Geram menatap isi amplop yang diberi Dania, Leona sampai meremasnya. Tapi setelah itu dia menyesalinya dan lekas meluruskan kertasnya kembali.Dia memotret foto itu dan mengirimkannya ke Hizam, lalu menelepon calon suaminya.“Hizam brengsek! Kamu pergi ke luar kota sama siapa?” teriak Leona di telepon.“A-apa sih, sayang? Kenapa telepon gini langsung marah-marah?” Hizam sudah melihat foto itu dan dia gugup.“Cepat kasi tau aku, kamu pergi kunjungan kerja keluar kota sama siapa? Kenapa cuma ada kamu dan jalang entah siapa saling pelukan jalan di lobi bandara? Kenapa nggak ada tim kamu?”Suara meraung Leona cukup keras sampai mengagetkan pelayan yang menunggu di luar ruangan.“Ya ampun, sayang, kamu kenapa termakan gosip kayak gitu, sih? Itu… itu kan adikku, Zila! Dia… dia kemarin ngantar aku ke bandara! Kamu ini… kenapa sekalut itu, sih?” elak Hizam dari seberang.Leona menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir tenang. Alasan Hizam memang masuk akal. Hizam dan Zila, kakak dan adik, m
"Oh! Pak Rivan, kan?" balas Dania ketika melihat Rivan sudah berdiri di samping mejanya. “Kita bertemu lagi.”Rivan tersenyum lebar, menatap Dania dengan pandangan hangat. “Ya, Dania. Terakhir kita bertemu, di acara gala, kan?”“Benar, Pak.” Dania mengangguk membenarkan.Rivan menunjuk ke kursi yang masih kosong di meja Dania. “Boleh ikut duduk di sini?”“Oh! Eh! Tentu saja, Pak!” Dania malah lupa mempersilakan.Dia terlalu kaget karena tidak menyangka akan bertemu lagi dengan mantan bosnya di minimarket.Tersenyum kecil karena mendapat izin Dania, Rivan menarik kursi untuk dia duduki. Tak lupa dia berkenalan dengan Melody dan Sebastian.“Aku dulunya pemilik minimarket tempat Dania bekerja sebelum dia menikah.”Demikian penjelasan Rivan mengenai hubungannya dengan Dania di depan Melody dan Sebastian.“Ya, dia bosku yang baik, meski agak tertutup. Tapi dia tetap bos yang baik, kok.” Dania sedikit gugup.Apakah ini wajar?“Dan sekarang lihat kamu, Dania. Kamu terlihat berbeda, lebih dewa
‘Apa dia peduli sama kasusku, yah?’ batin Dania usai mendengar ucapan Rivan.Itu karena tatapan mata Rivan kini berubah serius setelah mereka baru saja .Dania menegang mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya ini merupakan topik yang paling dia hindari.“Itu... hanya gosip, Rivan,” jawabnya dengan suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. “Nggak semuanya benar. Aku cuma fokus sama pekerjaanku dan nggak peduli dengan apa yang orang lain katakan.”Terkadang rasanya berat ketika ada yang menanyakan kabar fitnahan kejam seseorang pada kita. Saat kita menceritakannya, itu seperti membuka luka lama yang hampir pulih, rasanya sakit dan perih.Rivan mengangguk pelan, tampak paham. “Maaf, yah! Aku nggak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Aku cuma ingin memastikan bahwa kamu baik-baik aja. Aku selalu menganggapmu sebagai orang yang selalu bekerja keras, makanya aku nggak percaya dengan gosip mengenaimu.”Dania tersenyum lagi, merasa lega. “Makasih, Rivan. Aku menghargai kepercayaan kamu
"Nggak nyangka bakalan ketemu kalian," bisik Dania, lebih menyerupai gumaman.Dania mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, matanya menatap lurus ke arah Hizam dan Leona yang berdiri di depannya.Leona menyindir, matanya memandang Dania dari atas ke bawah dengan sinis. “Kamu nggak capek, ya, selalu muncul di tempat-tempat yang nggak seharusnya untuk kamu?”Hizam ikut bicara, “Dania, lebih baik kamu berhenti memaksakan diri tampil di acara-acara kaum atas begini. Jangan mempermalukan dirimu!”Nada bicara dan raut wajah Hizam seakan-akan dia sedang menasehati karena peduli dengan Dania, padahal tidak sama sekali.Dania mengangkat satu alis, menyadari bahwa Leona dan Hizam mencoba mengintimidasinya.Namun, kali ini Dania tidak ingin terjebak dalam permainan mereka. Dia tersenyum tipis, menatap langsung ke mata Leona. “Aku justru ingin tau, apakah kamu udah membuat pernyataan maaf ke publik, Leona?” tanyanya dengan nada tenang namun menusuk.Hal ini hanya pihaknya dan Le
“L-lebih?” Hizam sampai nyaris tersedak karena kepercayaan diri Dania yang dia nilai keterlaluan.Ruangan seketika terdiam. Alina dan Zila saling bertukar pandang dengan ekspresi bingung.Namun, Hizam sudah bisa menguasai dirinya lagi dan menyeringai, tidak percaya bahwa Dania benar-benar akan mencobanya. “Baiklah, Dania,” katanya sambil melipat tangan di depan dada. “Buktikan!”Dania duduk di bangku piano dengan anggun setelah Hizam menyingkir dari sana.Tangan lentik Dania mulai menyentuh tuts-tuts piano dengan ujung jarinya, merasakan dinginnya gading dan hitamnya ebony di bawah jari-jarinya.Dia mengambil napas dalam, menutup matanya sejenak, dan mulai memainkan melodi yang lembut namun kuat, sebuah lagu klasik yang hanya bisa dimainkan oleh mereka yang memiliki latihan bertahun-tahun secara disiplin.“Astaga! Dia memainkan La Campanella milik Franz Liszt!” Pengantin wanita memekik pelan dan yang lainnya juga mengerti masterpiece ternama satu itu.Ketika jari-jari Dania bergerak,
“Astaga… jadi sekarang… biola?” Dania menatap heran ke Hizam.Melihat ekspresi Dania, Hizam salah paham mengira Dania gentar.“Hehe… kenapa emangnya? Kamu takut?” tantang Hizam. “Kamu yang berpura-pura jadi kaum jetset, keberuntunganmu sampai di sini saja! Sana cepat pulang dan jangan permalukan dirimu lebih jauh!”Dania hanya tersenyum tipis mendengar hinaan Hizam. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada seorang pemain biola dari quartet yang tadi ditunjuk Hizam.“Maaf, saya harus merepotkan Bapak dengan meminjam ini sebentar.” Dania mendekati pria itu dan dengan gerakan anggun, meminta izin untuk meminjam biola tersebut.“Tidak masalah, Nona. Silakan.”Pria itu yang sudah menyaksikan kemampuan Dania dengan piano, menyerahkan biolanya tanpa ragu.Kemudian, Dania kembali menghadap ke Hizam.“Kalau begitu, mari kita lihat apakah aku cuma bisa bermain piano? Apa keberuntunganku cuma sampai sini aja?” sindir Dania sambil memposisikan biola di bahunya.Dia memejamkan mata sejenak, m
“Astaga! Gadis semanis dan sepandai itu diperlakukan seperti babu di rumah Grimaldi?” Ada yang memekik tertahan di dekat Hizam.Namun, orang itu lekas menutup mulutnya begitu Hizam dan Leona mendelik ganas ke arahnya.“Ya, saya di rumah mantan mertua saya memang diperlakukan layaknya babu, jarang diberi istirahat, pagi sampai malam diperintah bersihkan ini, menata itu, memasak ini, bahkan saya tak boleh makan satu meja dengan mereka. Mencuri ilmu musik mereka? Mana sempat? Memangnya piano dan biola mereka bisa disetel mute?”Dengan berani, Dania mengungkapkan itu di depan semua orang yang hening dan termangu kaget. Tapi beberapa malah tertawa geli atas candaan Dania mengenai piano dan biola mute.Di sudut lain, Levi mengepalkan tangannya erat-erat. Sejak tadi dia menahan diri tidak mendekat ke putrinya meski untuk sekedar menyapa hanya karena tak ingin putrinya terkena gosip lagi.Dan kini, Levi tahu seperti apa perlakuan keluarga Grimaldi pada putrinya. Dia sudah melangkah, ingin mel
"Astaga!" jerit seseorang ketika melihat tangan Alina yang jatuh ke wajah cantik Dania.Namun, ada tangan lain yang terlebih dahulu sigap menangkap tangan Alina."Cukup, Nyonya." Suara bariton itu mengalun. "Cukuplah membuat suasana pesta menjadi suram. Berhenti mengumbar amarah Anda." Dania menoleh ke pria di sampingnya. "Rivan...." bisiknya lirih, cukup kaget karena ternyata pria itu ada di pesta ini juga.Alina mau tak mau menarik tangannya dari genggaman Rivan."Huh!" Alina tak jadi mengucapkan kata-katanya ketika dia melihat dirinya ditatap tajam oleh pria jangkung yang baru saja melindungi Dania.Dia tak boleh gegabah, karena tak tahu siapa dan apa latar belakang pria itu. Salah-salah, dia bisa menyinggung orang besar di belakang pria tersebut. Maka, dengan dengusan kasar, Alina pergi menjauh dari Dania untuk menghindari konflik dengan Rivan."Kamu nggak apa-apa?" tanya pengantin wanita ke Dania.Wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Kalau dirinya di posisi Dania, belum tentu dia