Byur!
Alvaro sontak bangun karena Mama menyiram wajahnya dengan air satu ember.
"Bangun, Alvaro!" geram Mama dengan mata melotot.
Alvaro mengusap wajahnya yang basah sebelum mendudukkan diri di atas tempat tidur. "Sshh ...." Dia meringis karena kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit. Perutnya pun terasa pengar. Sepertinya efek mabuk semalam baru terasa sekarang.
Ah, rasanya benar-benar tidak nyaman.
"Kenapa kamu bisa mabuk seperti itu, Alvaro? Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan lari ke minuman. Kamu itu bukan anak-anak lagi. Cobalah bersikap selayaknya orang dewasa, Al."
Alvaro meringis. Kepalanya semakin terasa pening karena mendengar omelan Mama. "Berisik!"
Mama sontak melotot. "Apa kamu bilang?"
"Alvaro nggak bilang apa-apa," jawab Alvaro sambil beranjak ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri agar tubuhnya terasa lebih segar.
"Kamu lagi berantem sama Angela?"
Alvaro menggeleng. Dia tidak ingin Mama tahu kalau Angela pulang ke rumah orang tuanya.
Mama menghela napas panjang. Dia tahu kalau Alvaro sedang berbohong. Instingnya mengatakan Alvaro pasti sedang bertengkar dengan Angela. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, Alvaro pergi ke kelab malam nyaris sampai pagi karena bertengkar hebat dengan sang istri.
"Selesai mandi cepat turun ke bawah karena ada hal penting yang ingin Mama bicarakan," ucap Mama sebelum pergi meninggalkan kamar Alvaro.
"Hmm ...." Alvaro hanya bergumam untuk menanggapi ucapan mamanya lalu menyalakan keran. Dia membiarkan air dingin itu jatuh membasahi tubuhnya. Seolah-olah air itu mampu melarutkan semua kegundahan yang tengah dia rasakan.
Alvaro benar-benar bingung karena Mama hanya memberi waktu satu tahun untuk memberi cucu. Namun, Angela tidak mau hamil karena karir modelnya sedang berada di atas puncak. Jika dia tidak bisa memberi cucu, Mama akan menyerahkan Dinata Group pada sang paman. Dia tidak akan membiarkan perusahaan yang dirintis susah payah oleh sang ayah jatuh ke tangan orang yang salah karena pamannya itu gila uang dan kekuasaan.
Alvaro tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Perusahaan Dinata harus ada di bawah tangannya. Namun, bagaimana mungkin dia memberi Mama cucu kalau Angela tidak mau hamil. Haruskah dia menuruti keinginan sang istri untuk menikah lagi demi memberi Mama cucu?
Alvaro mengusap wajah kasar. Sedikit pun dia tidak pernah membayangkan akan tidur dengan perempun lagi selain Angela. Apa lagi sampai menikah lagi dan mempunyai dua istri.
Ah, semua ini benar-benar membuatnya frustrasi.
Bibir Alvaro terlihat membiru. Tubuhnya mulai menggigil dan giginya terdengar bergemelatuk. Alvaro pun cepat-cepat mematikan keran lalu keluar dari kamar mandi jika tidak ingin mati konyol karena kedinginan.
***
Alvaro menuruni tangga sambil memasang kancing di lengan kemejanya. Aroma laut berpadu kayu manis menguar jelas dari tubuhnya. Alvaro terlihat jauh lebih segar setelah mandi. Dia segera beranjak ke ruang makan karena Mama sudah menunggu di sana. Di atas meja makan sudah tersedia banyak sekali makanan. Semangkuk sop daging campur tahu, sepiring omelete, dan segelas smooties pisang.
Alvaro memilih omlete dan smooties pisang karena makanan itu bisa menghilangkan pengar setelah mabuk.
Mama geleng-geleng kepala melihat Alvaro yang makan begitu lahap. Putranya itu seperti tidak pernah makan berhari-hari. Alvaro sangat merindukan masakan rumahan karena setiap hari yang dia makan hanya makanan siap saji atau pesan antar. Maklum saja karena Angela tidak bisa memasak.
"Pelan-pelan kalau makan, Al."
"Hmm ...." Alvaro hanya mengangguk karena mulutnya sibuk mengunyah makanan.
Mama menghela napas panjang, lalu meletakkan sendoknya karena sudah selesai sarapan. Tidak lama kemudian Alvaro ikut meletakkan sendoknya karena sepiring omlete yang dia santap sudah berpindah ke perutnya.
"Mama mau ngomong apa?" tanya Alvaro sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.
"Apa sudah ada kemajuan?" Alih-alih menjawab, Mama malah balik bertanya pada Alvaro.
Alis Alvaro terangkat sebelah. "Maksud, Mama?"
Mama menyatukan kedua tangannya di atas meja. Kedua matanya menatap Alvaro lekat. "Waktumu tinggal sebelas bulan lagi, Alvaro. Apa Angela sudah hamil?"
Alvaro terdiam. Angela sengaja memasang alat pencegah kehamilan sebelum menikah. Istrinya tidak akan bisa hamil meskipun dia sudah mengeluarkan spermanya di dalam rahim wanita itu.
"Kenapa kamu diam saja, Alvaro? Apa Angela belum hamil?"
"Belum." Alvaro menghindari tatapan Mama. Membuat Angela hamil sebenarnya bukan hal yang sulit. Hanya saja wanita itu tidak mau mengandung anaknya.
Mama menyandarkan punggung ke kursi lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Ingat, waktu kamu cuma satu tahun. Kalau kamu belum bisa memberi Mama cucu, Mama akan berikan Dinata Group ke pamanmu," tandas Mama terdengar serius.
***
"Kok, berhenti di sini, Neng?"
Cara pun cepat-cepat turun dari atas motor. "Saya mau belanja sayur dulu, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya pulang. Ini ongkosnya." Dia memberikan satu lembar uang lima puluh ribuan ke tukang ojek tersebut.
"Wah, besar banget uangnya. Saya belum ada kembalian, Neng."
"Kembaliannya buat Bapak saja."
Kedua mata lelaki paruh baya itu sontak berbinar. "Serius, Neng?"
"Iya, Pak."
"Terima kasih banyak ya, Neng."
Cara mengangguk, lalu segera belanja di pedagang sayur keliling yang biasanya lewat di depan rumahnya. Gadis itu belanja sedikit banyak pagi ini. Dia membeli ayam, telur, tahu, dan beberapa sayuran hijau karena ingin membuat makanan spesial untuk Ibu. Lagi pula hari dia mendapat sedikit rezeki.
"Totalnya berapa, Pak?"
"Tujuh puluh lima ribu, Neng."
Cara mengangguk lalu memberi pedagang sayur tersebut satu lembar uang seratus ribuan.
"Duit dari mana tuh, pasti hasil jual diri."
"Atau mungkin nemenin om-om."
Jantung Cara mencelus. Kesedihan tergambar jelas di wajah cantiknya. Setiap hari para tetangga selalu saja berkata tidak benar tentang dirinya. Padahal dia tidak pernah menjual diri walaupun bekerja di kelab malam.
Namun, para tetangga selalu saja menuduhnya wanita jalang, pelacur, bahkan simpanan om-om. Awalnya Cara tidak peduli dan berusaha sabar mendengar ucapan mereka. Akan tetapi jika dibiarkan mulut mereka malah semakin keterlaluan.
"Pasti ini akibat didikan nggak benar dari orang tuanya."
"Iya, pasti itu," timpal yang lain.
Wajah Cara mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Mereka boleh menghina dirinya sampai puas, asalkan jangan menghina orang tuanya. Dia tidak terima.
"Anda jangan asal bicara!" desis Cara terdengar tajam. "Asal Anda tahu, Ayah dan Ibu saya selama ini mendidik saya dengan sangat baik. Tolong jaga ucapan, Anda."
Ibu berdaster merah itu malah menyeringai. "Mana ada perempuan baik yang bekerja di kelab malam, Caramell? Kamu pasti sudah menjual diri, kan?"
"Tidak!" Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Cara. Apa perempuan yang bekerja di kelab malam seperti dirinya terlihat begitu hina di mata mereka?
Mereka malah tertawa. "Ah, sudahlah. Mana ada maling yang mau ngaku? Ya, nggak Ibu-Ibu?"
"Ibu-Ibu, sudah. Jangan gosip terus." Pedagang sayur tersebut menengahi. "Ini kembaliannya, Neng."
Cara cepat-cepat mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu menerima uang kembalian dari tukang sayur. "Terima kasih, Pak," ucapnya sambil beranjak pulang.
"Huu, dasar jalang!" Mereka terus mencibir.
Cara berjalan dengan cepat menuju rumahnya yang berada di ujung jalan. "Abaikan ucapan mereka, Cara!" gumamnya.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit dada sebelum membuka pintu kayu yang ada di hadapan. Dia harus terlihat baik-baik saja di depan sang ibu.
"Ibu, Cara pul--" Tubuh Cara menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Dua kantong belanja di tangannya terlepas begitu saja. Dia begitu terkejut melihat Ibu tergeletak tidak sadarkan diri di depan pintu.
"Ibu ...."
***
[ Bersambung ]
Cara terus menunduk sambil meremas kesepuluh jemari tangannya. Air mata turun semakin deras membasahi pipinya. Dalam hati dia tidak pernah berhenti berdoa untuk keselamatan sang ibu. Semakin hari penyakit kanker darah yang diderita ibunya semakin parah. Padahal Ibu sudah menjalani kemoterapi selama enam bulan terakhir. Namun, penyakit itu semakin menang melawan tubuh ibunya. Telapak tangan Cara semakin dingin dan basah. Jantung pun berdetak tidak nyaman. Gadis itu merasa takut, bingung, dan cemas. Cara takut Ibu tidak selamat karena hanya wanita itu yang dia miliki di dunia ini. "Tuhan, aku mohon selamatkan Ibu ...." gumamnya dengan suara gemetar. Dia benar-benar takut kehilangan sang ibu untuk selamanya. "Caramell." Cara sontak menghampiri lelaki berjas putih yang baru saja keluar dari ruang Unit Gawat Darurat. Dia, Aditya Kafka. Dokter muda yang telah merawat ibunya selama ini.
Cara tanpa sadar meremas secarik kertas yang berada di genggaman. Kertas berwarna kuning tersebut berisi nomor telepon wanita yang memberi tawaran Elish untuk melahirkan anaknya. Namun, Elish malah memberikan tawaran tersebut pada dirinya karena sahabatnya itu tahu jika dia sekarang lebih membutuhkan uang.Cara meremas kertas tersebut semakin erat hingga meninggalkan kerutan di sana. Terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Gadis itu mendadak sangat bimbang sekarang.Apakah yang dia lakukan ini benar?Bagaimana jika sang ibu tahu dia akan melahirkan anak untuk orang lain.Cara yakin sekali Ibu pasti akan sangat kecewa jika tahu. Namun, dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan uang dalam waktu dekat."Tuhan, aku tidak tahu harus bagaimana lagi? Semoga ini
"Mmhh..." Tubuh Angela meremang hebat. Wajahnya semakin memerah ketika suara ciuman mereka tertangkap oleh indera pendengarannya. Wanita itu ingin segera dipuaskan oleh lelaki yang kini sedang menindih tubuhnya.Suara lenguhan Angela yang tertelan dalam ciuman membuat suasana semakin terasa panas. Bahkan Alvaro tidak bisa lagi menahan tangannya untuk memberikan sentuhan lembut pada paha mulus Angela yang tidak tertutupi gaun."Erngh ...." Alvaro melepas pagutan bibirnya saat mendegar erangan keluar dari bibir Angela. Memberi kesempatan pada wanita itu untuk mengambil napas.Angela segera menarik napas sebanyak mungkin karena Alvaro tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sama sekali. "Seharusnya malam ini kamu tidur di kamar Caramell, Al," ucapnya dengan napas terengah.Wajah Alvaro
Tidak terasa sudah hampir satu bulan Cara tinggal di rumah Alvaro. Setiap hari gadis itu harus mengurus rumah, selain itu mengurus Alvaro karena Angela tidak becus mengurus suami. Yang bisa dilakukan wanita itu hanya bermalas-malasan dan menghabiskan uang Alvaro. Cara selalu bangun sebelum matahari terbit, setelah itu memasak, kemudian mencuci baju dan membereskan rumah. Benar-benar melelahkan karena dia mengerjakannya seorang diri. Alvaro pun tidak berubah. Lelaki itu masih suka marah dan bersikap kasar pada dirinya. Sejak awal dia memang tidak menyukai ide gila Angela untuk menikahi Cara demi memberi Mama cucu. Alvaro bisa langsung marah jika Cara berbuat salah, sekecil apa pun itu. Cara dulu selalu diam saat Alvaro menghina dan merendahkan dirinya. Dia menelan semua ucapan Alvaro yang terasa pahit seperti obat. Namun, dia sekarang mulai b
Cara kembali masuk ke kamarnya dan membanting pintu lumayan keras untuk melampiaskan kekesalan. Ucapan Alvaro tadi benar-benar melukai hatinya. Jika Alvaro menganggapnya perempuan murahan, maka dia akan bertingkah seperti jalang.Cara membuka lemarinya dengan kasar. Di dalam tergantung lingeri dengan berbagi model yang dia dapatkan dari Angela. Dia mengambil satu buah lingeri secara asal lalu memakainya. Cara sebenarnya jijik memakai pakaian kurang bahan tersebut. Namun, dia harus memakainya untuk menggoda Alvaro."Akan aku buktikan pada Tuan Alvaro kalau aku bukan jalang!"***Alvaro menghela napas panjang. Sepertinya Angela benar-benar sudah gila, pikirnya. Bagaimana mungkin wanita itu menyuruhnya untuk segera menghamili Cara? Apa Angela tidak tahu kalau dia tidak ingin melak
Alvaro merasa menjadi lelaki paling berengsek yang pernah Tuhan ciptakan setelah penyatuan mereka semalam. Selama ini dia selalu menganggap Cara jalang. Namun, gadis itu ternyata berhasil membuktikan jika dirinya bukanlah jalang seperti yang dia pikirkan. Cara ternyata masih perawan meskipun pernah bekerja di kelab malam.Jujur, Alvaro merasa sangat beruntung dan bahagia menjadi lelaki pertama bagi Cara. Dia juga begitu menikmatinya semalam. Dia bahkan menginginkan gadis itu lagi.Cara mengerjabkan mata perlahan saat cahaya matahari jatuh mengenai wajah cantiknya. Gadis itu merasa ada sesuatu yang berat sedang menindih perutnya. Cara pun berusaha membuka mata walaupun masih terasa berat. Kedua alis gadis itu menyatu saat melihat dada bidang seorang pria.Kedua mata Cara sontak membelalak lebar. "Aa ... hhft ...."Alvaro segera membekap mulut Cara sebelum gadis itu berteriak. "Kau
Cara menatap pantulan dirinya di depan cermin. Banyak bekas kemerah-merahan di leher juga dadanya, hasil perbuatan Alvaro semalam. Wajah Cara tiba-tiba dijalari rasa panas, meninggalkan semburat merah di kedua pipinya. Semalam adalah pengalaman pertama bagi Cara, menyerahkan kesuciannya. Gadis itu benar-benar tidak menyangka bercinta rasanya sangat nikmat. Dia bahkan terus menyebut nama Alvaro saat lelaki itu bergerak di dalamnya. "Aduh, kenapa aku jadi mesum gini, sih?" Cara tanpa sadar memukul kepalanya sendiri. Entah kenapa kejadian semalam begitu membekas di ingatannya. Lebih baik dia segera memakai baju dan menyiapkan sarapan untuk Alvaro. Cara mengobrak-abrik isi lemari pakaiannya. Gadis itu ingin mencari baju model turtle neck untuk menutupi lehernya yang terdapat kiss mark Alvaro. Namun, Cara lupa jika dia tidak mempunyai pakaian model tersebut. Semua pakaiannya hanya kaus berukuran longgar, itu pun warnanya sud
Alvaro gelagapan. Dia menelan ludah susah payah mendengar pertanyaan Angela barusan. Bagaimana mungkin Angela tahu jika dirinya tengah membayangkan sedang bercinta dengan Cara? Apa istrinya itu seorang cenayang?"Em, ti-tidak," jawabnya terbata-bata.Tatapan Angela sangat lekat, membuat jantung Alvaro seketika berdetak tidak nyaman. Dia takut Angela tahu apa yang ada di pikirannya. "Aku menyuruhmu menikahi Cara untuk memberi Mama cucu, Al. Jangan sampai kamu jatuh hati pada istri keduamu itu."Alvaro tersenyum mendengar ucapan Angela barusan. Ternyata istri pertamanya itu takut dia jatuh hati pada Cara. "Aku tidak mungkin mencintai wanita lain karena yang aku cintai cuma kamu, Sayang," ucapnya sambil menangkup kedua pipi Angela dengan lembut."Sungguh?"Alvaro mengangguk."Kamu tidak bohong, kan?""Iya, Sayang." Alvaro mengecup bibir Angela sekilas. Dia te
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di