“Meera, apa kamu mendengarku?” panggil Kaisar untuk kedua kalinya.Mengingat kaki Almeera yang terkilir, Kaisar khawatir bila gadis itu terpeleset di kamar mandi lalu tidak sadarkan diri. Apalagi, Almeera memiliki indera penglihatan yang sangat buruk. Buktinya, gadis bermata empat itu sering menabrak apa saja, tak peduli itu makhluk hidup maupun benda mati.“Kalau kamu tidak menjawab, aku akan mendobrak pintunya!” ancam Kaisar. Tangannya memang sedang terluka, tetapi kakinya masih sanggup untuk menendang pintu.Sembari memundurkan tubuhnya, Kaisar bersiap mengambil ancang-ancang. Namun sebelum niatnya itu terlaksana, ia mendengar suara Almeera dari balik pintu.“Tuan, bisa tidak saya minta tolong?”“Minta tolong apa? Aku kira kamu pingsan di dalam,” dengus Kaisar. Ia merasa kesal karena gadis itu tak menyahut panggilannya sejak tadi.“Tolong ambilkan … pakaian dalam saya, Tuan,” cicit Almeera.Takut salah mendengar, Kaisar langsung mendekatkan telinganya ke daun pintu. “Coba ulangi se
“Tunggu dulu, Pak, jangan sakiti nenek ….”Tuuuttt …. TuuttttPanggilan itu terputus secara sepihak, sebelum Almeera sempat berbicara lebih lanjut. Detik itu juga, jantung Almeera serasa berhenti berdetak. Hatinya serasa diremas-remas kala mendengar sang nenek berada dalam bahaya. Bagaimanapun dia tidak akan membiarkan wanita yang sangat ia kasihi itu sampai celaka. Sudah tidak ada waktu lagi. Apa pun yang terjadi dia harus segera pulang ke kampung halamannya, atau nyawa sang nenek akan berada dalam bahaya. Almeera yakin bahwa ancaman dari Harsono tadi bukan sekadar gertak sambal. Pria itu sudah terkenal dengan kekejamannya, bahkan ia tak segan menghabisi nyawa orang yang tidak mampu melunasi utang. Tanpa pikir panjang, gadis itu lantas beranjak dari kursi. Saking paniknya, Almeera bahkan lupa bila kakinya tidak berada dalam kondisi baik. Alhasil, dia pun mengaduh kesakitan akibat pergerakan yang tiba-tiba itu. “Jangan bergerak sembarangan, kakimu belum sembuh,” tegur Kaisar berge
Sorot mata Kaisar yang menggelap, menandakan bahwa pria itu tidak main-main dengan ucapannya. Karena itu, Almeera tidak berani membantah. Terlebih, Pak Udin dan Bi Ningrum sudah menunggu di luar sejak tadi. Mungkin lebih baik ia berdiri dulu, sebelum nanti memohon belas kasihan Kaisar untuk kedua kalinya.Sembari menyeka sisa air mata, perlahan Almeera bangkit berdiri. Namun, gadis itu langsung terduduk lagi di lantai karena pergelangan kakinya serasa ditusuk-tusuk. Almeera pun memegang kakinya sembari berdesis pelan.“Itu akibat dari keras kepalamu. Sekarang pegang tanganku supaya kamu bisa berdiri,” tukas Kaisar tiba-tiba mengulurkan tangan kirinya kepada Almeera.Karena ia tidak kuat berdiri, Almeera menerima uluran tangan Kaisar. Hanya saja, ia masih belum mampu menegakkan tubuh dengan normal. Melihat hal itu, Kaisar lantas memutar tubuhnya ke samping. Kemudian, ia melingkarkan tangan Almeera di pinggangnya dan memapah gadis itu menuju tempat tidur. Sungguh, Almeera dibuat bingun
Dalam beberapa detik, Kaisar terkejut melihat seorang gadis cantik yang duduk bersandar di tempat tidurnya. Padahal, seingatnya yang ada di sini hanyalah Almeera, istri kontraknya yang berwajah jelek. Mungkinkah dia sedang bermimpi? Ataukah ini merupakan efek dari obat pereda sakit yang ia minum sebelum tidur? Ya, bisa jadi memang seperti itu. Untuk memastikan dirinya tidak berhalusinasi, Kaisar berusaha bangkit sembari mengerjapkan mata. Kini, yang ia lihat bukan lagi perempuan muda yang rupawan melainkan Almeera, si gadis bermata empat yang sering membuatnya kesal. “Meera ….” panggil Kaisar memastikan. “I-iya, Tuan,” jawab Almeera gugup. Untung saja, gadis itu bergerak cepat dengan memutus sambungan telepon dan memakai kacamata. Jika tidak, akan timbul sebuah masalah besar. Kaisar pasti murka bila memergokinya sedang menelepon Mirza secara diam-diam. “Kenapa belum tidur? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” tanya Kaisar. Ia melirik ponsel yang ada di samping Almeera. “Ti
“Berangkatlah secepatnya setelah aku memberimu alamat, Willy.”Almeera membuka matanya, karena mendengar suara Kaisar yang berbicara dengan Willy melalui sambungan telepon. Ia tidak tahu jam berapa sekarang. Sepertinya, ia bangun kesiangan akibat semalam netranya sulit untuk terpejam. Bahkan, ia tertidur sambil berlinang air mata. Melihat jarum jam menunjuk angka delapan, Almeera langsung membetulkan letak kacamatanya. Lupa bahwa kakinya masih sakit, gadis itu buru-buru turun dari tempat tidur. Namun, denyutan yang menyakitkan di bagian pergelangan kaki membuat gadis itu berhenti. “Willy, nanti aku akan meneleponmu lagi.” Kaisar memutus panggilannya ketika mendengar desisan kecil dari bibir Almeera. “Akhirnya, kamu bangun juga,” ujar Kaisar. Pria itu mengambil secarik kertas dan pena dari nakas, lalu menyodorkannya kepada Almeera. “Tulis nama nenekmu dan rentenir itu, beserta alamat lengkap mereka.”Perintah Kaisar membuat Almeera terhenyak. Sepertinya, lelaki itu telah memutuskan
“Pergi, Kasman! Jangan ganggu Almeera!” usir Nenek Gayatri sembari menitikkan air mata. “Kau pikir cucumu itu seorang putri raja? Almeera hanya anak haram yang tidak jelas siapa ayah kandungnya! Dia harus membalas kebaikanku, karena aku bersedia menjadi ayahnya selama ini,” cerocos Kasman. Mirza lantas memberikan isyarat kepada warga yang ada di situ untuk membawa Kasman pergi. Bila tidak, pria paruh baya itu akan terus mengucapkan sumpah serapah yang menyebabkan Gayatri semakin terguncang. Tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Kasman bagai racun yang mampu membinasakan orang-orang di sekitarnya.“Awas kalian semua! Aku akan membalas perbuatan kalian nanti!” teriak Kasman sebelum digiring keluar oleh warga.Selepas Kasman tak terlihat lagi, Mirza membantu Gayatri duduk di kursi. Ia juga pergi ke dapur untuk mengambilkan air putih bagi perempuan tua itu. Sungguh, Mirza tidak tega melihat kondisi Gayatri yang tampak memprihatinkan.“Minum dulu, Nek. Jangan khawatir, saya akan melindun
Almeera segera menarik tangannya supaya tidak bersentuhan terlalu lama dengan Kaisar. Menjaga jarak dari Kaisar adalah sebuah keharusan. Terlebih, ia sudah berjanji di depan Karenina untuk menghilang dari kehidupan Kaisar setelah kewajibannya selesai.“Tolong geser gambarnya sedikit lagi ke bawah,” kata Kaisar kemudian. Untung saja pria itu sudah kembali ke posisinya semula, sehingga wajah mereka tidak berdekatan.“Iya, Tuan.”Dengan patuh, Almeera melaksanakan perintah sang suami tanpa banyak bertanya. Namun, kali ini ia menggeser gambar lebih lambat agar Kaisar tidak memegang tangannya seperti tadi. “Ck, kalung ini terlalu simple, tidak sesuai dengan pesanan dari Ivander Wijaya,” decak Kaisar. Sepertinya, ia kesal terhadap desainer yang ditugaskan untuk merancang kalung berlian dalam katalog. Kaisar lantas turun dari tempat tidur untuk mengambil ponsel. Dari tempat tidur, Almeera mendengar Kaisar bicara dengan asistennya agar segera merevisi desain tersebut. Pria itu juga meminta
Perempuan paruh baya itu melepas kacamata hitam yang melekat di wajahnya. Semua yang ia kenakan adalah barang bermerk dengan harga fantastis. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, hingga anting berlian yang tersemat di telinganya. Jelas sudah bila dia bukanlah wanita sembarangan. “Kenapa kamu terkejut, Hamdan? Apa aku tidak boleh pulang ke rumah mendiang suamiku? Bukankah aku masih dianggap menantu di rumah ini?” tanya Hana sembari menatap Hamdan. “B-bukan begitu maksud saya, Nyonya Besar. Biasanya Anda memberitahu dulu sebelum pulang,” ucap Hamdan meralat ucapannya. Sedikit saja salah bicara, bisa berakibat fatal. Apalagi, Hana memiliki sifat temperamen dan mudah sekali tersinggung hanya karena hal-hal sepele. “Memang aku tidak ada rencana untuk kembali ke Jakarta. Tapi, karena aku mendengar kabar yang sangat buruk, terpaksa aku pulang lebih awal.”Hamdan langsung meneguk saliva kasar. Ia tahu benar apa yang dimaksud oleh Hana, yaitu pernikahan kedua Kaisar yang diatur oleh Tuan Barata