Mendengar teriakan Bima membuat gadis itu secara refleks menutup mulutnya. Dia pikir Bima sudah tidak berada di sana, ternyata ada di kamar mandi.“Pak Bima kok bisa ada disitu?”“Aku tadinya mau balik ke kantor, tapi malah mulas. Ehhh … nggak taunya malah denger kalimat kotor dari mulutmu!”“Ahhh … itu bukan seperti yang kamu pikirkan, Pak!”“Apapun itu, urusan kita belum selesai. Kamu beruntung bisa selamat kali ini karena aku ada meeting sebentar lagi. Nanti aku akan beri kamu pelajaran sepulang kerja!” kata Bima sambil melangkah pergi.Santi mengantar kepergian Bima sampai pintu dan dengan memasang wajah yang dibuat-buat, Santi tersenyum seolah minta perdamaian. Tapi, Bima tak mengindahkannya karena saking buru-burunya.Begitu menutup pintu, Santi menghempaskan pantatnya di ranjang. Kadang-kadang kepalanya masih sedikit pusing, namun akan cepat membaik setelah didiamkan beberapa saat.Dilihatnya ponsel yang tiba-tiba saja berbunyi karena ada panggilan masuk. “Halo, Pak …,” sapanya
“Mau disini?” bisik Viona lembut seraya meraba dada bidang Bima dari balik kemeja yang digunakannya.Bima memberi kode pada Aldo untuk menutup akses tempatnya duduk seperti biasa. Dan hanya dengan menekan satu tombol saja, mereka berdua sudah seperti berada di ruangan special. Meskipun tidak ada ranjang untuk melakukan kegiatan panas mereka nanti, tetap saja Vio sedikit takjub melihat keunikan tempat tersebut.“Sepertinya mangsaku kali ini bukan sembarang orang. Jangan sampai aku kehilangan orang ini,” batin Vio sambil duduk di pangkuan Bima. Kedua tangannya melingkar di leher Bima sehingga jarak mereka hanya beberapa inci saja.“Aroma tubuhmu lumayan juga!” puji Bima.“Makasih,” kata Vio sambil membuka kancing kemeja Bima satu persatu. Bulu-bulu halus di dada Bima membuat darahnya berdesir. Andai saja kesepakatannya bisa melakukan sampai hal itu, pasti dia akan merasa sangat senang bisa berada di bawah dada bidang itu.“Aku suka wanita yang agresif!” kata Bima karena Vio tengah menci
"Hei, apa yang kau katakan! Buat apa kamu minta tolong? Ini aku!!" kata Bima sambil mengendus leher Santi dari belakang."Pak Bima kok tahu-tahu bisa ada di sini?""Kamu lupa ini apartemen siapa? Tentu saja aku bisa muncul di sini setiap saat!!""Mmmhhhh …" Santi melenguh pelan saat merasakan lidah Bima menari-nari di lehernya."Gadis sialan! Hanya mendengar desahannya saja bisa membuatku langsung ingin memakannya!!" umpat Bima dalam hati."Pakkk … ahhh!!" Santi menggelinjang tidak karuan ketika tangan kekar Bima masuk ke balik lingerienya."Dari mana kamu dapatkan baju haram ini?""Aku hanya memakai yang ada di dalam lemari saja!" ucap Santi seraya menggigit bibir bawahnya.Sebisa mungkin dia mencoba menahan diri agar tidak mendesah. Namun, ternyata usahanya sia-sia, karena Bima dengan sengaja malah memancing gadis itu agar mengeluarkan apa yang dirasakannya."Jangan ditahan! Aku suka mendengar suara desahanmu yang seksi!!" bisik Bima sambil menggigit telinga gadis itu perlahan.Lida
“Aku cuma mau mencoba untuk menempelkannya sebentar,” kata Santi yang saking penasaran.Saat jalan yang sudah basah itu menempel di senjata bosnya, Santi menggerakkannya naik turun membuat milik Bima merasa seperti dipijat. Dia sudah seperti tak bisa mengendalikan diri lagi dan hanya dalam beberapa gesekan, senjata Bima berkedut hebat dan mengeluarkan peluru putihnya.Santi semakin cepat menggerakkan miliknya karena juga merasakan sensasi luar biasa. Ketika dua lututnya hampir lemas, dia merasakan miliknya terasa sangatlah panas sebelum akhirnya jatuh di atas dada bidang Bima.“Haaahhhh … kakiku rasanya lemes banget, Pak!” kata gadis itu polos.“Kamu benar-benar gila!!”“Ahhh … bapak menikmatinya juga, ‘kan??”“Hehh!! Sudah berani kamu, ya?”“Kalau udah bikin enak kayak gini, aku juga mau tiap hari, Pak!”“Ngelunjak kamu, ya?”Gadis itu bangkit dari atas tubuh bosnya dan duduk di sisi sofa yang hanya tinggal sedikit. Santi memanyunkan bibirnya karena merasa kesal.“Bukannya bapak sen
“Aku sudah menantikan hari ini sejak lama. Susah payah untuk bisa masuk sini, mana mungkin aku biarkan kamu begitu saja!” kata lelaki itu.“Siapa kamu? Aku nggak kenal kamu!”“Kamu nggak perlu kenal siapa aku, yang pasti aku sudah dibayar mahal untuk ini. Kapan lagi aku bisa menikmati tubuh mulus tapi malah dikasih bayaran tinggi?” katanya sambil meremas benda kenyal milik Santi yang masih tertutup itu.“Jangan macam-macam kamu!! Lepasin!!” pekik Santi saat dia merasakan kait belakangnya dilepas paksa.Lelaki itu dengan mudahnya menggendong tubuh Santi dan menjatuhkannya di kasur. Dengan cepat dilahapnya leher jenjang Santi sambil mengunci pergerakan tangannya yang terus meronta.Lelaki itu sempat menghisap ujung benda kenyal miliknya sesaat sebelum sebuah pukulan keras mendarat di kepala lelaki tersebut.“Ahhhh!!!” Santi berteriak histeris melihat darah yang mengucur dari kepala lelaki itu.***“Bagaimana keadaannya?”“Dia hanya shock saja. Mungkin dalam beberapa hari ke depan dia ak
Aldo dibuat kembali tersentak karena Bima menendang kepala Baron tanpa ampun.“Heii!! Ada apa denganmu, Bim?? Nggak biasanya kamu mau mengotori tanganmu sendiri seperti ini!” kata Aldo.“Untuk orang yang berani bermain-main denganku, tak akan ada ampun buatnya. Apalagi sampai menyentuh Santi! Jangan memancingku untuk urusan yang satu itu!”Mendengar kata-kata Bima sudah cukup menjawab rasa penasaran Aldo. Itu artinya Bima memang sudah menentukan pilihannya kepada Santi. Satu hal yang harus dia lakukan sekarang adalah menjaga Bima agar tidak sampai melakukan hal bodoh dengan mengotori tangannya sendiri.“Cepat katakan saja kalau kamu mau selamat. Aku bisa pastikan itu asal kamu bisa diajak kerja sama dengan baik,” bisik Aldo sambil membangunkan Baron.“Siapa yang suruh kamu?!” tanya Bima meradang lagi.“Baiklah aku akan kasih tahu. Amelia, dia yang nyuruh aku!”“Dasar wanita jalang!! Bawa dia kesini secepatnya!!” kata Bima dengan emosi yang tak terkira.Aldo segera memerintahkan orang
Keringat mengucur deras di dahi Baron begitu dia menyelesaikan hasratnya. Dilihatnya Amelia yang menangis tersedu dengan kaki yang ditekuk."Kamu sudah bekerjasama dengan baik. Kedepannya aku harap tidak akan pernah melihatmu lagi di kota ini," kata Aldo dengan penuh tekanan mematikan."Baiklah, aku akan pergi dari kota ini asalkan masih bisa menikmati hidupku," kata Baron."Lebih baik kamu segera pergi, dan bawa wanita licik itu juga bersamamu!" titah Aldo.Baron tampak sedikit keberatan ketika harus membawa Amel serta. Tapi demi mendapatkan kebebasannya, mau tak mau dia menyetujuinya."Baiklah!"Aldo tersenyum sinis sambil melihat Amel yang kini menatapnya tajam. Beberapa saat mereka beradu pandang dan akhirnya Amel menyerah karena Baron tiba-tiba saja mengangkatnya."Selamat bersenang-senang, jalang!!" kata Aldo melihat kepergian mereka berdua.***"Santi, apa kamu baik-baik saja?" tanya Bima ketika melihat gadis itu tengah duduk di kursi meja rias."Aku rasa begitu.""Kamu yakin?"
"Pak Aldo?? Maksudnya apa?" tanya Santi."Nanti kamu akan tahu sendiri apa jawabannya.""Iihhhh, Pak Aldo ini bisa banget bikin penasaran!""Kalau aku malah nggak penasaran sama sekali. Udah pasti sesuai sama tebakanku tadi," kata perawat tersebut."Apa, sih?" kata Santi malu-malu.Aldo tak menyangka Santi masih bisa berpikir bahwa Bima hanya penasaran dengannya saja. Tapi sebagai orang yang tidak begitu mengenalnya, memang lebih baik berpikir begitu daripada berlebihan karena hanya akan menimbulkan sakit hati. Bima tak pernah sekalipun memakai hatinya pada seorang wanita.Dan untuk kali ini, dia yakin kalau Bima telah menjatuhkan pilihan hatinya pada sekretaris polosnya itu. Yang dia tidak tahu adalah apakah perasaan Bima itu akan bertahan lama, atau malah menjadi semakin mengikat hingga akhir nanti."Ini buburnya udah siap, mau dimakan kapan?" tanya perawat yang bernama Elly itu."Taruh situ aja, Mbak. Aku akan segera makan," jawab Santi."Baiklah, aku siapkan obatnya di sini ya, di
Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan