Santi membusungkan tubuhnya merasakan sensasi lembut dan geli yang dirasakannya. Kedua tangannya secara refleks memeluk kepala Bima agar terus berada di sana.
“Pak …” “Hemmm …” jawaban Bima yang hanya berdehem itu malah membuat sensasi lain di tubuh Santi. Rasanya sungguh tidak bisa dijelaskan dengan satu katapun. Perlahan tangan Bima mulai turun mencari sesuatu dibawah sana. Ada semacam keinginan kuat dalam dirinya untuk menyentuh sesuatu yang belum pernah dia pegang. “Jangan, Pak!” seru Santi karena Bima menekan miliknya. Entah kenapa Bima tak mengindahkan teguran Santi yang memintanya untuk tidak melakukannya. Selama ini para wanita yang menemaninya selalu berharap dia menyentuh inti tubuh mereka, tapi tidak dilakukannya. Dia hanya bermain-main di bagian atas dan mengakhirinya dengan si wanita mengulum miliknya layaknya permen dengan gerakan yang memabukkan. Tapi berbeda ketika dengan Santi, rasanya dia tidak bisa untuk melakukan seperti pada wanita lainnya. Bahkan dia ingin melihat secara langsung jalan sempit di bawahnya itu. Perlahan ciumannya mulai menuruni bukit kenyal yang sudah sangat tegang dan basah akibat permainannya. Melewati cekungan kecil di tengah perut dan berhenti di sebuah kain segitiga tipis berwarna merah menyala. Santi segera menutupinya dengan tangan karena merasa malu ketika area pribadinya diperhatikan sedemikian rupa. “Malu, Pak. Bapak mau ngapain?” tanya Santi sambil mencoba duduk. Tapi Bima mendorong tubuh Santi pelan agar kembali terlentang. Dibukanya kaki Santi dengan lebar dan kedua tangannya kembali memilin ujung benda kenyal yang ada di atas. Hidungnya mulai menghirup aroma kain kecil tersebut. Dan dengan perlahan Bima menggigit isi kain tersebut. Santi terkejut karena merasa seperti ada aliran listrik di tubuhnya. Hatinya sungguh ingin menolak, tapi tubuhnya berkata lain. Apalagi saat lidah Bima mulai mencoba menerobos masuk ke balik kain tipis tersebut. Karena sulit untuk menerobos masuk, akhirnya Bima menurunkan satu tangannya untuk melepas kain terakhir itu. Matanya tak berhenti berkedip melihat jalan kecil yang bersih itu. Terlihat ada sedikit pantulan cahaya lampu di sana yang mungkin dikarenakan jalan tersebut basah. “Jangan kamu tutupi. Aku hanya mau melihatnya saja,” kata Bima karena lagi-lagi Santi berusaha menutupinya. Kakinya dirapatkan agar bisa menghalangi pandangan Bima. “Tapi, Pak …” “Percayalah padaku, aku tidak akan macam-macam,” ujar Bima sambil meraih lutut Santi. Dikecupnya lutut Santi dengan lembut. Dielusnya bekas luka yang sempat dia obati pada pertemuan pertama mereka itu. Semakin lama semakin ke atas dan menuju ke pangkal jalan yang sudah tak bertepi. Kembali dibukanya jalan tersebut lebar-lebar. “Ini benar-benar mengagumkan,” ucap Bima sambil membenamkan wajahnya di sana. Dihirupnya aroma segar yang keluar dari jalan tersebut. Hidungnya di gesek-gesekkan di sana sebelum lidahnya mulai menyapu jalan tersebut. “Pak!!” pekik Santi saat merasakan lidah Bima menyapu miliknya dengan lembut. Kakinya secara refleks menutup sehingga menjepit kepala Bima. Namun, Bima tak bergeming dan masih melanjutkan aksinya sesuai nalurinya. Instingnya bergerak sendiri tanpa bisa dikendalikan. Lidahnya mulai menelusup masuk ke pintu kecil yang masih rapat itu. Santi hanya melenguh pelan saat merasakan ada benda hangat yang menusuk-nusuk masuk di tubuhnya. Perlahan kakinya melebar kembali seolah memberikan akses yang mudah bagi Bima. “Aku suka aroma dan rasanya,” gumam Bima tanpa berpindah dari sana. Setelah beberapa saat disana, Bima mulai merasa gelisah karena belum mencapai apa yang diinginkannya. Namun, otaknya masih bisa bekerja kali ini. Berbeda ketika dengan Clara tadi yang terus memancingnya. Kepolosan Santi membuatnya bisa menahan diri agar tidak gegabah. Akhirnya dia meminta Santi untuk melakukan tugasnya seperti biasa. “Kepalaku pusing. Kamu lakukan seperti kemarin,” ujar Bima sambil merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. Dengan polosnya, Santi langsung duduk dan meraih tombak Bima. Dielusnya baru kemudian dinikmati layaknya es krim. Dan hanya hitungan menit saja, Santi sudah berhasil mengeluarkan penyebab sakit kepala Bima itu. “Haahh … kamu benar-benar!!” “Benar-benar apa, Pak?? Aku udah bikin kecewa, ya?” Bima langsung menoleh ke arah Santi dengan cepat. Bagaimana bisa ada makhluk sepolos ini di dunia? “Aku nggak ada yang ngomong begitu.” “Aku pikir Pak Bima kecewa sama aku.” “Udah, jangan banyak omong. Sekarang aku mau tidur. Kalau kamu mau tidur juga, sini di sebelahku,” kata Bima. “Tapi, apa boleh aku seranjang sama bos sendiri??” “Astaga, Santiiiiiiiiii!! Aku kan yang nyuruh kamu buat begitu, berarti boleh, dong? Nggak masalah juga, ribet banget kamu itu! Aku sampai nggak tahu bagaimana pola pikir kamu itu,” keluh Bima. “Maaf, Pak!” “Ya sudah, aku mau tidur. Kalau butuh apa-apa, kamu telepon room service aja,” kata Bima sambil memejamkan kedua matanya. “Pak …,” terdengar suara lirih Santi dari arah samping Bima. “Apa lagi, San??” “Bajuku nggak ada kancingnya gini, terus aku pakai apa??” tanya Santi polos. Bima menyisir rambutnya dengan kasar. Sepertinya sekretaris barunya itu memang harus diajari semua hal dengan lebih detail agar bisa menyelesaikan semuanya sendiri. “Kamu minta tolong Aldo aja buat siapin semuanya. Aku capek, mau tidur!” Tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari Bima yang artinya dia sudah tertidur pulas. Santi duduk di sampingnya sambil memandangi wajah tampan bosnya tersebut. Dia masih tidak menyangka bisa menjadi sekretaris di perusahaan besar dan memiliki bos yang super tampan dengan tubuh yang atletis. Perutnya terbentuk sangat bagus dan bisa dipastikan dia sering melakukan olahraga untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Tanpa sadar, Santi malah ikut tertidur di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Hanya hitungan menit, Santi sudah menyusul Bima ke alam mimpi. *** “Kamu tolong siapin baju ganti untuk Santi. Hari ini aku akan pergi ke rumahnya untuk melihat seberapa sulitnya dia selama ini,” kata Bima sambil memperhatikan Santi yang masih tertidur pulas di lengannya. “Baiklah, aku akan mencarikan yang terbaik agar nilaimu sempurna di sana nanti. Mobil juga akan segera ku siapkan yang terbaru. Kamu tenang aja.” Setelah mendengar jawaban Aldo, dia pun mematikan teleponnya. Tangannya sudah terasa sangat kebas karena semalaman dijadikan bantal oleh Santi. Tapi, dia tak tega untuk membangunkan sekretarisnya itu. Ada rasa lain yang muncul dalam lubuk hatinya. “Dasar kucing nakal. Bisa-bisanya membuatku merasa tidak tega seperti ini. Kamu memang istimewa,” kata Bima seraya merapikan rambut Santi yang menutupi wajahnya. Mendapat sentuhan lembut itu, Santi pun terbangun dan langsung salah tingkah sendiri karena menyadari posisinya. “Astaga, Pak Bima. Aku benar-benar minta maaf,” katanya seraya duduk dengan segera sampai lupa bahwa dia tidak mengenakan apa-apa. Setengah bagian tubuhnya langsung terekspos di depan mata Bima yang sontak saja langsung membangkitkan hasrat dalam dirinya lagi. “Gadis sialan!!” umpat Bima.“Astaga!!” Santi segera menutupi tubuhnya dengan selimut karena menyadari tatapan Bima yang begitu melekat padanya.“Apa dia sengaja membuatku ingin memakannya lagi??” batin Bima sambil mengalihkan pandangannya pada tempat lain.“A-aku mandi dulu, Pak!” Santi melilitkan selimut tersebut pada tubuhnya dan bergegas menuju kamar mandi.“Ya udah sana!”Bima tak melihat kemana Santi pergi karena hanya akan membangkitkan sesuatu dibawah sana. Susah payah dia menahan diri untuk tidak memakan gadis polos itu. Bagaimanapun juga, dia tak mau sembarangan melakukan sesuatu.Dia berniat mencari tahu lebih dalam dulu soal Santi sebelum benar-benar memberikan pengalaman pertamanya pada Santi.“Ahh … sial!! Kenapa aku malah jadi berpikir dia adalah penjahatnya di sini? Aku seperti seseorang yang akan diambil paksa kesuciannya oleh gadis sialan itu!! Pakai ilmu apa sih dia?” gerutu Bima seekan menyesali sikap berbedanya pada Santi.Tak berselang lama, Aldo datang dengan membawakan baju sesuai pesanan
“Lah … kenapa ada Panjull disini?!” tanya Santi dengan nada terkejut.“Hah?? Panjul??” tanya Aldo panik karena mobil yang mereka tumpangi tak bisa maju lagi.“Iya. Aku keluar dulu,Pak!!”“Eh, jangan!! Berbahaya!!” cegah Bima yang ketakutan.“Itu soulmate aku kok, Pak!” kata Santi seraya membuka pintu mobil.“Dia bilang apa barusan?? Soulmate?” tanya Bima tak percaya.“Ya, sepertinya begitu,” jawab Aldo yang terperangah ketika Santi malah memeluk hewan jorok yang ada di depan mobil mereka.“Panjuuuullll!!! Kamu kangen sama aku, ya?? Kok bisa tau aku ada di mobil itu, sih?? Kamu itu kerbau, kok penciumannya udah kayak anjing pelacak, sih??” tanya Santi beruntun, berbicara seperti kepada manusia.Aldo sampai menoleh ke belakang dan saling berpandangan dengan Bima yang terlihat shock. Bagaimana bisa dia mempunyai seorang sekretaris seudik itu? Berteman dengan seekor kerbau? Itu benar-benar di luar prediksinya.“Pak, kalian ikuti aku aja! Aku mau naik Panjul dari sini ke rumah. Udah deket,
“Kamu ngapain, sih?” tanya Bima.“Cuma mau ngucapin terima kasih untuk bantuan Pak Bima.”“Apa harus dengan cara seperti ini?”“Aku akan belajar yang lebih baik lagi untuk mengikuti kemauan Pak Bima.”Bima tercengang dengan jawaban Santi. Dilihatnya Aldo yang menahan tawa sampai wajahnya memerah. Dari situ dia paham bahwa Aldo ada di balik semua ini.“Pasti Aldo sudah mengatakan yang sebenarnya pada Santi. Bagus juga sebenarnya, tapi aku nggak mau Santi sampai melakukan itu karena disuruh. Aku berharap dia secara naluri melakukannya,” batin Bima.Setelah melalui beberapa jam perjalanan panjang, mereka sudah tiba di sebuah apartemen mewah yang letaknya hanya di belakang perusahaan. Bahkan ada jalan khusus masuk ke perusahaan karena memang sengaja dibuat sedemikian rupa oleh Bima.“Jadi ini apartemen Pak Bima? Bagus banget!!” seru Santi sambil berhambur masuk ke dalam begitu pintu dibuka.Bima geleng-geleng kepala melihat kelakuan Santi yang seperti anak kecil itu. Bisa-bisanya dia melo
Wanita itu sampai tersungkur ke lantai karena didorong oleh Bima. Rasanya sakit juga bercampur kesal karena tak berhasil mendapatkan perhatian Bima dengan aksinya.Aldo sempat heran ketika melihat wanita yang dipilih Bima keluar dengan buru-buru. Merasa ada yang tidak beres, Aldo menghampiri sahabatnya itu. Dilihatnya Bima sedang menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.“Heii … ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja bukan?”“Ya. Aku hanya kesal kenapa milikku tidak bereaksi.”“Mungkin karena kamu kecapekan aja. Kita tadi ‘kan habis bepergian jauh’, jadi stamina kamu berkurang banyak.”“Ya sudah, kita pulang aja kalau gitu!”“Oke!!”***Beberapa hari berlalu sejak hari itu, Bima terus saja uring-uringan tidak jelas karena dia yang biasanya bisa menuntaskan hasratnya setiap hari, kini tak bisa lagi seperti dulu. Jangankan tuntas, untuk bisa membangkitkan yang di sana saja susah. Padahal otaknya sudah membayangkan kemana-mana.“Kamu belakangan ini kenapa, sih?” tanya Aldo yang melihat B
Bima tak menyangka jika sudah menyangkut masalah hasrat, seorang gadis polos pun bisa mengikuti instingnya. Terbukti ketika dia ingin berhenti, Santi malah dengan santainya meminta lagi.Alhasil dia pun menuruti kemauan Santi untuk terus bermain di sana. Membiarkan Santi menjambak rambutnya karena merasakan nikmat sekaligus geli pada tubuhnya. Dibiarkannya gadis polos itu mengikuti apa yang dikehendaki oleh tubuhnya.Namun sayangnya, meskipun sudah mabuk dalam keinginan untuk terus bercumbu, rupanya Santi masih bisa menjaga kewarasannya. Dia masih bisa tau apakah boleh sampai seperti itu atau tidak.“Pak, jangan di sana!” cegah Santi saat Bima mengarahkan miliknya yang sudah tak kuasa menahan diri.Bima berusaha membentengi dirinya untuk tidak melakukan sampai sejauh itu. Tapi tubuh dan pikirannya benar-benar tidak sejalan. Matanya mulai menggelap karena birahi yang sudah memenuhi dirinya.“Aku sudah nggak tahan lagi!” seru Bima.“Tapi, Pak!!” Santi mencoba menutupi miliknya dengan ke
"Kamu siapa?" tanya Santi."Kamu nggak perlu tahu siapa aku. Yang jelas aku kesini mau memberitahu kamu satu hal!""Soal apa, ya??"Gadis berambut pirang dengan dandanan yang menor itu terlihat sangat membenci Santi. Dari caranya melihat, seperti seorang musuh bebuyutan. Padahal mereka baru pertama kali bertemu."Aku cuma mau ngingetin ke kamu. Jadi cewek jangan kepedean! Asal kamu tahu aja, setelah dia merasa bosan padamu dan mendapat pengganti yang lebih, dia pasti akan ninggalin kamu!!"Santi mengerutkan keningnya karena merasa bingung dengan arah pembicaraan wanita tersebut. Mereka baru saja bertatap muka, tapi dia sudah menunjukkan aura kebencian yang begitu dalam. Bahkan langsung menghujat bahwa dirinya akan ditinggalkan setelah merasa bosan."Tunggu dulu, deh! Ini maksudnya apa sih? Datang-datang langsung marah dan mengatakan hal yang nggak jelas! Minimal perkenalan dulu lah, jangan langsung bilang bakal ditinggalin. Emangnya aku mau ditinggal sama siapa sih, Mbak?" tanya Santi
Mendengar teriakan Bima membuat gadis itu secara refleks menutup mulutnya. Dia pikir Bima sudah tidak berada di sana, ternyata ada di kamar mandi.“Pak Bima kok bisa ada disitu?”“Aku tadinya mau balik ke kantor, tapi malah mulas. Ehhh … nggak taunya malah denger kalimat kotor dari mulutmu!”“Ahhh … itu bukan seperti yang kamu pikirkan, Pak!”“Apapun itu, urusan kita belum selesai. Kamu beruntung bisa selamat kali ini karena aku ada meeting sebentar lagi. Nanti aku akan beri kamu pelajaran sepulang kerja!” kata Bima sambil melangkah pergi.Santi mengantar kepergian Bima sampai pintu dan dengan memasang wajah yang dibuat-buat, Santi tersenyum seolah minta perdamaian. Tapi, Bima tak mengindahkannya karena saking buru-burunya.Begitu menutup pintu, Santi menghempaskan pantatnya di ranjang. Kadang-kadang kepalanya masih sedikit pusing, namun akan cepat membaik setelah didiamkan beberapa saat.Dilihatnya ponsel yang tiba-tiba saja berbunyi karena ada panggilan masuk. “Halo, Pak …,” sapanya
“Mau disini?” bisik Viona lembut seraya meraba dada bidang Bima dari balik kemeja yang digunakannya.Bima memberi kode pada Aldo untuk menutup akses tempatnya duduk seperti biasa. Dan hanya dengan menekan satu tombol saja, mereka berdua sudah seperti berada di ruangan special. Meskipun tidak ada ranjang untuk melakukan kegiatan panas mereka nanti, tetap saja Vio sedikit takjub melihat keunikan tempat tersebut.“Sepertinya mangsaku kali ini bukan sembarang orang. Jangan sampai aku kehilangan orang ini,” batin Vio sambil duduk di pangkuan Bima. Kedua tangannya melingkar di leher Bima sehingga jarak mereka hanya beberapa inci saja.“Aroma tubuhmu lumayan juga!” puji Bima.“Makasih,” kata Vio sambil membuka kancing kemeja Bima satu persatu. Bulu-bulu halus di dada Bima membuat darahnya berdesir. Andai saja kesepakatannya bisa melakukan sampai hal itu, pasti dia akan merasa sangat senang bisa berada di bawah dada bidang itu.“Aku suka wanita yang agresif!” kata Bima karena Vio tengah menci
Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan