“T-tentu saja, Pak Lukman,” jawab Rachel terbata-bata. Dia selalu segan pada Lukman, karena pria tua itu adalah tangan kanan Paul Pandia yang cukup disegani oleh banyak pegawai.
Dengan isyarat mata, Lukman mengajak Sierra untuk pergi menjauh dari Rachel. Lukman mengajak Sierra menuju mobilnya yang terparkir rapi di luar pagar panti.Kemudian pria itu membukakan pintu belakang mobil, mempersilahkan Sierra untuk masuk ke dalamnya. Betapa terkejut Sierra sesaat setelah pintu itu dibuka, sosok Paul tengah duduk melipat tangan. Pandangn pria tua itu lurus menatap Sierra.“T-Tuan?” seru Sierra, benar-benar terkejut. Dengan gerakan kikuk, dia perlahan masuk ke dalam mobil itu.Paul tersenyum. “Sepertinya kamu menikmati waktumu bersama Martin, eh?”Sierra hanya menyahut dengan senyuman kaku. “Kami menyempatkan makan siang bersama untuk membahas kerjaan, Tuan,” jawabnya.Paul menggeleng. Lantas menarik nafas panjang. “Tidak masalah bagiku. Kamu memang sekretaris Martin,” timpalnya.Sierra mengangguk. Dia memainkan kelima jemarinya demi menghilangkan gugup.“Jadi sekarang giliranku, kan?” Tiba-tiba Paul bertanya. “Kamu bersedia menemaniku makan malam?”Dada Sierra terasa sesak, seakan oksigen di dalam mobil itu tidak cukup untuk dihirup olehnya. Dia ingin menolak, tapi dia tahu itu bukan pilihan yang baik. Meski dia bekerja untuk perusahaan Martin, tapi Paul adalah pemilik utama perusahaan Martin. Itu artinya, Sierra juga bawahan Paul.Sierra sama sekali tidak berani memandang langsung ke mata Paul. Karena setiap dia berusaha melawan perasaannya, kepingan kenangan di vila malam itu selalu menyeruak di depan mata. Membuat hati Sierra berdesir, membayangkan betapa panasnya malam itu.“Argh!” Tanpa sadar Sierra memekik, menyalahkan dirinya yang tengah berimajinasi liar.“Ada apa?” tanya Paul heran, karena Sierra tiba-tiba menampar pipinya sendiri.“T-tidak ada apa-apa, Tuan,” jawab Sierra gugup.Awalnya Paul hanya diam, berusaha mencari celah kejujuran dari wajah Sierra. Tapi tak lama dia pun tersenyum penuh maksud. Seakan tahu apa yang tengah dipikirkan Sierra.“Jangan khawatir, Si,” ucap Paul. “Kita bisa menghabiskan malam berdua lagi hari ini,” rayunya. Tangan Paul berusaha meraih tangan Sierra.Tapi tiba-tiba wanita itu menghindar. Dengan gerakan cepat, dia menjauhkan posisi duduknya dari Paul. Dengan kepala terus menunduk, dia berusaha membangun pagar pembatas agar tidak dilewati Paul.“Maafkan saya, Tuan,” ucapnya. “Saya tidak bisa,” Sierra berusaha mengumpulkan keberaniannya sendiri. “Saya–” Dia menelan ludah demi melancarkan ucapannya. “Saya sudah setuju untuk berkencan dengan Martin,”Paul menautkan kedua alisnya saat mendengar jawaban Sierra. Untuk kemudian menghela nafas dan mengangguk.“Jika itu memang pilihanmu, Si,” ujar Paul pelan. “Aku tidak bisa memaksamu,”Paul membuka pintu dan bangkit berdiri. Sementara Sierra masih berada di dalam mobil itu, mulai sedikit takut karena berani menolak permintaan Paul.Tak lama, pintu di samping Sierra terbuka. Sosok Paul yang tegap membukakan pintu untuk Sierra, sembari tersenyum amat berwibawa.“Istirahatlah, Si. Aku tahu kamu lelah,” ucap Paul.Sierra mengangguk. Dia keluar dari mobil itu masih dengan tatapan menunduk, sama sekali tak berani memandang ke arah Paul.Kemudian Paul menyerahkan kartu namanya pada Sierra. “Aku tidak ingat apa aku pernah memberimu kartu namaku. Tapi simpanlah ini, dan hubungi aku jika kamu butuh kehangatan,”Sierra yakin dirinya tidak akan lagi mengulangi kesalahan di vila malam itu. Tapi dia memutuskan untuk menerima kartu nama Paul, demi menjaga perasaan pria tua itu.“Maafkan saya, Tuan,” sesal Sierra. “Tapi terima kasih atas jamuannya kemarin,”Paul mengangguk, kemudian menyuruh Lukman untuk mengantar Sierra kembali ke panti. Dan Lukman beserta Sierra pun berjalan beriringan menuju Panti yang ada di depan mereka.“Pak Lukman,” Sierra menahan tangan Lukman yang hendak pergi setelah mengantarnya sampai di depan panti.Lukman berhenti dengan penuh tanda tanya.“Pak Lukman, kumohon, jangan sampai Martin tahu,” Sierra memasang wajah serius sekaligus memelas di hadapan Lukman.Lukman menarik nafas. “Kamu sudah mengenalku belasan tahun, Sierra. Kamu tentu tahu aku,” jawab Lukman, sedikit kesal.Sierra menggigit bibir. “Aku takut Martin akan menganggapku buruk … “ ucapnya lirih.“Sebaiknya kamu harus mulai memilih. Tegaslah pada dirimu sendiri,” saran Lukman. Nada bicaranya terdengar seperti orang tua yang menasehati anaknya.Sierra mengangguk, dengan hati yang mendadak sejuk. Seumur hidup dia tidak pernah merasakan figur orang tua, dan sikap Lukman yang selalu bijak padanya membuat hati Sierra tenang.“Kenapa Tuan Paul mencarimu?” tegur Rachel pada Sierra, sesaat setelah Lukman pergi.Sierra sedikit gelagapan. Tapi dia berusaha bersikap senormal mungkin. “Dia hanya menanyakan kondisi perusahaan Martin,” jawab Sierra.Rachel mengangguk paham. “Bisa dimaklumi, karena Martin baru beberapa tahun dipercaya mengelola Pandia Prestige,” timpal Rachel.Tanpa disadari Rachel, Sierra bernafas lega karena jawabannya yang asal itu tidak membuat Rachel curiga.***Keesokan paginya, Martin benar-benar datang menjemput Sierra di panti. Mereka berdua berangkat bersama menuju kantor, dengan Martin yang mengemudi. Meski sebelumnya mereka memang sering berangkat bersama, tapi Sierra selalu menjadi sopir untuk Martin dan Martin juga duduk di belakang. Tapi kali ini, mereka duduk berdampingan selayaknya pasangan.“Kamu tidak takut Elisha akan melihat kita?” tanya Sierra ketika mereka berdua sudah sampai di parkiran mobil.Martin tampak menegang. “Memangnya dia punya hak apa?”Sierra menggigit bibir. “Kamu tidak perlu bohong padaku. Tidak mungkin kamu sudah melupakannya,” tanggap Sierra. Meskipun saat mengucapkannya, dia merasakan hatinya pedih.Yang ada Martin justru meraih tangan Sierra, dan dia genggam dengan erat. “Aku sudah memutuskan untuk berkencan denganmu. Jadi mari kita lupakan dia,”Setitik harapan menyeruak di dalam hati Sierra. Dengan senyum tipis yang tampak manis, dia mengikuti langkah Martin keluar dari dalam mobil.Martin kembali menggandeng tangan Sierra bahkan saat mereka mulai memasuki kantor. Tidak peduli meski seluruh pasang mata karyawan tertuju pada mereka. Sierra berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman Martin, tapi kelewat kuat seakan Martin tidak mengijinkan.“Martin, orang-orang mengawasi kita,” bisik Sierra dalam perjalanan mereka menuju ruangan Martin.Martin menggeleng sekilas. “Itu tidak penting. Memangnya mereka akan melakukan apa?”Sierra melipat dagunya, berusaha menghindari tatapan para karyawan. Dia memang sekretaris Martin yang selalu mendampingi bosnya itu kemanapun. Tapi bukan berarti mereka harus bergandengan tangan.“Sierra?” panggil Elisha, yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.Martin dan Sierra secara bersamaan menoleh ke belakang. Martin diam membeku sementara mata Sierra membelalak. Tanpa disadari pegangan tangan Martin melemah, membuat Sierra dapat lepas dengan mudah.Ada raut kecewa dan sedih di balik mata Elisha, meski dia berusaha bersikap wajar. Ketika tatapannya dengan Martin saling bertemu, ada getaran rasa sakit yang teramat dalam.“El, ini tidak … ““Aku dan Sierra berkencan!” sambar Martin tegas.Bola mata Elisha bergetar. Tapi hanya beberapa detik karena dia buru-buru menunduk dengan memeluk erat dokumen yang sedang dia bawa.Kemudian dia mendongak, kali ini sambil tersenyum begitu lebar. “Selamat, ya, Sierra,” ucapnya. Lantas menunduk ke arah Martin. “Selamat, Pak Martin,”Sama halnya seperti Elisha, Martin juga merasa sedikit sakit di dalam hatinya. Hingga tanpa sadar tubuhnya membeku, membiarkan Elisha pergi dengan sejuta kekecewaan.Sementara itu, Sierra yang paham hanya dijadikan sebagai selingan, berusaha untuk menghibur diri sendiri. Dia melangkah tegap meninggalkan Martin, menuju meja kerjanya sendiri yang terletak tepat di depan pintu ruang kerja Martin.Martin hendak menghampiri Sierra, tapi seketika dia sadar bahwa mereka sedang berada di kantor. Mau tak mau dia berusaha untuk menahan diri demi menjaga profesionalitasnya.***Tanpa terasa, begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hingga Sierra baru bisa mengalihkan pandangan dari layar laptop ketika matahari
“Sierra, buka pintu!” Martin menggedor dengan membabi-buta, karena Sierra mendekam di dalam kamar mandi cukup lama setelah sebelumnya sempat mendadak mual.Di dalam kamar mandi Sierra masih bersimpuh, dengan sejuta ketakutan. Dia tidak pernah mual seperti ini dan ini adalah kali pertama untuknya. Bagaimana jika dia hamil? Bayangan akan wajah Paul Pandia terus timbul tenggelam di matanya, kemudian tergantikan akan wajah Martin yang tersenyum ke arahnya.“Sierra!” Martin berteriak makin keras.Sierra segera bangun dari lamunannya sendiri, mematut diri di depan cermin dan memastikan tidak ada hal aneh di wajahnya. Setelah yakin semuanya berjalan tanpa keanehan, Sierra pun segera keluar dari kamar mandi. Dia cukup terkejut melihat raut wajah Martin yang tampak sangat cemas.“Apa yang terjadi? Kamu sakit?” Martin mencengkeram kencang dua bahu Sierra.Sierra menggeleng dan pelan-pelan melepaskan cengkeraman tangan Martin dari bahunya. “Martin, sepertinya aku harus pulang,” ucap Sierra pelan
Sebelum benar-benar menjawab teguran Rachel, Sierra yang panas dingin lebih dulu melirik ke arah Paul. Tampak pria tua berwibawa itu tersenyum tipis, seakan menertawai kebodohan Sierra.“Sierra?” panggil Rachel karena Sierra tidak menyahut. Kemudian wanita itu membungkuk hormat ke arah Tuan Paul, yang kini memilih duduk di kursi yang dipersilahkan oleh Sierra. “Selamat malam, Tuan Paul,” sapa Rachel.Bagi Rachel, Paul Pandia bak malaikat berfisik nyata. Selama hidup di panti asuhan bersama Sierra, dia sangat tahu kalau Pandia Group menjadi salah satu sponsor penting yang menyambung seluruh kehidupan para penghuni panti. Rachel menganggap Paul sebagai panutan yang wajib disegani.“Kamu baru pulang, Chel?” sapa Paul. “Apa kamu juga ingin membeli nasi goreng untuk Sierra?” Sembari bertanya, Paul melirik Sierra dengan tatapan geli.“Saya kira … Sierra sudah pulang,” jawab Rachel ragu.“Oh, begitu,” Paul bangkit berdiri. Dia menghadap ke arah Sierra. “Si, setelah selesai makan, sebaiknya k
“Kenapa kamu diam saja? Apa pertanyaannya terlalu sulit untukmu?” tanya Paul karena Sierra masih diam meski hampir satu menit berlalu.Sierra menggigit bibir sembari memainkan jemarinya. “Tuan tahu … ““Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri, Si,” sambar Paul, dengan suara tenang nyaris tanpa ada nada tinggi maupun rendah. Benar-benar seimbang.“Maafkan saya, Tuan … “ Lagi-lagi Sierra menunduk. “Semua itu kesalahan. Saya berjanji untuk tidak melakukannya lagi,”Untuk kali ini Sierra tidak menunggu dua kali, dia bergegas keluar dari mobil Paul. Tak peduli meski Paul menjadi murka atas sikapnya. Dia bahkan tidak menghiraukan Lukman yang sempat memanggil namanya, meminta penjelasan. Sierra sudah terlalu gugup dan muak kepada dirinya sendiri, serta diliputi penyesalan ketika harus mengingat malam panas waktu itu.“Tuan, apa perlu saya susul Sierra?” Lukman melongok melalui jendela untuk mengecek keadaan Paul.Paul mengangkat lima jarinya, tanda menolak. “Biarkan saja dia, Lukman. Aku ti
“Sierra?” Terdengar suara pintu toilet yang diketuk. Sierra buru-buru menghapus air matanya, segera berdiri dan berusaha membereskan kekacauan yang sempat membuatnya mengalami semacam syok ringan. Setelah menarik nafas demi menjaga ketenangan, Sierra pun membuka pintu.“Ada apa?” Sierra membuka pintu toilet dan mendapati Tasya berdiri di baliknya dengan muka masam.Tasya melipat kedua tangannya. “Kenapa lama sekali? Lima belas menit lagi kita ada rapat dengan Pak Martin,” Mendengar nama Martin disebut, entah kenapa hati Sierra terasa begitu sakit. Tiba-tiba dia teringat akan hasil tes sebelumnya, yang menunjukkan bahwa dia tengah berbadan dua. Walaupun tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun Tasya menyadari perubahan sikap Sierra yang tadi pagi begitu cerah, kini berubah sendu dan pucat. Namun karena rapat penting itu sebentar lagi dimulai, Tasya urungkan niat untuk bertanya lebih jauh pada Sierra. Keduanya berjalan cepat menuju meja masing-masing, untuk menyiapkan segala keperlu
Dari kejauhan Elisha melihat Sierra yang menabrak tubuh Lukman dan terjadi kegaduhan singkat. Dia memang memutuskan untuk mengejar Sierra, merasa cemas karena sepertinya Sierra sedang tidak baik-baik saja. Namun dia harus berhenti ketika melihat Sierra saling berhadapan canggung dengan Paul Pandia.Bagi Elisha, percakapan itu tampak tidak biasa. Apalagi Paul yang seperti melirik situasi sebelum benar-benar mengobrol dengan Sierra. Kemudian keduanya–dengan tuntunan Lukman bergegas meninggalkan lobi.“Sepertinya ini belum waktu istirahat,” tegur Martin, tiba-tiba berdiri di belakang Elisha.Elisha yang terkejut spontan menoleh. Dia kaget melihat Martin berdiri menghadapnya dengan tatapan curiga. Cepat-cepat Elisha menunduk, berusaha menutupi sebisanya agar Martin tidak bisa melihat kecanggungan antara Sierra dan Paul.“Maaf … Pak Martin,” Elisha memberi penegasan ketika menyebut nama Martin.Martin menarik nafas panjang. “Sebaiknya kamu segera menyelesaikan desain yang kumau,”“Saya sud
“Apa yang harus saya lakukan?” Sierra kembali mencengkeram perutnya. “Saya terlalu takut untuk menghadapi ini semua, Tuan. Saya … saya juga … ““Sejak kapan?” sambar Paul. Dia sengaja memotong ucapan Sierra. Kini matanya begitu tajam tertuju pada Sierra. “Sejak kapan kamu positif hamil?”Sierra berusaha mengingat kembali tanggal seharusnya dia menstruasi. “Saya tidak bisa memastikan, Tuan,” jawabnya lirih. Tangisannya sudah berhenti, namun meninggalkan bekas memerah pada wajahnya. Sembab.Paul mengusap sisa air mata di pipi Sierra. Dengan lembut dia kembali mendekap wanita itu. “Akhirnya … aku berhasil mendapatkan keturunanku. Darah dagingku sendiri,” ucap Paul sambil mengecup ujung kepala Sierra.Masih dalam dekapan Paul, Sierra bisa dengan jelas mendengar ucapan itu. Ada sedikit rasa terkejut. Tak menyangka Paul justru menyambut kabar kehamilannya dengan begitu gembira, sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Yang lebih mengejutkan, Paul menyebut seakan-akan inilah kali pertama d
Dengan senyumnya yang tenang namun misterius, Paul mengajak Sierra ke sebuah tempat yang tidak pernah dikunjungi Sierra sebelumnya. Bahkan saat Sierra masih resmi bekerja sebagai sekretaris Paul. Perjalanan mereka berakhir di depan sebuah rumah yang sangat mewah, yang berdiri megah dengan arsitektur elegan dan taman yang terawat rapi.“Ayo turun,” ajak Paul, setelah Lukman memarkir mobil.Sierra menatap ke arah rumah besar tersebut, dengan matanya membesar karena terkejut. “Ini rumah siapa, Tuan? Sepertinya ini bukan rumah Tuan,” Sierra berusaha mengingat kembali bentuk rumah mewah yang ditinggali Paul. Sangat berbeda dari rumah yang ada di depannya kini.Paul tersenyum dan menggenggam tangan Sierra. “Kamu tunggu diluar. Masuklah setelah Lukman memberimu aba-aba,” Paul sampai menangkup kedua pipi Sierra, berusaha meyakinkan wanita itu bahwa semua akan baik-baik saja.“Tapi … “Belum sampai Sierra berhasil menyelesaikan ucapannya, bibirnya sudah dikulum habis oleh Paul. “Ikuti saja per
“Kenapa kamu lakukan ini?” tuntut Martin, dengan mata membulat sempurna.Bola mata Sierra bergetar. Dia masih tidak bisa mempercayai penglihatannya. “Kamu … kamu benar Martin?”“Apa maksudmu?” sentak Martin.Pria itu lantas mengguncang bahu Sierra. Sambil menjauhkan botol larutan penyegar mulut itu, sejauh mungkin.“Jangan lakukan hal bodoh ini lagi. Anakmu tidak berdosa,” ucap Martin lantang.Tangis Sierra pecah. Dia makin yakin jika Martin yang ada di depannya ini bukanlah ilusi. Tangisan Sierra begitu memekakkan, hingga wanita itu bersimpuh demi meredakan ngilu di ulu hatinya.“Kenapa kamu ada di sini?” isak Sierra. Dia masih bersimpuh. Tidak sanggup berhadapan dengan Martin.“Apa aku sudah tidak punya hak ke rumah ayahku?”Pertanyaan yang bagai peluru itu dilontarkan Martin tanpa beban. Tidak peduli meski perasaan Sierra sedang sensitif karena hamil.“Kukira kamu pergi,” timpal Sierra. Malas berdebat.“Memang,” sambar Martin cepat. “Aku memang berjanji akan pergi. Aku datang hanya
Sierra hampir limbung. Untungnya Violet dengan sigap mundur menghadang tubuh Sierra agar tidak semakin jatuh. Untuk wanita seusianya, Violet memang cukup tangguh. Karena merasa geram, kepala pelayan itu pun maju dengan tatapan geram ke arah Salome.“Nyonya, maafkan saya jika lancang. Tapi ada urusan apa Nyonya datang ke sini?” tanya Violet pada Salome.Salome merengut. “Apa salah jika aku datang ke sini? Ini rumah suamiku,”“Benar, Nyonya. Ini rumah kediaman suami Nyonya,” timpal Violet. “Tapi bukan rumah Nyonya Salome,” imbuhnya, dengan senyum tipis. Sengaja Violet ingin menyerang Salome dengan cara yang elegan.“Apa?” Salome tidak terima. “Sejak kapan kamu … ““Maaf jika saya memotong,” sambar Violet, tidak memberi Salome kesempatan untuk lanjut bicara. “Tapi Tuan Paul memerintahkan saya untuk mengambil alih seluruh pengawasan rumah ini selama Tuan bekerja,” Dia membusungkan dada, berdiri berhadapan dengan Salome. “Dan sebagai penanggung jawab, saya minta Nyonya Salome segera pergi
Sierra membuka mata. Hanya untuk menyadari jika semuanya hanyalah mimpi. Kini dia terbaring hanya mengenakan selimut sutra di atas tubuhnya. Ketika dia menoleh ke sisi ranjang, Paul sedang tertidur pulas. Sierra merasa tubuhnya menggigil, untuk kemudian sadar jika jendela besar di depan balkon kamarnya belum ditutup. Angin dingin tepi pantai menelisik tipis, masuk ke dalam pori-pori.Sierra mendesis. Dia ingin menutup jendela itu, namun dia tidak bisa meraih apapun untuk menutupi tubuhnya. Maka mau tak mau dia berjalan sedikit berlari menuju jendela, hanya menutupi tubuh sekenanya dengan kedua tangan.Ketika dia berbalik, Paul sudah duduk dengan senyum nakal saat melihat tingkahnya. Pria tua itu menggeleng geli, karena Sierra berusaha memeluk tubuhnya sendiri.“Apa kamu pikir aku tidak bisa melihat?” komentar Paul.“Saya hanya takut ada orang di pantai, Tuan,”“Tidak ada siapapun,” sahut Paul. “Tempat ini khusus untuk kita,”Sierra menutup rapat bibirnya. Merasa begitu bodoh karena me
Pesta pernikahan itu akhirnya berakhir. Sierra membuang pandangan jauh menembus kaca mobil Rolls-Royce Phantom warna hitam. Tidak ada Lukman yang mengantarnya dan Paul menuju lokasi villa tempat mereka akan menghabiskan waktu. Sierra tidak mengenal sopir yang duduk di depannya. Sementara Paul, di luar berdiri mengobrol dengan seseorang sebelum berjabat tangan dan masuk ke dalam mobil, menyusul Sierra.Paul mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki. Tak bisa dipungkiri jika dia teramat tampan untuk pria paruh baya seusianya. Jika dibandingkan dengan Martin, ketampanan Paul lebih teduh dan dewasa. Cocok untuk Sierra yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapat perlindungan seorang ayah.“Maaf lama menunggu, Si,” Paul mengecup punggung tangan Sierra.Sierra menggeleng. “Dia kolega Tuan?”“Oh, dia karyawanku yang akan mengurusi semuanya bersama Lukman selama aku menghabiskan bulan madu denganmu,” jelas Paul. Wajahnya tampak begitu bahagia. Berbanding terbalik
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan
Elisha terus menemani Martin meluapkan seluruh kesedihannya, hingga tanpa sadar Martin tertidur di pangkuan Elisha. Wanita itu membiarkan Martin terlelap, tidur melingkar di atas sofa yang tentu tak mampu menampung tinggi badan Martin. Sementara dia memilih untuk tidur di kamarnya sendiri, berharap Martin bisa segera melupakan kesedihannya saat pagi menjelang. Dan keesokan harinya, saat Elisha membuka mata Martin sudah tidak ada di sofa. Meskipun kecewa, Elisha tidak bisa melakukan apapun. Sementara itu, di tempat lain, Sierra yang tidak lagi bekerja mulai membiasakan diri untuk memasak membantu Sarah menyiapkan sarapan. Dia tidak ingin terus terlarut dalam kesedihan, dan mencoba untuk menerima kenyataan meski masih ada perasaan sedih karena kehilangan Martin.“Kamu istirahat saja, Sierra. Bukankah kamu sedang mual?” tanya Sarah.Sierra menggeleng sambil tersenyum. “Tapi aku tidak ingin merasakannya. Aku coba cari di internet, itu namanya morning sickness,”Sarah terkikik bersama Sie
“Ayo berdiri,” Susah payah Elisha menarik tubuh Martin agak bangkit berdiri.“Kita mau kemana?” protes Martin masih dengan keadaan setengah sadar. Namun dia tidak melawan ketika Elisha melingkarkan lengan kanannya pada pundak Elisha.“Aku tidak akan membiarkanmu mengakhiri hidup,” tandas Elisha, sedikit meringis menyadari betapa beratnya tubuh Martin.Dengan jalan yang sedikit kelimpungan, Elisha membawa Martin dan menghentikan salah satu taksi yang kebetulan lewat. Elisha memutuskan untuk membawa Martin ke apartemennya sendiri, yang masih terletak tidak jauh dari sana.Tak berapa lama, taksi itu sampai di depan apartemen Elisha. Masih dengan kepayahan, Elisha membawa Martin untuk masuk ke dalam lobi apartemen. Namun beruntung kali ini si sopir taksi berinisiatif untuk membantu Elisha membopong Martin hingga mereka masuk ke dalam lift.“Kamu bisa istirahat di sini,” Elisha membaringkan tubuh Martin di atas ranjang miliknya.Elisha yang kelelahan setelah membawa Martin, memutuskan untu
Martin berjalan dengan langkah gontai, menyisiri jembatan besar yang ada di sisi apartemennya. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya, saling bersinggungan dengan beberapa kendaraan yang melaju kencang. Angin malam menerpa wajah Martin yang pucat, dan pandangannya kabur akibat sisa pengaruh alkohol yang begitu mendominasi jiwanya.Setiap langkah yang dia ambil terasa amat berat. Begitu juga dengan beban yang kini dia tanggung sendirian. Dia masih begitu ingat, betapa dia kecewa karena mendapat penolakan dari Elisha beberapa waktu lalu. Dan kini dia harus kembali sakit hati atas perbuatan Sierra dan ayahnya.Martin terus melangkah tanpa tujuan pasti. Yang ada di pikirannya kini hanyalah terus berjalan, kemanapun kaki membawanya. Dia hanya ingin menenangkan otaknya dari segala kerumitan yang ada bertubi-tubi bagai peledak yang sengaja dilempar ke depan muka. Martin mengumpat keras ke arah sungai besar di bawahnya, mengutuki takdirnya sendiri.***Salome membuka paksa pintu depan rum