Makasih buat Kakak pembaca setia, karena nggak ada yang mau di kasih GA.Maka Author kasih bab gratis.Hehehe.Selamat membaca.Renata sudah di perbolehkan untuk pulang, selama beberapa hari ini Zidan ikut mengurus Renata selama di rawat di rumah sakit.Itupun karena, Mala. Jika, saja bukan karena, ancaman tentunya Zidan akan menolak terang-terangan. "Cepat makan sendiri, tidak usah manja!" Zidan meletakkan makanan pada meja nakas dengan kuat, bahkan mineral di dalam gelas ikut bergoyang dan sedikit keluar."Jangan pernah merasa di atas angin setelah beberapa hari ini kau terus menjadi pemenangnya!""Zidan!"Mala masuk dengan tergesa-gesa, telinganya mendengar bentakan Zidan begitu kasar. Amarahnya ingin sekali meluap, akan tetapi masih di tahan sebab, besannya Irma masih berada di rumahnya setelah pagi tadi mengantarkan Renata kembali ke rumah.Zidan pun memilih diam merasa tak ingin berdebat dengan sang Mama yang hanya berakhir membuatnya tersudutkan.Tak lama berselang Irma menyus
Huuueekk........ Huuueekkk........ Huuueekkk........Sejenak Renata terdiam di depan cermin, lama dirinya menatap wajah sambil menantikan sebuah alat uji kehamilan yang baru saja di gunakan.Beberapa hari ini merasa ada yang berbeda darinya, bahkan Renata memberanikan diri untuk memakai alat uji kehamilan secara diam-diam.Mata Renata melebar sempurna melihat dua garis merah yang muncul."Ya ampun," Renata menengadah ke atas, menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk membantu meredakan segala keterkejutan ini.Salahkan jika dirinya tak mengharapkan kehamilan ini?Mungkin!Akan tetapi, apa yang harus di katakan semua sudah terjadi.Akankah Zidan dapat menyayangi dirinya setelah mengetahui kehamilannya ini."Renata," Mala berdiri di ambang pintu.Renata pun berbalik dan bertemu pandang dengan Mala."Mama, minta maaf karena, kemarin sudah bikin kamu sedih. Maksud Mama nggak gitu, kamu mau 'kan memaafkan Mama?" Lirih Mala sambil menangkup kedua tangannya, berharap Renata tak lagi marah pad
Mendengar kabar yang sangat membahagiakan akan kehamilan putrinya tentu sangatlah membahagiakan.Apa lagi ini adalah kebahagiaan yang di tunggu selama ini.Irma segera meninggalkan butiknya untuk memeluk putrinya dan mengucapkan selamat. "Akhirnya jeng Irma datang," Mala menyambut dengan antusias, calon nenek itu tanpa sangat bahagia menarik cucu pertamanya."Jeng selamat ya, akhirnya akan jadi nenek," keduanya berpelukan penuh bahagia, kedepannya akan menantikan kehadiran anggota keluarga baru."Tentu, selamat buat Jeng Irma juga," ujar Mala tak ingin lupa membagi bahagianya."Sekarang Renata dimana?""Di kamar, kita langsung ke kamar saja."Sampai di depan pintu kamar pun Mala yang sudah tak sabar langsung memutar gagang pintu, mendorongnya dengan perlahan dan pintu pun terbuka lebar."Jangan pernah berpikir aku akan menerima mu! Kau itu hanya jalan murahan yang tak laku di luar sana!" Papar Zidan.Rasa bahagia Irma hancur berkeping-keping, mendengar hinaan yang keluar dari bibir Z
Irma terus saja memeluk putrinya dengan erat, saat perjalanan pulang hingga sampai di rumah.Hati wanita itu begitu sakit dan terluka.Wanita mana yang tak sakit hati melihat putrinya dikasari di depan mata kepalanya sendiri.Renata pun hanya diam, di tengah teriknya matahari tapi malah ada air yang membasahi dirinya.Air mata Irma seakan mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung, sekalipun beruang kali menyekatnya."Renata nggak papa 'kok, Ma."Tak ingin membagi luka Renata tak menunjukkan rasa sakitnya yang teramat dalam, biarlah luka hanya di tanggung sendiri tanpa ingin membagi walaupun hanya secuil saja.Sayangnya Irma tak percaya sama sekali, apapun yang di katakan oleh Renata tak akan mampu mengubah pandangannya terhadap Zidan.Mata kepalanya menyaksikan sendiri, bagaimana mungkin ada alasan lagi setelahnya. Konyol."Mama jangan menangis lagi, Renata baik-baik saja," berulangkali Renata mencoba meyakinkan Irma, sayangnya air mata pilu meratapi nasib putrinya tak pernah bisa be
"Waw, ini luar biasa. Mungkinkah mereka itu sudah bercerai?"Zoya mengintip dari kejauhan, tampak ada ketegangan yang terjadi di antara Irma dan Zidan.Bahkan, saat bertemu dengan Renata pun keduanya begitu dingin.Baiklah, sampai di sini bisa di simpulkan bahwa ada yang tidak beres.Akan tetapi, di rasa sangat menguntungkan baginya. Kenapa tidak?Bukankah sudah pasti dengan mudah bisa mendapatkan Zidan.Oh, rasanya seperti permen mint yang menyegarkan. Ada salju yang turun membayangkan akan menjadi nyonya Zidan.Belum lagi di kampung akan dipamerkan, tentu sangat membanggakan sekali."Mikirin apa woy?!" Zahra meninju pundak Zoya, dirinya melihat Zoya begitu bahagia menyaksikan kesedihan Renata."Urus diri sendiri!" Zoya kesal dan memilih pergi menyusul Zidan menuju ruang kerja.Menarik napas sebanyak-banyaknya, menyemprotkan parfum ke bagian bajunya. Kemudian merapikan rambut lalu, melangkah masuk.Zoya melihat Zidan sedang kusut, bukankah jika begini dirinya bisa memasang badan mung
"Zidan, sakit!" Teriak Renata sambil berusaha untuk melepaskan diri, sayangnya cengkraman tangan Zidan begitu kuat.Tenaganya sama sekali tidak sebanding dengan tenaga laki-laki, sekalipun meronta-ronta hati Zidan terlalu keras untuk diluluhkan.Hati sekeras batu itu terlaku kokoh akan pendiriannya.Lihat saja saat ini pun tangan Zidan malah semakin kuat dalam mencengkram lengan bagian atasnya, semakin dirinya menjerit kesakitan maka semakin kuat cengkraman tersebut.Tanpaknya hati Zidan akan bahagia saat menyaksikan kesakitan yang semakin lama menggerogoti tubuh Renata.Mungkin air mata yang tumpah akan semakin membuat rasa puas pula di hati Zidan."Zidan, aku mohon. Sakit......" Air mata Renata menetes menikmati rasa sakit yang kian semakin dalam.Entah sampai kapan Zidan dapat melepaskannya, iba melihat dirinya yang menderita sebab, terus di siksa tanpa ada hentinya."Apa ini sakit?" Zidan berpindah menarik rambut bagian belakang Renata, semakin mencengkram kuat hingga wajah Renat
Hembusan angin terasa begitu dingin, di sela waktu bekerja, pikiran pun kembali menerawang hingga menembus kegelapan.Malam dengan hujan rintik-rintik membuat suasana menjadi lebih dingin, di tambah lagi sekeliling yang terasa hening.Bersandar pada kursi dengan kaki yang di letakkan di atas meja, sebelah tangan menopang kepalanya bertanya-tanya apakah janin itu masih ada.Renata pun entah ke mana, sudah dua hari mencoba mencari tahu tetapi, sampai saat ini pun belum menemukan titik terang.Ingin bertanya pada Mala pun rasanya terlalu berat, yang akan di dapat nantinya bukan jawaban melainkan cacian.Sulit di mengerti oleh akal sehat."Dokter, sudah tengah malam. Saya tidak berani pulang malam-malam begini, bisakah saya menumpang dengan anda. Kebetulan arah tempat tinggal saya satu arah dengan rumah anda."Zidan mengangkat kepalanya dan menatap pintu yang terbuka, ada seorang wanita yang berdiri di sana.Suara wanita tersebut mampu membuatnya tersadar dari lamunan.Tapi itu Renata, mu
Satu Minggu kemudian.Keadaan sudah kembali pulih, Mala pun sudah tak lagi larut dalam kesedihannya apa lagi pernikahan Serena sudah di depan mata.Dirinya sudah ikhlas pada calon cucunya yang sudah tiada.Kecuali Zidan.Entah apa yang terjadi padanya, kini hanya memilih menyendiri dan tidak mengijinkan siapapun masuk ke dalam kamarnya.Kesehariannya hanya di dalam kamar, diam tanpa bicara. Kamar tersebut masih sama, tak di bersihkan sama sekali, sampai sprei pun tak boleh di ganti.Saat ini pun sedang waktunya libur dari pekerjaan, dirinya memilih menyendiri di temani dengan bayangan wajah Renata yang selalu melintas di benaknya.kadang juga terlelap dalam duduknya, tubuh tak terurus dengan rambut yang mulai panjang tersebut, membuktikan sedikit banyaknya bertapa Zidan menyesali kehilangan calon anaknya.Kedua anaknya tak berhasil di lahirkan dari rahim Renata._________________________Sementara itu di sisi lainnya Mala tengah di sibukkan dengan acara pernikahan Serena dan Bayu.Ta