Tubuh Sierra seakan seringan kapas setelah mendengar ajakan kencan dari Martin. Perasaannya yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalan keluar, dan Sierra merasa seperti melayang di atas awan.
Senyumannya merekah tak terkendali, membuat wajah Sierra merona penuh kebahagiaan.“Oke, ayo kita coba,” jawabnya. Berusaha untuk tetap bersikap tenang meski hatinya memekik girang.Martin tersenyum lebar, senang mendengar jawaban positif dari Sierra. Mereka merencanakan tempat dan waktu untuk kencan mereka yang pertama, membuat Sierra antusias luar biasa.“Besok berangkat kerja, aku jemput, ya?” tawar Martin.Sierra mengangguk cepat. Meski dia tetap berusaha bersikap tenang. Dia tidak bisa terlalu senang karena Martin baru saja patah hati ditolak oleh Elisha.“Ngapain kamu jemput dia?” tegur Rachel, yang menyeruak menyuguhkan sebotol minuman dingin ke hadapan Martin. Dia memicingkan mata memandang Martin dan Sierra bergantian. “Dia sudah biasa naik ojek online, Tin,” selorohnya santai.Sama seperti Sierra, Rachel juga cukup dekat di masa kecilnya dengan Martin. Karena setelah sang ayah memutuskan membeli panti asuhan itu, Martin sering menghabiskan masa bermainnya bersama Sierra dan Rachel.“Chel!” hardik Sierra, mendorong keras tubuh Rachel agar menjauh dan tidak menguping. “Bukannya kamu harus masuk shift siang?”Rachel bekerja sebagai seorang perawat di rumah sakit swasta yang juga bekerjasama dengan perusahaan milik Paul Pandia.Rachel menggerutu, meski dia menurut ketika Sierra mengusirnya. Martin hanya bisa tertawa geli melihat sikap Sierra dan Rachel yang selalu saja berdebat sejak kecil, namun juga paling dekat.“Aku tahu kamu hanya menjadikanku pelampiasan,” ucap Sierra, setelah memastikan Rachel tidak menguping. “Tapi aku akan bersikap tidak peduli. Aku akan menganggap kamu benar-benar mengajakku berkencan karena menyukaiku,”Martin mengarahkan bola matanya ke lantai, tampak merenung sedih. “Jika kita tidak mencoba, kita tidak akan tahu,” timpal Martin.Sierra menarik nafas panjang. Dia tampak sangat berusaha meneguhkan dirinya sendiri. Dengan kedua tangan mengepal erat, dia lantai meraih salah satu tangan Martin.“Ayo makan siang bersama!” seru Sierra, tersenyum amat lebar.Martin tersenyum tipis, lega karena Sierra bersedia memberikan kesempatan pada hubungan mereka.“Ide bagus,” timpal Martin. “Mau makan dimana?”“Tempat biasa,” Sierra sengaja memberi jawaban yang ambigu, untuk mengetes Martin. “Tahu kan, maksudku?”Martin mengarahkan bola matanya ke atas, tampak berpikir keras. Hampir satu menit dia berpikir, dia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat.Sierra menghembuskan nafas keras, lantas berdiri. Dia kesal karena Martin tidak ingat restauran tempat mereka biasa datangi seusai rapat saat makan siang.“Ayo ikut aku!” seru Sierra. Dia bergerak lebih dulu, melaju menuju mobil Martin yang diparkir di teras pantinya.Martin hanya diam melongo, bergerak mengikuti langkah Sierra. Dia tidak tampak seperti seorang bos disini, karena sikapnya yang begitu menurut pada Sierra.“Kamu yang mengemudi?” Martin kaget karena Sierra sudah duduk di kursi kemudi.“Memangnya kenapa? Bukankah biasanya memang aku yang mengemudi?” Sierra mengerutkan kening, tidak paham.Martin mengacak rambut. “Ini tidak seperti kencan, tapi seperti saat kita bekerja, Sierra!” omelnya. “Harusnya aku yang mengemudi!”Martin membuka pintu, lantas menarik paksa tubuh Sierra agar turun dari kursi kemudi. Sierra tidak melawan, karena memang Martin cukup keras memaksanya.Sebelum Sierra masuk ke dalam mobil, Martin berlari kecil membukakan pintu. Sierra melirik ekspresi Martin dengan senyum meringis kikuk.“Kenapa harus seperti ini? Aku bukan Elisha,” gerutu Sierra.Martin tersenyum. “Aku akan bertindak seperti ini selama kita kencan, agar aku bisa membedakan saat kamu menjadi pasanganku dan menjadi sekretarisku,” terang Martin.Sierra tersipu. Senyum menyeruak lewat sela-sela bibir, yang berusaha dia tahan sebisa mungkin. Dia pun menurut ketika Martin bersikap layaknya seorang pria sejati, yang membukakan pintu mobil untuk pasangannya.Atas petunjuk Sierra, berhentilah Martin di sebuah restoran mewah, The Velvet Fork yang sedang tidak terlalu banyak pengunjung.Sebelum turun dari mobil, Martin tertawa kecil memandangi papan nama restoran itu, untuk kemudian beralih pada Sierra.“Maksudmu restoran ini? Aku bahkan tidak ingat kita sering datang ke sini,” komentar Martin tidak percaya.Sierra memutar bola mata. “Kamu menyukai risotto jamur di restoran ini,”“Ah!” Martin tiba-tiba berseru. “Aku ingat sekarang! Kamu selalu memesankan makanan untukku … ““Ayo turun!” potong Sierra tak sabar. Dia bergegas membuka pintu mobil, membuat Martin tak punya pilihan selain menurut.Setelah memilih meja makan, Sierra segera memesankan makanan untuk Martin–tak lupa risotto jamur di dalamnya.Sementara Sierra sibuk dengan berbagai menu yang dia pesan, Martin tak bisa mengalihkan pandangannya dari Sierra. Dalam hati dia mulai menyadari betapa beruntungnya bisa memiliki Sierra di sampingnya, meskipun dalam situasi yang rumit.Ketika Sierra berbicara tentang makanan yang dia pesan, Martin tersenyum dan mengangguk mendengarkan, meskipun pikirannya masih terfokus pada wanita yang duduk di hadapannya saat ini.Saat makanan tiba pun, mereka menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan. Sierra selalu bersikap ceria dan bersemangat, membuat suasana semakin menyenangkan. Perlahan Martin mulai melupakan rasa kecewanya akibat penolakan dari Elisha.“Besok pagi aku jemput, ya? Kita berangkat ke kantor bersama,” ajak Martin setelah mengantarkan Sierra kembali ke panti.Sierra tersenyum. “Kita memang biasa berangkat bersama, kan? Kamu lupa aku sekretarismu?” selorohnya santai.Martin tertawa lepas, mengelus bagian belakang kepalanya dengan kikuk. “Aku sudah lama tidak merasa segugup ini bersama wanita,” komentarnya.“Kembalilah. Pegawaimu pasti mencari,” pinta Sierra.Setelah puas menggenggam erat tangan Sierra, Martin pun pamit pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan di kantor, dan dia tidak ingin terlambat.Sierra tersenyum manis, melambaikan tangan mengantar kepergian mobil Martin yang perlahan keluar dari teras panti. Wajah Sierra terus memerah bahagia, seakan saat ini banyak kupu-kupu terbang rendah di atas kepalanya.“Ada apa ini?” celetuk Rachel yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah, menghampiri Sierra.“Maksudmu?” timpal Sierra gugup.Rachel memicingkan mata penuh curiga. “Apa yang terjadi sama kamu dan Martin?” tanya Rachel menginterogasi. “Kalian berkencan, kan?”“Chel!”Rachel menuding Sierra dengan telunjuknya. “Dia tidak mungkin memegang tangan sekretarisnya, kecuali si sekretaris merangkap sebagai pacar juga,” seloroh Rachel seenaknya.“Chel!” teriak Sierra, hendak memukul pelan pundak Rachel.Tapi segala keributan itu harus berhenti, ketika sosok Lukman berjalan mantap memasuki teras panti. Sierra dan Rachel seketika membeku, lantas saling pandang dengan posisi gugup.Rachel tentu mengenal Lukman. Bagaimanapun juga, Paul Pandia adalah pemilik tempatnya tinggal dan sekaligus tempatnya bekerja. Rachel tidak mungkin melupakan fakta itu.“Selamat sore, Rachel, Sierra,” sapa Lukman, bergantian pada Sierra dan Rachel. Kemudian Lukman kembali menancapkan pandangannya pada Sierra. “Bisakah aku berbicara berdua saja dengan Sierra, Chel?”“T-tentu saja, Pak Lukman,” jawab Rachel terbata-bata. Dia selalu segan pada Lukman, karena pria tua itu adalah tangan kanan Paul Pandia yang cukup disegani oleh banyak pegawai.Dengan isyarat mata, Lukman mengajak Sierra untuk pergi menjauh dari Rachel. Lukman mengajak Sierra menuju mobilnya yang terparkir rapi di luar pagar panti.Kemudian pria itu membukakan pintu belakang mobil, mempersilahkan Sierra untuk masuk ke dalamnya. Betapa terkejut Sierra sesaat setelah pintu itu dibuka, sosok Paul tengah duduk melipat tangan. Pandangn pria tua itu lurus menatap Sierra.“T-Tuan?” seru Sierra, benar-benar terkejut. Dengan gerakan kikuk, dia perlahan masuk ke dalam mobil itu.Paul tersenyum. “Sepertinya kamu menikmati waktumu bersama Martin, eh?”Sierra hanya menyahut dengan senyuman kaku. “Kami menyempatkan makan siang bersama untuk membahas kerjaan, Tuan,” jawabnya.Paul menggeleng. Lantas menarik nafas panjang. “Tidak masalah bagiku. Kamu memang sekretaris Martin,” timpalnya.Sierra meng
Bola mata Elisha bergetar. Tapi hanya beberapa detik karena dia buru-buru menunduk dengan memeluk erat dokumen yang sedang dia bawa.Kemudian dia mendongak, kali ini sambil tersenyum begitu lebar. “Selamat, ya, Sierra,” ucapnya. Lantas menunduk ke arah Martin. “Selamat, Pak Martin,”Sama halnya seperti Elisha, Martin juga merasa sedikit sakit di dalam hatinya. Hingga tanpa sadar tubuhnya membeku, membiarkan Elisha pergi dengan sejuta kekecewaan.Sementara itu, Sierra yang paham hanya dijadikan sebagai selingan, berusaha untuk menghibur diri sendiri. Dia melangkah tegap meninggalkan Martin, menuju meja kerjanya sendiri yang terletak tepat di depan pintu ruang kerja Martin.Martin hendak menghampiri Sierra, tapi seketika dia sadar bahwa mereka sedang berada di kantor. Mau tak mau dia berusaha untuk menahan diri demi menjaga profesionalitasnya.***Tanpa terasa, begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hingga Sierra baru bisa mengalihkan pandangan dari layar laptop ketika matahari
“Sierra, buka pintu!” Martin menggedor dengan membabi-buta, karena Sierra mendekam di dalam kamar mandi cukup lama setelah sebelumnya sempat mendadak mual.Di dalam kamar mandi Sierra masih bersimpuh, dengan sejuta ketakutan. Dia tidak pernah mual seperti ini dan ini adalah kali pertama untuknya. Bagaimana jika dia hamil? Bayangan akan wajah Paul Pandia terus timbul tenggelam di matanya, kemudian tergantikan akan wajah Martin yang tersenyum ke arahnya.“Sierra!” Martin berteriak makin keras.Sierra segera bangun dari lamunannya sendiri, mematut diri di depan cermin dan memastikan tidak ada hal aneh di wajahnya. Setelah yakin semuanya berjalan tanpa keanehan, Sierra pun segera keluar dari kamar mandi. Dia cukup terkejut melihat raut wajah Martin yang tampak sangat cemas.“Apa yang terjadi? Kamu sakit?” Martin mencengkeram kencang dua bahu Sierra.Sierra menggeleng dan pelan-pelan melepaskan cengkeraman tangan Martin dari bahunya. “Martin, sepertinya aku harus pulang,” ucap Sierra pelan
Sebelum benar-benar menjawab teguran Rachel, Sierra yang panas dingin lebih dulu melirik ke arah Paul. Tampak pria tua berwibawa itu tersenyum tipis, seakan menertawai kebodohan Sierra.“Sierra?” panggil Rachel karena Sierra tidak menyahut. Kemudian wanita itu membungkuk hormat ke arah Tuan Paul, yang kini memilih duduk di kursi yang dipersilahkan oleh Sierra. “Selamat malam, Tuan Paul,” sapa Rachel.Bagi Rachel, Paul Pandia bak malaikat berfisik nyata. Selama hidup di panti asuhan bersama Sierra, dia sangat tahu kalau Pandia Group menjadi salah satu sponsor penting yang menyambung seluruh kehidupan para penghuni panti. Rachel menganggap Paul sebagai panutan yang wajib disegani.“Kamu baru pulang, Chel?” sapa Paul. “Apa kamu juga ingin membeli nasi goreng untuk Sierra?” Sembari bertanya, Paul melirik Sierra dengan tatapan geli.“Saya kira … Sierra sudah pulang,” jawab Rachel ragu.“Oh, begitu,” Paul bangkit berdiri. Dia menghadap ke arah Sierra. “Si, setelah selesai makan, sebaiknya k
“Kenapa kamu diam saja? Apa pertanyaannya terlalu sulit untukmu?” tanya Paul karena Sierra masih diam meski hampir satu menit berlalu.Sierra menggigit bibir sembari memainkan jemarinya. “Tuan tahu … ““Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri, Si,” sambar Paul, dengan suara tenang nyaris tanpa ada nada tinggi maupun rendah. Benar-benar seimbang.“Maafkan saya, Tuan … “ Lagi-lagi Sierra menunduk. “Semua itu kesalahan. Saya berjanji untuk tidak melakukannya lagi,”Untuk kali ini Sierra tidak menunggu dua kali, dia bergegas keluar dari mobil Paul. Tak peduli meski Paul menjadi murka atas sikapnya. Dia bahkan tidak menghiraukan Lukman yang sempat memanggil namanya, meminta penjelasan. Sierra sudah terlalu gugup dan muak kepada dirinya sendiri, serta diliputi penyesalan ketika harus mengingat malam panas waktu itu.“Tuan, apa perlu saya susul Sierra?” Lukman melongok melalui jendela untuk mengecek keadaan Paul.Paul mengangkat lima jarinya, tanda menolak. “Biarkan saja dia, Lukman. Aku ti
“Sierra?” Terdengar suara pintu toilet yang diketuk. Sierra buru-buru menghapus air matanya, segera berdiri dan berusaha membereskan kekacauan yang sempat membuatnya mengalami semacam syok ringan. Setelah menarik nafas demi menjaga ketenangan, Sierra pun membuka pintu.“Ada apa?” Sierra membuka pintu toilet dan mendapati Tasya berdiri di baliknya dengan muka masam.Tasya melipat kedua tangannya. “Kenapa lama sekali? Lima belas menit lagi kita ada rapat dengan Pak Martin,” Mendengar nama Martin disebut, entah kenapa hati Sierra terasa begitu sakit. Tiba-tiba dia teringat akan hasil tes sebelumnya, yang menunjukkan bahwa dia tengah berbadan dua. Walaupun tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun Tasya menyadari perubahan sikap Sierra yang tadi pagi begitu cerah, kini berubah sendu dan pucat. Namun karena rapat penting itu sebentar lagi dimulai, Tasya urungkan niat untuk bertanya lebih jauh pada Sierra. Keduanya berjalan cepat menuju meja masing-masing, untuk menyiapkan segala keperlu
Dari kejauhan Elisha melihat Sierra yang menabrak tubuh Lukman dan terjadi kegaduhan singkat. Dia memang memutuskan untuk mengejar Sierra, merasa cemas karena sepertinya Sierra sedang tidak baik-baik saja. Namun dia harus berhenti ketika melihat Sierra saling berhadapan canggung dengan Paul Pandia.Bagi Elisha, percakapan itu tampak tidak biasa. Apalagi Paul yang seperti melirik situasi sebelum benar-benar mengobrol dengan Sierra. Kemudian keduanya–dengan tuntunan Lukman bergegas meninggalkan lobi.“Sepertinya ini belum waktu istirahat,” tegur Martin, tiba-tiba berdiri di belakang Elisha.Elisha yang terkejut spontan menoleh. Dia kaget melihat Martin berdiri menghadapnya dengan tatapan curiga. Cepat-cepat Elisha menunduk, berusaha menutupi sebisanya agar Martin tidak bisa melihat kecanggungan antara Sierra dan Paul.“Maaf … Pak Martin,” Elisha memberi penegasan ketika menyebut nama Martin.Martin menarik nafas panjang. “Sebaiknya kamu segera menyelesaikan desain yang kumau,”“Saya sud
“Apa yang harus saya lakukan?” Sierra kembali mencengkeram perutnya. “Saya terlalu takut untuk menghadapi ini semua, Tuan. Saya … saya juga … ““Sejak kapan?” sambar Paul. Dia sengaja memotong ucapan Sierra. Kini matanya begitu tajam tertuju pada Sierra. “Sejak kapan kamu positif hamil?”Sierra berusaha mengingat kembali tanggal seharusnya dia menstruasi. “Saya tidak bisa memastikan, Tuan,” jawabnya lirih. Tangisannya sudah berhenti, namun meninggalkan bekas memerah pada wajahnya. Sembab.Paul mengusap sisa air mata di pipi Sierra. Dengan lembut dia kembali mendekap wanita itu. “Akhirnya … aku berhasil mendapatkan keturunanku. Darah dagingku sendiri,” ucap Paul sambil mengecup ujung kepala Sierra.Masih dalam dekapan Paul, Sierra bisa dengan jelas mendengar ucapan itu. Ada sedikit rasa terkejut. Tak menyangka Paul justru menyambut kabar kehamilannya dengan begitu gembira, sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Yang lebih mengejutkan, Paul menyebut seakan-akan inilah kali pertama d
“Kenapa kamu lakukan ini?” tuntut Martin, dengan mata membulat sempurna.Bola mata Sierra bergetar. Dia masih tidak bisa mempercayai penglihatannya. “Kamu … kamu benar Martin?”“Apa maksudmu?” sentak Martin.Pria itu lantas mengguncang bahu Sierra. Sambil menjauhkan botol larutan penyegar mulut itu, sejauh mungkin.“Jangan lakukan hal bodoh ini lagi. Anakmu tidak berdosa,” ucap Martin lantang.Tangis Sierra pecah. Dia makin yakin jika Martin yang ada di depannya ini bukanlah ilusi. Tangisan Sierra begitu memekakkan, hingga wanita itu bersimpuh demi meredakan ngilu di ulu hatinya.“Kenapa kamu ada di sini?” isak Sierra. Dia masih bersimpuh. Tidak sanggup berhadapan dengan Martin.“Apa aku sudah tidak punya hak ke rumah ayahku?”Pertanyaan yang bagai peluru itu dilontarkan Martin tanpa beban. Tidak peduli meski perasaan Sierra sedang sensitif karena hamil.“Kukira kamu pergi,” timpal Sierra. Malas berdebat.“Memang,” sambar Martin cepat. “Aku memang berjanji akan pergi. Aku datang hanya
Sierra hampir limbung. Untungnya Violet dengan sigap mundur menghadang tubuh Sierra agar tidak semakin jatuh. Untuk wanita seusianya, Violet memang cukup tangguh. Karena merasa geram, kepala pelayan itu pun maju dengan tatapan geram ke arah Salome.“Nyonya, maafkan saya jika lancang. Tapi ada urusan apa Nyonya datang ke sini?” tanya Violet pada Salome.Salome merengut. “Apa salah jika aku datang ke sini? Ini rumah suamiku,”“Benar, Nyonya. Ini rumah kediaman suami Nyonya,” timpal Violet. “Tapi bukan rumah Nyonya Salome,” imbuhnya, dengan senyum tipis. Sengaja Violet ingin menyerang Salome dengan cara yang elegan.“Apa?” Salome tidak terima. “Sejak kapan kamu … ““Maaf jika saya memotong,” sambar Violet, tidak memberi Salome kesempatan untuk lanjut bicara. “Tapi Tuan Paul memerintahkan saya untuk mengambil alih seluruh pengawasan rumah ini selama Tuan bekerja,” Dia membusungkan dada, berdiri berhadapan dengan Salome. “Dan sebagai penanggung jawab, saya minta Nyonya Salome segera pergi
Sierra membuka mata. Hanya untuk menyadari jika semuanya hanyalah mimpi. Kini dia terbaring hanya mengenakan selimut sutra di atas tubuhnya. Ketika dia menoleh ke sisi ranjang, Paul sedang tertidur pulas. Sierra merasa tubuhnya menggigil, untuk kemudian sadar jika jendela besar di depan balkon kamarnya belum ditutup. Angin dingin tepi pantai menelisik tipis, masuk ke dalam pori-pori.Sierra mendesis. Dia ingin menutup jendela itu, namun dia tidak bisa meraih apapun untuk menutupi tubuhnya. Maka mau tak mau dia berjalan sedikit berlari menuju jendela, hanya menutupi tubuh sekenanya dengan kedua tangan.Ketika dia berbalik, Paul sudah duduk dengan senyum nakal saat melihat tingkahnya. Pria tua itu menggeleng geli, karena Sierra berusaha memeluk tubuhnya sendiri.“Apa kamu pikir aku tidak bisa melihat?” komentar Paul.“Saya hanya takut ada orang di pantai, Tuan,”“Tidak ada siapapun,” sahut Paul. “Tempat ini khusus untuk kita,”Sierra menutup rapat bibirnya. Merasa begitu bodoh karena me
Pesta pernikahan itu akhirnya berakhir. Sierra membuang pandangan jauh menembus kaca mobil Rolls-Royce Phantom warna hitam. Tidak ada Lukman yang mengantarnya dan Paul menuju lokasi villa tempat mereka akan menghabiskan waktu. Sierra tidak mengenal sopir yang duduk di depannya. Sementara Paul, di luar berdiri mengobrol dengan seseorang sebelum berjabat tangan dan masuk ke dalam mobil, menyusul Sierra.Paul mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki. Tak bisa dipungkiri jika dia teramat tampan untuk pria paruh baya seusianya. Jika dibandingkan dengan Martin, ketampanan Paul lebih teduh dan dewasa. Cocok untuk Sierra yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapat perlindungan seorang ayah.“Maaf lama menunggu, Si,” Paul mengecup punggung tangan Sierra.Sierra menggeleng. “Dia kolega Tuan?”“Oh, dia karyawanku yang akan mengurusi semuanya bersama Lukman selama aku menghabiskan bulan madu denganmu,” jelas Paul. Wajahnya tampak begitu bahagia. Berbanding terbalik
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan
Elisha terus menemani Martin meluapkan seluruh kesedihannya, hingga tanpa sadar Martin tertidur di pangkuan Elisha. Wanita itu membiarkan Martin terlelap, tidur melingkar di atas sofa yang tentu tak mampu menampung tinggi badan Martin. Sementara dia memilih untuk tidur di kamarnya sendiri, berharap Martin bisa segera melupakan kesedihannya saat pagi menjelang. Dan keesokan harinya, saat Elisha membuka mata Martin sudah tidak ada di sofa. Meskipun kecewa, Elisha tidak bisa melakukan apapun. Sementara itu, di tempat lain, Sierra yang tidak lagi bekerja mulai membiasakan diri untuk memasak membantu Sarah menyiapkan sarapan. Dia tidak ingin terus terlarut dalam kesedihan, dan mencoba untuk menerima kenyataan meski masih ada perasaan sedih karena kehilangan Martin.“Kamu istirahat saja, Sierra. Bukankah kamu sedang mual?” tanya Sarah.Sierra menggeleng sambil tersenyum. “Tapi aku tidak ingin merasakannya. Aku coba cari di internet, itu namanya morning sickness,”Sarah terkikik bersama Sie
“Ayo berdiri,” Susah payah Elisha menarik tubuh Martin agak bangkit berdiri.“Kita mau kemana?” protes Martin masih dengan keadaan setengah sadar. Namun dia tidak melawan ketika Elisha melingkarkan lengan kanannya pada pundak Elisha.“Aku tidak akan membiarkanmu mengakhiri hidup,” tandas Elisha, sedikit meringis menyadari betapa beratnya tubuh Martin.Dengan jalan yang sedikit kelimpungan, Elisha membawa Martin dan menghentikan salah satu taksi yang kebetulan lewat. Elisha memutuskan untuk membawa Martin ke apartemennya sendiri, yang masih terletak tidak jauh dari sana.Tak berapa lama, taksi itu sampai di depan apartemen Elisha. Masih dengan kepayahan, Elisha membawa Martin untuk masuk ke dalam lobi apartemen. Namun beruntung kali ini si sopir taksi berinisiatif untuk membantu Elisha membopong Martin hingga mereka masuk ke dalam lift.“Kamu bisa istirahat di sini,” Elisha membaringkan tubuh Martin di atas ranjang miliknya.Elisha yang kelelahan setelah membawa Martin, memutuskan untu
Martin berjalan dengan langkah gontai, menyisiri jembatan besar yang ada di sisi apartemennya. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya, saling bersinggungan dengan beberapa kendaraan yang melaju kencang. Angin malam menerpa wajah Martin yang pucat, dan pandangannya kabur akibat sisa pengaruh alkohol yang begitu mendominasi jiwanya.Setiap langkah yang dia ambil terasa amat berat. Begitu juga dengan beban yang kini dia tanggung sendirian. Dia masih begitu ingat, betapa dia kecewa karena mendapat penolakan dari Elisha beberapa waktu lalu. Dan kini dia harus kembali sakit hati atas perbuatan Sierra dan ayahnya.Martin terus melangkah tanpa tujuan pasti. Yang ada di pikirannya kini hanyalah terus berjalan, kemanapun kaki membawanya. Dia hanya ingin menenangkan otaknya dari segala kerumitan yang ada bertubi-tubi bagai peledak yang sengaja dilempar ke depan muka. Martin mengumpat keras ke arah sungai besar di bawahnya, mengutuki takdirnya sendiri.***Salome membuka paksa pintu depan rum