"Caramell, hey!" Kafka tersentak melihat air mata yang membasahi pipi Cara. "Kenapa kamu menangis, Caramell? Apa ada yang sakit?" tanyanya terdengar panik pasalnya beberapa menit yang lalu Cara masih baik-baik saja.
Cara mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya lantas menggeleng pelan. Gadis itu tidak tahu kenapa sampai menangis setelah mendengar pertanyaan Kafka. Cara merasa bigung menjelaskan apa yang saat ini sedang dia rasakan.
Sedih, marah, dan kecewa semua bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Rasanya sangat tidak nyaman dan begitu menyesakkan.
"Entah kenapa saya merasa sedih sekali, Dokter." Cara menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air matanya agar tidak keluar. Namun, kristal bening itu malah jatuh semakin deras membasahi pipinya.
Cara berdecak kesa
"Ca-Caramell ...." Alvaro tersentak karena Cara menolak pelukannya. Sepasang mata hezel miliknya menatap gadis berwajah pucat yang berada di hadapannya dengan sendu. Penyesalan dan rasa bersalah terpancar jelas dari kedua sorot matanya.Alvaro merasa sangat menyesal sudah menceraikan Cara dan mengusir gadis itu dari rumahnya.Alvaro mencoba untuk kembali mendekat, tapi Cara malah bersembunyi di balik punggung Kafka."Caramell kenapa?" tanya Felix menatap Cara yang berada di belakang Kafka dengan dahi berkerut dalam. "Kenapa dia menghindari Alvaro?"Kafka melirik Cara yang ada di belakangnya sekilas. Tubuh gadis itu gemetar hebat, kedua tangannya tanpa sadar mencengkeram kemeja miliknya dengan erat hingga meninggalkan kerutan di sana. Cara terlihat ketakutan.
Cara sejak tadi terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman, padahal sekarang sudah hampir jam dua belas malam. Entah kenapa Cara sulit sekali untuk tidur malam ini. Mungkin dia merasa terlalu senang karena Daniel sudah memperbolehkannya pulang besok. Atau mungkin karena dia masih terbayang-bayang dengan Alvaro.Lelaki pemilik mata berwarna hezel tadi mengatakan kalau mereka pernah menikah. Bahkan sudah memiliki anak. Namun, tidak ada satu pun memori tentang lelaki itu yang tersimpan di dalam otaknya. Cara benar-benar sudah lupa dengan Alvaro."Kamu belum tidur, Caramell?"Cara sontak menoleh, menatap Kafka yang baru masuk ke dalam kamarnya setelah membantu Daniel menangani pasien di ruangan unit gawat darurat."Belum, Dokter.""Apa kamu b
Cara memasukkan potongan-potongan ranting dan bunga yang sudah layu ke dalam kantong sampah lantas membuangnya ke belakang toko. Hari ini toko lumayan ramai karena ada seseorang yang membeli bunga dalam jumlah besar untuk diberikan pada kekasihnya. Selain itu, ada seorang lelaki baik hati yang memberinya bunga Baby's Breath lewat Rafaello."Bagaimana penjualan hari ini?"Cara sontak menoleh, menatap lelaki berkemeja putih yang berdiri tepat di sebelahnya sambil tersenyum."Dokter sudah pulang?"Kafka ikut tersenyum lantas membantu Cara menutup toko milik sang ibu. Danica memang mempercayakan toko bunganya untuk dikelola Cara sejak gadis itu tinggal di rumahnya. "Baru saja. Apa hari ini toko ramai pembeli?""Em, lumayan," jawab Cara."Jangan terlalu lelah bekerja karena kondisimu belum pulih sepenuhnya, Caramell.""Iya, Dokter." Caramell kembali tersenyum k
Alvaro mengemudikan Mercedes Benz G65 miliknya dengan perasaan tidak karuan. Sedikit pun dia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Cara saat menjemput Mello yang baru saja selesai imunisasi di rumah sakit.Mantan istri keduanya itu begitu terkejut saat melihatnya. Begitu pula dengan dirinya. Padahal selama dua bulan ini dia tidak pernah menampakkan diri di depan Cara karena tidak ingin membuat gadis itu ketakutan.Namun, Tuhan kali ini malah mempertemukannya dengan Cara lewat cara yang tidak terduga dan entah kenapa momen tersebut terasa begitu manis karena Mello akhirnya bisa merasakan kembali dekapan hangat ibu kandungnya walaupun cuma sebentar.Apakah ini sebuah pertanda kalau dia dan Cara masih memiliki kesempatan untuk kembali hidup bersama?"Al ...."Alvaro tergagap lantas melirik Mama yang duduk tepat di sebelahnya sambil memangku Mello yang sudah tertidur le
"Aku pulang!"Mama sontak menutup majalah fashion yang dilihatnya sejak tadi saat mendengar suara Alvaro. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu bergegas ke depan untuk menyambut putra kesayangannya itu."Bagaimana tadi, Al? Apa Caramell masih takut sama kamu?" tanya Mama penasaran karena dia yang memaksa Alvaro untuk membawa Mello saat menemui Cara.Alvaro tidak kunjung menjawab pertanyaan Mama. Dia malah mengulum senyum karena teringat dengan apa yang dia lakukan bersama Cara dan Mello di toko bunga seharian tadi."Kenapa kamu senyum-senyum tidak jelas begitu, Al? Ayo, jawab pertanyaan Mama!" desah Mama terdengar tidak sabar."Ide Mama berhasil."Mama tercengang mendengar ucapan Alvaro barusan. "Ja-jadi, Caramell—""Caramell tidak takut lagi sama Alvaro, Ma. Dia bahkan menyuruh Alvaro untuk datang kembali besok."Perasaan
Langit terlihat begitu cerah sore ini. Kafka pun memutuskan untuk pulang lebih awal dari pada biasanya, lagi pula jadwal kontrol pasiennya juga sudah selesai. Sebelum pulang, dia mampir sebentar ke toko kue. Dia ingin membeli macharon karena kue berbentuk bulat warna-warni dengan krim red velvet di bagian tengahnya itu adalah kue favorit Cara.Kafka tanpa sadar tersenyum ketika membayangkan betapa senangnya Cara ketika melihatnya pulang sambil membawa kue kesukannya. Namun, senyum di bibirnya seketika lenyap ketika melihat Cara dan Alvaro sedang tertawa bahagia bersama Mello. Mereka benar-benar terlihat seperti keluarga kecil yang harmonis.Kafka melenguh pelan karena ada sesak yang menyelip di dalam dadanya. Rasanya dia ingin sekali bertukar posisi dengan Alvaro. Dia ingin menjadi lelaki yang menjadi alasan Cara tertawa lepas seperti sekarang.Namun, apa yang bisa dia lalukan? Dia hanya bisa melihat dan mengagumi Cara dar
Awalnya Alvaro begitu semangat dan antusias karena ingin bertemu dengan Cara. Namun, perasaannya mendadak tidak tenang karena Kafka baru saja datang menemuinya dan meminta izin ingin menikahi gadis pujaannya.Apa Kafka sudah kehilangan akal?Sedikit pun Alvaro tidak pernah menyangka Kafka berani mengutarakan keinginannya untuk mempersunting Cara. Dokter muda itu terlihat sangat percaya diri ketika meminta restu pada dirinya. Melihat betapa gigih Kafka memperjuangkan Cara membuat Alvaro takut tidak bisa bersatu lagi dengan gadis itu."Mello ...."Bayi perempuan yang duduk di samping kiri Alvaro itu sontak menoleh karena mendengar namanya dipanggil sambil sibuk menggigit mainannya hingga membuat air liurnya menetes."Ayah tidak perlu merasa cemas karena bunda cuma cinta sama ayah, kan? Iya, kan?" tanya Alvaro terdengar kalut. Sepertinya dia sudah kehilangan akal karena bertanya pada bayi yan
Mama meletakkan secangkir teh hangat yang diminumnya ketika melihat Alvaro datang lantas melirik jam yang menempel di dinding ruang tengah. Mama tampak heran melihat Alvaro pulang pasalnya putra kesayangannya itu tadi mengatakan ingin menghabiskan waktu seharian di taman bersama Cara dan Mello sebelum pergi."Kok, kamu sudah pulang, Al? Katanya tadi mau pergi agak lama?""Em, tadi ...." Alvaro menarik napas panjang untuk mengurangi sesak yang menghimpit di dalam dadanya. "Caramell tadi ada urusan mendadak, Ma. Makanya Alvaro pulang lebih cepat."Mama menatap Alvaro yang berdiri di hadapannya dengan lekat. Saudara kembar Allendra itu tidak berani menatap kedua matanya saat bicara dan berulang kali menarik napas panjang. Entah kenapa Mama merasa Alvaro sedang menyembunyikan sesuatu darinya."Kenapa kamu terlihat kalut, Al? Apa terjadi sesuatu?""Tidak ada, Ma. Alvaro baik-baik saja," jawab A
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di