Sebenarnya Fikri sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Mentari, kemudian mengatakan bahwa permasalahannya dengan Diva sudah selesai.Bahkan Adam dan Kinanti meminta Mentari yang menggantikan Diva.Sayangnya kini Mentari sedang berada di luar kota, berdasarkan keterangan rumah sakit miliknya, tempat dimana Mentari bekerja.Pagi tadi Mentari sudah berangkat menuju Bandung, untuk menghadiri seminar bersama beberapa dokter lainnya.Artinya Fikri harus bersabar menunggu Mentari kembali, untuk mengatakan sesuatu yang sangat indah.Namun Fikri kesal, berapa kali mencoba menghubungi Mentari, tetapi tidak bisa.Sampai akhirnya dirinya sudah dikejar waktu, segera Fikri berangkat menuju Bandung melihat pembangunan hotel yang sedang berlangsung.Fikri tidak ingin membuat Adam kecewa, sehingga segera meninjau lokasi.Sesampainya di Bandung Fikri kembali mencoba untuk menghubungi Mentari.Tetapi sampai saat ini juga tidak bisa, akhirnya memutuskan menghubungi Tama untuk meminta bantuan melacak keb
"Fikri, aku tidak melakukan apapun dengan Tama. Dia hanya menolong ku, aku barusan diserempet motor. Kaki ku sakit, itu saja," jelas Mentari dengan secepat mungkin agar Fikri mendengarkan.Fikri tertawa mendengar penjelasan Mentari, menurutnya alasan itu terlalu pasaran untuk dijadikan sebagai pembela dirinya."Ow, apa aku percaya?" Fikri pun mendekatkan wajahnya, "tidak!" Imbuh Fikri lagi."Fikri, aku berani bersumpah.""Waw, benarkah?" Ejek Fikri.Hatinya begitu sakit saat melihat Mentari dipelukan Tama bahkan berada di hotel.Pikirannya terkuras habis untuk masalah ini, cintanya yang dikhianati terasa begitu sakit.Di saat semua sudah terselesaikan malah dibalas dengan pengkhianatan."Fikri, tolong dengarkan aku," suara Mentari begitu lembut, berharap Fikri bisa mendengarkan."Kita buktikan saja," Fikri mengangkat sebelah alis matanya dan menindih tubuh Mentari."Fikri, jangan!" Mentari menggeleng dengan wajah panik, dirinya takut jika malah Fikri merenggut kesuciannya detik ini ju
Akhirnya setelah beberapa usaha yang dilakukan oleh Fikri, kini Mentari dapat membuka matanya.Fikri pun bernapas lega setelah dari tadi panik bukan main.Jika sudah menyangkut Mentari tidak ada lagi yang bisa menenangkan hatinya, bahkan sampai begitu berlebihan sekalipun sebenarnya masalah tidak begitu rumit."Akhirnya kamu sadar juga."Mentari pun menjauh dari Fikri, kesal sekali mengingat apa yang barusan terjadi."Aku minta maaf," kata Fikri dengan penuh permohonan.Menyesali perbuatannya sendiri, tersadar kesalahannya begitu fatal.Andai ada cara untuk menebusnya, mengembalikan waktu untuk memperbaiki segala kesalahan.Maka Fikri akan melakukannya tanpa terkecuali.Tetapi wajah Mentari terlihat begitu kecewa atas apa yang barusan dilakukan oleh Fikri padanya.Hingga akhirnya Mentari melempar pandangannya ke arah lain, benar-benar tidak ingin melihat Fikri."Mentari," Fikri pun berpindah tempat, berharap Mentari dapat melihat wajahnya.Sayangnya Mentari kembali membuang pandangann
Buk!Buk!Zidan menghajar Fikri dengan kuatnya, bahkan tanpa hentinya.Adam hanya diam, duduk di sofa menyaksikan sebagai penonton.Apa yang bisa dilakukannya saat ini?Membiarkan putranya sampai babak belur.Di mata Adam yang benar tetaplah benar, sedangkan yang salah akan tetap salah sekalipun itu adalah anaknya sendiri.Tak terkecuali Fikri, apa yang dilakukan oleh Fikri memang sangat keterlaluan.Saat seseorang yang bertugas mengawasi setiap gerak-gerik Mentari pun melaporkan pada Zidan tentang Fikri yang dan Mentari berada di dalam kamar hotel saat ini.Bahkan mengatakan ada pertengkaran yang terjadi, sebelum akhirnya Fikri dan Mentari memasuki kamar.Setelah sampai dan masuk ke dalam kamar, tak perlu lagi menjelaskan semuanya.Saat Mentari hanya berbalut selimut dan Fikri yang sudah mengenakan celana sudah menjelaskan segalanya.Belum lagi ada bercak darah pada ranjang.Adam adalah dokter ahli kandungan, begitu pun dengan Zidan.Mungkin dengan kasat mata pun sudah tahu apa yang
Mentari dan Fikri hanya diam.Hening tanpa ada yang berbicara, sesekali Fikri melihat Mentari.Ingin memulai pembicaraan, tetapi tidak memiliki keberanian.Tetapi semua tidak akan selesai jika hanya diam, akhirnya Fikri pun mencoba duduk di samping Mentari.Kemudian diam dan kebingungan ingin memulainya dari mana."Aku nggak mau nikah sama kamu!" Kata Mentari dengan suara lantangnya.Fikri hanya diam dan membiarkan apa yang ingin dikatakan oleh Mentari.Fikri sadar dirinya adalah seorang pria bajingan dan sangat bersalah, hanya saja semua itu terjadi begitu saja.Karena perasaan cemburu yang tak dapat membuat kepalanya berpikir jernih.Lagi pula jika pun mengatakan tidak di bibir Mentari, tidak akan berpengaruh apa-apa.Sebab, Renata sendiri yang sudah memutuskan mereka harus menikah.Fikri sangat tahu seperti apa Mentari, pasti akan menuruti apapun yang dikatakan oleh Mommy nya itu."Kamu dengar aku nggak?" Mentari kesal saat melihat Fikri hanya diam saja seakan tidak mendengar.Pad
"Kalau kamu tidak mau, tidak masalah! Tidak usah menikah dengan aku! Biar aku cari laki-laki lain saja, yang benar-benar tulus pada ku. Aku tidak perduli mau dari kalangan bawah sekalipun asalkan bisa mencintai ku dengan tulus!"Perduli setan dengan cinta yang ada, saat ini Mentari hanya ingin menguji seberapa besar cinta Fikri padanya.Sebab, Mentari ragu untuk menikah dengan Fikri karena perlakuan kasar yang diterimanya.Fikri pun terdiam tanpa kata, apa lagi saat Mentari mengatakan untuk mencari laki-laki lain.Seketika wajahnya menjadi panik.Lihat saja jika benar itu terjadi, Fikri tidak akan pernah diam saja.Selama masih bernapas maka tidak akan ada yang bisa memiliki Mentari selain dirinya."Baiklah, aku akan menuruti keinginan mu!" Jawab Fikri dengan cepat, tanpa ingin berpikir panjang.Mentari menatap Fikri dengan penuh intimidasi, meyakinkan dirinya apakah Fikri sedang serius ataupun sedang berpikir keras cara mengelabuinya.Mengingat Fikri adalah tuan Arogan yang licik dan
Setelah memutuskan menyetujui persyaratan yang diberikan oleh Mentari, Akhirnya Mentari pun setuju untuk menikah dengan Fikri.Namun, tiba-tiba saja terdengar suara perut Fikri yang bernyanyi.Mentari pun terkejut mendengarnya.Sedangkan Fikri pun menyadari belum makan sebutir nasi sejak pagi tadi.Itu karena memikirkan Mentari, belum lagi kebagian saat Adam dan Kinanti memintanya menemui Mentari padi tadi.Namun, saat ini Fikri sadar. Bahwa makan cinta tidak mengenyangkan perut."Kamu lapar?" "Iya, kita cari makan ya."Mentari pun mengangguk, "Aku mandi dulu, kamu juga mandi sana.""Nggak boleh, kita belum menikah," tolak Fikri dengan penuh percaya diri.Mentari mendengar jawaban Fikri yang seakan-akan menolak dan membuatnya tersudutkan.Pada dasarnya tidak pernah mengajarkan Fikri untuk mandi bersama."Apanya? Aku minta kamu mandi di kamar kamu! Bukan di sini!" Mentari kesal dan mencubit lengan Fikri, mungkin dengan begitu bisa menyadarkan otak Fikri yang konslet."O, begitu? Kirai
Keesokan harinya Fikri pun siap menjalani peran barunya sebagai mana yang diinginkan oleh Mentari.Menjadi orang biasa.Fikri pun mencari Ujang, tukan kebun yang bekerja dikediamannya."Bunda, lihat Ujang?""Kalau tidak salah di kebun belakang, kenapa? Tumben sekali mencari Ujang?" Kinanti menatap pakaian Fikri.Biasanya jika pagi begini begitu rapi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja, malah pagi ini masih menggunakan baju santai."Fikri mau pinjam pakaian Ujang.""Pinjam?" Sarah yang tidak sengaja mendengar pun langsung ikut menimpali pembicaraan antara Kinanti dan Fikri."Iya, Oma. Tari, mau menikah dengan Fikri, syaratnya harus membeli cincin nikah dengan bekerja menjadi orang biasa, katanya yang benar-benar dari keringat Fikri sendiri.""Begitu," Sarah pun mangguk-mangguk merasa mengerti."Terus harus pakai pakaian Ujang, gitu?" Tanya Kinanti.Tampaknya cinta Fikri pada Mentari begitu besar, hingga siap melakukan apa saja."Fikri sekalian mau tanya, cari kerja jadi orang bias
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada