Kevin baru saja menerima sebuah surat yang diantar oleh satpam rumahnya. Surat itu dari Keira, pacarnya yang sudah hampir 3 tahun bersamanya. Dengan penuh penasaran dan perasaan yang bercampur aduk, ia membuka surat tersebut dan mulai membacanya.Dear Kevin,
Maafin aku karena harus mengakhiri hubungan kita dengan cara kayak ini. Aku terlalu takut dan enggak sampai hati untuk bilang langsung sama kamu, Kevin. Aku tahu dengan datangnya surat ini, mungkin akan menyakiti kamu, dan itu adalah hal terakhir yang enggak ingin aku lakukan.
Selama kita pacaran, aku sudah melalui begitu banyak hal yang menyenangkan sama kamu, dan aku sangat menghargai setiap momen yang kita habiskan berdua. Kamu adalah orang terbaik yang pernah aku kenal, dan aku beruntung bisa menjadi bagian dari hidup kamu.
Keira merasa hatinya hancur kala matanya menembus langsung ke dalam pancaran mata Kevin.Dia tak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana ia bisa menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada Kevin? Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa pernikahan terpaksa dengan Om Bara adalah jalan satu-satunya untuk menutupi kehamilannya?Namun, di depan mata Kevin yang penuh harap, Keira tahu bahwa ia harus mengatakan sesuatu. Tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya, dan yang bisa dia lakukan hanyalah membiarkan air mata mengalir perlahan di pipinya.Di sela-sela air mata yang mengalir, pikirannya sedang berkelana untuk mencari alasan yang tepat supaya Kevin bisa menerima permintaan putusnya, tanpa perlu menyakiti hati lelaki yang ia cintai itu.“M–maaf, Kevi
“Jawab, Kei! Jangan bikin aku mengartikan diamnya kamu sebagai jawaban kalau memang benar, kamu mutusin aku karena nikah sama Bapak-bapak ini! Bukan itu ‘kan alasan sebenarnya?” suara Kevin bergetar, penuh dengan emosi yang bercampur aduk antara marah, kecewa, dan patah hati.Kevin tak ingin mempercayai begitu saja ucapan Bapak-bapak yang tiba-tiba muncul dan mengaku-ngaku kalau Keira adalah istrinya.Namun, diam dan tangis Keira, seolah bisa menjadi jawaban bisu atas pertanyaan Kevin yang tak kunjung terurai dari bibir indah kekasihnya.Mengenal Keira sejak awal semester perkuliahan, membuat Kevin tahu betul bahwa diamnya Keira berarti kebenaran yang pahit. Jika tuduhan itu salah, Keira pasti sudah membela diri den
Setelah Kevin pergi, Keira tak henti-hentinya menangis tersedu-sedu di kamarnya. Tangisannya menggema, memenuhi setiap sudut ruangan dengan kepedihan yang mendalam. Ia merasa bersalah telah menyakiti hati Kevin, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa.Kesedihannya seperti ombak yang terus-menerus menghantam hatinya tanpa ampun. Hatinya bagaikan disayat sembilu, setiap helaan nafas terasa berat dan menyakitkan. Ia memeluk bantal erat-erat, mencoba membendung air mata yang terus mengalir tanpa henti.Sementara itu, Bara sengaja membiarkan Keira menenangkan diri. Ia tahu, tak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki suasana hati gadis itu. Tatapan mata Keira sebelumnya begitu tajam, seolah ingin membunuhnya jika gadis itu punya kesempatan.Bara duduk di ruang tamu, merasa tak berdaya. Perasaan bersal
“Tidur di mana semalam kamu, Mas? Kenapa tidak pulang?” desak Vera dengan nada tajam, kecurigaan tergambar jelas di wajahnya. “Ada pertemuan bisnis lagi?”Bara terkejut mendengar suara Vera. Tidak menyangka istrinya sudah berada di hadapannya ketika ia baru saja membuka pintu rumahnya. Terlalu sibuk dengan pikirannya tentang Keira, yang tampaknya masih memendam kekesalan padanya dan tak mau sering-sering didatangi, membuat Bara sampai tidak mendengar langkah kaki Vera yang mendekat. “Maaf, Ve,” desah Bara dengan suara tertekan. Wajahnya terlihat begitu letih dan keruha. “Ada masalah yang harus aku urus.”Bara sudah malas memberitahukan pada istrinya itu kemanapun ia pergi, sekalipun hanya untuk sekedar alasan atau berbohong. Percuma, mau ia berkata jujur atau pun dusta, istrinya itu tak akan percaya dengan perkataannya.“Masalah apa yang akhir-akhir ini membuatmu menjadi sering pulang terlambat dan terkadang sama sekali tidak pulang ke rumah?” gerutu Vera, matanya memancarkan keger
“Pagi sekali keberangkatanmu ke Kantor, Mas? Sudah bosan sarapan bersama istri dan anakmu?! Atau sudah tidak sabar untuk melepas rindu dengan sekretaris barumu?!” tuding Vera menyilangkan kedua tangannya di atas dada dengan tatapan sedemikian tajamnya.Kecurigaan tak mau hilang juga dari benak dan sanubari Vera. Semenjak suaminya itu mempunyai sekertaris baru dan juga menjadi wali anak gadis mendiang Mahesa, Vera tak pernah merasakan ketentraman singgah di hatinya.Vera takut suaminya berpaling darinya. Ia takut Bara akan meninggalkannya suatu saat nanti demi wanita lain.Dilandasi oleh trauma masa lalu, membuat Vera sangat takut nasib malang yang pernah dialami ibunya terjadi padanya.Ia tidak mau suaminya tergoda. Apalagi sampai memutuskan berse
Bara kira dengan mencoba memahami istrinya, Vera akan berhenti merepet dan berhenti mencurigainyaNamun, ternyata dugaannya salah. Meski sebulan sudah berlalu, semenjak ia kelepasan dan tanpa sadar menampar istrinya, Vera tetap saja penuh curiga dan tak berhenti melontarkan gerutuan padanya.Sia-sia saja ia sudah berusaha pulang secepatnya dari kantor. Kunjungan ke rumah Keira pun sudah ia batasi karena kebetulan ia sedang mencoba menepati janjinya atas permintaan gadis itu sendiri.Akhirnya Bara menyerah, ia kembali malas pulang ke rumah dan memilih menenggelam diri dalam lautan pekerjaan.Hanya hari minggu saja terkadang ia betah di rumah. Bagaimana pun ia juga seorang ayah dan ia menyediakan waktu pada hari minggu untuk bercengkrama dengan putrinya. Itu pun kala
Keira membuka matanya perlahan dan mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya dengan cahaya di sekitarnya. Namun, begitu melihat wajah Bara yang tersenyum tipis di sebelah ranjangnya, rasa kesal langsung menyeruak dari dalam dada.“Kenapa sih setiap aku di rumah sakit, orang pertama yang aku lihat pasti Om Bara?!” keluh Keira, suaranya penuh nada sebal. Ia memicingkan mata tajam menatap pria yang duduk di samping ranjang rawatnya.Suara tetesan infus yang jatuh satu demi satu dan aroma antiseptik yang khas memenuhi udara, menambah rasa tak nyaman yang sudah menderu dalam dadanya.Keira memang tak terkejut mengapa ia bisa berada di rumah sakit. Sudah lebih dari semingguan ini Keira merasa mudah lemas, dadanya sesak, dan kepalanya sering pusing berkunang-kunang.
“Sebulan ke luar kota? Yang benar saja, Mas? Memang bisnis apa yang sampai menyita waktumu selama itu?” cecar Vera dengan nada yang penuh curiga, alisnya bertautan tanda keheranan.Tak biasanya suaminya pergi selama itu untuk urusan bisnis. Kalau tiba-tiba begini, rasa curiga yang hingga kini belum kering juga, makin mengakar dalam benak Vera.Jangan-jangan, keluar kota hanya alibi suaminya saja. Bisa saja , ternyata suaminya malah sengaja berdalih bekerja, padahal hanya ingin menikmati waktu berdua dengan sekretaris barunya.Bara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, mencoba tetap tenang di hadapan istrinya yang curiganya seolah tak pernah pudar.“Ada sengketa tanah di luar kota yang membuatku harus turun tangan secara langsung, Ve. S
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di