“Astaga!!” Santi segera menutupi tubuhnya dengan selimut karena menyadari tatapan Bima yang begitu melekat padanya.
“Apa dia sengaja membuatku ingin memakannya lagi??” batin Bima sambil mengalihkan pandangannya pada tempat lain. “A-aku mandi dulu, Pak!” Santi melilitkan selimut tersebut pada tubuhnya dan bergegas menuju kamar mandi. “Ya udah sana!” Bima tak melihat kemana Santi pergi karena hanya akan membangkitkan sesuatu dibawah sana. Susah payah dia menahan diri untuk tidak memakan gadis polos itu. Bagaimanapun juga, dia tak mau sembarangan melakukan sesuatu. Dia berniat mencari tahu lebih dalam dulu soal Santi sebelum benar-benar memberikan pengalaman pertamanya pada Santi. “Ahh … sial!! Kenapa aku malah jadi berpikir dia adalah penjahatnya di sini? Aku seperti seseorang yang akan diambil paksa kesuciannya oleh gadis sialan itu!! Pakai ilmu apa sih dia?” gerutu Bima seekan menyesali sikap berbedanya pada Santi. Tak berselang lama, Aldo datang dengan membawakan baju sesuai pesanan bosnya. Terdapat tiga baju pilihan yang dibawa, dengan warna yang natural karena menyesuaikan dengan kepolosan Santi. “Semua udah siap di bawah,” kata Aldo. “Ya, baiklah. Sebentar lagi aku akan segera turun. Dia sedang mandi sekarang,” ujar Bima. “Pak Bimm-“ tiba-tiba saja Santi keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk kecil yang menutup tubuhnya. “Na … ahhh!!” imbuhnya terbata karena menyadari keberadaan Aldo. Bima secara spontan menutup mata Aldo agar tidak melihat tubuh Santi yang hanya berbalut handuk. Sementara Santi langsung kembali masuk ke kamar mandi karena malu. “Kamu keluar sekarang!” perintah Bima. “Baiklah.” Aldo menuju pintu dan sebelum membuka pintu, dia menoleh ke arah Bima sambil tersenyum. “Kamu tenang aja, aku hanya melihatnya sedikit saja, kok!!” Bima langsung mengambil bantal dan melemparnya ke Aldo yang sudah mengambil kesempatan dalam kesempitan! “Pergi sana, sialan!!” umpat Bima. Aldo terkekeh geli sambil menangkis bantal yang tertuju padanya itu. Segera ditutupnya pintu kamar hotel tersebut sebelum meninggalkan Bima yang kesal. “Pak Aldo udah pergi, Pak??” tanya Santi dari dalam kamar mandi dengan setengah berteriak. Harus menyakinkan sudah tidak ada orang lagi selain bosnya. Dengan langkah cepat, Bima membuka paksa pintu kamar mandi yang ditahan oleh Santi dari dalam. “Kamu ngapain pakai acara keluar segala, sih? Emangnya nggak denger ada suara Aldo tadi??” tanya Bima kesal. “Nggak denger, Pak. Maaf!” “Trus kamu mau ngapain keluar nyari aku??” tanya Bima. “Anu, Pak, aku, aku bingung mau ngisi air di bak besar itu gimana caranya …” ucap Santi lirih, karena merasa malu. Bima sampai dibuat terperangah oleh ucapan Santi yang benar-benar polos itu. Dia lupa kalau sekretaris barunya itu datang dari kampung. Dan sepertinya dia memang harus segera mencari tahu apakah kampung Santi itu masuk ke dalam kawasan pedalaman atau bukan. Bisa-bisanya dia tidak tahu cara menggunakan peralatan mandi. “Ini namanya bathup, bukan bak mandi. Dan kamu kalau mau berendam, tinggal nyalakan airnya dari sebelah sini. Kalau yang ini buat air hangatnya, terus kamu bisa pakai sabun aromatherapy juga. Kalau cuma mau mandi cepet, pakai shower ini aja. Mandi kayak biasanya, tinggal tekan kran airnya di sebelah sini.” “Nggak ada gayung aja gitu, Pak??” tanya Santi polos. “Astagaaaaa!!! Santiiiiiiiiii!! Apa aku harus briefing kamu dulu hanya untuk urusan mandi??” tanya Bima geram. Santi hanya tersenyum sambil menggaruk tengkuknya salah tingkah. Melihat tingkah Santi yang seperti itu mau tak mau Bima yang menyiapkan air mandi untuk Santi. Bathup diisinya dengan air hangat hingga separuhnya. Kemudian diberikan sabun dengan busa yang melimpah. Dalam hati dia ngedumel, bisa-bisanya seorang CEO sepertinya menyiapkan air untuk mandi bawahannya. Bukankah seharusnya CEO yang dilayani oleh sekretarisnya? “Udah, kamu berendam aja dulu di sini. Pastikan daki-daki yang ada di tubuhmu rontok.” “Makasih ya, Pak.” Santi memasukkan kakinya ke dalam bath up dengan perlahan sambil melepas handuknya. Bima sempat melihat wajah Santi yang berbinar saat duduk di dalam bath up dan tubuhnya terendam air busa. “Apa sereceh itu kebahagiaannya??” batin Bima sambil berjalan keluar kamar mandi. Dia tak mau terpancing dengan melihat aktivitas Santi di sana. Sambil menunggu Santi selesai, dia membuka ponselnya dan mengecek email yang masuk. Dia masih sempat memikirkan pekerjaan di saat yang bagaimanapun juga. Untuk urusan kerja dia memang sangat bisa diandalkan. Tak terasa sudah hampir satu jam Bima mengecek laporan yang diterima, namun tak ada tanda-tanda dari Santi akan selesai juga. Dengan langkah pasti, dia menuju ke kamar mandi dan memanggil Santi berulang kali dari luar. Namun, tak ada jawaban sama sekali. “Jangan-jangan dia pingsan di dalam??” batinnya. Begitu dibuka, ternyata Santi sedang mencuci handuk yang dipakainya tadi dalam bath up. “Kamu malah ngapain sih, Santiiiiiiiiii???” “Ahhh … Pak Bima ngapain masuk?? Aku tadi mau udahan, tapi handuk yang ku pakai basah. Ya udah sekalian aku cuci aja mumpung busanya juga masih banyak,” terang Santi dengan ucapan polos lagi. Bima menutup wajahnya dengan kedua tangannya tak habis pikir. Bisa-bisanya ada orang sebodoh itu dipekerjakannya. “Sudah biarkan saja handuknya disitu, nanti biar dibereskan oleh petugas hotelnya. Pakai handuk ini!” ucap Bima seraya melemparkan handuk pada Santi. Santi pun menurut dan mengikuti langkah Bima yang langsung memberinya beberapa pilihan baju. Dipilihnya satu baju yang dirasa nyaman dipakai. Dia memilih dress dengan panjang di bawah lutut namun bahunya sedikit terbuka. “Pak, punya syal nggak??” “Buat apa?” “Aku agak risih dengan ini,” kata Santi seraya menunjukkan bahunya yang terekspos. Tapi, Bima malah memasangkan kalung di leher Santi sehingga mempercantik penampilannya. “Kamu udah tampil sempurna dengan ini." "Ini dalam rangka apa ya, Pak? Kenapa aku dibelikan baju dan kalung sebagus ini?" "Ini hari libur, dan aku ingin pergi ke rumahmu." "Apa Pak? Ke rumahku? Bapak mau ngelamar aku??" tanya Santi polos. "Heh!! Sembarangan aja kalau ngomong!! Ngapain juga aku ngelamar kamu? Aku mau lihat kondisi keluargamu di kampung. Bukankah kamu bilang keluargamu hidup pas-pasan? Dan kamu ingin membantu orang tuamu membayar sekolah adik-adikmu?" "Ohhh, maaf kalau gitu. Aku pikir Bapak ngajak ke rumahku karena mau melamar seperti di drama Korea yang sering muncul di televisi. Kan ada tuh ceritanya, sang CEO jatuh cinta pada sekretarisnya. Lalu menikah dan hidup bahagia." "Santiiiiiiiiii!!! Kamu ini terlalu banyak nonton drama. Sekarang itu kamu sedang di dunia nyata, jadi hentikan halusinasimu itu!!" omel Bima. "Iya, Pak!! Maaf!!" "Gadis ini polos tapi nyalinya besar juga," batin Bima tak habis pikir. "Jadi sekarang kita berangkat?" tanya Santi. Bima menganggukan kepalanya dan berjalan mendahului Santi. Keduanya pun keluar kamar untuk menuju ke basement hotel. Di sana sudah ada Aldo yang menunggu mereka. "Langsung berangkat!" perintah Bima. "Siap, Bos!!" jawab Aldo sambil cengengesan. Bima tahu betul kalau Aldo sedang meledeknya saat ini. Aldo memang terlalu mengenal bagaimana watak Bima. Mereka sudah menjalin persahabatan sejak bangku sekolah, jadi dia tahu kapan Bima merasa kesal atau tidak. Tapi, Bima tak mau ambil pusing dengan kelakuan Aldo. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah mengetahui dengan benar seluk-beluk dari sekretaris polosnya itu. Perjalanan menuju kesana membutuhkan waktu lebih dari dua jam. Santi sampai tertidur di bahu Bima sepanjang perjalanan. Sesekali Aldo hanya melihat dari spion mobil untuk memperhatikan gelagat Bima. Dia sedikit heran ketika mengetahui Bima tidak keberatan dengan kelakuan Santi. Biasanya, Bima akan marah-marah jika ada wanita yang sembarangan dekat-dekat dengannya. Tapi, sepertinya Santi memang spesial daripada yang lain. Malam ini saja merupakan malam bersejarah bagi CEO mesum tersebut. Ini adalah kali pertama baginya menginap di hotel bersama seorang wanita. Dia tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Kalaupun sampai check in di hotel, biasanya hanya untuk menyalurkan hasratnya saja. Tapi, dengan Santi berbeda. Dia sampai rela menginap satu malam bersamanya. "Bos … ini jalannya bener-bener lewat sini?" tanya Aldo. "Kamu kan bisa lihat di peta." "Iya, bisa. Tapi kok jalanannya kayak gini, sih? Kamu nggak lihat sampai ke depan sana, jalannya belum diaspal?" tanya Aldo. Bima melihat ke arah depan dan sedikit terkejut karena memang di depannya adalah hamparan sawah yang begitu luas. Mereka kini berada di jalan tengah-tengah sawah yang sepi. "Lebih baik kamu bangunkan gadis polos itu daripada kita tersesat di jalan!" "Tapi …" "Hahahaha … kenapa? Apa kamu mulai merasa tidak tega membangunkannya? Sepertinya kamu sudah mulai jatuh cinta pada gadis itu!!" "Santi!!! Bangun kamu!!" Bima langsung membangunkannya ketika mendengar sindiran dari Aldo. Dia tidak terima jika dikatakan telah jatuh cinta pada gadis polos itu. Sementara Aldo terkekeh geli melihat tingkah Bima yang salah tingkah itu. "Loh … kita udah sampai sini?" tanya Santi sambil mengucek-ucek kedua matanya. "Iya. Lagian kamu bisa-bisanya malah tidur di dalam mobil." "Maaf, Pak! Habisnya mobil ini nyaman banget bikin ngantuk!!" kata Santi jujur. Bima menghela nafas panjang karena laki-laki harus mendengar keluguan Santi. "Kita bener lewat jalan ini?" tanya Aldo. "Iya bener, kok! Sebentar lagi nyampe rumahku," katanya. "Oke!!" Namun, hingga lebih dari sepuluh menit, jalanan yang melewati persawahan itu tak kunjung menemukan ujungnya. "Kamu beneran nggak sih, San? Perasaan dari tadi nggak nyampe-nyampe!!" "Bener kok, Pak? Ngapain juga aku bohong!!" "Terus kenapa nggak sampai-sampai juga dari tadi!!" keluh Bima. Tiba-tiba, saja mobil yang mereka tumpangi bergoyang. Ada sesuatu yang menabrak dari belakang. Bahkan tak tanggung-tanggung mobil tersebut nyaris masuk ke sawah akibat tabrakan itu. "Apa itu??!!!" pekik Bima takut melihat ke arah belakang.“Lah … kenapa ada Panjull disini?!” tanya Santi dengan nada terkejut.“Hah?? Panjul??” tanya Aldo panik karena mobil yang mereka tumpangi tak bisa maju lagi.“Iya. Aku keluar dulu,Pak!!”“Eh, jangan!! Berbahaya!!” cegah Bima yang ketakutan.“Itu soulmate aku kok, Pak!” kata Santi seraya membuka pintu mobil.“Dia bilang apa barusan?? Soulmate?” tanya Bima tak percaya.“Ya, sepertinya begitu,” jawab Aldo yang terperangah ketika Santi malah memeluk hewan jorok yang ada di depan mobil mereka.“Panjuuuullll!!! Kamu kangen sama aku, ya?? Kok bisa tau aku ada di mobil itu, sih?? Kamu itu kerbau, kok penciumannya udah kayak anjing pelacak, sih??” tanya Santi beruntun, berbicara seperti kepada manusia.Aldo sampai menoleh ke belakang dan saling berpandangan dengan Bima yang terlihat shock. Bagaimana bisa dia mempunyai seorang sekretaris seudik itu? Berteman dengan seekor kerbau? Itu benar-benar di luar prediksinya.“Pak, kalian ikuti aku aja! Aku mau naik Panjul dari sini ke rumah. Udah deket,
“Kamu ngapain, sih?” tanya Bima.“Cuma mau ngucapin terima kasih untuk bantuan Pak Bima.”“Apa harus dengan cara seperti ini?”“Aku akan belajar yang lebih baik lagi untuk mengikuti kemauan Pak Bima.”Bima tercengang dengan jawaban Santi. Dilihatnya Aldo yang menahan tawa sampai wajahnya memerah. Dari situ dia paham bahwa Aldo ada di balik semua ini.“Pasti Aldo sudah mengatakan yang sebenarnya pada Santi. Bagus juga sebenarnya, tapi aku nggak mau Santi sampai melakukan itu karena disuruh. Aku berharap dia secara naluri melakukannya,” batin Bima.Setelah melalui beberapa jam perjalanan panjang, mereka sudah tiba di sebuah apartemen mewah yang letaknya hanya di belakang perusahaan. Bahkan ada jalan khusus masuk ke perusahaan karena memang sengaja dibuat sedemikian rupa oleh Bima.“Jadi ini apartemen Pak Bima? Bagus banget!!” seru Santi sambil berhambur masuk ke dalam begitu pintu dibuka.Bima geleng-geleng kepala melihat kelakuan Santi yang seperti anak kecil itu. Bisa-bisanya dia melo
Wanita itu sampai tersungkur ke lantai karena didorong oleh Bima. Rasanya sakit juga bercampur kesal karena tak berhasil mendapatkan perhatian Bima dengan aksinya.Aldo sempat heran ketika melihat wanita yang dipilih Bima keluar dengan buru-buru. Merasa ada yang tidak beres, Aldo menghampiri sahabatnya itu. Dilihatnya Bima sedang menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.“Heii … ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja bukan?”“Ya. Aku hanya kesal kenapa milikku tidak bereaksi.”“Mungkin karena kamu kecapekan aja. Kita tadi ‘kan habis bepergian jauh’, jadi stamina kamu berkurang banyak.”“Ya sudah, kita pulang aja kalau gitu!”“Oke!!”***Beberapa hari berlalu sejak hari itu, Bima terus saja uring-uringan tidak jelas karena dia yang biasanya bisa menuntaskan hasratnya setiap hari, kini tak bisa lagi seperti dulu. Jangankan tuntas, untuk bisa membangkitkan yang di sana saja susah. Padahal otaknya sudah membayangkan kemana-mana.“Kamu belakangan ini kenapa, sih?” tanya Aldo yang melihat B
Bima tak menyangka jika sudah menyangkut masalah hasrat, seorang gadis polos pun bisa mengikuti instingnya. Terbukti ketika dia ingin berhenti, Santi malah dengan santainya meminta lagi.Alhasil dia pun menuruti kemauan Santi untuk terus bermain di sana. Membiarkan Santi menjambak rambutnya karena merasakan nikmat sekaligus geli pada tubuhnya. Dibiarkannya gadis polos itu mengikuti apa yang dikehendaki oleh tubuhnya.Namun sayangnya, meskipun sudah mabuk dalam keinginan untuk terus bercumbu, rupanya Santi masih bisa menjaga kewarasannya. Dia masih bisa tau apakah boleh sampai seperti itu atau tidak.“Pak, jangan di sana!” cegah Santi saat Bima mengarahkan miliknya yang sudah tak kuasa menahan diri.Bima berusaha membentengi dirinya untuk tidak melakukan sampai sejauh itu. Tapi tubuh dan pikirannya benar-benar tidak sejalan. Matanya mulai menggelap karena birahi yang sudah memenuhi dirinya.“Aku sudah nggak tahan lagi!” seru Bima.“Tapi, Pak!!” Santi mencoba menutupi miliknya dengan ke
"Kamu siapa?" tanya Santi."Kamu nggak perlu tahu siapa aku. Yang jelas aku kesini mau memberitahu kamu satu hal!""Soal apa, ya??"Gadis berambut pirang dengan dandanan yang menor itu terlihat sangat membenci Santi. Dari caranya melihat, seperti seorang musuh bebuyutan. Padahal mereka baru pertama kali bertemu."Aku cuma mau ngingetin ke kamu. Jadi cewek jangan kepedean! Asal kamu tahu aja, setelah dia merasa bosan padamu dan mendapat pengganti yang lebih, dia pasti akan ninggalin kamu!!"Santi mengerutkan keningnya karena merasa bingung dengan arah pembicaraan wanita tersebut. Mereka baru saja bertatap muka, tapi dia sudah menunjukkan aura kebencian yang begitu dalam. Bahkan langsung menghujat bahwa dirinya akan ditinggalkan setelah merasa bosan."Tunggu dulu, deh! Ini maksudnya apa sih? Datang-datang langsung marah dan mengatakan hal yang nggak jelas! Minimal perkenalan dulu lah, jangan langsung bilang bakal ditinggalin. Emangnya aku mau ditinggal sama siapa sih, Mbak?" tanya Santi
Mendengar teriakan Bima membuat gadis itu secara refleks menutup mulutnya. Dia pikir Bima sudah tidak berada di sana, ternyata ada di kamar mandi.“Pak Bima kok bisa ada disitu?”“Aku tadinya mau balik ke kantor, tapi malah mulas. Ehhh … nggak taunya malah denger kalimat kotor dari mulutmu!”“Ahhh … itu bukan seperti yang kamu pikirkan, Pak!”“Apapun itu, urusan kita belum selesai. Kamu beruntung bisa selamat kali ini karena aku ada meeting sebentar lagi. Nanti aku akan beri kamu pelajaran sepulang kerja!” kata Bima sambil melangkah pergi.Santi mengantar kepergian Bima sampai pintu dan dengan memasang wajah yang dibuat-buat, Santi tersenyum seolah minta perdamaian. Tapi, Bima tak mengindahkannya karena saking buru-burunya.Begitu menutup pintu, Santi menghempaskan pantatnya di ranjang. Kadang-kadang kepalanya masih sedikit pusing, namun akan cepat membaik setelah didiamkan beberapa saat.Dilihatnya ponsel yang tiba-tiba saja berbunyi karena ada panggilan masuk. “Halo, Pak …,” sapanya
“Mau disini?” bisik Viona lembut seraya meraba dada bidang Bima dari balik kemeja yang digunakannya.Bima memberi kode pada Aldo untuk menutup akses tempatnya duduk seperti biasa. Dan hanya dengan menekan satu tombol saja, mereka berdua sudah seperti berada di ruangan special. Meskipun tidak ada ranjang untuk melakukan kegiatan panas mereka nanti, tetap saja Vio sedikit takjub melihat keunikan tempat tersebut.“Sepertinya mangsaku kali ini bukan sembarang orang. Jangan sampai aku kehilangan orang ini,” batin Vio sambil duduk di pangkuan Bima. Kedua tangannya melingkar di leher Bima sehingga jarak mereka hanya beberapa inci saja.“Aroma tubuhmu lumayan juga!” puji Bima.“Makasih,” kata Vio sambil membuka kancing kemeja Bima satu persatu. Bulu-bulu halus di dada Bima membuat darahnya berdesir. Andai saja kesepakatannya bisa melakukan sampai hal itu, pasti dia akan merasa sangat senang bisa berada di bawah dada bidang itu.“Aku suka wanita yang agresif!” kata Bima karena Vio tengah menci
"Hei, apa yang kau katakan! Buat apa kamu minta tolong? Ini aku!!" kata Bima sambil mengendus leher Santi dari belakang."Pak Bima kok tahu-tahu bisa ada di sini?""Kamu lupa ini apartemen siapa? Tentu saja aku bisa muncul di sini setiap saat!!""Mmmhhhh …" Santi melenguh pelan saat merasakan lidah Bima menari-nari di lehernya."Gadis sialan! Hanya mendengar desahannya saja bisa membuatku langsung ingin memakannya!!" umpat Bima dalam hati."Pakkk … ahhh!!" Santi menggelinjang tidak karuan ketika tangan kekar Bima masuk ke balik lingerienya."Dari mana kamu dapatkan baju haram ini?""Aku hanya memakai yang ada di dalam lemari saja!" ucap Santi seraya menggigit bibir bawahnya.Sebisa mungkin dia mencoba menahan diri agar tidak mendesah. Namun, ternyata usahanya sia-sia, karena Bima dengan sengaja malah memancing gadis itu agar mengeluarkan apa yang dirasakannya."Jangan ditahan! Aku suka mendengar suara desahanmu yang seksi!!" bisik Bima sambil menggigit telinga gadis itu perlahan.Lida
Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan