Kaisar mengernyitkan dahi. Ia melirik sebentar ke arah Almeera yang bersandar di kursi dengan tenang, lalu kembali fokus ke percakapan.“Ini sudah malam, Ma, dan aku sedang bersama Almeera. Kami ingin istirahat,” kata Kaisar sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. “Apa tidak bisa dibicarakan lain kali?”Hana terdiam sejenak, seolah sedang mempertimbangkan jawabannya. “Baiklah, aku akan ke kantormu besok. Ada hal penting yang harus kamu tahu tentang Papa Barata.”Seketika, wajah Kaisar menegang. Ia merasa khawatir bila terjadi sesuatu yang buruk pada kakeknya.“Apa Opa sakit?”“Tidak, dia sedang istirahat di kamar. Aku akan menjelaskan padamu besok,” ujar Hana terdengar ambigu.“Datanglah ke kantor sebelum jam sepuluh pagi, karena aku ada meeting,” jawab Kaisar menyanggupi.Setelah Hana setuju, Kaisar menutup telepon dan menghembuskan napas panjang. P
Pertanyaan itu membuat Kaisar terdiam. Ia mengernyit, mencoba mencerna makna di balik pertanyaan yang dilontarkan Almeera. Setelah beberapa detik, ia bertanya, “Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang?”Almeera mengangkat bahu sembari menggigit bibir bawahnya. “Ini hanya … keinginan ibu hamil,” jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan rasa gugup. Almeera mengalihkan pandangannya untuk menghindari tatapan tajam Kaisar.Kaisar akhirnya tersenyum, mengerti bahwa mungkin Almeera sedang ingin mengujinya. Perempuan terkadang membutuhkan kalimat peneguhan cinta dari pasangannya, dan dia akan melakukan itu.“Kalau aku ada di posisi itu,” katanya dengan nada serius, “aku akan berjuang mempertahankan cinta kita,” lanjut Kaisar mantap.“Aku akan meminta restu dan pengertian dari orang tua. Sebab menurutku, tidak ada yang berhak memisahkan suami istri yang saling mencintai. Orang tua pasti menginginkan y
Kaisar semakin terkejut, darahnya terasa mendidih di bawah permukaan kulit. Nama istrinya disebut oleh Karenina? Mungkinkah Karenina telah merencanakan sesuatu yang buruk terhadap Almeera?“Kapan Bi Yuli mendengar percakapan itu?” Kaisar bertanya dengan nada yang lebih tegas, nyaris mendesak.“Sekitar tiga hari yang lalu, Tuan Muda,” jawab Bi Yuli pelan.Kaisar terdiam. Tiga hari lalu… itu artinya bersamaan dengan saat Almeera hampir tertabrak mobil. Secara refleks, pikiran Kaisar langsung tersambung dengan rentetan peristiwa yang terjadi selama ini. Siapa sangka Karenina, yang ia kira lumpuh, bisa berjalan. Dengan kata lain, Karenina adalah perempuan licik yang lihai memanfaatkan kondisinya untuk menipu semua orang. “Terima kasih atas informasinya, Bi Yuli. Jaga rahasia ini baik-baik, jangan sampai ada yang tahu selain kita,” ucap Kaisar dengan suara dingin, tak ingin memancing lebih banyak pertanyaan dari Bi Yuli. “Baik, Tuan Muda,” jawab Bi Yuli patuh. Setelah menutup telepon, t
Ketika Kaisar masuk ke dalam mobil, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Willy masuk. [Tuan, kami sudah menuju ke alamat lelaki tua itu. Saya akan melapor setelah mendapat informasi.]Kaisar membalas singkat, menyuruh Willy berhati-hati. Meskipun kasus ini terlihat sederhana, segalanya bisa berubah menjadi rumit jika mereka tidak berhati-hati.Usai mengirimkan pesan, Willy juga memberikan foto seorang pengawal senior yang telah dia pilih untuk membuntuti Karenina. Melihat foto tersebut, Kaisar mengangguk puas. Ia yakin dalam beberapa hari ke depan, ia akan menerima laporan yang akurat.Seiring mobil melaju menjauh dari apartemennya, Kaisar merasa harinya baru dimulai. Masih ada banyak hal yang harus diselesaikan, banyak pertanyaan yang harus dijawab, dan banyak keputusan yang harus diambil dengan cermat. Di balik semua itu, Kaisar bertekad akan segera membuka topeng orang-orang munafik di sekitarnya.Di apartemen, Almeera duduk di meja makan, menghela napas panjang sebelum menyendok
Kaisar berjalan masuk ke ruang kantornya dengan langkah mantap. Pagi ini, ia sudah siap menghadapi hari yang panjang dengan beberapa meeting dan tugas penting. Akbar, asisten pribadinya, sudah berdiri dengan dokumen di tangan, siap untuk menyerahkan semua hal yang memerlukan tanda tangan Kaisar.“Tuan, ini beberapa dokumen yang perlu ditandatangani,” ucap Akbar, menyerahkan tumpukan kertas dengan cekatan. Ia selalu memastikan segala sesuatu teratur, terutama ketika Kaisar sedang memiliki agenda yang padat.Kaisar mengangguk, mengambil pena dari atas mejanya. “Akbar, setelah meeting nanti, saya ingin kamu ke rumah sakit. Pantau kondisi Tuan Marco dan laporkan kepada saya secepatnya.”Akbar mengerutkan kening, tetapi cepat mengerti maksud Kaisar. “Baik, Tuan. Saya akan pastikan semuanya terkoordinasi dengan baik,” jawabnya dengan tegas, lalu ia keluar dari ruangan Kaisar untuk mempersiapkan rapat.Saat Kaisar sedang memer
Kaisar duduk diam di balik meja, mencoba menenangkan diri. Pikirannya berputar kacau seperti badai yang tak bisa ia kendalikan. Kejahatan masa lalu kakeknya, Tuan Barata, yang baru saja terungkap, menghantam Kaisar dengan keras—merusak citra pria tua yang sangat ia hormati.Terlintas ingatan masa kecilnya, di mana ia melihat kakeknya seperti pahlawan tanpa cela, padahal kenyataan berkata lain. Rahang Kaisar pun mengeras, menahan emosi yang membara dalam dadanya.Hana, ibu tirinya, masih duduk di depannya dengan angkuh. Sepertinya, perempuan paruh baya itu merasa puas setelah menceritakan perbuatan keji Tuan Barata, sesuatu yang disembunyikan selama belasan tahun. Namun, di dalam kepala Kaisar, timbul satu pertanyaan: Mengapa harus sekarang? Kenapa Hana baru mengungkapkan semua ini?Dengan suara serak dan rendah, Kaisar berkata, "Kenapa baru sekarang Mama memberitahu aku?" Ia menatap mata Hana tajam, mencoba mencari jawaban yang masuk akal.Han
Mata Panji melebar seketika, bibirnya nampak seputih kertas. Ia menelan ludah, keringat dingin mulai membasahi dahinya. Jelas sekali bahwa ancaman Willy berhasil mengguncang hati lelaki yang rambutnya telah beruban itu.Namun, sebelum Panji sempat menjawab, terdengar suara perempuan tua dari dalam rumah, batuk-batuknya terdengar parah. “Panji … Panji … tolong ambilkan obat…” suara itu lemah, hampir tak terdengar.Panji tampak tertegun. Wajahnya yang semula pucat kini terlihat penuh rasa cemas. Willy melirik ke arah pintu rumah yang terbuka setengah, lalu kembali menatap Panji.“Itu istri Bapak?” tanya Willy, suaranya lebih lembut kali ini.Panji mengangguk, wajahnya tampak sedih. “Iya, Nak. Istri saya sakit asma. Sudah lama …,” katanya pelan, suaranya bergetar.Melihat kesulitan yang dialami lelaki tua ini, Willy sedikit tersentuh. Panji bukan orang jahat, tetapi mungkin ia
Di ruang tengah mansion yang luas, Karenina duduk dengan gelisah, mengetuk-ngetuk ujung meja dengan kuku-kukunya yang dipoles sempurna. Pikirannya berkecamuk antara kekhawatiran dan kegembiraan. Ia menunggu kabar dari tantenya, Hana, yang pergi menemui Kaisar di kantor untuk menyampaikan berita besar.Berita tersebut diharapkan Karenina akan meledakkan pertengkaran besar antara Kaisar dan kakeknya, Tuan Barata. Sekarang hampir jam makan siang, dan seharusnya Hana sudah selesai bicara dengan Kaisar. Terbayang di benak Karenina betapa marahnya Kaisar, dan bagaimana Tuan Barata akan terpojok oleh kebenaran yang selama ini ia sembunyikan.Pintu kamar Tuan Barata terbuka dengan derit halus. Pria tua itu muncul dengan tongkat di tangannya, matanya yang tajam mengamati Karenina tanpa rasa simpati.“Nina,” panggilnya tegas, “segera kemasi pakaianmu. Aku sudah memanggil sopir untuk mengantarmu ke rumah barumu di Bogor.”Karenina
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe