“Kenapa? Tidak biasa kamu datang ke kamarku?” tanya Prapto. Baru saja selesai menyisir rambutnya, menyemprotkan parfum, dan kini duduk di kursi panjang yang sudah ada Sumi di sana.“Katakan, Kakang. Apa yang membuatmu mau bermain gila dengan Siti?” todong Sumi.Prapto mengerutkan kening sangat dalam, tidak mengira kalau Sumi sudah mengetahui tentang semua ini. “Aku tidak pernah main gila dengannya.” sanggah Prapto. Dia tak akan pernah mengakui hubungan itu karena memang tak ada apa pun antara dirinya dan Siti.“Kalau memang begitu, kenapa Ratih mendengar hal lainnya?”Prapto lebih kaget lagi, apa kiranya Siti yang menyebarkan semua aib ini?“Aku tidak sudi Kakang menikah dengan Siti, mau jadi apa keluarga ini, Kakang? Dia pelayan dari kelas rendahan, jangan membuat Kakang malu sendiri nanti. Meski aku tidak bisa memberimu seorang anak, setidaknya Ratih sudah melahirkan anak untukmu, kan? Anak yang nantinya kurawat dengan ke dua tanganku, dengan penuh kasih sayang, setidaknya Ratih ada
Prapto terkekeh, “Kau memang tidak tahu malu. Aku menarikmu ke sini bukan karena ingin meminta jatah darimu, tapi aku minta tanggung jawabmu, ke mana kau dari tadi hingga tak melihat majikanmu hampir melahirkan, huh?!” andai Siti lelaki, mungkin lebih baik dipukul saja agar memahami akan pekerjaannya.Siti malah tertawa, dia melepas tangan Prapto yang menaut lengannya, dan menyeringai, “Buat apa? Bahkan sebentar lagi aku juga akan menjadi istrimu, seorang anak akan lahir dari rahimku, kenapa aku harus bekerja?”Tidak salah, memang wanita di depannya ini bukan wanita biasa, Prapto sudah menduganya sejak lama, “Hanya sehari dan kau bilang kau mengandung anakku? Kenapa secepat itu? Kau pikir aku bodoh, huh?!”“Lambat laun anak itu akan hadir, aku sudah menyiapkan semuanya, rahimku sangat sehat dan kau mengeluarkannya di dalam, apa lagi yang harus diragukan?” Siti tak menyangka kalau Prapto cukup kuat.“Aku yakin—““Aden Prapto, ndoro Ratih sudah melahirkan, anak Njenengan seorang putra.”
Lek Tejo mengeluarkan kantong uang, diletakkan di meja bersamaan dengan buku catatan, “Sisa seekor.”Prapto menyerahkan putranya ke pelayan, “Bawa masuk, mungkin ngantuk, biar Sumi yang mengurusnya.”“Inggih, Aden Prapto.” jawab pelayan itu lalu pergi.Prapto membuka kantong uang, menghitung dan membaca buku catatan, “Aku sangat rindu dengan pasar, seperti apa suasa di sana?” terkekeh. Hasil dari menjual sapai tak pernah mengecewakan.“Lancar, ramai seperti biasanya. Njenengan dapat salam dari aden Bima.” ucap lek Tejo.“Bima? Lapaknya cukup jauh, dia yang datang atau Lek Tejo bertemu di warung?” Prapto menyimpan kembali semua uang yang hitungannya benar dan sesuai dengan catatan.“Aden Bima yang datang. Dia ...” lek Tejo gamang, apakah dia harus menceritakan semuanya? “Ndoro Ratih sudah mau ke luar dari rumah.” Imbuhnya dan segera menunduk.Prapto berhenti, beberapa uang belum masuk kantong, dan kini tangannya menjadi lemas kembali. Sudah lama dia menghindari pembicaraan ini, tapi le
Sumi membuka pintu kamar pribadi Prapto, melihat suaminya duduk di depan jendela, menatap ke arah taman, Sumi datang dan mengusap pundak Prapto.Prapto menoleh dan tersenyum, “Tole sudah tidur? Dia rewel tadi.”Sumi mengangguk, “Sampun, Kakang. Makan siang sudah siap, ayo kita makan dulu.” Lirih Sumi, dia ingin menyejukkan hati Prapto yang terlihat semakin hari semakin menyedihkan saja.“Aku tidak lapar.” Tolak Prapto halus. “Oiya, aku sangat lama tidak ke pasar, kata lek Tejo banyak yang menanyakanku, mungkin aku minggu depan akan ke pasar.” Prapto menepuk ruang kosong di sebelahnya, Sumi segera duduk, dan Prapto kembali menatap ke arah luar.“Aku senang kalau Kakang ke pasar lagi, mencari kesibukan, dan menemukan nyawa Kakang kembali.” Sumi mengambil tangan Prapto, menaruhnya di dada dan memeluknya.Prapto terkekeh, “Bukankah aku di sini? Semua yang kamu rasakan berbeda hanya karena pemikiranmu saja, Sumi.”“Anggap saja memang pemikiranku, tapi sekarang sudah waktunya makan siang, a
Bima terkekeh, “Aku pergi dulu.” Ratih yang mengangguk, Bima ikut mengangguk juga dan beranjak. Semua masih abu-abu dan Bima seolah tertantang untuk menyingkap semuanya.Ratih menghela napas. Dia tadi ingin ke kebun, melihat ada apa di sana, jadi setelah yakin Bima benar-benar pergi, Ratih pun berangkat ke kebun. Matahari sudah tinggi, yakin kalau pekerja kebun tengah istirahat saat ini. Saat tebakannya benar, Ratih pun bergabung, duduk dengan dua pekerja yang baru saja selesai makan siang itu.“Ndoro Ratih, kapan datang?” tanya pekerja yang lebih tua.“Kemarin.” dusta Ratih, “Panen apa sekarang, Lek?” tanyanya meski tadi di rumah ibu sudah bercerita.“Jagung, Ndoro. Tapi ini jagung manis, bibitnya cukup mahal, ibu yang beli di pasar, ibu memang lebih banyak paham dari pada kita.” Pekerja tua itu terkekeh.“Kapan dibawa ke pengepul?” tanya Ratih.“Ini panen terakhir, besok pagi kita ke sana, baru lusa sisanya dibawa ke pasar.” Jawab pekerja muda.“Bagaimana dengan dokarnya? Apa ibu ju
Lek Tejo menarik tali, tiga kuda itu pun berhenti, dan dia tersenyum sambil menoleh ke dalam. “Tidak biasa Aden mengajak saya ke pasar? Bukankah kita sudah punya pelayan yang belanja?” tanyanya.Prapto tersenyum juga, “Ada yang harus kubeli dan rasanya pelayan itu juga tidak akan mengerti dengan yang kumaksudkan. Lek Tejo, mau ikut?” tawarnya.“Tidak, Aden Prapto. Biar aku di sini saja.” Lek Tejo memilih untuk membeli kopi dan makan gorengan di warung depan pasar. Bertemu dengan kusir lain, menceritakan banyak hal mengenai kuda dan pakannya, cukup lama hingga kopi di depannya tinggal separuh pendek.“Ayo!” Prapto yang tahu di mana warung yang dituju lek Tejo tadi, mengejutkan lek Tejo yang masih seru.“Mari!” lek Tejo pamit ke semua kusir di sana dan membayar apa yang sudah masuk perut. “Sudah ketemu, Aden?” tanyanya sembari naik ke kemudi dokar.Prapto terkekeh, “Sudah. Oiya, apa selama ini Lek Tejo tidak pernah bertemu dengan mbok Jum? Apa dia juga tidak pernah ke pasar?”“Tidak. Pe
Prapto terkekeh. Dia sedang menikmati lintingan tembakau buatannya sendiri di teras. Sumi mendekat dengan putranya, Prapto segera mematikan lintingan tembakau itu dan berdiri, “Tole sayang, nyari Romo, ya?” meminta putranya dari tangan Sumi.“Dari mana kamu, Kakang?” tanya Sumi sambil duduk di sebelah Prapto. Semarah apa, tak bisa dia terus memusuhi Prapto.“Aku nyari angin, sudah dapat ya pulang, kenapa?” Prapto tak menoleh ke Sumi, terus menimang putranya yang mulai digendong dengan posisi duduk.“Dia nangis terus, nyari kamu, tadi waktu pulang juga kamu tidak langsung masuk, dia tak mau diam.” Sumi mengambil minuman di meja untuk membasahi tenggorokannya.Prapto tertawa, “Dia memang putraku, mana mungkin tenang kalau Romonya tidak di rumah, hm?!” Sumi hanya mengangguk samar, “Oiya, aku besok ke pasar, kamu mau ikut?” tanya Prapto, dia yakin Sumi bosan di rumah.Sumi tersenyum, “Kalau memang boleh, aku akan ke pasar, sepertinya Tole harus membeli surjan baru.”“Belikan juga dia kalu
Tahu kalau semua jagung sudah masuk ke dokar, pekerja juga sudah berkemas, Ratih pun menjawab ucapan Prapto, “Matur nuwun, Mas Prapto. Tapi kurasa tidak usah. Apa yang Mas Prapto beri sudah lebih dari cukup. Aku pulang dulu. Ayo!” Ratih menoleh ke pekerjanya, mengangguk agar cepat memutar dokar dan pulang.Prapto dengan cepat menahan tangan Ratih, memandang dengan tatapan penuh pertanyaan, Ratih seolah angkuh, tak sedikit pun memperlihatkan perasaan yang sama dengan yang tengah dia rasakan selama ini.Ratih menoleh ke Bima, “Ayo lita pulang, Bima. Ibu dan bapak sudah menungguku. Maaf, Mas Prapto. Aku harus segera pulang setelah jagung ini habis.”“Kau mau pulang tanpa membawa uang?” tanya Prapto.“Ladang yang kamu belikan untukku, cukup untuk menghidup ibu dan juga bapak, matur nuwun.” Ratih menyatukan tangan untuk berterima kasih.“Kau sangat tahu apa maksudku, Ratih.” Prapto tak paham dengan Ratih.“Aku harus segera pulang, Mas.” Ratih melepas cengkeraman Prapto dan segera ke dokar
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang