Sudah seminggu berlalu. Hari-hari di pulau pribadi milik Bara terus berjalan dengan rutinitas yang sama. Keira masih sering merasa kesal dengan makanan hambar yang harus ia konsumsi setiap harinya. Walaupun menunya memang berbeda-beda, tetapi apa artinya kalau semua makanan yang disajikan padanya tidak memiliki rasa apapun, selain rasa alaminya.Setiap kali melihat hidangan baru yang disiapkan koki, Keira berharap ada sedikit keajaiban. Namun, kecewa selalu menyelimuti wajahnya ketika lidahnya bertemu dengan rasa tawar yang seolah menghantui setiap gigitan. Ia sering kali memandang makanan itu dengan tatapan nanar, membayangkan hidangan-hidangan favoritnya yang kaya rasa dan menggugah selera.Kalau terus begini, ia makin merindukan makanan favoritnya dan kian mantap ingin menyantap makanan kesukaannya. Setidaknya tak perlu makanan kesukaannya pun tak apa, asal berbumbu dan tak setawar air genangan. Namun, bagaimana caranya ia bisa diam-diam meminta makanan lain yang lebih memiliki
Bara yang sedang bekerja di dalam kamar merasa ada yang ganjil. Ia menoleh ke arah jendela kamar Keira yang sedikit terbuka. Nalurinya langsung memberitahunya bahwa sesuatu tidak beres. “Kei?” panggilnya sambil berjalan cepat menuju jendela. Saat melihat ke luar, ia tidak menemukan Keira di dalam kamar.Kepanikan mulai merayap dalam diri Bara. Ia langsung berlari keluar, mencari keberadaan Keira di sekitar rumah. Namun, gadis itu tidak ada di mana-mana. Sambil berlari ke pantai, Bara merasa jantungnya berdegup kencang. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Keira?Bara menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan Keira dari kejauhan. Kelegaan menyelimuti hatinya saat melihat gadis itu baik-baik saja, tetapi rasa khawatir dan marah bercampur aduk dalam dirinya.Bara akhirnya mendekati Keira dengan langkah cepat “Keira! Apa yang sedang kamu lakukan di sini? Keira tersentak dan menoleh. Melihat Bara berdiri di beberapa jengkal dari dirinya dengan wajah memerah, ia merasa jantungnya ham
Setelah membisikkan kata maaf, dengan tangan gemetar, Keira mencoba menyentuh tangan Om Bara yang tertidur di sampingnya. Semenjak kembali masuk rumah sakit, Keira merasakan tubuhnya semakin lemah. Saking lemahnya, bahkan berbicara pun terasa sangat sulit. Namun, hatinya yang dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan membuat tangan Keira tanpa sadar bergerak sendiri menyentuh tangan Om Bara.Bara tersentak saat merasakan sensasi dingin menyentuh kulitnya. Ketika menyadari bahwa itu adalah tangan Keira, ia tersenyum lega. "Keira, kamu sudah bisa menggerakkan tanganmu!" seru Bara dengan penuh kebahagiaan.Keira tersenyum tipis, walau bibirnya terlihat pucat. "Maafin aku, Om Bara," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Keira nyesel enggak dengerin saran Om. Padahal semua imbauan dan larangan yang Om bilang di Villa adalah anjuran dari dokter."Bara mengangguk dan menggenggam tangan Keira dengan lembut. "Om sudah tidak mempermasahkannya, Kei. Yang terpenting sekarang keadaanmu s
Derasnya hujan di luar seolah mencerminkan kegelisahan yang melanda hati Bara saat ia berlari mengikuti tim medis yang membawa Keira ke ruang ICU. Suara roda brankar yang berderit di sepanjang lorong rumah sakit bercampur dengan deru napas Bara yang memburu. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah pucat Keira yang terbaring lemah.Tampaknya kondisi Keira semakin kritis. Dalam perjalanan menuju ruang perawatan intensif, Bara tak henti-hentinya berdoa dalam hati, berharap Keira dapat melewati cobaan ini. Perasaan takut kehilangan Keira begitu kuat, seolah menguasai seluruh pikirannyaSetelah tiba di ICU, para dokter dan perawat bergegas menangani Keira. Mereka segera melakukan berbagai tindakan medis untuk menstabilkan kondisi Keira. Mereka dengan cekatan memasang infus, memeriksa tekanan darah, dan melakukan serangkaian tes lainnya. Untuk beberapa saat Bara hanya bisa berdiri di luar ruangan dengan cemas yang membuncah. Jarinya tak henti meremas-remas ujung kemejanya yang sudah
Di sisi lain, Bara sepertinya juga merasakan adanya perubahan dalam dirinya setiap bersama Keira dan ia pun berjuang melawan perasaan aneh dalam dirinya terhadap gadis itu. Karena perasaan aneh itu membuat Bara mulai memperhatikan detail-detail kecil tentang Keira yang dulu tak pernah ia sadari. Bagaimana indahnya rambut Keira ketika berkilau tertimpa sinar matahari. Bagaimana matanya berbinar saat tertawa. Bahkan bagaimana bibir mungilnya melengkung membentuk senyuman yang menawan ketika membicarakan hal-hal yang disukainya.Rasanya, Bara tak lagi mampu mengendalikan diri ketika berada di dekat Keira. Nafasnya selalu memburu dan matanya tak bisa lepas dari sosok gadis itu.Setiap kali Keira tersenyum, jantung Bara berdegup lebih kencang. Ketika gadis itu tertawa, suaranya terdengar bagai melodi terindah di telinga Bara. Ketika Keira meringis kesakitan saat menjalani pemeriksaan, Bara merasa seolah dunianya ikut runtuh. Kalau bisa ia ingin sekali menggantikan posisi Keira, membawa
“Saya telah berhasil memotret semua foto-foto yang Tuan muda inginkan. Silakan diperiksa apakah sesuai dengan yang Tuan muda perintahkan,” terang seorang pria berjas rapi kepada pria muda yang duduk di hadapannya dengan sorot mata begitu tajam.Pria muda itu dengan tak sabar membuka amplop coklat yang disodorkan kepadanya. Wajahnya langsung mengeras ketika melihat foto-foto yang menampilkan seorang gadis seusianya dalam posisi mesra dengan seorang lelaki dewasa, yang mungkin hanya sedikit lebih muda dari umur ayahnya. Namun, raut kesalnya segera berubah menjadi seringai miring. Foto-foto ini adalah apa yang diharapkannya untuk mengacaukan kehidupan dua orang yang telah menancapkan luka di hatinya dan membuat berantakan hidupnya. Dengan foto-foto yang sedemikian banyak menampilkan sentuhan fisik, ia yakin dapat membuat huru-hara pada kehidupan dua orang itu."Kerja bagus! Memang foto-foto kayak gini yang gue harapin dari lo," ucapnya dengan senyum licik. "Sekarang, gue mau lo kirim fo
Keira berdiri di dapur, memandang ke arah Bara yang tenggelam dalam pekerjaannya. “Om Bara,” panggilnya dengan lembut, matanya berbinar penuh harap dan semangat. “Boleh aku masak makan malam untuk kita?”Bara menatapnya sejenak, mempertimbangkan kondisi Keira yang mulai membaik setelah lama menderita anemia.Setelah jeda singkat, Bara mengangguk, "Baiklah, Kei. Tapi ingat, jangan terlalu lelah. Kalau ada yang berat-berat, serahkan pada Om saja."Keira mengangguk antusias, wajahnya berseri-seri. "Makasih, Om! Aku janji bakal hati-hati dan enggak akan berlebihan."Keira merasa semangat ketika memasuki dapur. Meski ia dikenal manja, namun ia senang belajar memasak dari Bi Darmi. Dulu, ia selalu berusaha memasak untuk Papanya dan membawakan bekal hasil masakan saat masih berpacaran dengan Kevin di bangku perkuliahan. Kini, ia ingin memberikan yang terbaik untuk Bara, meskipun status mereka hanya sementara, hanya sampai bayi kembarnya lahir ke dunia.Tak jauh dari dapur, di ruang kerja ya
Bara terperanjat di ambang pintu, matanya melebar melihat sosok istrinya yang berdiri dengan wajah merah padam. Vera, dengan rambut berantakan dan napas tersengal, menatapnya penuh amarah."Bagus! Pamitnya keluar kota untuk bekerja, tapi ternyata kamu malah ada disini!" seru Vera, suaranya bergetar menahan emosi. "Urusan bisnis macam apa yang sampai jauh-jauh membawamu ke pulau begini, Mas?! Memang ada tanah apa di pulau yang lebih cocok untuk tempat berlibur seperti ini?!"Hidung Vera tampak kembang kempis dan nafasnya pun memburu begitu hebat ketika melihat orang yang membukakan pintu adalah suaminya sendiri. Matanya menyipit penuh kecurigaan, mengamati setiap detail penampilan Bara yang tampak santai dalam balutan kaus dan celana pendek.Bara terkejut bukan main melihat kehadiran istrinya yang tiba-tiba. Ia berusaha menguasai diri, meski jantungnya berdegup kencang. Otaknya berusaha keras mencerna situasi yang tiba-tiba ini. suaranya terasa hampir tercekat, tetapi ia tetap berusah
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di