"Kinanti, aku khilaf dan tolong maafkan aku."Sejenak Kinanti berhenti tertawa lalu, beralih menatap wajah serius Adam."Benar kah?" Kinanti tersenyum seakan mengejek Adam."Kinanti, tolong maafkan aku.""Acting anda bagus tuan, cocok untuk menjadi aktor," ujar Kinanti dengan di iringi tawa, "katakan saja anda ingin saya mempertahankan janin ini dan setelah dia lahir anda akan merampasnya, licik sekali," tebak Kinanti."Aku tidak akan mengambilnya dari mu, kemarin aku mengatakan itu karena aku pikir kau dan pria itu sudah melakukan hal kotor dan aku sudah salah setelah mendengar semua penjelasan yang sebenarnya.""Benarkah?!" "Kinanti," Adam menatap Kinanti penuh harap, berharap mendapatkan maaf."Iya, karena, bagi mu aku ini jalang," Kinanti masih belum bisa melupakan rasa sakitnya.Adam sungguh membuat hati nya terluka begitu dalam.Adam tidak lagi berdebat, ia memilih keluar dari kamar lalu segera menuju dapur untuk membuatkan sepiring nasi goreng kesukaan Kinanti seperti biasanya
"Tidak perlu mengatakan jalang, aku ini tidak menggodanya terlebih dulu sehingga dia menikahi aku, kenapa mulutnya malah mengatakan bahwa aku jalang. Dia juga mungkin ragu ini anaknya," Kinanti memeluk perutnya merasa janin itu sangat malang sekali."Kalau dia ragu, dia tidak akan mati-matian mempertahankan anak itu, kau tahu? Dia mengabaikan Ibu Renata demi kamu, demi menjaga mu dan kandungan mu!" Kini bukan lagi Kinanti yang emosi, tapi Serena. Baginya Kinanti dan Adam sama-sama memiliki perasaan hanya saja tidak ada yang berani mengakuinya."Cepat minum vitamin ini, kalaupun kau tidak ingin meminumnya karena suami mu minimal demi anak mu."Serena meletakan beberapa butir obat pada telapak tangan Kinanti, lalu kembali mengambil mineral sisa Kinanti barusan.Kinanti masih diam sambil menatap butiran obat di tangannya."Tapi aku tidak rela jika anak ku nanti akan di ambil.""Minum obat itu sekarang, hilangkan pikiran buruk mu itu, memangnya kau tidak mencintai nya?" Tanya Serena pen
"Kau ingin aku menjadi pembunuh?!""Aku ingin mendapatkan maaf dari mu! Aku sudah mendengar penjelasan dari Nirwan!""Aku tidak peduli!" Kerasnya hati Kinanti tidak dapat di runtuh kan oleh Adam, rasa sakitnya sungguh terlalu hingga sulit untuk berdamai."Jangan terlalu lama berdiri," Adam memegang lengang Kinanti, takut nantinya malah membuatnya tubuh lemah itu terjatuh."Jangan pegang-pegang!""Aku hanya membantu mu, dan hanya ingin kandungan mu tetap baik-baik saja, bisa di selamatkan, setelah itu terserah pada mu, aku pun tidak akan pernah mengambil anak itu!" Jelas Adam, untuk yang kesekian kalinya berharap Kinanti mau mengerti jika ia seorang tidak berbohong."Kau janji?""Iya!"Kinanti menjatuhkan benda tajam di tangannya pada lantai, walaupun begitu masih belum ada kata maaf untuk Adam."Sebenarnya jika di suruh memilih memaafkan mu atau membunuh mu aku lebih memilih membunuh mu, tapi, aku masih waras dan ingin membesarkan anak ku!" Papar Adam. "Ayo Mas bantu, jangan terlalu
"Baiklah begini saja, mau mu sekarang apa asal bisa menerima maaf ku?" Tanya Adam dengan serius.Kinanti membuang pandangannya kesal pada Adam yang tidak memiliki pendirian."Kamu mau kita bercerai begitu kan?" Tanya Adam dengan susah payahnya.Kinanti beralih menatap Adam kembali, menatap wajah pria yang tidak tahu apa yang sebenarnya di inginkan nya."Baiklah, tapi sampai anak itu lahir, aku akan menepatinya, asal kamu mau memaafkan aku.""Kau tidak menepati janji mu, antara apa yang kau katakan hari ini dan kemarin saja berbeda!""Aku berjanji, kecuali kamu tidak memaafkan aku."Kinanti diam tapi sebenarnya ingin berteriak sekencang-kencangnya, jujur saja sudah tidak sanggup berada di posisi saat ini.Kinanti juga seorang wanita yang ingin bahagia, di cintai dan di hargai."Ya," Adam menatap manik mata Kinanti dengan dalam, "kali ini aku tidak akan berbohong dan tidak akan menyakitimu lagi, aku mohon, kau akan ku lepaskan setelah anak itu lahir tapi kau harus mengijinkan aku bertem
Pagi ini semua duduk di kursi meja makan dalam hening menikmati sarapan pagi bersama seperti biasanya."Ini tiket liburan, Kakak mau kalian beberapa hari ke depan honeymoon ke Bali, semua sudah di siapkan kalian tinggal berangkat saja."Hanna meletakan dua tiket liburan untuk Adam dan Renata, tidak ingin rumah tangga adiknya hancur menjadi alasan utama."Kak, aku sedang-""Tidak ada alasan!" Timpal Hanna dengan cepat."Sayang, ayolah, sudah lama sekali kau tidak memiliki waktu untuk ku," Renata memeluk lengan Adam.Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang ingin tumpah, perasaan Renata kini ada yang berbeda dari Adam.Cinta Adam tidak sebesar dulu, senyuman Adam tidak lagi setulus dulu, bahkan Adam tak pernah lagi menyentuhnya.Sakit tak berdarah tapi, terhina.Semalam saja Renata menawarkan diri tapi, Adam menolak dengan cara halus.Ini bukan Adam.Suaminya tidak begini."Adam!" Hanna menyadari raut wajah sedih Renata, hingga ia menatap adiknya dengan tajam."Adam, apa yang dikatak
"Dokter Adam mau bicara," Serena memberikan ponselnya pada Kinanti."CK!" Kinanti mendorong ponsel Serena tidak ada rasa tertarik untuk berbicara dengan Adam.Kinanti lebih memilih fokus pada makanan nya dan mulai makan dengan lahap dan berdoa semoga setelah ini tidak akan muntah lagi.Seharian muntah-muntah membuat nya menjadi lemas, bahkan bergerak saja begitu sulit."Kinan," Serena kembali memberikan ponselnya, berharap Kinanti mau berbicara walaupun hanya sebentar."Aku sedang makan."Kinanti menunjukkan piring yang kini berada di atas ranjang, dan ia duduk bersila, menyendok nasi dengan tangan kanan yang masih terpasang selang infus.Sebenarnya kemarin selan infus nya ada di tangan sebelah kiri tetapi, siang tadi Serena memindahkan ke tangan kanan karena tangannya kiri Kinanti mulai bengkak.Hampir satu Minggu sudah tangan Kinanti terpaksa di pasang infus, karena keadaan nya yang kadang-kadang mengkhawatirkan.Sehingga Adam belum mengijinkan Serena untuk melepas selang infusnya.
"Sayang."Adam tersentak saat tangan Renata dilingkarkan di perutnya, seketika itu pula ia memutuskan panggilan telpon yang masih terhubung dengan istri gelapnya. Kinanti.Adam masih bersyukur karena sudah tidak lagi memegang pisang keramatnya tapi, sejak kapan Renata keluar dari kamar."Adam," Renata memutari tubuh Adam, berpindah ke depan dengan perlahan tangannya melingkar di leher suaminya.Perlahan Adam pun memasukkan ponselnya ke dalam celana, memasang senyuman sekalipun masih di kuasai ketengan."Kamu kenapa? Kok, panik gitu?" "Kamu kenapa bangun?" Adam lebih memilih mengalihkan pembicaraan dibandingkan harus membahas hal yang bisa membuatnya bingung dengan jawaban dari setiap pertanyaan Renata."Aku, terbangun dan aku lihat kamu nggak ada, akhirnya aku nyariin kamu, ternyata kamu di luar," jelas Renata dengan senyum manja, "tapi, aku dengar barusan kamu teleponan, sama siapa?" Tanya Renata penuh selidik."Em, barusan Kak Hanna telpon, nanyain kamu," bohong Adam."Kak Hanna?"
Tiga hari ini Adam benar-benar meluangkan waktunya untuk Renata, membuat istri pertamanya bahagia tanpa ada bayang-bayang istrinya kedua Kinanti.Adam memfokuskan waktunya berlibur berdua untuk Renata, menjadikan istrinya seperti ratu sebagai ucapan maaf yang tak langsung keluar dari bibirnya."Sayang, aku sedang tidak ingin kembali ke Jakarta," Renata bergelayut manja pada lengan Adam.Beberapa hari ini Renata merasa Adam benar-benar setia padanya tanpa ada yang lain, sekalipun sebenarnya Renata masih ingin menanyakan mengenai ponsel Adam.Tapi, tidak masalah Renata lebih memilih bahagia dari pada terus menderita karena curiga."Sayang, nanti kita bisa kembali lagi, apa kau tidak rindu pada dua kurcaci kecil yang cerewet itu," Adam menarik Renata, mengecup beberapa kali."Vina?""Iya, siapa lagi kalau bukan suntel kentut itu.""Iya sih, ya udah kita balik."Renata mengangguk setuju, Adam memang sangat dekat dengan dua keponakan apa lagi Davina.Sehingga ia tidak bisa egois, lagi pula
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada