"Zidan, berhenti di depan situ."Zidan pun kembali menghentikan laju mobilnya, padahal belum juga setengah perjalanan menuju rumah."Apa?""Aku mau beli buah, aku ke ATM sebentar," segera Renata turun, lalu kembali setelah mengambil beberapa lembar rupiah dari ATM.Zidan terdiam saat tangan Renata menghitung beberapa lembar uang setelah mengambil dari mesin ATM."Katanya kamu nggak bawa dompet?" Akhirnya Zidan bertanya juga, sebab dirinya sendiri sedang kebingungan."Aku emang nggak bawa dompet," jawab Renata santai, sambil menatap ke depan."Tapi bisa narik uang di ATM?""Aku bawa ATM doang, aku selalu taruh di belakang ponsel," Renata memperlihatkan pada Zidan, kemudian menyimpan kembali ke dalam sakunya.Huuuufff.Zidan menarik napas dengan berat, jika ternyata istrinya membawa ATM mengapa dirinya harus repot-repot mencuci piring?"Kenapa nggak bilang!""Bilang apa?" Mendadak Renata meneguk saliva, merasa gemetaran saat wajah Zidan berjarak beberapa senti darinya.Glek.Terasa ber
"Happy birthday Mom!" Seru Mentari saat Renata akan memasuki kamarnya.Renata terkejut, matanya melebar seketika itu juga."Bukan happy birthday sayang," Mala pun menimpalinya, "happy anniversary, buat Mom dan Daddy," jelas Mala."Oh, iya. Maaf Mom, Tari salah," Mentari pun menunjukkan gigi ompong nya, melihat Renata dengan cengengesan.Zidan yang menyusul Renata pun ikut tercengang melihat sekitarnya.Anniversary?Dalam hati bertanya-tanya apakah benar hari ini adalah hari pernikahannya dengan Renata.Zidan tidak mengingat sama sekali."Kalian lupa ya?" Tanya Mala, "Mama ingat, makanya semua Mama siapkan bersama dengan Mentari," Mala tersenyum manis, dirinya sebenarnya ingin membuat suasana rumah menjadi nyaman.Renata pun bisa merasakan cinta yang besar di sekelilingnya, sehingga bisa menghadapi segala sesuatunya dengan senyuman dan juga kekuatan.Tidak merasa sendirian.Seiring dengan keluarga yang akan menjadi pendukung dalam suka maupun duka."Zidan?" Tanya Renata.Zidan pun meng
"Sepertinya iya."Dunia serasa berhenti berputar seketika, mendengar jawaban Renata rasanya cukup membuat hati tersentak hebat tiba-tiba.Sejak bertahun lamanya Zidan menantikan ini, menanti cinta dalam diamnya terbalas.Malam ini yang menjadi saksi dimana telinganya mendengar suara itu.Bahagia tiada terkira, dengan rasa tak percaya tapi inilah nyatanya."Renata!" Zidan pun menjauhkan dirinya, mencoba untuk menatap wajah Renata."Apa?""Kamu sadar nggak tadi ngomong apa?""Emang aku ngomong apa?" Tanya Renata kembali sambil memeluk Zidan.Ada rasa malu dan sedikit lucu, berteman sudah begitu lama tapi kini terasa begitu berbeda."Renata, jawab dulu! Kamu serius udah sayang sama aku?""Ish apaan sih!" Renata memilih memeluk Zidan dengan eratnya.Menyimpan wajahnya yang penuh raut bahagia.Malu tiada terkira saat menjawab pertanyaan tersebut dengan sebenarnya."Jawab dulu, atau aku nggak mau di peluk!" Zidan menjauh dan tidak ingin dipeluk oleh Renata."Ya udah, nggak mau, nggak papa!"
Malam pun berlalu, pagi menyapa dengan sinar matahari pagi yang menyapa.Pagi ini tampak berbeda dari pagi sebelumnya, karena ada cinta yang terucap setelah semalam saling mengungkapkan rasa.Rasa yang begitu indah penuh suka cita, siapa yang menyangka ternyata rumah tangga yang awalnya karena keterpaksaan itu bisa terbina setelah banyaknya rintangan yang menghadang.Siapa sangka pula ternyata mereka yang dulunya hanya teman kini malah menjadi teman hidup yang sejati."Selamat pagi Mom," sapa Zidan dengan tangan yang melingkar di perut Renata.Renata hanya diam tanpa menjawab, tubuhnya terasa dingin tidak seperti biasanya."Kamu kenapa?" Zidan pun segera bangkit dan melihat wajah Renata dengan jelas.Pucat dengan keringat dingin yang membanjiri, merintih menahan sakit yang kian terdengar."Renata, ada apa? Apa yang terjadi?" Wajah Zidan kian semakin panik, ketakutan tentunya melihat Renata.Ini bukan kali pertama, tetapi sudah berkali-kali. Entah bagaimana caranya meyakinkan Renata un
Sampai di depan ruang operasi, Zidan harus melepaskan tangan Renata.Tapi tidak, Zidan masih menggenggamnya dengan erat tanpa ingin melepaskan sama sekali.Genggam itu bukan sekedar tidak ingin dilepas, tapi juga karena takut ini akan menjadi yang terakhir kalinya keduanya saling menggenggam tangan."Sebentar," Renata meminta untuk sejenak berhenti mendorong brankar, tepat di depan pintu ruang operasi yang sudah terbuka lebar.Renata menatap Zidan yang terus saja menatapnya penuh air mata.Renata menggenggam erat tangan Zidan, setitik air mata yang menetes dengan bibir yang tersenyum."Aku tidak apa," kata Renata dengan nada suara bergetar.Zidan menggeleng dan tidak tahu harus berkata apa, kondisi ini sangat membuatnya menjadi tidak berdaya."Tapi aku punya satu keinginan," pinta Renata.Zidan pun menatap manik mata Renata, menantikan apa yang akan dikatakan oleh wanita yang dicintainya dari dulu sampai kini."Aku yakin aku akan baik-baik saja, tapi-" Renata sejenak terdiam sebab mata
Seorang wanita terbaring lemah tidak berdaya, keadaannya begitu memprihatinkan saat ini.Zidan menatap istrinya.Istri tercintanya yang sejak dulu sudah membuatnya jati hati.Bedanya kini semua lebih istimewa, setelah cinta lama terpendam kini terbalas sudah.Lebih dari sekedar mendapatkan berlian, balasan perasaan jauh lebih dari segalanya.Keadaan Renata saat ini setengah sadar.Selain karena pengaruh obat setelah operasi juga, karena keadaannya yang memang cukup buruk sebelumnya.Perasaan was-was tentu menyelimuti, rasa takut kehilangan cahaya hidupnya jelas terlihat nyata.Namun, di sini masih ada secercah harapan indah.Harapan untuk tetap bertahan hidup bersama, meskipun tanpa rahim.Renata sudah tidak memiliki rahim, walaupun begitu tidak lantas membuat Zidan meninggalkan Renata.Zidan masih menerima segala kekurangan Renata.Sudah ada dua anak, tentunya sudah lebih dari cukup, meskipun tidak tahu apakah bayi itu akan bertahan karena keadaannya yang begitu memprihatinkan.Rasa
Beberapa saat kemudian, Adam membuka semua peralatan medis yang terpasang pada tubuh Renata.Tidak ada lagi yang tersisa, semua benar-benar dilepaskan.Perlahan kain ditarik untuk menutupi seluruh tubuh wanita yang dicintai Zidan itu.Zidan pun tersentak melihatnya, Zidan cepat-cepat bangkit dari duduknya dengan perasaan bertanya-tanya.Kemudian terdengar suara tangisan.Semuanya berada di sana entah sejak kapan, menangisi Renata.Terutama Sindi menangis tersedu-sedu tiada henti setelah dokter mengatakan bahwa Renata sudah tidak lagi ada.Renata ikut menyusul kedua orang tua mereka."Aku sekarang sendiri Renata, kamu tega sekali meninggalkan aku juga. Aku tidak punya keluarga lagi," kata Sindi di sela-sela tangisnya.Renata sudah tiada, membuatnya menjadi seorang diri, tidak ada kerabat yang bisa menjadi tempat curhatnya seperti selama ini."Sindi sabar, ada kami," Mala memeluk Sindi dengan eratnya.Bukan hanya Sindi yang terpukul atas kepergian Renata.Kinanti, Serena dan Zahra pun i
Kinanti bersama Serena pun memasuki kamar rawat Renata, melihat keadaan Renata pasca melahirkan secara sesar.Tetapi keduanya terkejut melihat Zidan yang sedang menangis dan berteriak ketakutan. Mungkin bermimpi, sepertinya mimpi buruk yang sangat buruk hingga berteriak terus-menerus."Kak Zidan! Kak!" Serena berusaha membangunkan Zidan.Tetapi begitu sulit hingga mengambil mineral dan menuangkan pada wajah Zidan.Bukan berniat tidak sopan, tetapi Serena merasa kasihan pada Zidan yang menangis tersedu-sedu terus-menerus dan sulit untuk terbangun.Benar saja, setelah air itu mengenai wajah nya Zidan pun terbangun seketika itu juga.Dirinya menatap sekitarnya, ada Kinanti dan Serena di sana.Sekalipun sudah menggerakkan pundaknya sekencang mungkin."Renata!" Zidan melihat Renata begitu panik.Dengan refleks menggerak-gerakkan tubuh Renata, ketakutan jelas terlihat di wajah Ayah dua orang anak tersebut.Serena merasa kasihan pada Renata yang terus terguncang karena Zidan, dengan cepat me