Angela menatap Allendra yang duduk di hadapannya dengan dahi berkerut dalam karena lelaki itu sejak tadi hanya mengaduk-aduk makanan yang ada di atas piringnya tanpa minat, seolah-olah kehilangan selera.
Padahal beberapa menit yang lalu Allendra begitu semangat mengajaknya makan. Namun, lelaki itu malah asyik dengan pikirannya sendiri begitu tiba di restoran.
Sebenarnya apa yang sedang Allendra pikirkan?
"Apa kau ingin memesan makanan yang lain, Allend?"
Allendra malah diam, tatapan kedua matanya terlihat kosong karena pikirannya sedang melayang ke mana-mana, mememikirkan Cara tepatnya.
Entah kenapa wajah mantan istri kedua Alvaro itu sejak tadi terus menari-nari di dalam pikirannya. Membuat muak.
Allendra masih ingat dengan jelas Cara yang merintih kesakitan karena dipukuli Angela. Padahal gadis itu sudah berulang kali meminta ampun agar Angela berhenti memukulinya.<
"BERENGSEK!" Angela berjalan dengan cepat menghampiri Allendra. Wajah wanita itu mengeras, rahangnya pun mengatup rapat setelah melihat apa yang Allendra lakukan pada Cara. Sedikit pun dia tidak pernah menyengka Allendra ingin 'menyentuh' Cara. Lelaki itu benar-benar membuatnya kecewa."Angela, a-aku ...."Angela menyeret Allendra agar menjauh dari Cara lalu mendaratkan sebuah tamparan di pipi lelaki itu. Rasa panas sontak menjalar di pipi Allendra yang terlihat sedikit memerah karena tamparan Angela sangat keras.Cara mengembuskan napas lega. Gadis itu merasa sangat bersyukur karena Tuhan mengirim Angela untuk menyelamatkannya dari cengkeraman Allendra. Dia pun cepat-cepat merapikan kembali pakaiannya yang berantakan akibat ulah saudara kembar Alvaro itu."Apa yang kau lakukan, Allend? Dasar bajingan!" Angela mendorong Allendra dengan keras hingga membentur dinding yang berada tepat di belakangnya. Dia be
Audy RS7 itu melaju sedikit kencang membelah jalanan yang basah karena diguyur air hujan. Kafka menyandarkan punggungnya di kursi sambil memperhatikan ribuan air hujan yang jatuh lewat kaca mobil yang ada di sampingnya. Dokter muda berusia 29 tahun itu merasa sangat lelah karena baru saja mengisi seminar di luar kota.Kafka menghela napas panjang lalu mengeratkan jaket yang dipakainya agar merasa lebih hangat karena malam ini udara terasa lebih dingin dari pada biasanya. Perlahan jemarinya bergerak, mengusap titik-titik embun yang menempel di kaca mobilnya. Kafka pernah mendengar jika hujan bisa menyeret seseorang ke dalam kenangan. Entah kenangan yang menyenangkan atau pun menyedihkan. Dan hujan yang turun malam ini berhasil membuatnya teringat dengan Cara.Tidak terasa sudah empat bulan lebih Kafka tidak pernah bertemu d
Kafka akhirnya mengalah. Dia memilih menunggu di luar ruangan unit gawat darurat agar Daniel bisa memeriksa Cara dengan tenang. Raut cemas masih tergambar jelas di wajah tampannya. Dalam hati dia tidak pernah berhenti berharap semoga Cara tidak mengalami luka yang cukup serius."Anda mau minum, Dokter Kafka?" Seorang perawat mengulurkan sebotol air mineral pada putra kandung Danica tersebut.Kafka menggeleng pelan karena dia tidak sanggup memasukkan makanan apa pun ke dalam mulutnya sebelum mengetahui hasil pemeriksaan Cara. Padahal perawat tersebut mempunyai niat baik agar perasaannya menjadi lebih tenang.Sementara itu, Daniel terlihat begitu serius memeriksa Cara. Pergelangan tangan dan kaki gadis itu terlihat memerah. Dalam satu kali lihat Daniel bisa tahu kalau pergelangan tangan dan kaki Cara memerah akibat jeratan sebuah tali yang sangat kuat.Luka di tubuh Cara tidak hanya itu, kedua pipi gadis itu
"Kau sudah mengurus semuanya?" tanya Kafka saat Daniel kembali ke ruang unit gawat darurat."Sudah."Kafka pun berdiri dari tempat duduknya. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat yang sangat pengertian seperti Daniel. Andai saja Daniel tidak membantunya, kondisi badannya pasti akan langsung drop karena harus ke sana kemari mengurus semua keperluan Cara sendirian."Terima kasih banyak, Niel.""Kau sudah mengatakan terima kasih padaku lebih dari lima kali, Kaf. Jangan bilang terima kasih lagi. Aku bosan mendengarnya""Baiklah." Kafka tersenyum kecil lantas meninggalkan ruangan unit gawat darurat karena ingin menjaga Cara."Kau mau pergi ke mana?""Tentu saja menjaga Cara," jawab Kafka."Kau tidak ingin minum kopi sebentar denganku?" Pertanyaan Daniel langsung mendapat gelengan kepala dari Kafka."Tapi aku sudah memban
"Kalau kau ingin Cara cepat sadar, obati saja gadis itu sendiri." Daniel keluar dari kamar Cara begitu saja setelah mengatakan kalimat itu dari bibirnya. Jujur, Daniel merasa sangat kesal karena Kafka meragukan kemampuannya. Padahal dia sudah menjalankan prosedur yang tepat sebagai seorang dokter.Helaan napas panjang lolos dari bibir Kafka, penyesalan dan rasa bersalah tergambar jelas di wajah tampannya. Kafka merasa sangat menyesal dan bersalah sudah menyinggung perasaan Daniel."Aku ingin ke ruangan Daniel. Tolong jaga Caramell sebentar," pesan Kafka pada Tasya sebelum pergi ke ruangan Daniel yang berada di ujung lorong rumah sakit. Dia ingin meminta maaf pada sahabatnya itu.Kafka berhenti sebentar, lantas menarik napas dalam-dalam sebelum memutar kenop pintu yang ada di hadapan.D
"Caramell, hey!" Kafka tersentak melihat air mata yang membasahi pipi Cara. "Kenapa kamu menangis, Caramell? Apa ada yang sakit?" tanyanya terdengar panik pasalnya beberapa menit yang lalu Cara masih baik-baik saja.Cara mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya lantas menggeleng pelan. Gadis itu tidak tahu kenapa sampai menangis setelah mendengar pertanyaan Kafka. Cara merasa bigung menjelaskan apa yang saat ini sedang dia rasakan.Sedih, marah, dan kecewa semua bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Rasanya sangat tidak nyaman dan begitu menyesakkan."Entah kenapa saya merasa sedih sekali, Dokter." Cara menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air matanya agar tidak keluar. Namun, kristal bening itu malah jatuh semakin deras membasahi pipinya.Cara berdecak kesa
"Ca-Caramell ...." Alvaro tersentak karena Cara menolak pelukannya. Sepasang mata hezel miliknya menatap gadis berwajah pucat yang berada di hadapannya dengan sendu. Penyesalan dan rasa bersalah terpancar jelas dari kedua sorot matanya.Alvaro merasa sangat menyesal sudah menceraikan Cara dan mengusir gadis itu dari rumahnya.Alvaro mencoba untuk kembali mendekat, tapi Cara malah bersembunyi di balik punggung Kafka."Caramell kenapa?" tanya Felix menatap Cara yang berada di belakang Kafka dengan dahi berkerut dalam. "Kenapa dia menghindari Alvaro?"Kafka melirik Cara yang ada di belakangnya sekilas. Tubuh gadis itu gemetar hebat, kedua tangannya tanpa sadar mencengkeram kemeja miliknya dengan erat hingga meninggalkan kerutan di sana. Cara terlihat ketakutan.
Cara sejak tadi terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman, padahal sekarang sudah hampir jam dua belas malam. Entah kenapa Cara sulit sekali untuk tidur malam ini. Mungkin dia merasa terlalu senang karena Daniel sudah memperbolehkannya pulang besok. Atau mungkin karena dia masih terbayang-bayang dengan Alvaro.Lelaki pemilik mata berwarna hezel tadi mengatakan kalau mereka pernah menikah. Bahkan sudah memiliki anak. Namun, tidak ada satu pun memori tentang lelaki itu yang tersimpan di dalam otaknya. Cara benar-benar sudah lupa dengan Alvaro."Kamu belum tidur, Caramell?"Cara sontak menoleh, menatap Kafka yang baru masuk ke dalam kamarnya setelah membantu Daniel menangani pasien di ruangan unit gawat darurat."Belum, Dokter.""Apa kamu b
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di