanan darah, dan melakukan serangkaian tes lainnya. Untuk beberapa saat Bara hanya bisa berdiri di luar ruangan dengan cemas yang membuncah. Jarinya tak henti meremas-remas ujung kemejanya yang sudah
Di sisi lain, Bara sepertinya juga merasakan adanya perubahan dalam dirinya setiap bersama Keira dan ia pun berjuang melawan perasaan aneh dalam dirinya terhadap gadis itu. Karena perasaan aneh itu membuat Bara mulai memperhatikan detail-detail kecil tentang Keira yang dulu tak pernah ia sadari. Bagaimana indahnya rambut Keira ketika berkilau tertimpa sinar matahari. Bagaimana matanya berbinar saat tertawa. Bahkan bagaimana bibir mungilnya melengkung membentuk senyuman yang menawan ketika membicarakan hal-hal yang disukainya.Rasanya, Bara tak lagi mampu mengendalikan diri ketika berada di dekat Keira. Nafasnya selalu memburu dan matanya tak bisa lepas dari sosok gadis itu.Setiap kali Keira tersenyum, jantung Bara berdegup lebih kencang. Ketika gadis itu tertawa, suaranya terdengar bagai melodi terindah di telinga Bara. Ketika Keira meringis kesakitan saat menjalani pemeriksaan, Bara merasa seolah dunianya ikut runtuh. Kalau bisa ia ingin sekali menggantikan posisi Keira, membawa
“Saya telah berhasil memotret semua foto-foto yang Tuan muda inginkan. Silakan diperiksa apakah sesuai dengan yang Tuan muda perintahkan,” terang seorang pria berjas rapi kepada pria muda yang duduk di hadapannya dengan sorot mata begitu tajam.Pria muda itu dengan tak sabar membuka amplop coklat yang disodorkan kepadanya. Wajahnya langsung mengeras ketika melihat foto-foto yang menampilkan seorang gadis seusianya dalam posisi mesra dengan seorang lelaki dewasa, yang mungkin hanya sedikit lebih muda dari umur ayahnya. Namun, raut kesalnya segera berubah menjadi seringai miring. Foto-foto ini adalah apa yang diharapkannya untuk mengacaukan kehidupan dua orang yang telah menancapkan luka di hatinya dan membuat berantakan hidupnya. Dengan foto-foto yang sedemikian banyak menampilkan sentuhan fisik, ia yakin dapat membuat huru-hara pada kehidupan dua orang itu."Kerja bagus! Memang foto-foto kayak gini yang gue harapin dari lo," ucapnya dengan senyum licik. "Sekarang, gue mau lo kirim fo
Keira berdiri di dapur, memandang ke arah Bara yang tenggelam dalam pekerjaannya. “Om Bara,” panggilnya dengan lembut, matanya berbinar penuh harap dan semangat. “Boleh aku masak makan malam untuk kita?”Bara menatapnya sejenak, mempertimbangkan kondisi Keira yang mulai membaik setelah lama menderita anemia.Setelah jeda singkat, Bara mengangguk, "Baiklah, Kei. Tapi ingat, jangan terlalu lelah. Kalau ada yang berat-berat, serahkan pada Om saja."Keira mengangguk antusias, wajahnya berseri-seri. "Makasih, Om! Aku janji bakal hati-hati dan enggak akan berlebihan."Keira merasa semangat ketika memasuki dapur. Meski ia dikenal manja, namun ia senang belajar memasak dari Bi Darmi. Dulu, ia selalu berusaha memasak untuk Papanya dan membawakan bekal hasil masakan saat masih berpacaran dengan Kevin di bangku perkuliahan. Kini, ia ingin memberikan yang terbaik untuk Bara, meskipun status mereka hanya sementara, hanya sampai bayi kembarnya lahir ke dunia.Tak jauh dari dapur, di ruang kerja ya
Bara terperanjat di ambang pintu, matanya melebar melihat sosok istrinya yang berdiri dengan wajah merah padam. Vera, dengan rambut berantakan dan napas tersengal, menatapnya penuh amarah."Bagus! Pamitnya keluar kota untuk bekerja, tapi ternyata kamu malah ada disini!" seru Vera, suaranya bergetar menahan emosi. "Urusan bisnis macam apa yang sampai jauh-jauh membawamu ke pulau begini, Mas?! Memang ada tanah apa di pulau yang lebih cocok untuk tempat berlibur seperti ini?!"Hidung Vera tampak kembang kempis dan nafasnya pun memburu begitu hebat ketika melihat orang yang membukakan pintu adalah suaminya sendiri. Matanya menyipit penuh kecurigaan, mengamati setiap detail penampilan Bara yang tampak santai dalam balutan kaus dan celana pendek.Bara terkejut bukan main melihat kehadiran istrinya yang tiba-tiba. Ia berusaha menguasai diri, meski jantungnya berdegup kencang. Otaknya berusaha keras mencerna situasi yang tiba-tiba ini. suaranya terasa hampir tercekat, tetapi ia tetap berusah
Setelah menarik napas dalam-dalam, Keira akhirnya berhasil menemukan suaranya, meski hanya berupa bisikan lirih dan terbata. "Ta–tante Vera..."Suasana ruangan seketika makin mencekam. Udara terasa kian berat, seolah-olah gravitasi bertambah kuat dan menekan dada mereka. Bara berdiri kaku di belakang Vera, matanya memancarkan rasa bersalah yang mendalam saat menatap Keira. Ia tahu, cepat atau lambat hal ini pasti akan terjadi. Namun ia tak menyangka akan secepat ini, dan dengan cara yang begitu dramatis."Vera, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa menjelaskan semuanya, tapi tidak di sini. Tolong, kita bicara di tempat lain," Bara mencoba meredakan situasi, suaranya terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang.Namun, Vera tidak mau mendengar. Matanya berkilat penuh amarah, suaranya bergetar menahan emosi. "Tidak! Aku ingin mendengar semuanya sekarang juga! Kamu pikir aku akan diam setelah mendapatkan dan melihat foto-foto ini?"Dengan gerakan cepat dan kasar, Vera mero