Melihat Almeera masih termenung, Tuan Barata lantas menyuruh sang asisten untuk mengantar gadis itu. “Hamdan, bawakan koper-koper ini, dan antarkan Almeera ke mobil,” titah Tuan Barata kepada sang asisten.“Baik, Tuan Besar.”Sebelum mengikuti langkah Hamdan, Almeera menghampiri Tuan Barata untuk berpamitan. “Opa, saya berangkat dulu. Jangan lupa menjaga kesehatan,” pesan Almeera. “Pasti, Almeera. Opa akan bertahan sampai anakmu dan Kaisar lahir ke dunia. Semoga bulan madu kalian bisa mewujudkan harapan Opa.”Almeera mengangguk kecil sambil mencium punggung tangan pria tua itu. Memang ia ingin memenuhi permintaan Tuan Barata dengan melahirkan seorang bayi. Namun bukan lewat acara bulan madu, melainkan dengan inseminasi buatan yang sudah mereka sepakati. Dengan diantar oleh Hamdan, Almeera menuju ke mobil pribadi Kaisar. Lelaki paruh baya itu memasukkan koper ke bagasi, sementara seorang sopir berseragam hitam membukakan pintu untuk Almeera. Gadis itu memilih duduk di dekat jendela,
Sesudah mengakhiri panggilan telepon dengan Akbar, Kaisar bermaksud menghubungi Jerico. Namun, mendadak ada semacam gelombang emosi yang menahannya. Jujur, setiap kali mengingat perbuatan Jerico dan Karenina darahnya seakan berhenti mengalir. Entah mengapa gambaran peristiwa itu begitu jelas, seolah-olah baru terjadi kemarin.Perasaan dikhianati oleh dua orang yang paling dekat dengannya, bagaikan mimpi buruk yang sulit untuk dihindari. Namun, ia tidak boleh mementingkan perasaan di atas logika. Justru, ia harus memberikan ganjaran yang setimpal kepada orang-orang yang telah menusuknya dari belakang. Dengan satu tarikan napas panjang, Kaisar lantas menekan nomor ponsel Jerico. Tak butuh waktu lama, panggilannya pun tersambung. Sebelum ia angkat bicara, Jerico menyapa terlebih dulu dari balik telepon.“Kaisar, apa kabar? Aku tidak menyangka CEO yang sibuk sepertimu bersedia meluangkan waktu untukku,” kata Jerico. Pria itu bersikap seakan-akan tidak memiliki dosa sama sekali. “Kabarku
Percakapan antara Kaisar dan Almeera terhenti, karena Pak Udin sudah kembali dari dapur bersama sang istri. Sama halnya dengan Pak Udin, perempuan paruh baya itu menatap Almeera dengan ekspresi penuh tanya. Jelas terlihat, bahwa ia sangat penasaran dengan sosok gadis berkacamata ini. “Ini Almeera, istri kedua saya,” jelas Kaisar. Ia tidak ingin Pak Udin dan istrinya salah paham mengenai keberadaan Almeera di vila. Sontak, Pak Udin dan istrinya mengangguk bersamaan. Bagi mereka tidaklah mengherankan jika seorang tuan muda seperti Kaisar memiliki istri lebih dari satu. Hanya saja, yang membuat mereka tidak habis pikir mengapa Kaisar memilih seorang gadis yang penampilannya tidak menarik. Berbeda jauh dengan istri pertama Kaisar yang berparas cantik dan berpenampilan anggun. “Selamat sore, Nyonya Muda. Perkenalkan, saya Bi Ningrum. Mari kita ke ruang makan,” ajak istri dari Pak Udin tersebut. Almeera menjawab dengan anggukan kecil, lalu mengikuti langkah Bi Ningrum ke bagian belakang
Sesudah Bi Ningrum tak terlihat lagi, Almeera memilih duduk di tepi danau. Ia meletakkan payung dan senter yang dipinjamkan Bi Ningrum di sampingnya. Kemudian, gadis itu mengarahkan tatapan ke air danau yang berwarna keperakan. Entah mengapa ia tertarik untuk merasakan kesegarannya. Tak peduli hawa dingin yang masih mendera, Almeera nekat membuka sepatu. Mencoba mencelupkan kakinya satu per satu ke dalam air. Dalam hitungan detik, Almeera merasakan dinginnya air yang menjalar dari telapak kaki hingga ke tungkai. Tubuhnya sedikit merinding, tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk bersentuhan langsung dengan air. Berendam di danau, Almeera merasakan kelegaan yang luar biasa. Seperti seorang anak kecil, ia menggerakkan kakinya ke atas dan ke bawah secara bergantian. Menimbulkan bunyi kecipak, hingga tercipta pusaran gelombang air yang tak beraturan. Melihat ulahnya, Almeera menyunggingkan senyum kecil. Hanya di danau ini, ia merasa bebas untuk menjadi diri sendiri. Meraih setit
Dengan berpegangan pada lengan Kaisar, Almeera akhirnya sampai juga di vila. Kedatangan mereka langsung disambut oleh Bi Ningrum dan Pak Udin. Pasangan paruh baya itu nampak khawatir tatkala melihat kondisi kedua majikannya. Almeera berjalan dengan terpincang-pincang, sedangkan telapak tangan Kaisar sepertinya terluka parah. Terbukti, tangan pria itu sudah dipenuhi oleh cairan berwarna merah. “Tuan Muda, kenapa tangan Anda sampai berdarah seperti ini?” tanya Pak Udin sembari mengambil alih payung yang dibawa Kaisar. “Tangan saya tergores ranting pohon yang patah,” jawab Kaisar.“Kalau Nyonya kenapa?” tanya Bi Ningrum tak kalah cemas. Ia memapah Almeera untuk duduk di sofa ruang tamu.“Saya tersandung di hutan, Bi.”Mengetahui apa yang terjadi, Pak Udin dan Bi Ningrum langsung berbagi tugas. Pak Udin berlari ke kamarnya untuk mengambil kotak P3, sementara Bi Ningrum berjalan ke dapur untuk mengambil handuk bersih dan air hangat.“Tuan Muda, saya bersihkan dulu lukanya,” ujar Pak Udin
“Meera, apa kamu mendengarku?” panggil Kaisar untuk kedua kalinya.Mengingat kaki Almeera yang terkilir, Kaisar khawatir bila gadis itu terpeleset di kamar mandi lalu tidak sadarkan diri. Apalagi, Almeera memiliki indera penglihatan yang sangat buruk. Buktinya, gadis bermata empat itu sering menabrak apa saja, tak peduli itu makhluk hidup maupun benda mati.“Kalau kamu tidak menjawab, aku akan mendobrak pintunya!” ancam Kaisar. Tangannya memang sedang terluka, tetapi kakinya masih sanggup untuk menendang pintu.Sembari memundurkan tubuhnya, Kaisar bersiap mengambil ancang-ancang. Namun sebelum niatnya itu terlaksana, ia mendengar suara Almeera dari balik pintu.“Tuan, bisa tidak saya minta tolong?”“Minta tolong apa? Aku kira kamu pingsan di dalam,” dengus Kaisar. Ia merasa kesal karena gadis itu tak menyahut panggilannya sejak tadi.“Tolong ambilkan … pakaian dalam saya, Tuan,” cicit Almeera.Takut salah mendengar, Kaisar langsung mendekatkan telinganya ke daun pintu. “Coba ulangi se
“Tunggu dulu, Pak, jangan sakiti nenek ….”Tuuuttt …. TuuttttPanggilan itu terputus secara sepihak, sebelum Almeera sempat berbicara lebih lanjut. Detik itu juga, jantung Almeera serasa berhenti berdetak. Hatinya serasa diremas-remas kala mendengar sang nenek berada dalam bahaya. Bagaimanapun dia tidak akan membiarkan wanita yang sangat ia kasihi itu sampai celaka. Sudah tidak ada waktu lagi. Apa pun yang terjadi dia harus segera pulang ke kampung halamannya, atau nyawa sang nenek akan berada dalam bahaya. Almeera yakin bahwa ancaman dari Harsono tadi bukan sekadar gertak sambal. Pria itu sudah terkenal dengan kekejamannya, bahkan ia tak segan menghabisi nyawa orang yang tidak mampu melunasi utang. Tanpa pikir panjang, gadis itu lantas beranjak dari kursi. Saking paniknya, Almeera bahkan lupa bila kakinya tidak berada dalam kondisi baik. Alhasil, dia pun mengaduh kesakitan akibat pergerakan yang tiba-tiba itu. “Jangan bergerak sembarangan, kakimu belum sembuh,” tegur Kaisar berge
Sorot mata Kaisar yang menggelap, menandakan bahwa pria itu tidak main-main dengan ucapannya. Karena itu, Almeera tidak berani membantah. Terlebih, Pak Udin dan Bi Ningrum sudah menunggu di luar sejak tadi. Mungkin lebih baik ia berdiri dulu, sebelum nanti memohon belas kasihan Kaisar untuk kedua kalinya.Sembari menyeka sisa air mata, perlahan Almeera bangkit berdiri. Namun, gadis itu langsung terduduk lagi di lantai karena pergelangan kakinya serasa ditusuk-tusuk. Almeera pun memegang kakinya sembari berdesis pelan.“Itu akibat dari keras kepalamu. Sekarang pegang tanganku supaya kamu bisa berdiri,” tukas Kaisar tiba-tiba mengulurkan tangan kirinya kepada Almeera.Karena ia tidak kuat berdiri, Almeera menerima uluran tangan Kaisar. Hanya saja, ia masih belum mampu menegakkan tubuh dengan normal. Melihat hal itu, Kaisar lantas memutar tubuhnya ke samping. Kemudian, ia melingkarkan tangan Almeera di pinggangnya dan memapah gadis itu menuju tempat tidur. Sungguh, Almeera dibuat bingun