Bee berjalan masuk ke dalam gerbang kampus. Gadis itu celingak-celinguk mencari wajah-wajah di antara ratusan mahasiswa baru tersebut. Siapa tahu ada yang dia kenal atau teman SMA-nya yang juga berkuliah di kampus yang sama. "Bee." Gadis itu menoleh ketika ada yang memanggil namanya. "Aaaaa, Tata, Chaca." Bee berhambur kearah dua gadis yang juga berjalan menghampirinya. "Bee, astaga. Ini benar-benar dirimu? Kami mencarimu kemana-mana?" ujar salah satunya sambil memeluk Bee dengan erat. "Ck, kau ingin membunuhku?" protes Bee melepaskan pelukan kedua sahabatnya. "Malah ingin melemparmu ke laut," sahut Tata ketus. Bee terkekeh. Dia merindukan kedua sahabatnya tersebut. Memang tidak ada yang tahu tentang pernikahannya. Setelah menerima amplop kelulusan dirinya hilang bak di telan bumi. Baru menampilkan wujudnya sekarang. "Bagaimana ceritanya kalian bisa ada di sini?" tanya Bee menatap kedua sahabatnya. "Ceritanya ya kita kuliah di sini," jawab Chaca memutar bola matanya malas me
"Alena," gumam Bastian menghembuskan nafasnya kasar. "Iya, Tuan. Selama ini Nona Alena ternyata sudah kembali ke Indonesia," jelas Julio di bangku belakang kemudi. "Apa dia tahu jika adiknya bersamaku?" tanya Bastian dengan tangan yang mengepal erat. "Tidak, Tuan. Keluarga Nona Muda tidak ada yang tahu jika Nona bersama Anda," sahut Julio. Bastian tak menanggapi lagi. Lelaki itu kembali pada lamunannya. Semua rekaman ingatan di masa lalu seperti membawanya berkelana menjelajahi masa lalu. Rasa sakit, kecewa dan patah hati telah merubah dirinya menjadi pria dingin seratus delapan puluh derajat. "Apa Anda ingin bertemu dengan dia, Tuan?" tanya Julio melirik tuan-nya tersebut. Bastian memejamkan matanya. Tangan yang mengepal kuat pertanda bahwa dia sedang menahan emosi dan amarah. "Apa dia bisa di temui?" "Saya akan atur waktu, Tuan," jawab Julio. "Tetapi sepertinya ada sesuatu yang terjadi sebelum pertunangan Anda dengan Nona Alena," sambung Julio. "Sesuatu?" ulang Bastian. "M
"Hufh, aku pulang pakai apa ya? Kenapa Tuan Suami tidak jemput aku?" Bee menghela nafas panjang. Gadis itu duduk di halte dekat kampus sambil menunggu suaminya. Dia bingung harus pulang pakai apa, sedangkan jarak vila dan kota cukup jauh. Bahkan dia tidak memiliki uang sepersen pun. Selama menikah dia tidak meminta uang pada suami kayaknya tersebut. "Apa Tuan Suami tidak akan menjemputku?" Matanya berkaca-kaca. Air mata meleleh di pipinya. Dia seka air mata bercampur cairan asin tersebut.Lama gadis itu duduk seperti orang bodoh di halte bis sambil menunggu kedatangan suaminya. Dia bingung kenapa suaminya belum datang dan menjemputnya.Dari arah pintu gerbang Galang keluar dengan wajah datar dan dingin. Ketika dia hendak masuk ke dalam mobil tak sengaja dia melihat gadis yang tidak lain adalah seniornya tersebut, tampak duduk dengan wajah bingungnya di halte seorang diri. Sementara Bee masih menangis segugukan seperti anak kecil. Cara dia menyeka air matanya juga seperti anak bel
"Tuan." Bee melirik suaminya. Namun, Bastian tak menanggapi sama sekali. Pria tampan kesayangan sejuta umat tersebut masih diam tanpa ekspresi. Dia seperti patung hidup yang tak bisa bergerak sama sekali. Wajah tenang seperti menandakan bahwa hatinya telah mati dari semua rasa yang ada di dalam dadanya. "Tuan, kau kenapa? Kenapa diam saja? Harusnya aku yang marah, kenapa kau terlambat menjemputku? Kau tahu aku sangat takut tadi," ungkap Bee. Julio yang duduk di bangku belakang, melirik sekilas pasangan yang tengah bertengkar tersebut. "Diam, aku sedang tidak ingin bicara denganmu!" decak Bastian menatap gadis itu tajam. Bee memalingkan wajahnya ke arah jendela. Apa suaminya ini tahu betapa dia takut tadi? Apa suaminya ini mengerti, dia trauma karena pernah mengalami kejadian yang menakutkan di masa kecilnya? Namun, kalaupun lelaki itu tahu hal tersebut tidak akan mengubah apa-apa. Bastian akan tetap menganggap dirinya sebagai alat penebus hutang saja. Air mata bergulir dari kerl
Bee menatap lelaki yang terlelap di sampingnya. Tangan lelaki itu melingkar di perutnya. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Bee, sehingga deru nafas pria itu terdengar jelas dari telinga Bee. Air mata luruh membasahi pipi gadis yang baru saja sah menjadi wanita tersebut. Dia masih ingat pergulatannya tadi malam, ketika lelaki itu meminta paksa mahkota yang dia jaga dengan susah payah. Tidak ada yang salah, lelaki ini memang suaminya. Tetapi pernikahan mereka hanya di atas kertas dan setelah surat perjanjian itu sudah habis masa berlakunya. Maka mereka akan berpisah. "Kau jahat, Tuan," lirih gadis itu menangis dalam diam. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan sang suami tetapi tidak mampu menyingkirkan tangan lelaki yang ada di perutnya tersebut. "Bagaimana kalau aku hamil? Siapa yang akan bertanggungjawab?" Dia mengigit bibir bawahnya menahan tangis supaya tak terdengar dari telinga suaminya. Bee sejenak terdiam. Dia meringgis kesakitan ketika merasakan perih di bagian area se
"Galang, bagaimana kuliahmu?" tanya seorang pria paruh baya. "Baik," jawab lelaki itu tanpa peduli dengan pertanyaan sang ayah. Lelaki paruh baya yang tengah sarapan bersama putra tunggalnya tersebut menghela nafas panjang. Hubungan mereka memang tak baik-baik saja sejak keretakan rumahtangganya bersama sang istri. "Maafkan Daddy, Son," ucapnya penuh dengan perasaan bersalah. Galang langsung terdiam. Bolehkah dia iri pada orang di luar sana yang memiliki orang tua lengkap dan hidup bahagia. Walau hidup pas-pasan tetapi mereka saling melengkapi satu sama lain. "Maafkan Daddy yang belum bisa menjadi ayah yang baik untukmu," ucap sang ayah lagi. Galang tak menggubris sama sekali. Dia malah kembali menyantap makanan di dalam piringnya. Bosan, mendengar kata maaf dari sang ayah yang tak pernah mau berubah. Ayah dan ibunya sama saja, tidak mau berubah dan malah terus berulah. Galang meletakkan sendoknya. Lalu menunggak air putih dari dalam gelas hingga tandas. "Aku berangkat." "Ga_
Tata dan Chaca saling melihat satu sama lain, keduanya seolah seperti mati berdiri ketika mendengar pengakuan Bee. "K-kau s-sudah menikah, Bee?" ulang Tata sekali lagi untuk memastikan. Bee membalas dengan anggukan kepala saja. Dia menyeka air matanya dan masih terisak seraya menyandarkan kepalanya di bahu Chaca. "Dengan siapa?" sambung Chaca kemudian. Kedua gadis itu seperti tersambar petir di siang bolong. Benarkah Bee sudah menikah? Menikah dengan siapa? Siapa suaminya? Kapan dia menikah? Berbagai pertanyaan muncul di benak Tata dan Chaca. "Suamiku," jawab Bee. Chaca merenggut kesal, "Siapapun tahu Bee kalau kau menikah dengan suamimu," gerutu Chaca. "Maksudnya siapa suamimu?" sambung gadis itu sekali lagi sambil mengusap bahu Bee. "Tuan Bastian." "What?!" pekik keduanya. "Ck, kalian kalau mau teriak ke lapangan saja. Lama-lama aku bisa tuli karena suara kalian itu," protes Bee sambil mengelap ingusnya. Tata dan Chaca mendelik ketika mendengar suara sorotan dari lobang hi
"Kak Galang." Bee menyeka air matanya. Galang berjalan kearah tiga gadis yang duduk di taman kampus tersebut. Sementara Tata dan Chaca saling senggol-senggolan satu sama lain. "Kenapa menangis?" Galang menatap gadis itu penuh selidik. "Tidak apa kok, Kak. Tadi lagi bahas adegan sedih drama favorite aku," jawab Bee asal. Tidak mungkin dia menceritakan masalah yang menimpanya pada Galang. "Sudah sarapan?" Tumben sekali lelaki ini menawarinya. Bee menggeleng. Tadi pagi dia memang tidak memasak dan sarapan seperti biasa dengan suaminya. Jangankan untuk masak bahkan bicara saja dia benar-benar tidak mood akibat kejadian tadi malam. "Belum, Kak," sahut Bee. "Ini." Galang memberikan kotak nasi berukuran kecil pada Bee. "Untuk aku, Kak?" Galang membalas dengan anggukan. Tanpa basa-basi lelaki itu melenggang pergi meninggalkan ketiga sahabat tersebut. "Bee," panggil Tata. "Aku curiga jika Kak Galang menyukaimu," sambung gadis itu. Bee menggeleng saja sambil menyeka air matanya. Dia
Beberapa tahun kemudian....Bastian menatap kue ulang tahun yang bertulisan angka 26 di atasnya. Dia mengerutu kesal. Bagaimana tidak? Istrinya baru berusia 26 tahun. Sedangkan dia sudah berusia 42 tahun. Ahhh jauh sekali selisih usia mereka. Ingin rasanya Bastian mempermuda dirinya agar serasi dengan Bee. Bee semakin hari semakin cantik. Pesonanya membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Sedangkan Bastian semakin hari semakin tua, bagaimana dia tidak mengerutu kesal. Apalagi jika dibandingkan, mereka bagai kakak dan adik saja. Bukan pasangan suami istri."Dad, kenapa lama? Kapan kita beri Mommy surprise?" gerutu putra sulung Bee dan Bastian. "Tunggu sebentar, Son!" Bastian mengambil kaca. Dia menatap wajahnya di cermin."Masih tampan. Tidak berkeriput. Tapi kenapa serasa sangat tua dari istriku," protes Bastian dalam hati. "Son, coba lihat wajah Daddy. Apakah Daddy ini sangat tua?" tanya Bastian pada putranya yang baru berusia enam tahun itu."Daddy memang tua," sahut B
Acara panjang itu cukup menguras waktu dan tenaga. Apalagi dengan tamu undangan yang mencapai ribuan orang. Tentu tamu dari Eric, Bastian, Bram dan Lucas bukanlah orang-orang biasa. Mereka penjabat serta pembisnis yang sudah lama mengenal keempat pengusaha ternama itu. Bastian menggendong tubuh istri kecilnya masuk ke dalam kamar. Sementara ketiga anak kembar mereka masih diurus oleh Dominic dan Milly yang ingin menghabiskan waktu bersama ketiga cucu kembarnya. "Hubby, apa aku berat?" Bee melingkarkan tangannya di leher sang suami. "Hem, tidak. Kau ringan!" sahut Bastian. Bee merebahkan kepalanya di dada bidang Bastian. Rasanya masih seperti mimpi bisa memeluk tubuh kekar suaminya itu. Setelah banyak kejadian yang mereka alami, kini keduanya bisa menikmati kebahagiaan yang telah lama hilang dari pandangan mata. Bastian meletakan tubuh kecil istrinya di atas ranjang. Jika dulu malam pertama mereka berbeda, maka malam ini akan dia membayar segala kesalahan yang ada di masa lalu.
Beberapa bulan kemudian. Keempat wanita cantik tengah menatap pantulan diri mereka di depan cermin. Mereka mengenakan gaun pengantin dengan warna dan model yang sama. Rambut mereka sengaja digerai indah dengan mahkota yang tertanam di atas kepala keempatnya. "Nak," panggil Santa. Santa menatap Bee dan Chaca dengan tatapan kagum. Kedua wanita muda yang masih bertahan mahasiswa ini adalah para menantu kesayangan yang membuat dirinya seperti memiliki anak perempuan. "Iya, Mom." Hari ini, Eric, Bastian, Lucas dan Bram akan melangsungkan pernikahan secara bersamaan. Eric dan Santa memutuskan untuk kembali bersama dan berusaha melupakan kejadian lampau yang pernah memisahkan mereka berdua. Eric dan Santa tak mau egois karena Bastian dan Bram meminta agar rujuk untuk mewujudkan impian keluarga bahagia. Sementara Bastian ingin membuat pesta pernikahan mewah agar semua dunia tahu bahwa Bee adalah istri kecilnya. Dia ingin menebus satu tahun yang lalu ketika menikahi Bee tanpa kehadiran k
Tata terdiam saat mendengar penjelasan dari Lucas. Pantas saja selama ini kakaknya itu selalu tak mau membahas Lucas. "Apa Kakak masih mencintai Kak Tania?" tanya Tata. Tata akan melepaskan Lucas jika memang lelaki ini masih mencintai kakaknya. Dia tak mau menjadi penghalang untuk kebahagiaan sang kakak. Sebab dia tahu jika selama ini Tania berusaha bangkit dari semua perasaan bersalah. "Sayang." Lucas mengenggam tangan Tata. "Perasaanku pada Tania sudah hilang sejak malam panas kita. Kau adalah wanita yang sekarang memiliki sepenuh hatiku. Ini bukan gombalan, tetapi ini perasaan yang aku rasakan," ucapnya tersenyum lebar seraya menyatukan tangan mereka. Tata menatap bola mata Lucas berusaha mencari kebohongan melalui mata lelaki itu, tetapi yang dia temukan adalah ketulusan. "Tapi Kak Tania masih cinta sama Kakak," ucap Tata tersenyum kecut. Lucas terkekeh pelan. Dia tahu jika Tania masih mencintainya. Namun, perasaannya pada wanita itu memang sudah tak ada lagi sejak kita berp
Santa memeluk Bee dengan rasa bahagia penuh. Akhirnya setelah menunggu sekian lama dia bisa lagi melihat senyum manis wajah menantu cantiknya ini. "Mommy takut sekali melihatmu, Nak," ucapnya mengusap bahu wanita itu. "Mom." Bee melepaskan pelukannya pada Santa. "Apa kabarmu?" tanyanya tersenyum lembut. Wanita ini sudah seperti anak kandungnya sendiri. Sementara Milly dan Dominic hanya bisa saling memeluk satu sama lain. Mereka ingin sekali berhambur ke arah Bee lalu mengatakan jika rindu wanita itu. Akan tetapi, Bee masih marah dan tak mau bicara pada mereka, lantaran masa lalu yang sulit dijelaskan. "Mommy baik, Nak," jawab Santa sembari mengecup kening Bee dengan haru. Lalu Bee melirik ke arah kedua orang tua kandungnya. Ada rasa marah dan kecewa di hati wanita cantik itu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rindu juga yang mengemban dalam dadanya. "Daddy, Mommy!" panggil Bee. Kedua orang itu terkejut ketika dipanggil oleh anak yang sudah lama mereka rindukan kehadirannya.
"Ini, Bas!" Lucas memberikan botol kecil pada Bastian. "Apa ini?" tanya Bastian bingung. "Obat penawar racun," jawab Lucas. "Cepat suntikan pada Bee!" suruhnya. Semua keluarga berkumpul di vila mewah Bastian kecuali Kenzo, sejak tadi lelaki itu tak jua muncul. Entah ke mana dia pergi? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Mata Bastian berkaca-kaca dia menatap kedua lelaki yang tenang tersenyum padanya. "Terima kasih, Lucas." Bastian memeluk sahabatnya. Sekian lama hidup dalam kemarahan dan kekecewaan, akhirnya dia bisa mengakhiri rasa marah dan dendam yang menghantam dadanya. "Sama-sama, Bas. Semoga kau dan Bee hidup bahagia selamanya. Jaga dia dengan baik," ucap Lucas melepaskan pelukan Lucas. "Pasti. Itu adalah tugas dan tanggungjawab ku," sahut Bastian. "Kak.""Bram." Bastian dan Bram saling memeluk erat. Kakak beradik yang pernah selisih paham karena sebuah kondisi dan keadaan, kini kembali saling memberi maaf. "Terima kasih, Bram," ucap Bastian. Tanpa malu pria itu menang
"Argh!" Julio tersungkur sambil memegang kakinya yang tertembak. Tata dan Chaca membuka matanya. Keduanya terkejut karena melihat Julik yang tersungkur dengan darah mengalir dari bagian kakinya. "Cepat tangkap dia!" perintah Kenzo. "Baik, Tuan," sahut ketiga anak buah suruhan Kenzo yang mengangkat Julio berdiri. "Hai, Julio!" Kenzo menyunggingkan senyum liciknya. Bukannya takut Julio malah membuang ludahnya yang bercampur darah ke atas lantai. "Sekarang Anda tahu siapa saya, Tuan?" Julio membalas dengan senyuman mengejek. "Tidak hanya tahu, tetapi mengenal siapa kau sebenarnya, Julio. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu bernapas dengan baik setelah menyakiti adikku," ucap Kenzo. Lucas dan Bram berhambur ke arah Tata dan Chaca. "Sayang." Tata memeluk sang kekasih sambil menangis ketakutan. "Jangan takut, sekarang sudah aman," ucap Lucas menenangkan. "Swetty." Bram mengangkat tubuh kecil Chaca. "Kakak," renggek Chaca. Wajah gadis itu sampai pucat karena ketakutan. Dia piki
Tata dan Chaca saling berpelukkan karena ketakutan melihat tatapan mata Julio yang seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. "Ta, aku takut," renggek Chaca menangis hebat. "Ck, kau pikir aku berani?" ketus Tata yang juga sebenarnya takut. Julio berjalan ke arah dua wanita itu sambil membawa belatuk di tangannya. Wajahnya tampak merah penuh amarah, tangan mengepal dengan rahang yang mengeras menandakan bahwa dia benar-benar sedang marah. "Kalian mencari masalah dengan saya, Nona!" tekan Julio mengarahkan belatuk itu ke arah Tata dan Chaca. "Kak Julio, ampun, maaf," mohon Chaca. "Kami hanya menyelamatkan Bee," sahutnya beralasan. Julio menarik sudut bibirnya merasa terkecoh dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kalian adalah target selanjutnya. Saya akan membuat kalian seperti nona Bee, atau bahkan lebih dari nona Bee karena sudah berani bermain-main dengan saya!" Pria itu berjalan menghampiri Tata dan Chaca yang sudah ketakutan dengan wajah pucat mereka. "Kak Julio, ka-u tidak i
"Apakah mereka aman?" tanya Bram yang mulai tak tenang. "Kenapa mereka seperti panik?" Lucas menunjuk ke arah manson mewah itu. Dia juga panik dan takut terjadi sesuatu pada kekasih kecilnya. Kenzo memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya itu sudah dikasih tahu, masih saja tidak paham dan tenang. "Mungkin mereka sudah tertangkap!" sahut Kenzo asal. "Apa maksudmu?" tanya Bram dan Lucas bersamaan sambil menatap Kenzo tajam. Kenzo bergidik ngeri, niat hati bercanda kenapa malah membuat bulu berdiri? "Aku bercanda," sahut Kenzo memutar bola matanya malas. "Mereka sedang menjalankan misi." Bram kembali melihat ke arah mansion. Jika saja tadi tidak dicegah oleh Kenzo, sudah pasti pria itu akan keluar dari mobil dan berlari menemui kekasih kecilnya. "Hubungi anak buah agar segera menyusul ke sini!" perintah Kenzo. "Kau memerintahku?" Bram menatap tajam sahabatnya itu. "Bukan. Tapi menyuruh!" ketus Kenzo. "Cepat hubungi!" titahnya lagi. "Iya!" Bram mengotak-atik ponselnya dan m