Bee masih menggosok-gosok punggung Bastian dengan jantung berdebar kencang. Sesekali gadis itu menelan salivanya susah payah apalagi mengingat ciuman mereka tadi. "Ck, kenapa kau melamun? Cepat gosok badanku lebih kencang lagi!" perintah Bastian melirik gadis yang berada di belakangnya itu. "B-baik, Tu-an," jawab Bee gugup. Cukup lama gadis tersebut memandikan suaminya. Wajahnya merah merona membayangkan hal-hal lain di kepalanya yang sudah berfantasi duluan. Bastian tersenyum licik, dia menatap gadis itu dari ujung kaki sampai ujung rambut, terlihat sekali jika gadis ini masih muda yang jelas usianya jauh di bawah Bastian. "Ke-ken-apa, T-uan?" tanya Bee gugup ketika melihat tatapan Bastian seperti ingin melahapnya hidup-hidup. "Duduk di pangkuanku!" perintahnya. "Tapi, Tu_"Bastian langsung menatap gadis itu dengan tatapan horor sehingga membuat Bee bergidik ngeri dan mau tak mau harus mengikuti perintah sang suami. Bastian menarik Bee agar gadis itu mendekat dan masuk ke dal
"Selamat bekerja, Tuan. Hati-hati di jalan yang di hati jangan jalan-jalan," ucap Bee melambaikan tangannya saat Bastian masuk ke dalam mobil. Lelaki itu tak peduli dengan ucapan istrinya. Dia duduk dengan tenang. Julio menjalankan mobilnya meninggalkan vila mewah tersebut. Gadis itu menghela nafas panjang saat suaminya sudah berangkat bekerja dan dia bisa bebas dari tatapan tajam Bastian. "Huh, seandainya aku tidak menikah, aku pasti sudah masuk kuliah," ucap Bee menghembuskan nafasnya kasar. Bee berjalan masuk ke dalam vila mewah tersebut. Tampak para pelayan berbaris rapi serta membungkuk hormat. "Apa Anda ingin sarapan, Nona? Biar kami siapkan?" tanya kepala pelayan. "Tidak perlu, Bik. Aku belum lapar," jawabnya tersenyum. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dia menelisik kamar sang suami. Kamar ini akan menjadi kisah perjalanan cinta dan rumah tangganya. Entah bagaimana nanti akhir dari pernikahan tanpa cinta ini? Apakah akan berakhir bahagia atau meninggalkan luka
"Selamat datang, Tuan Suami," sambut Bee berdiri dengan senyuman dan siap menyambut suaminya yang baru datang itu. Bastian turun dari mobil, sejenak dia melihat istrinya lalu melangkah masuk. "Eh Tuan, tunggu," panggil Bee setengah mengejar lelaki itu. Langkah Bastian terhenti. Pria itu menghela nafas panjang lalu menoleh kearah istri kecilnya. "Ada apa?" tanyanya ketus. "Suami pulang itu tangannya harus di cium." Bee mengambil punggung tangan Bastian dan mengecupnya. Seketika Bastian terdiam membeku ketika benda kenyal dan lembut itu menempel di punggung tangannya. Sentuhan singkat tersebut berhasil membuat tubuhnya panas dingin. "Ck, jangan pegang-pegang," ketus lelaki itu menarik tangannya. "Cih, dasar pelit," cibir Bee. Bastian menatap istri kecilnya dengan tatapan membunuh. Tetapi yang di tatap malah santai tanpa dosa. Sementara para pelayan sudah ketar-ketir termasuk Julio. Bee sangat berani pada suaminya, dia belum tahu saja seperti apa lelaki itu jika mengamuk. Basti
Bee menatap dengan senyum amplop yang diberikan Julio tadi. Rasanya seperti bermimpi jika sang suami memberinya kesempatan untuk melanjutkan kuliah. "Tuan Suami, terima kasih." Tubuh Bastian seketika menegang ketika wanita itu memeluk dirinya. Jujur saja dia terkejut dan seperti kehilangan kesadaran. "Ck, jangan peluk-peluk." Bastian mendorong kening gadis itu menjauh. Bulan karena dia jijik tetapi tidak baik untuk kesehatan jantungnya. "Cih, dasar pelit," cibir Bee kesal. Lalu gadis itu senyam-senyum tdiak jelas saat mengingat ternyata suaminya baik juga. Walau dingin dan kejam tetapi sesungguhnya lelaki ini tak sejahat yang dia pikirkan. "Tuan Suami, sekali lagi terima kasih, ya. Kau sudah mengizinkan aku kuliah. Aku berjanji akan menjadi mahasiswa terbaik dan mendapatkan nilai tertinggi untuk menyenangkan hatimu," ucap Bee dengan senyuman sumringah dan bahagianya. Bastian tak merespon dia masih menyibukkan dirinya dengan berkas di atas mejanya. Tanpa Bes sadari lelaki yang be
"Apa kau akan terus berdiam di situ?" sindir Bastian melirik istrinya yang masih bingung. "Eh iya, Tuan." Bee mengekor Bastian. Gadis itu berjalan dengan mulut komat-kamit seperti dukun baca mantra atau lebih tepatnya merapalkan doa. Perjalanan dari vila menuju kota cukup jauh artinya selama itu juga dia akan duduk di samping suaminya. "Hem, bagaimana kalau dia tiba-tiba dia mengamuk? Lalu menerkamku." Gadis itu bergidik ngeri. Pikirannya sudah berkelana kemana-mana membayangkan sang suami yang kemasukan lalu menerkam dirinya. Keasyikan melamun hingga Bee tak sadar jika suaminya berhenti dan alhasil gadis itu menabrak dada bidang suaminya. "Aduh, ampun deh." Bee mengusap keningnya. "Itu dada apa batu sih, Tuan? Keras sekali." Dia menekan-nekan dada Bastian yang terasa keras. "Ck, jangan pegang-pegang," ketus Bastian menyingkirkan tangan istrinya. "Hehe, maaf, Tuan Suami. Sengaja." Dia cenggesan sambil mengerjabkan matanya berkali-kali. "Berjalan sejajar denganku!" perintah Bas
Bee berjalan masuk ke dalam gerbang kampus. Gadis itu celingak-celinguk mencari wajah-wajah di antara ratusan mahasiswa baru tersebut. Siapa tahu ada yang dia kenal atau teman SMA-nya yang juga berkuliah di kampus yang sama. "Bee." Gadis itu menoleh ketika ada yang memanggil namanya. "Aaaaa, Tata, Chaca." Bee berhambur kearah dua gadis yang juga berjalan menghampirinya. "Bee, astaga. Ini benar-benar dirimu? Kami mencarimu kemana-mana?" ujar salah satunya sambil memeluk Bee dengan erat. "Ck, kau ingin membunuhku?" protes Bee melepaskan pelukan kedua sahabatnya. "Malah ingin melemparmu ke laut," sahut Tata ketus. Bee terkekeh. Dia merindukan kedua sahabatnya tersebut. Memang tidak ada yang tahu tentang pernikahannya. Setelah menerima amplop kelulusan dirinya hilang bak di telan bumi. Baru menampilkan wujudnya sekarang. "Bagaimana ceritanya kalian bisa ada di sini?" tanya Bee menatap kedua sahabatnya. "Ceritanya ya kita kuliah di sini," jawab Chaca memutar bola matanya malas me
"Alena," gumam Bastian menghembuskan nafasnya kasar. "Iya, Tuan. Selama ini Nona Alena ternyata sudah kembali ke Indonesia," jelas Julio di bangku belakang kemudi. "Apa dia tahu jika adiknya bersamaku?" tanya Bastian dengan tangan yang mengepal erat. "Tidak, Tuan. Keluarga Nona Muda tidak ada yang tahu jika Nona bersama Anda," sahut Julio. Bastian tak menanggapi lagi. Lelaki itu kembali pada lamunannya. Semua rekaman ingatan di masa lalu seperti membawanya berkelana menjelajahi masa lalu. Rasa sakit, kecewa dan patah hati telah merubah dirinya menjadi pria dingin seratus delapan puluh derajat. "Apa Anda ingin bertemu dengan dia, Tuan?" tanya Julio melirik tuan-nya tersebut. Bastian memejamkan matanya. Tangan yang mengepal kuat pertanda bahwa dia sedang menahan emosi dan amarah. "Apa dia bisa di temui?" "Saya akan atur waktu, Tuan," jawab Julio. "Tetapi sepertinya ada sesuatu yang terjadi sebelum pertunangan Anda dengan Nona Alena," sambung Julio. "Sesuatu?" ulang Bastian. "M
"Hufh, aku pulang pakai apa ya? Kenapa Tuan Suami tidak jemput aku?" Bee menghela nafas panjang. Gadis itu duduk di halte dekat kampus sambil menunggu suaminya. Dia bingung harus pulang pakai apa, sedangkan jarak vila dan kota cukup jauh. Bahkan dia tidak memiliki uang sepersen pun. Selama menikah dia tidak meminta uang pada suami kayaknya tersebut. "Apa Tuan Suami tidak akan menjemputku?" Matanya berkaca-kaca. Air mata meleleh di pipinya. Dia seka air mata bercampur cairan asin tersebut.Lama gadis itu duduk seperti orang bodoh di halte bis sambil menunggu kedatangan suaminya. Dia bingung kenapa suaminya belum datang dan menjemputnya.Dari arah pintu gerbang Galang keluar dengan wajah datar dan dingin. Ketika dia hendak masuk ke dalam mobil tak sengaja dia melihat gadis yang tidak lain adalah seniornya tersebut, tampak duduk dengan wajah bingungnya di halte seorang diri. Sementara Bee masih menangis segugukan seperti anak kecil. Cara dia menyeka air matanya juga seperti anak bel
Beberapa tahun kemudian....Bastian menatap kue ulang tahun yang bertulisan angka 26 di atasnya. Dia mengerutu kesal. Bagaimana tidak? Istrinya baru berusia 26 tahun. Sedangkan dia sudah berusia 42 tahun. Ahhh jauh sekali selisih usia mereka. Ingin rasanya Bastian mempermuda dirinya agar serasi dengan Bee. Bee semakin hari semakin cantik. Pesonanya membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Sedangkan Bastian semakin hari semakin tua, bagaimana dia tidak mengerutu kesal. Apalagi jika dibandingkan, mereka bagai kakak dan adik saja. Bukan pasangan suami istri."Dad, kenapa lama? Kapan kita beri Mommy surprise?" gerutu putra sulung Bee dan Bastian. "Tunggu sebentar, Son!" Bastian mengambil kaca. Dia menatap wajahnya di cermin."Masih tampan. Tidak berkeriput. Tapi kenapa serasa sangat tua dari istriku," protes Bastian dalam hati. "Son, coba lihat wajah Daddy. Apakah Daddy ini sangat tua?" tanya Bastian pada putranya yang baru berusia enam tahun itu."Daddy memang tua," sahut B
Acara panjang itu cukup menguras waktu dan tenaga. Apalagi dengan tamu undangan yang mencapai ribuan orang. Tentu tamu dari Eric, Bastian, Bram dan Lucas bukanlah orang-orang biasa. Mereka penjabat serta pembisnis yang sudah lama mengenal keempat pengusaha ternama itu. Bastian menggendong tubuh istri kecilnya masuk ke dalam kamar. Sementara ketiga anak kembar mereka masih diurus oleh Dominic dan Milly yang ingin menghabiskan waktu bersama ketiga cucu kembarnya. "Hubby, apa aku berat?" Bee melingkarkan tangannya di leher sang suami. "Hem, tidak. Kau ringan!" sahut Bastian. Bee merebahkan kepalanya di dada bidang Bastian. Rasanya masih seperti mimpi bisa memeluk tubuh kekar suaminya itu. Setelah banyak kejadian yang mereka alami, kini keduanya bisa menikmati kebahagiaan yang telah lama hilang dari pandangan mata. Bastian meletakan tubuh kecil istrinya di atas ranjang. Jika dulu malam pertama mereka berbeda, maka malam ini akan dia membayar segala kesalahan yang ada di masa lalu.
Beberapa bulan kemudian. Keempat wanita cantik tengah menatap pantulan diri mereka di depan cermin. Mereka mengenakan gaun pengantin dengan warna dan model yang sama. Rambut mereka sengaja digerai indah dengan mahkota yang tertanam di atas kepala keempatnya. "Nak," panggil Santa. Santa menatap Bee dan Chaca dengan tatapan kagum. Kedua wanita muda yang masih bertahan mahasiswa ini adalah para menantu kesayangan yang membuat dirinya seperti memiliki anak perempuan. "Iya, Mom." Hari ini, Eric, Bastian, Lucas dan Bram akan melangsungkan pernikahan secara bersamaan. Eric dan Santa memutuskan untuk kembali bersama dan berusaha melupakan kejadian lampau yang pernah memisahkan mereka berdua. Eric dan Santa tak mau egois karena Bastian dan Bram meminta agar rujuk untuk mewujudkan impian keluarga bahagia. Sementara Bastian ingin membuat pesta pernikahan mewah agar semua dunia tahu bahwa Bee adalah istri kecilnya. Dia ingin menebus satu tahun yang lalu ketika menikahi Bee tanpa kehadiran k
Tata terdiam saat mendengar penjelasan dari Lucas. Pantas saja selama ini kakaknya itu selalu tak mau membahas Lucas. "Apa Kakak masih mencintai Kak Tania?" tanya Tata. Tata akan melepaskan Lucas jika memang lelaki ini masih mencintai kakaknya. Dia tak mau menjadi penghalang untuk kebahagiaan sang kakak. Sebab dia tahu jika selama ini Tania berusaha bangkit dari semua perasaan bersalah. "Sayang." Lucas mengenggam tangan Tata. "Perasaanku pada Tania sudah hilang sejak malam panas kita. Kau adalah wanita yang sekarang memiliki sepenuh hatiku. Ini bukan gombalan, tetapi ini perasaan yang aku rasakan," ucapnya tersenyum lebar seraya menyatukan tangan mereka. Tata menatap bola mata Lucas berusaha mencari kebohongan melalui mata lelaki itu, tetapi yang dia temukan adalah ketulusan. "Tapi Kak Tania masih cinta sama Kakak," ucap Tata tersenyum kecut. Lucas terkekeh pelan. Dia tahu jika Tania masih mencintainya. Namun, perasaannya pada wanita itu memang sudah tak ada lagi sejak kita berp
Santa memeluk Bee dengan rasa bahagia penuh. Akhirnya setelah menunggu sekian lama dia bisa lagi melihat senyum manis wajah menantu cantiknya ini. "Mommy takut sekali melihatmu, Nak," ucapnya mengusap bahu wanita itu. "Mom." Bee melepaskan pelukannya pada Santa. "Apa kabarmu?" tanyanya tersenyum lembut. Wanita ini sudah seperti anak kandungnya sendiri. Sementara Milly dan Dominic hanya bisa saling memeluk satu sama lain. Mereka ingin sekali berhambur ke arah Bee lalu mengatakan jika rindu wanita itu. Akan tetapi, Bee masih marah dan tak mau bicara pada mereka, lantaran masa lalu yang sulit dijelaskan. "Mommy baik, Nak," jawab Santa sembari mengecup kening Bee dengan haru. Lalu Bee melirik ke arah kedua orang tua kandungnya. Ada rasa marah dan kecewa di hati wanita cantik itu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rindu juga yang mengemban dalam dadanya. "Daddy, Mommy!" panggil Bee. Kedua orang itu terkejut ketika dipanggil oleh anak yang sudah lama mereka rindukan kehadirannya.
"Ini, Bas!" Lucas memberikan botol kecil pada Bastian. "Apa ini?" tanya Bastian bingung. "Obat penawar racun," jawab Lucas. "Cepat suntikan pada Bee!" suruhnya. Semua keluarga berkumpul di vila mewah Bastian kecuali Kenzo, sejak tadi lelaki itu tak jua muncul. Entah ke mana dia pergi? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Mata Bastian berkaca-kaca dia menatap kedua lelaki yang tenang tersenyum padanya. "Terima kasih, Lucas." Bastian memeluk sahabatnya. Sekian lama hidup dalam kemarahan dan kekecewaan, akhirnya dia bisa mengakhiri rasa marah dan dendam yang menghantam dadanya. "Sama-sama, Bas. Semoga kau dan Bee hidup bahagia selamanya. Jaga dia dengan baik," ucap Lucas melepaskan pelukan Lucas. "Pasti. Itu adalah tugas dan tanggungjawab ku," sahut Bastian. "Kak.""Bram." Bastian dan Bram saling memeluk erat. Kakak beradik yang pernah selisih paham karena sebuah kondisi dan keadaan, kini kembali saling memberi maaf. "Terima kasih, Bram," ucap Bastian. Tanpa malu pria itu menang
"Argh!" Julio tersungkur sambil memegang kakinya yang tertembak. Tata dan Chaca membuka matanya. Keduanya terkejut karena melihat Julik yang tersungkur dengan darah mengalir dari bagian kakinya. "Cepat tangkap dia!" perintah Kenzo. "Baik, Tuan," sahut ketiga anak buah suruhan Kenzo yang mengangkat Julio berdiri. "Hai, Julio!" Kenzo menyunggingkan senyum liciknya. Bukannya takut Julio malah membuang ludahnya yang bercampur darah ke atas lantai. "Sekarang Anda tahu siapa saya, Tuan?" Julio membalas dengan senyuman mengejek. "Tidak hanya tahu, tetapi mengenal siapa kau sebenarnya, Julio. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu bernapas dengan baik setelah menyakiti adikku," ucap Kenzo. Lucas dan Bram berhambur ke arah Tata dan Chaca. "Sayang." Tata memeluk sang kekasih sambil menangis ketakutan. "Jangan takut, sekarang sudah aman," ucap Lucas menenangkan. "Swetty." Bram mengangkat tubuh kecil Chaca. "Kakak," renggek Chaca. Wajah gadis itu sampai pucat karena ketakutan. Dia piki
Tata dan Chaca saling berpelukkan karena ketakutan melihat tatapan mata Julio yang seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. "Ta, aku takut," renggek Chaca menangis hebat. "Ck, kau pikir aku berani?" ketus Tata yang juga sebenarnya takut. Julio berjalan ke arah dua wanita itu sambil membawa belatuk di tangannya. Wajahnya tampak merah penuh amarah, tangan mengepal dengan rahang yang mengeras menandakan bahwa dia benar-benar sedang marah. "Kalian mencari masalah dengan saya, Nona!" tekan Julio mengarahkan belatuk itu ke arah Tata dan Chaca. "Kak Julio, ampun, maaf," mohon Chaca. "Kami hanya menyelamatkan Bee," sahutnya beralasan. Julio menarik sudut bibirnya merasa terkecoh dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kalian adalah target selanjutnya. Saya akan membuat kalian seperti nona Bee, atau bahkan lebih dari nona Bee karena sudah berani bermain-main dengan saya!" Pria itu berjalan menghampiri Tata dan Chaca yang sudah ketakutan dengan wajah pucat mereka. "Kak Julio, ka-u tidak i
"Apakah mereka aman?" tanya Bram yang mulai tak tenang. "Kenapa mereka seperti panik?" Lucas menunjuk ke arah manson mewah itu. Dia juga panik dan takut terjadi sesuatu pada kekasih kecilnya. Kenzo memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya itu sudah dikasih tahu, masih saja tidak paham dan tenang. "Mungkin mereka sudah tertangkap!" sahut Kenzo asal. "Apa maksudmu?" tanya Bram dan Lucas bersamaan sambil menatap Kenzo tajam. Kenzo bergidik ngeri, niat hati bercanda kenapa malah membuat bulu berdiri? "Aku bercanda," sahut Kenzo memutar bola matanya malas. "Mereka sedang menjalankan misi." Bram kembali melihat ke arah mansion. Jika saja tadi tidak dicegah oleh Kenzo, sudah pasti pria itu akan keluar dari mobil dan berlari menemui kekasih kecilnya. "Hubungi anak buah agar segera menyusul ke sini!" perintah Kenzo. "Kau memerintahku?" Bram menatap tajam sahabatnya itu. "Bukan. Tapi menyuruh!" ketus Kenzo. "Cepat hubungi!" titahnya lagi. "Iya!" Bram mengotak-atik ponselnya dan m