Kini Damian akan mengetahui siapa yang sudah menguntit Karissa akhir-akhir ini.
Hampir saja Damian menarik masker pria itu, lebih dulu ada sebuah pukulan dari benda berat menghantam belakang kepalanya dengan hebat.
“Aggh!”
Dengan rasa sakit yang luar biasa itu Damian masih sempat berbalik ke belakang untuk melawan. Sialnya, musuh dengan wajah tertutup masker itu langsung melempar bubuk bius ke wajah Damian.
Meski Damian langsung menutup hidung dengan tangan, tetap saja sudah ada bubuk dosis tinggi yang terhirup. Membuat tenaga pria itu perlahan meredup. Kaki yang biasa kuat, kini hanya bisa sempoyongan saat berusaha menggapai orang itu.
Sampai pandangan matanya memudar. Tak lama, Damian pun ambruk tak sadarkan diri.
***
Sementara di rumah duka, entah kenapa Karissa tersentak karena belakang kepalanya mendadak berdenyut.
“Kamu kenapa, Karissa?” tanya Ben yang ada di samping perempuan itu.
Karissa m
Ben menatap Karissa dengan mata berkilat. Senyum liciknya juga melengkung samar ketika perempuan di depannya mulai meminum jeruk hangat yang dia buat.“Habiskan, Karissa. Jika kurang, aku bisa membuatkannya lagi,” ucap Ben, kemudian dia meminum minumannya sendiri dengan tenang.“Kak ....” Panggilan dari kamar menarik atensi mereka berdua.Karissa yang sudah menghabiskan setengah gelas berniat beranjak.“Biar aku saja. Kamu habiskan makanan dan minumannya,” cegah Ben.Baiklah, Karissa menurut. Dia kembali memakan sup sambil sesekali melihat ke arah pintu. Sangat berharap Shiena tidak kenapa-kenapa di sana.“Aku jadi rindu Daddy,” gumamnya.Dia ingat ibunya yang telah tiada, jadinya ingat sang ayah di sana. Apa kabar ayahnya? Sejak dia mengirim uang 2 milyar, Darla tak pernah lagi menghubunginya. Vincent pun hanya mengabarkan seperlunya.Lalu Damian.Entah mengapa sejak dia merasa kepala tiba-tiba pusing, hatinya terus merasa resah dan terus memikirkan suaminya itu.“Untuk apa aku mengkh
“Damian sudah pulang?” tanya Karissa pada pengawal yang berjaga di depan kamarnya.“Belum, Nyonya,” jawab salah satu dari dua orang di sana.Karissa baru saja selesai mengurus Aiden. Sejak dia pulang ke mansion pagi tadi, Aiden sering rewel menanyakan Damian. Tidak biasanya. Sampai sekarang, pukul 10 malam akhirnya Aiden bisa tidur setelah minum obat. Itu pun sangat sulit membujuk.“Ada yang Anda butuhkan, Nyonya?” tanya penjaga karena Karissa masih diam berdiri di lorong antara kamar utama dan kamar Aiden.“Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Damian? Kalian tidak mungkin tidak tau apa-apa.” Karissa memperhatikan gelagat dua pria itu. sayangnya mereka justru bingung.“Kami tidak mendengar apapun, Nyonya. Kami hanya tau Tuan Damian pergi bekerja seperti biasa.”Apa yang dikatakan penjaga ini tidak ada yang salah. Lagi pula sudah biasa kan Damian pulang malam, bahkan tak pulang berhari-hari. Hanya saja, kenapa Karissa merasa tak tenang. Ditambah Aiden yang seolah ikut merasakan ada sesu
[Damian, katamu ingin ke kantor sipil untuk mengurus perceraian. Tapi kenapa kamu justru menghilang? Kamu mau jadi pengecut?][Apa kamu mendengar apa yang terjadi kemarin malam? Kamu benar tak peduli lagi padaku?][Damian, aku terus memikirkan teror itu. Balas pesanku sekali saja. Atau aku benar-benar marah padamu!]Tak hanya tiga, ada banyak pesan yang Karissa kirim. Banyak pula panggilan yang masuk dari kontak yang sama ke ponsel Damian sejak kemarin.Sayangnya, pemilik benda itu tak ada di tempat. Benda pipih yang tergeletak di meja kerja hanya bisa Sergio lihat tanpa berani membuka.Sang asisten menghela napas panjang. Dia melihat jam di tangan, pukul sepuluh pagi tapi dia belum mendengar kabar apapun dari anak buah Damian.“Jadi benar Damian menghilang?” Suara lantang itu mengejutkan Sergio yang baru saja meletakkan berkas di atas meja.Begitu mendapati Hector datang, Sergio segera membungkuk hormat. “Tuan.”Hector berjalan lebar dengan tongkat kokoh memasuki ruangan. Emosi di wa
“Buru-buru kemana? Kamu dikejar musuh?”Karissa memperhatikan Damian yang menatapnya sabar sambil mengarahkan tangan kanan padanya. Ah, ini bukan tipe Damian sekali. Mana pernah Damian menunggu, yang ada suaminya itu langsung menarik kasar atau bahkan menggendongnya.“Menyelamatkanmu,” jawab pria bermata teduh itu.“Dari siapa? Musuh? Musuhku satu-satunya hanya kamu,” canda Karissa.“Aku serius, Sayang ....”Demi apa mendengar nada lembut yang tak pernah lagi Damian ucapkan setelah mereka menikah, membuat Karissa merinding. Bukankah malah bangus kalau pria dingin itu kini sudah kembali mencair seperti dulu? Namun, Karissa justru merasa aneh kalau Damian mode begini.“Sebentar saja. Aku mau buang air kecil.” Karissa berbalik menuju toilet.“Nyonya,” sapa Tony baru saja tiba membawa paper bag di tangan kanannya.Karissa pun menghentikan langkah. “Ah, kamu sudah datang.” Dia maju dua langkah untuk menerima paper bag itu buru-buru.“Damian, aku –“ Ucapan perempuan itu terhenti ketika tak l
[Tuan Luciano, saudara Anda sudah muncul di hadapan Nyonya Karissa]Sebuah pesan yang tertulis di kertas kecil di antara gundukan nasi putih itu berhasil Luciano baca. Mata tajamnya berpindah ke depan, sebuah pintu besi dengan sekotak tralis di atasnya. Satu-satunya sumber cahaya dari luar yang menerangi ruangan gelap nan lembab itu.Penjara bawah tanah Klan Luther. Lebih tepatnya di markas utama milik musuh utama Klan Blackwood, di sinilah Damian disembunyikan.“Beginikah caramu menyapaku, Damian?”Luciano tersenyum kecut. Pria itu entah harus senang atau sedih, setelah mengetahui kalau saudara kembarnya masih hidup. Bahkan Damian yang disangka sudah meninggal itu, kini nampak begitu sehat dan kuat untuk mengibarkan bendera perang padanya.Malam saat di rumah duka, Luciano begitu cepat mendapatkan banyak informasi dari ponsel Ben yang dia sadap. Setelah gagal membuka identitas Damian saat adegan kejar-kejaran, Luciano sengaja menyerahkan diri. Menunjukkan dia begitu lemah tak sadarkan
Luciano tersenyum kecut begitu melihat Damian berdiri di lantai dua. Ini adalah pertemuan pertama setelah tiga tahun lebih terpisah.Seharusnya mereka saling berpelukan, bukan? Saling menanyakan kabar dan bercerita apa yang telah terjadi. Namun, sayangnya kerinduan Luciano terhadap Damian dibayar dengan ekspresi datar dari pria dengan wajah yang sangat mirip itu. Damian di sana hanya diam, menautkan kedua tangannya ke belakang.Seolah pemandangan Luciano yang terkepung dibawah sana adalah sesuatu yang sudah ditunggu olehnya.“Angkat kedua tangan Anda!” teriak musuh perlahan mendekat tanpa menurunkan senjatanya dan tetap waspada.Luciano menurut tanpa melepas tatapannya dari Damian. Dia mengangkat kedua tangannya perlahan.“Kami akan membawa Anda ke Tuan Jacob!”Belum sampai musuh bergerak terlalu dekat. Asap tebal berisi gas air mata mendadak muncul dari empat titik pintu masuk. Kabutnya begitu cepat menutup area pandang aula hingga menimbulkan kekacauan.“Aarrgh! Pedih!”“Tangkap mus
“D-Damian?” bisik Karissa menatap tak percaya ada pria itu di sana.Tubuhnya masih bergetar karena melihat mayat dan darah yang terus mengucur. Hanya saja, kenapa rasa rindunya pada sang suami lebih mendominasi?Padahal kemarin dia baru bertemu kan?Jemari lentik itu saling memilin, jantungnya pun berdebar kencang ketika melihat Luciano berjalan ke arahnya dengan ekspresi datar seperti biasa. Seolah rasa rindu itu terbalas, Karissa melihat langkah suaminya makin melebar kemudian menariknya ke dalam pelukan hangat.“Karissa,” lirih Luciano serak, memeluk erat sampai perut istrinya nyaris terjepit.“Damian, perutku,” cicit Karissa.Pria itu segera melepas. Dia menahan kedua lengan Karissa dan meneliti wanita cantik itu dari atas sampai bawah. “Dia menyentuhmu?”Karissa menggeleng kaku dengan netra tak lepas dari wajah yang nampak sedikit berantakan kali ini. Meski begitu ketampanan suaminya tak pernah pudar.“Kau dari mana? Lama tak pulang.”Luciano tersenyum samar, nyaris tak terlihat.
“Bahkan rasa lidah dan aroma napasku, kamu harus menghapalnya,” bisik Lucian tepat di telinga Karissa. Membuat bulu halus wanita hamil itu menegang akibat sapuan aroma mint membelai manja di sekitar area sensitif belakang telinganya.Hidung mancung Lucian mulai bergerak samar menyentuh kulit pipi, membentuk garis lurus menuju bibir. Demi apa, jantung Karissa berdebar, pikirannya berubah liar dan hasrat yang lama tidur mulai menggelepar. Dia menanti setiap detiknya tentang apa yang akan suaminya lakukan selanjutnya.Hingga satu kecupan mendarat di bibir peach itu sesaat. “Kau menunggu?”Karissa menatap tegang mata hitam Luciano yang berjarak tak sampai satu satu telapak. Detik selanjutnya, pria itu sudah langsung melumat tanpa ragu. Apalagi saat Karissa membuka, dia langsung membelit dan menyesap, mengais, menikmati meski sang istri membalasnya dengan kaku dan canggung.“Bagaimana rasanya?” bisik Luciano saat menjeda ciuman itu sejenak.Mata sayu Karissa reflek menjawab, “Panas.”Bibir
“Akh!”Karissa memekik menutup mulut dengan telapak tangan. Tubuhnya berdiri kaku dengan tangan lainnya menggenggam erat tralis balkon.Tatapannya bergetar, melihat bagaimana Hector begitu mudah memecahkan kepala seseorang di sana dengan satu tembakan. Padahal pagi ini dia ingin mencoba menghirup udara segar setelah semalaman terkurung di kamarnya sendiri. Namun, yang dia lihat justru adegan mengerikan di sana.“Ampun, Tuan! Ampun! Saya akan mengabdi pada Anda. Saya mengaku salah. Ampuni saya, Tuan!”Suara teriakan minta ampun itu terdengar samar di telinga Karissa yang berdiri di balkon lantai tiga. Padahal tubuh pria itu sudah penuh darah karena cambukan tanpa ampun. Rupanya permintaan ampun tidak digubris.DOR!Satu peluru kembali dikeluarkan untuk pria lain yang sejak tadi berdiri ketakutan.Seolah ini adalah tontonan yang sengaja Hector perlihatkan pada Karissa, pria tua itu mendongak ke balkon sembari menyerahkan pistol itu ke samping.Jantung Karissa berdetak tidak semestinya.
"Maaf, Nyonya. Anda tidak boleh keluar.”Karissa terhenti di depan lift karena dua pengawal menghalangi jalannya. Lalu apa tadi? Tidak boleh keluar? Dia bahkan sudah memakai baju kerja yang rapi. Sebuah tas dokter dan jas putih juga menggantung di tangannya."Sejak kapan aku butuh izin untuk keluar rumah sendiri?" Bukan bersikap sombong, tapi dia heran pada atmosfer yang berbeda sore ini.“Tuan Damian melarang Anda keluar dari area ini, Nyonya.”Ah, Damian. Itu juga ingin Karissa tanyakan. Setelah sarapan sampai sore begini dia belum melihat suaminya. Lelaki itu tidak pamit sama sekali. Mengirim pesan pun tidak.“Jangan bercanda. Aku ada jadwal praktek sore ini.” Karissa tetap maju, berniat menerobos.Segera dua pengawal merapatkan badan, tidak memberi celah. Bahkan salah satu dari mereka berani mendorong ringan lengan majikannya.“Nyonya, jangan paksa kami bersikap kasar,” ucapnya sedikit lebih tajam dari sebelumnya.Dengan dahi berkerut tajam, manik mata wanita hamil itu bergerak men
“Cucuku dan anakku belum tau kalau ada musuh di sangkar mereka.”Hector berucap ketika Vincent masuk ke ruangan beraroma tembakau. Tadi, setelah sarapan dengan atmosfer menegangkan di setiap suapan makanan. Kini Vincent diminta datang ke salah satu ruangan tertutup di mansion itu.Pria paruh baya yang berdirinya sudah tidak setegak dulu, juga tubuhnya tidak seatletis dulu, kini dia tengan berdiri di ruangan. Mata Vincent waspada menatap Hector yang duduk di kursi besar dengan sikap santai. Senyum pria tua itu ramah, tapi tidak dengan matanya yang penuh manipulasi dan intimidasi."Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu, Vincent."Vincent mengepalkan tangannya di samping tubuh. Dia tak berdaya, tapi juga tak mau terlihat lemah."Dan saya berharap kita tidak akan pernah perlu bertemu lagi."Hector tertawa kecil, seakan menganggap ucapan Vincent sebagai lelucon."Kau masih setia pada keluarga Luther, rupanya. Sampai-sampai rela memperrtaruhkan nyawa untuk melindungi keturunann
“Damian tidak ke ruang kerja? Dia ke mana?” bisik Karissa setelah pengawal di lantai dua mengatakan tidak melihat tuannya keluar dari lift.Karena penasaran dengan kegiatan Luciano di tengah malam begini, dia pun masuk lagi ke dalam lift lalu pergi ke lantai lainnya. Di sana sepi, padahal biasanya di setiap lantai ada pengawal.Karissa melangkah kakinya lalu berhenti di tengah ruangan terbuka sambil melihat ke kanan dan kiri. Hingga dia melihat ada bayangan bergerak di lorong sebelah kanan.“Damian? Dia sedang apa?”Kaki dengan sandal rumah berbulu tanpa suara itu mulai melangkah melewati lorong dengan penerangan yang minim. Jujur, tiga tahun tinggal di mansion sebesar ini memang tidak semua Karissa tau ada ruang apa saja.Contohnya lorong ini, Karissa tidak tau jalan ini akan membawanya ke mana.“Damian?” panggil Karissa dengan suaranya yang menggema.Tidak ada jawaban.Dia mulai melangkah waspada juga merinding. Sampai-sampai wanita itu memeluk diri sendiri dan mengusap lengannya ya
“Tolong jangan lakukan apapun. Jangan ceritakan ini pada suamimu. Aku takut dia mengatakan pada Luciano dan berakhir nyawaku yang melayang.”Karissa sangat ingat tangan Shiena yang gemetaran ketika mengatakan semua.Karissa membuka matanya saat mendengar napas suaminya yang tenang di sampingnya.“Dia sudah tidur, kan?” tanyanya dalam hati.Karissa menoleh perlahan. Cahaya remang dari lampu meja menerangi wajah lelaki itu. Luciano yang damai dalam tidur, namun tetap menyiratkan kegelapan yang tak pernah benar-benar hilang.Pelan, Karissa menyingkirkan tangan besar yang melingkar di perutnya.“Emh...” Luciano hanya merubah posissinya sedikit dan kembali terlelap.Karissa mulai bangkit, menahan napas agar tidak membangunkan pria itu. Tangannya terulur ke laci di sisi ranjang. Jari-jarinya menyentuh benda lalu mengeluarkan.Kalung hitam yang diberikan oleh Ben dengan liontin berbentuk kepala serigala dan logo "W" terukir di dalamnya.Hatinya berdebar saat menatap benda itu di tel
Langkah Karissa terhenti ketika mendengar nama Luciano disebut. “Siapa yang berani menyebut nama itu di sini?” gumamnya.Saat ini, dia hendak mengambil jalan pintas menuju ke paviliun barat melewati taman yang sepi karena dekat dengan kamar jenazah. Dia penasaran dengan obrolan yang samar terdengar, Karissa pun mendekat.Orang yang pertama lihat adalah suaminya tengah meniupkan asapnya perlahan, lalu menyeringai sinis ke arah lawan bicaranya. "Damian, kamu di sini?" tanya Karissa memecah memecah keheningan. Keterkejutannya rupanya belum usai. Matanya membesar, napasnya tersengal melihat dua wajah identik yang terpampang di hadapannya."D-Damian? K-Kenapa kalian ada dua?!" Damian hanya menyeringai lebih lebar. Mata birunya bersinar seperti menikmati keterkejutan yang tercetak jelas di wajah Karissa. "Permainan ini akan segera usai," bisik Damian rendah, terdengar berbahaya. Sebelum Karissa bisa bereaksi lebih jauh, sebuah bayangan bergerak cepat dari belakang. Sergio menghantam te
“Apa? Dokter Shiena diserang?”“Iya, Dok. Dia mengalami luka tusuk di perutnya. Wajahnya juga banyak memar karena dipukuli.”Pagi itu Karissa baru saja berangkat praktek. Siapa sangka pasien pertama yang menjadi tanggungjawabnya pagi ini adalah Shiena. Buru-buru dia memakai jas putih, diambilnya berkas yang diberikan oleh perawat untuk dia baca sebentar.“Tidak sampai operasi?” tanya Karissa membaca hasil tindakan kemarin.“Iya, Dok. Luka tidak sampai mengenai organ vital. Pendarahan juga bisa dihentikan. Jadi pasien cukup dijahit setelah pembersihan,” jawab perawat.Karissa mengangguk lalu bergegas pergi ke kamar rawat inap Shiena. Kedatangannya tentu membuat atensi Shiena dan Ben tertuju ke arah pintu.“Shiena ....” Karissa mempercepat langkahnya dan Ben reflek memundurkan kursi rodanya, memberi ruang untuk wanita itu mendekat.Di atas ranjang putih itu, Shiena terbaring dengan memar yang sangat kontras dengan kulit pucatnya. Selain memar, bibirnya sedikit sobek di sudut, dan ada pe
“Dua mafia besar memperbutkan kalung dengan makna cinta abadi.” Karissa mengeja salah satu judul artikel yang dia temukan.“Aku benar-benar penasaran. Huh, lagian dari mana Damian mendapatkan kalung ini? Pasti sangat mahal harganya.”Karissa sedang bersandar santai di sofa sambil menunggu artikel yang dia temukan itu terbuka. Aneh, kenapa loading-nya terlalu lama.“Apa internet sedang error?” Dia keluar ke balkon. Siapa tau cuaca mendung membuat signal internet jadi lelet.Saat artikel hampir terbuka tiba-tiba muncul notifikasi. “Halaman yang Anda buka tidak ditemukan.”Dia menggigit bibirnya kemudian membuka artikel lain. Hasilnya sama saja, halaman tidak bisa dibuka.“Apa HP-nya yang murahan?” gerutu Karissa membolak balikkan benda pipih itu. sedetik kemudian dia tersenyum smirk, mana mungkin suami dengan pemilik perusahaan raksasa itu memberikan barang murahan.Karena kesal, Karissa pun menyerah. Bersamaan dengan itu, sebuah pesan muncul di notif bar layar benda pipih tersebut.[Ak
“Kau tak sanggup meninggalkannya karena terlalu mencintainya?” Vincent bisa melihat itu. Tatapan cinta Karissa terhadap suaminya nampak nyata.Sesungguhnya Vincent juga tidak tega. Namun bagaimana lagi. Pada akhirnya Karissa pun akan tersakiti. Bukan hanya hati, tapi juga fisik. Atau bahkan nyawa yang jadi taruhan.Karissa menunduk. “Aku pasti akan meninggalkannya,” jawabnya ragu.Pria paruh baya dengan beberapa keriput yang mulai nampak itu hanya menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia sudah mendengar jawaban yang dia inginkan, dan itu cukup untuk saat ini.Dia mengangkat tangannya lalu mengusap kepala putrinya. Hal itu cukup membuat hati Karissa kembali merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.“Kau sangat cantik meski sedang mengandung. Persis seperti ibumu.” Vincent sengaja mengalihkan topik pembicaraan demi merubah suasana hati ibu hamil ini.Karissa mengangkat wajahnya lalu tersenyum tipis. “Benarkah?”Vincent mengangguk samar. “Mulai sekarang daddy akan selalu