Di ruang tengah mansion yang luas, Karenina duduk dengan gelisah, mengetuk-ngetuk ujung meja dengan kuku-kukunya yang dipoles sempurna. Pikirannya berkecamuk antara kekhawatiran dan kegembiraan. Ia menunggu kabar dari tantenya, Hana, yang pergi menemui Kaisar di kantor untuk menyampaikan berita besar.
Berita tersebut diharapkan Karenina akan meledakkan pertengkaran besar antara Kaisar dan kakeknya, Tuan Barata. Sekarang hampir jam makan siang, dan seharusnya Hana sudah selesai bicara dengan Kaisar. Terbayang di benak Karenina betapa marahnya Kaisar, dan bagaimana Tuan Barata akan terpojok oleh kebenaran yang selama ini ia sembunyikan.
Pintu kamar Tuan Barata terbuka dengan derit halus. Pria tua itu muncul dengan tongkat di tangannya, matanya yang tajam mengamati Karenina tanpa rasa simpati.
“Nina,” panggilnya tegas, “segera kemasi pakaianmu. Aku sudah memanggil sopir untuk mengantarmu ke rumah barumu di Bogor.”
Karenina
Menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam, Karenina akhirnya sampai di tujuan. Dari jendela mobil, ia melihat sebuah rumah besar bergaya etnik yang terletak di daerah pinggiran Bogor. Rumah inilah yang akan menjadi tempat tinggalnya sekarang.Karenina mendengus kesal sembari terus mengutuk di dalam hati. Sungguh, ia merasa seperti wanita buangan yang sengaja disingkirkan ke tempat terpencil. Begitu mobil berhenti, seorang pelayan setengah baya menyambut Karenina di pintu gerbang. Pelayan itu membungkuk sopan, membuka pintu mobil Karenina dan mempersilakannya turun. Karenina mengangkat satu tangan, menyuruh perawat yang duduk di kursi depan untuk segera mengeluarkan semua barangnya.“Cepat, turunkan barang-barangku,” ujarnya dengan nada dingin.Perawat itu segera membuka bagasi, mulai menurunkan koper-koper dan tas mewah milik Karenina dengan bantuan pelayan. Koper-koper besar tersebut terlihat penuh, menandakan Karenina akan tinggal lama di tempat ini. Mereka bergegas mengan
Almeera menyerahkan kotak kardus yang berisi makanan dan baju untuk Rifki kepada Pak Wahyu. Ia berpesan agar Pak Wahyu segera mengirimkannya ke asrama sekolah dengan paket kilat. Sesudah sopir kepercayaan Kaisar itu berangkat, Almeera kembali duduk di ruang tamu apartemen.Senyum kecil terukir di wajahnya, membayangkan betapa senangnya Rifki saat menerima paket tersebut. Paling tidak, hadiah kecil itu akan bisa mengobati rasa kecewa sang adik. Hanya saja, di dalam hati kecilnya Almeera tidak sepenuhnya tenang.Bagaimana tidak. Hampir setengah hari berlalu, Kaisar sama sekali tidak menghubunginya. Biasanya, bahkan di sela kesibukannya, Kaisar selalu menyempatkan diri untuk menelepon atau mengirim pesan, sekadar menanyakan kabar atau memastikan apakah Almeera sudah makan. Namun kali ini, tidak ada panggilan atau pesan singkat.Almeera mulai bertanya-tanya, apakah Kaisar begitu sibuk dengan pekerjaannya di kantor? Atau mungkin ada sesuatu yang ter
Kaisar menatap Almeera dengan mata penuh kepedihan. “Kenapa orang-orang terdekatku selalu membohongi aku?” kata Kaisar, suaranya bergetar. “Apakah aku akan berakhir sendirian?”Untuk kedua kalinya, Kaisar melontarkan pertanyaan yang membuat Almeera terkesiap. Seketika, kepala Almeera penuh dengan tanya. Siapa yang telah membohongi Kaisar bertahun-tahun, hingga membuat sang suami begitu terpukul? Meski begitu, Almeera menggigit bibirnya, berusaha keras menekan dorongan untuk bertanya lebih jauh.“Bukan seperti itu, Hubby. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” ujar Almeera mantap, mencoba menyalurkan kekuatan yang ia temukan di dalam dirinya. “Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama.”Kata-kata Almeera bagaikan pelukan hangat yang menenangkan jiwa Kaisar. Dengan mata yang masih memerah, Kaisar menarik napas panjang. Ia bangkit dengan langkah gontai menuju kamar mandi.Almeera memilih
Almeera terdiam sejenak, mencoba mencari keberanian dalam dirinya. Kemudian, ia menghela napas dan berkata, "Aku tahu dari Tuan Marco… Dia bercerita padaku di rumah sakit."Tatapan Kaisar semakin bingung. "Tuan Marco?" Kaisar bertanya dengan nada heran. "Dari mana dia tahu tentang mamaku? Dan mengapa dia menceritakan itu padamu, Sayang?"Almeera terdiam, tubuhnya sedikit bergetar. Ia merasa beban yang selama ini dipendamnya akan segera terungkap. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Almeera memberanikan diri untuk membuka rahasia yang selama ini ia simpan dari Kaisar."Tuan Marco tahu karena Tante Clarisa adalah teman masa kecilnya," ucapnya dengan suara yang nyaris berbisik. Air mata mulai mengumpul di sudut mata Almeera."Tuan Marco Biantara, dia adalah … papa kandungku. Dan, musuh besar dari Opa Barata adalah kakekku, Rudi Biantara. Maafkan aku, Hubby. Aku baru mengatakannya dengan jujur sekarang.”Kaisar tersentak, tat
Usai memberikan balasan, Kaisar membuka pesan lain yang masih berasal dari Willy. Jantung Kaisar berdegup kencang ketika melihat apa yang ada di dalamnya. Ada beberapa foto dan video yang dikirimkan oleh pengawal yang bertugas membuntuti Karenina.Di layar, terlihat Karenina yang berjalan tanpa bantuan siapapun, tampak segar dan sehat. Dia jelas-jelas telah menipu semua orang dengan berpura-pura lumpuh. Amarah Kaisar semakin memuncak ketika melihat Karenina minum di bar hotel, dengan ditemani seorang pria muda. Wajah Kaisar menegang, tangan kirinya mencengkeram ponsel hingga buku-buku jarinya memutih.Tanpa pikir panjang, Kaisar mengirimkan semua foto dan video itu kepada pengacaranya. Pesan yang ia kirim pun singkat, penuh dengan ketegasan, menginstruksikan agar semua bukti itu segera diproses untuk persidangan perceraian mereka. Tidak ada lagi simpati untuk Karenina, segala rencana perceraian akan ia jalankan tanpa keraguan sedikitpun.Sambil menghela napas pa
Kaisar menghela napas dalam-dalam ketika mobilnya melaju di jalan menuju mansion. Pikirannya penuh dengan bayangan pertemuan yang akan ia lakukan dengan Tuan Barata hari ini. Namun, di tengah perjalanannya, suara dering ponsel menyela keheningan. Kaisar merogoh sakunya dan melihat nama yang tertera di layar—Tuan Frans, pengacaranya.“Ya, Tuan Frans?” jawab Kaisar, memasang speaker agar bisa berkendara dengan aman.“Selamat pagi, Tuan Kaisar,” suara Tuan Frans terdengar penuh keyakinan. “Saya ingin mengabarkan bahwa semua bukti yang Anda kirimkan sudah saya siapkan. Foto dan video yang menunjukkan bahwa Ibu Karenina sudah bisa berjalan dan minum di bar dengan pria lain, akan kami hadirkan di persidangan. Saya yakin hakim akan segera menyetujui permintaan perceraian Bapak.”Kaisar mengangguk, merasa lega mendengar kabar tersebut. “Terima kasih, Tuan Frans. Ini berita yang bagus. Setelah semua yang terjadi, saya hanya
Kaisar mengangguk, dan meminta waktu sebentar kepada Tuan Barata untuk berdoa di makam ibunya. Ia berlutut di depan nisan Nyonya Clarisa, mengucap doa dengan linangan air mata. Memohon agar ibunya bisa tenang di alam sana dan memaafkan segala luka yang telah ditinggalkan. Setelah itu, Kaisar berdiri dan menggandeng lengan Tuan Barata. Membimbingnya menuju mobil milik sang kakek yang telah menunggu di tepi jalan, diikuti oleh Hamdan yang setia.Di dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka sesaat. Tuan Barata menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk membuka lembaran masa lalunya yang kelam. Menjelang sisa waktunya di dunia, lelaki tua itu ingin mengakui semua yang terjadi kepada Kaisar. “Awal mula permusuhanku dengan Rudi Biantara…” ia memulai dengan suara lirih, “berawal dari adik perempuanku satu-satunya, Sandra.”Kaisar mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Tuan Barata melanjutkan ceritanya dengan berat. “Sandra … dia dulu sangat mencintai Rudi Biantara. Mer
Wajah Tuan Barata semakin pucat, terpekur dalam keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan. Kaisar melanjutkan, “Itulah sebabnya Tuan Marco menyelamatkan Meera dari kecelakaan tabrak lari. Dia ingin menebus kesalahannya, yang tidak bisa hadir di sisi Meera sebagai seorang ayah.”Suara Kaisar merendah, mengenang kejadian itu. “Golongan darah mereka juga sama, Opa. Menurut Meera, hubungan antara Marco Biantara dan ibunya dulu tidak direstui, karena perbedaan status sosial.”Tuan Barata menatap Kaisar dengan sendu, seolah belum bisa mencerna kenyataan ini. Napasnya tercekat, dan untuk sesaat, ia hanya bisa menatap kosong ke depan. Lambat laun, pemahaman mulai merayap masuk ke dalam benak lelaki tua itu, bersamaan dengan perasaan bersalah yang kembali melingkupinya.“Jadi, takdir mempertemukan aku dan Almeera karena sebuah alasan …,” bisik Tuan Barata, matanya berkaca-kaca. “Ternyata, gadis yang aku jodohkan denganmu adalah cucu dari musuhku sendiri. Mungkin ini adalah cara dari Yang Mah
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe