Setelah mengetahui keadaan anaknya Irma pun segera menuju rumah sakit untuk melihat keadaan anaknya.Tangis Irma tak terbendung saat melihat wajah pucat putri bungsunya, baru saja kemarin hari mereka bertemu dan bersenda gurau. Akan tetapi, hari ini sudah melihat anaknya terbaring lemah di atas brankar rumah sakit."Kemarin pas ketemu Mama kamu masih baik-baik saja, kenapa malah begini?""Nggak papa Ma, aku kecapean aja," jawab Renata menyembunyikan penyebab utama dirinya menjadi pasien di rumah sakit Pelita Bunda."Kamu harus sembuh.""Iya Ma.""Jeng, malam ini kita nginap di sini saja, bagaimana?" Tanya Mala."Iya, sepertinya begitu lebih baik," Irma pun memilih setuju tanpa menolak.Lagi pula dirinya tak akan bisa tenang sebelum anaknya pulang ke rumah.Malam harinya Mala dan Irma menemani Renata menginap di rumah sakit.Renata yang sudah terlelap sedangkan Mala dan Irma masih duduk di sofa sambil bercerita tentang hal-hal yang menurut mereka menarik."Jeng, saya kok nggak ngeliha
Makasih buat Kakak pembaca setia, karena nggak ada yang mau di kasih GA.Maka Author kasih bab gratis.Hehehe.Selamat membaca.Renata sudah di perbolehkan untuk pulang, selama beberapa hari ini Zidan ikut mengurus Renata selama di rawat di rumah sakit.Itupun karena, Mala. Jika, saja bukan karena, ancaman tentunya Zidan akan menolak terang-terangan. "Cepat makan sendiri, tidak usah manja!" Zidan meletakkan makanan pada meja nakas dengan kuat, bahkan mineral di dalam gelas ikut bergoyang dan sedikit keluar."Jangan pernah merasa di atas angin setelah beberapa hari ini kau terus menjadi pemenangnya!""Zidan!"Mala masuk dengan tergesa-gesa, telinganya mendengar bentakan Zidan begitu kasar. Amarahnya ingin sekali meluap, akan tetapi masih di tahan sebab, besannya Irma masih berada di rumahnya setelah pagi tadi mengantarkan Renata kembali ke rumah.Zidan pun memilih diam merasa tak ingin berdebat dengan sang Mama yang hanya berakhir membuatnya tersudutkan.Tak lama berselang Irma menyus
Huuueekk........ Huuueekkk........ Huuueekkk........Sejenak Renata terdiam di depan cermin, lama dirinya menatap wajah sambil menantikan sebuah alat uji kehamilan yang baru saja di gunakan.Beberapa hari ini merasa ada yang berbeda darinya, bahkan Renata memberanikan diri untuk memakai alat uji kehamilan secara diam-diam.Mata Renata melebar sempurna melihat dua garis merah yang muncul."Ya ampun," Renata menengadah ke atas, menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk membantu meredakan segala keterkejutan ini.Salahkan jika dirinya tak mengharapkan kehamilan ini?Mungkin!Akan tetapi, apa yang harus di katakan semua sudah terjadi.Akankah Zidan dapat menyayangi dirinya setelah mengetahui kehamilannya ini."Renata," Mala berdiri di ambang pintu.Renata pun berbalik dan bertemu pandang dengan Mala."Mama, minta maaf karena, kemarin sudah bikin kamu sedih. Maksud Mama nggak gitu, kamu mau 'kan memaafkan Mama?" Lirih Mala sambil menangkup kedua tangannya, berharap Renata tak lagi marah pad
Mendengar kabar yang sangat membahagiakan akan kehamilan putrinya tentu sangatlah membahagiakan.Apa lagi ini adalah kebahagiaan yang di tunggu selama ini.Irma segera meninggalkan butiknya untuk memeluk putrinya dan mengucapkan selamat. "Akhirnya jeng Irma datang," Mala menyambut dengan antusias, calon nenek itu tanpa sangat bahagia menarik cucu pertamanya."Jeng selamat ya, akhirnya akan jadi nenek," keduanya berpelukan penuh bahagia, kedepannya akan menantikan kehadiran anggota keluarga baru."Tentu, selamat buat Jeng Irma juga," ujar Mala tak ingin lupa membagi bahagianya."Sekarang Renata dimana?""Di kamar, kita langsung ke kamar saja."Sampai di depan pintu kamar pun Mala yang sudah tak sabar langsung memutar gagang pintu, mendorongnya dengan perlahan dan pintu pun terbuka lebar."Jangan pernah berpikir aku akan menerima mu! Kau itu hanya jalan murahan yang tak laku di luar sana!" Papar Zidan.Rasa bahagia Irma hancur berkeping-keping, mendengar hinaan yang keluar dari bibir Z
Irma terus saja memeluk putrinya dengan erat, saat perjalanan pulang hingga sampai di rumah.Hati wanita itu begitu sakit dan terluka.Wanita mana yang tak sakit hati melihat putrinya dikasari di depan mata kepalanya sendiri.Renata pun hanya diam, di tengah teriknya matahari tapi malah ada air yang membasahi dirinya.Air mata Irma seakan mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung, sekalipun beruang kali menyekatnya."Renata nggak papa 'kok, Ma."Tak ingin membagi luka Renata tak menunjukkan rasa sakitnya yang teramat dalam, biarlah luka hanya di tanggung sendiri tanpa ingin membagi walaupun hanya secuil saja.Sayangnya Irma tak percaya sama sekali, apapun yang di katakan oleh Renata tak akan mampu mengubah pandangannya terhadap Zidan.Mata kepalanya menyaksikan sendiri, bagaimana mungkin ada alasan lagi setelahnya. Konyol."Mama jangan menangis lagi, Renata baik-baik saja," berulangkali Renata mencoba meyakinkan Irma, sayangnya air mata pilu meratapi nasib putrinya tak pernah bisa be
"Waw, ini luar biasa. Mungkinkah mereka itu sudah bercerai?"Zoya mengintip dari kejauhan, tampak ada ketegangan yang terjadi di antara Irma dan Zidan.Bahkan, saat bertemu dengan Renata pun keduanya begitu dingin.Baiklah, sampai di sini bisa di simpulkan bahwa ada yang tidak beres.Akan tetapi, di rasa sangat menguntungkan baginya. Kenapa tidak?Bukankah sudah pasti dengan mudah bisa mendapatkan Zidan.Oh, rasanya seperti permen mint yang menyegarkan. Ada salju yang turun membayangkan akan menjadi nyonya Zidan.Belum lagi di kampung akan dipamerkan, tentu sangat membanggakan sekali."Mikirin apa woy?!" Zahra meninju pundak Zoya, dirinya melihat Zoya begitu bahagia menyaksikan kesedihan Renata."Urus diri sendiri!" Zoya kesal dan memilih pergi menyusul Zidan menuju ruang kerja.Menarik napas sebanyak-banyaknya, menyemprotkan parfum ke bagian bajunya. Kemudian merapikan rambut lalu, melangkah masuk.Zoya melihat Zidan sedang kusut, bukankah jika begini dirinya bisa memasang badan mung
"Zidan, sakit!" Teriak Renata sambil berusaha untuk melepaskan diri, sayangnya cengkraman tangan Zidan begitu kuat.Tenaganya sama sekali tidak sebanding dengan tenaga laki-laki, sekalipun meronta-ronta hati Zidan terlalu keras untuk diluluhkan.Hati sekeras batu itu terlaku kokoh akan pendiriannya.Lihat saja saat ini pun tangan Zidan malah semakin kuat dalam mencengkram lengan bagian atasnya, semakin dirinya menjerit kesakitan maka semakin kuat cengkraman tersebut.Tanpaknya hati Zidan akan bahagia saat menyaksikan kesakitan yang semakin lama menggerogoti tubuh Renata.Mungkin air mata yang tumpah akan semakin membuat rasa puas pula di hati Zidan."Zidan, aku mohon. Sakit......" Air mata Renata menetes menikmati rasa sakit yang kian semakin dalam.Entah sampai kapan Zidan dapat melepaskannya, iba melihat dirinya yang menderita sebab, terus di siksa tanpa ada hentinya."Apa ini sakit?" Zidan berpindah menarik rambut bagian belakang Renata, semakin mencengkram kuat hingga wajah Renat
Hembusan angin terasa begitu dingin, di sela waktu bekerja, pikiran pun kembali menerawang hingga menembus kegelapan.Malam dengan hujan rintik-rintik membuat suasana menjadi lebih dingin, di tambah lagi sekeliling yang terasa hening.Bersandar pada kursi dengan kaki yang di letakkan di atas meja, sebelah tangan menopang kepalanya bertanya-tanya apakah janin itu masih ada.Renata pun entah ke mana, sudah dua hari mencoba mencari tahu tetapi, sampai saat ini pun belum menemukan titik terang.Ingin bertanya pada Mala pun rasanya terlalu berat, yang akan di dapat nantinya bukan jawaban melainkan cacian.Sulit di mengerti oleh akal sehat."Dokter, sudah tengah malam. Saya tidak berani pulang malam-malam begini, bisakah saya menumpang dengan anda. Kebetulan arah tempat tinggal saya satu arah dengan rumah anda."Zidan mengangkat kepalanya dan menatap pintu yang terbuka, ada seorang wanita yang berdiri di sana.Suara wanita tersebut mampu membuatnya tersadar dari lamunan.Tapi itu Renata, mu
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada