Renata kembali pulang ke kediaman Zidan, walaupun hanya sebentar mengunjungi rumah kedua orang tuanya cukup melepaskan rasa rindu yang terpendam.Tapi rumah cukup sepi, membuat Renata bingung dan bertanya-tanya."Bik," seorang kepala Art melewati Renata, "orang-orang pada kemana? Kok, rumah kayaknya sepi banget?""Ibu sama Bapak dan Neng Serena hari ini pergi sama calon suami nya Neng Serena. Saya juga lupa kemana? Padahal tadi Ibu udah bilang, sekalian minta di bilang kalau nanti Non Renata pulang," Art itu tersenyum menggaruk kepalanya sambil mengingat kemana barusan majikannya berpamitan pergi."Udah, nggak usah di pikirkan segitunya. Mungkin Serena nikah kantor sama Bayu," Renata tersenyum melihat wajah lucu Bik Sumi yang terus saja berpikir keras mengenai ke mana pergi majikannya."Iya mungkin ya Non, maaf ya Non, Bibik sudah tua, suka lupa.""Nggak papa Bik.""Tapi Den Zidan di kamar kayaknya Non.""Renata ke kamar dulu ya Bik."Segera Renata menuju kamar, dirinya butuh istiraha
"Kenapa dia menjadi bajingan," Mala memeluk Serena dengan erat, menangis tersedu-sedu merasakan kekecewaan yang begitu dalam.Sesaat kemudian Serena melihat kelopak mata Renata terbuka, dirinya merasa kini berada di tempat berbeda.Mengingat sebelumnya berada di rumah, dirinya mencoba bangun dari atas ranjang untuk membersihkan diri.Sayangnya belum sampai di kamar mandi dirinya terjatuh dan sudah tak mengingat apapun.Mungkinkah dirinya jatuh pingsan? Lalu kini berada di rumah sakit? Matanya pun melihat tangan yang menggunakan selang infus, tanpaknya memang benar dirinya sudah berada di rumah sakit.Siapa yang membawanya?Apakah Zidan?Seketika matanya melihat Mala yang tengah menangis tersedu-sedu.Kini Renata yakin Mala yang membawanya menuju rumah sakit. Akan tetapi, Renata tak menyangka bahwa Mala menangis hanya untuk dirinya.Apakah mertuanya itu sebenarnya memiliki hati yang baik, hanya saja memang mulutnya yang suka berbicara dengan bahasa kasar.Bahkan suka mengomel jika s
"Mending kamu bilang suami kamu aja buat lempar dia dari rumah sakit ini!" Geram Serena tak ada habisnya pada Zoya, hubungan mereka selama ini cukup baik. Bekerja pun seringkali bersama, dan memiliki kerjasama yang cukup baik.Namun, siapa sangka sampai di sini ternyata Zoya tak sebaik itu, Serena baru tahu akal licik wanita tersebut."Jangan, ngapain?" jawab Kinanti santai sambil bersandar di dinding, bahkan melipat kedua tangannya di dada.Serena tersentak mendengar kata jangan dari sahabatnya tersebut, "Jangan bilang kamu dukung dia!" Tebak Serena, jika saja benar begitu saat ini, detik ini pun Serena akan memikul kepala Kinanti."Nggak dong, ngapain! Cuman, biarkan saja Zoya tetap berada di dekat Zidan. Nanti........" Kinanti berbisik pada Serena mengenai sebuah ide di kepalanya.Serena pun mengangguk setuju, sekalipun dirinya sedikit ragu. Tapi, tak salahnya mencoba."Boleh di coba, biar Kak Zidan juga paham. Lagian memang kalau kita memaksa dengan keras Kak Zidan nggak akan sad
"Apa kamu bahagia mendengarnya?"Setelah memastikan Ferdian pergi Zidan pun menatap Renata penuh intimidasi, ingin mendengar jawaban langsung dari istrinya tersebut.Lagi pula jika tidak di selesaikan dengan secara langsung bisa saja Renata merasa besar kepala, apa lagi sampai menganggap rendah dirinya."Merasa di awan, karena, di sanjung barusan. Atau merasa hebat karena sudah bisa mendapatkan laki-laki lain lagi sebelum bercerai?"Zidan masih terus berbicara sekalipun Renata hanya diam tanpa bicara, lagi pula sebentar lagi pasti Mala pun datang. Artinya, tidak akan leluasa untuk berbicara pada Renata lagi."Kamu lihat wajah ku ini? Ini karena, kamu. Karena, kamu pandai bermuka dua dan membuat keluarga ku berpihak pada mu dalam hitungan waktu, kamu hebat."Zidan tersenyum sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam masing-masing saku celananya, masih menatap Renata begitu pun sebaliknya."Andai saja aku tak pernah menikah dengan mu! Tidak menyetujui keinginan mu untuk di nikahi! Tentu
Setelah mengetahui keadaan anaknya Irma pun segera menuju rumah sakit untuk melihat keadaan anaknya.Tangis Irma tak terbendung saat melihat wajah pucat putri bungsunya, baru saja kemarin hari mereka bertemu dan bersenda gurau. Akan tetapi, hari ini sudah melihat anaknya terbaring lemah di atas brankar rumah sakit."Kemarin pas ketemu Mama kamu masih baik-baik saja, kenapa malah begini?""Nggak papa Ma, aku kecapean aja," jawab Renata menyembunyikan penyebab utama dirinya menjadi pasien di rumah sakit Pelita Bunda."Kamu harus sembuh.""Iya Ma.""Jeng, malam ini kita nginap di sini saja, bagaimana?" Tanya Mala."Iya, sepertinya begitu lebih baik," Irma pun memilih setuju tanpa menolak.Lagi pula dirinya tak akan bisa tenang sebelum anaknya pulang ke rumah.Malam harinya Mala dan Irma menemani Renata menginap di rumah sakit.Renata yang sudah terlelap sedangkan Mala dan Irma masih duduk di sofa sambil bercerita tentang hal-hal yang menurut mereka menarik."Jeng, saya kok nggak ngeliha
Makasih buat Kakak pembaca setia, karena nggak ada yang mau di kasih GA.Maka Author kasih bab gratis.Hehehe.Selamat membaca.Renata sudah di perbolehkan untuk pulang, selama beberapa hari ini Zidan ikut mengurus Renata selama di rawat di rumah sakit.Itupun karena, Mala. Jika, saja bukan karena, ancaman tentunya Zidan akan menolak terang-terangan. "Cepat makan sendiri, tidak usah manja!" Zidan meletakkan makanan pada meja nakas dengan kuat, bahkan mineral di dalam gelas ikut bergoyang dan sedikit keluar."Jangan pernah merasa di atas angin setelah beberapa hari ini kau terus menjadi pemenangnya!""Zidan!"Mala masuk dengan tergesa-gesa, telinganya mendengar bentakan Zidan begitu kasar. Amarahnya ingin sekali meluap, akan tetapi masih di tahan sebab, besannya Irma masih berada di rumahnya setelah pagi tadi mengantarkan Renata kembali ke rumah.Zidan pun memilih diam merasa tak ingin berdebat dengan sang Mama yang hanya berakhir membuatnya tersudutkan.Tak lama berselang Irma menyus
Huuueekk........ Huuueekkk........ Huuueekkk........Sejenak Renata terdiam di depan cermin, lama dirinya menatap wajah sambil menantikan sebuah alat uji kehamilan yang baru saja di gunakan.Beberapa hari ini merasa ada yang berbeda darinya, bahkan Renata memberanikan diri untuk memakai alat uji kehamilan secara diam-diam.Mata Renata melebar sempurna melihat dua garis merah yang muncul."Ya ampun," Renata menengadah ke atas, menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk membantu meredakan segala keterkejutan ini.Salahkan jika dirinya tak mengharapkan kehamilan ini?Mungkin!Akan tetapi, apa yang harus di katakan semua sudah terjadi.Akankah Zidan dapat menyayangi dirinya setelah mengetahui kehamilannya ini."Renata," Mala berdiri di ambang pintu.Renata pun berbalik dan bertemu pandang dengan Mala."Mama, minta maaf karena, kemarin sudah bikin kamu sedih. Maksud Mama nggak gitu, kamu mau 'kan memaafkan Mama?" Lirih Mala sambil menangkup kedua tangannya, berharap Renata tak lagi marah pad
Mendengar kabar yang sangat membahagiakan akan kehamilan putrinya tentu sangatlah membahagiakan.Apa lagi ini adalah kebahagiaan yang di tunggu selama ini.Irma segera meninggalkan butiknya untuk memeluk putrinya dan mengucapkan selamat. "Akhirnya jeng Irma datang," Mala menyambut dengan antusias, calon nenek itu tanpa sangat bahagia menarik cucu pertamanya."Jeng selamat ya, akhirnya akan jadi nenek," keduanya berpelukan penuh bahagia, kedepannya akan menantikan kehadiran anggota keluarga baru."Tentu, selamat buat Jeng Irma juga," ujar Mala tak ingin lupa membagi bahagianya."Sekarang Renata dimana?""Di kamar, kita langsung ke kamar saja."Sampai di depan pintu kamar pun Mala yang sudah tak sabar langsung memutar gagang pintu, mendorongnya dengan perlahan dan pintu pun terbuka lebar."Jangan pernah berpikir aku akan menerima mu! Kau itu hanya jalan murahan yang tak laku di luar sana!" Papar Zidan.Rasa bahagia Irma hancur berkeping-keping, mendengar hinaan yang keluar dari bibir Z