Kaisar membasuh wajahnya dengan air berulang kali. Rasa penyesalan kembali bergelayut di hatinya setiap kali mengingat peritiwa itu. Bagaimana tidak. Secara tidak langsung, dia adalah penyebab Karenina mengalami koma. Seharusnya, ia mencari bukti-bukti lebih dulu daripada melakukan tindakan yang gegabah. Ditambah lagi, sang ibu tiri selalu membela Karenina dan Jerico. Hana mengatakan bahwa berpelukan dan berciuman adalah hal yang lumrah bagi sang keponakan, sebab Karenina tumbuh besar di luar negri.Berusaha menghapus kenangan pahit itu, Kaisar menarik napas panjang. Setelah menenangkan diri beberapa saat, lelaki itu pun kembali ke kamar. Ketika melewati sofa, Kaisar melihat Almeera sudah berbaring dengan posisi miring. Mengingat malam semakin larut, pria itu lantas naik ke atas ranjang dan mematikan lampu. Namun, ia terkejut karena Almeera tiba-tiba membuka suara. “Tuan, tolong jangan matikan lampunya.”“Kenapa?” tanya Kaisar heran.“Saya … takut gelap, Tuan,” jawab Almeera jujur.
Melihat Almeera masih termenung, Tuan Barata lantas menyuruh sang asisten untuk mengantar gadis itu. “Hamdan, bawakan koper-koper ini, dan antarkan Almeera ke mobil,” titah Tuan Barata kepada sang asisten.“Baik, Tuan Besar.”Sebelum mengikuti langkah Hamdan, Almeera menghampiri Tuan Barata untuk berpamitan. “Opa, saya berangkat dulu. Jangan lupa menjaga kesehatan,” pesan Almeera. “Pasti, Almeera. Opa akan bertahan sampai anakmu dan Kaisar lahir ke dunia. Semoga bulan madu kalian bisa mewujudkan harapan Opa.”Almeera mengangguk kecil sambil mencium punggung tangan pria tua itu. Memang ia ingin memenuhi permintaan Tuan Barata dengan melahirkan seorang bayi. Namun bukan lewat acara bulan madu, melainkan dengan inseminasi buatan yang sudah mereka sepakati. Dengan diantar oleh Hamdan, Almeera menuju ke mobil pribadi Kaisar. Lelaki paruh baya itu memasukkan koper ke bagasi, sementara seorang sopir berseragam hitam membukakan pintu untuk Almeera. Gadis itu memilih duduk di dekat jendela,
Sesudah mengakhiri panggilan telepon dengan Akbar, Kaisar bermaksud menghubungi Jerico. Namun, mendadak ada semacam gelombang emosi yang menahannya. Jujur, setiap kali mengingat perbuatan Jerico dan Karenina darahnya seakan berhenti mengalir. Entah mengapa gambaran peristiwa itu begitu jelas, seolah-olah baru terjadi kemarin.Perasaan dikhianati oleh dua orang yang paling dekat dengannya, bagaikan mimpi buruk yang sulit untuk dihindari. Namun, ia tidak boleh mementingkan perasaan di atas logika. Justru, ia harus memberikan ganjaran yang setimpal kepada orang-orang yang telah menusuknya dari belakang. Dengan satu tarikan napas panjang, Kaisar lantas menekan nomor ponsel Jerico. Tak butuh waktu lama, panggilannya pun tersambung. Sebelum ia angkat bicara, Jerico menyapa terlebih dulu dari balik telepon.“Kaisar, apa kabar? Aku tidak menyangka CEO yang sibuk sepertimu bersedia meluangkan waktu untukku,” kata Jerico. Pria itu bersikap seakan-akan tidak memiliki dosa sama sekali. “Kabarku
Percakapan antara Kaisar dan Almeera terhenti, karena Pak Udin sudah kembali dari dapur bersama sang istri. Sama halnya dengan Pak Udin, perempuan paruh baya itu menatap Almeera dengan ekspresi penuh tanya. Jelas terlihat, bahwa ia sangat penasaran dengan sosok gadis berkacamata ini. “Ini Almeera, istri kedua saya,” jelas Kaisar. Ia tidak ingin Pak Udin dan istrinya salah paham mengenai keberadaan Almeera di vila. Sontak, Pak Udin dan istrinya mengangguk bersamaan. Bagi mereka tidaklah mengherankan jika seorang tuan muda seperti Kaisar memiliki istri lebih dari satu. Hanya saja, yang membuat mereka tidak habis pikir mengapa Kaisar memilih seorang gadis yang penampilannya tidak menarik. Berbeda jauh dengan istri pertama Kaisar yang berparas cantik dan berpenampilan anggun. “Selamat sore, Nyonya Muda. Perkenalkan, saya Bi Ningrum. Mari kita ke ruang makan,” ajak istri dari Pak Udin tersebut. Almeera menjawab dengan anggukan kecil, lalu mengikuti langkah Bi Ningrum ke bagian belakang
Sesudah Bi Ningrum tak terlihat lagi, Almeera memilih duduk di tepi danau. Ia meletakkan payung dan senter yang dipinjamkan Bi Ningrum di sampingnya. Kemudian, gadis itu mengarahkan tatapan ke air danau yang berwarna keperakan. Entah mengapa ia tertarik untuk merasakan kesegarannya. Tak peduli hawa dingin yang masih mendera, Almeera nekat membuka sepatu. Mencoba mencelupkan kakinya satu per satu ke dalam air. Dalam hitungan detik, Almeera merasakan dinginnya air yang menjalar dari telapak kaki hingga ke tungkai. Tubuhnya sedikit merinding, tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk bersentuhan langsung dengan air. Berendam di danau, Almeera merasakan kelegaan yang luar biasa. Seperti seorang anak kecil, ia menggerakkan kakinya ke atas dan ke bawah secara bergantian. Menimbulkan bunyi kecipak, hingga tercipta pusaran gelombang air yang tak beraturan. Melihat ulahnya, Almeera menyunggingkan senyum kecil. Hanya di danau ini, ia merasa bebas untuk menjadi diri sendiri. Meraih setit
Dengan berpegangan pada lengan Kaisar, Almeera akhirnya sampai juga di vila. Kedatangan mereka langsung disambut oleh Bi Ningrum dan Pak Udin. Pasangan paruh baya itu nampak khawatir tatkala melihat kondisi kedua majikannya. Almeera berjalan dengan terpincang-pincang, sedangkan telapak tangan Kaisar sepertinya terluka parah. Terbukti, tangan pria itu sudah dipenuhi oleh cairan berwarna merah. “Tuan Muda, kenapa tangan Anda sampai berdarah seperti ini?” tanya Pak Udin sembari mengambil alih payung yang dibawa Kaisar. “Tangan saya tergores ranting pohon yang patah,” jawab Kaisar.“Kalau Nyonya kenapa?” tanya Bi Ningrum tak kalah cemas. Ia memapah Almeera untuk duduk di sofa ruang tamu.“Saya tersandung di hutan, Bi.”Mengetahui apa yang terjadi, Pak Udin dan Bi Ningrum langsung berbagi tugas. Pak Udin berlari ke kamarnya untuk mengambil kotak P3, sementara Bi Ningrum berjalan ke dapur untuk mengambil handuk bersih dan air hangat.“Tuan Muda, saya bersihkan dulu lukanya,” ujar Pak Udin
“Meera, apa kamu mendengarku?” panggil Kaisar untuk kedua kalinya.Mengingat kaki Almeera yang terkilir, Kaisar khawatir bila gadis itu terpeleset di kamar mandi lalu tidak sadarkan diri. Apalagi, Almeera memiliki indera penglihatan yang sangat buruk. Buktinya, gadis bermata empat itu sering menabrak apa saja, tak peduli itu makhluk hidup maupun benda mati.“Kalau kamu tidak menjawab, aku akan mendobrak pintunya!” ancam Kaisar. Tangannya memang sedang terluka, tetapi kakinya masih sanggup untuk menendang pintu.Sembari memundurkan tubuhnya, Kaisar bersiap mengambil ancang-ancang. Namun sebelum niatnya itu terlaksana, ia mendengar suara Almeera dari balik pintu.“Tuan, bisa tidak saya minta tolong?”“Minta tolong apa? Aku kira kamu pingsan di dalam,” dengus Kaisar. Ia merasa kesal karena gadis itu tak menyahut panggilannya sejak tadi.“Tolong ambilkan … pakaian dalam saya, Tuan,” cicit Almeera.Takut salah mendengar, Kaisar langsung mendekatkan telinganya ke daun pintu. “Coba ulangi se
“Tunggu dulu, Pak, jangan sakiti nenek ….”Tuuuttt …. TuuttttPanggilan itu terputus secara sepihak, sebelum Almeera sempat berbicara lebih lanjut. Detik itu juga, jantung Almeera serasa berhenti berdetak. Hatinya serasa diremas-remas kala mendengar sang nenek berada dalam bahaya. Bagaimanapun dia tidak akan membiarkan wanita yang sangat ia kasihi itu sampai celaka. Sudah tidak ada waktu lagi. Apa pun yang terjadi dia harus segera pulang ke kampung halamannya, atau nyawa sang nenek akan berada dalam bahaya. Almeera yakin bahwa ancaman dari Harsono tadi bukan sekadar gertak sambal. Pria itu sudah terkenal dengan kekejamannya, bahkan ia tak segan menghabisi nyawa orang yang tidak mampu melunasi utang. Tanpa pikir panjang, gadis itu lantas beranjak dari kursi. Saking paniknya, Almeera bahkan lupa bila kakinya tidak berada dalam kondisi baik. Alhasil, dia pun mengaduh kesakitan akibat pergerakan yang tiba-tiba itu. “Jangan bergerak sembarangan, kakimu belum sembuh,” tegur Kaisar berge
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe