Sebuah ruangan kerja dipenuhi dengan aroma kayu mahoni yang bercampur bau asap cerutu. Seorang pria tua berusia 76 tahun yang masih memancarkan wibawa, duduk di kursi besar di ujung ruangan penuh kuasa. Setelan jas hitam yang sempurna membalut tubuhnya, dengan tongkat yang diletakkan di sisi kursinya.“Apa kau bilang?” suara beratnya menggema, membuat dua pria yang berdiri di hadapannya menundukkan kepala lebih dalam. “Iya, Tuan. Salah satu wilayah kita di selatan telah diambil alih oleh kelompok Luther,” jawab anak buah pertama, suaranya nyaris gemetar. “Dan Lucian?” Pria tua itu menambahkan tanpa menunggu jeda. “Terluka parah, Tuan,” jawab anak buah itu.Pria tua itu menggertakkan giginya emosi, matanya yang tajam penuh keriput itu menyipit. Sorot marahnya seperti pisau yang menebas udara. “Luciano King Wilbert... Aku sudah memperingatkannya,” lirihnya seperti berbisik tapi penuh penekanan. “Dia menjadi semakin lemah. Apa ini yang kalian sebut penerusku? Seorang pemimpin yang tak
Langit malam sudah gelap ketika Karissa akhirnya tiba di apartemen Emma. Gedung tinggi itu tampak mewah dan eksklusif. Mungkin jika status Emma 100% hanya asisten yang baru bekerja tiga tahun. Lalu gajinya juga digunakan untuk membiayai dirinya dan anak kecil. Nampaknya mustahil tinggal di apartemen dengan harga fantastis di sini“Terus memikirkan dia, rasanya aku makin gila.”Hatinya menjerit, menolak untuk berada di tempat ini, tapi logikanya berkata lain. Jika bukan karena statusnya sebagai dokter dan murni urusan medis, Karissa tak mungkin sengaja menginjakkan kaki di tempat ini lagi.Pintu apartemen terbuka setelah Karissa menekan bel. Ada helaan napas lega ketika Emma melihat bantuan datang. “Nyonya, maaf mengganggu Anda malam ini,” ucap Emma membungkuk tipis lalu menggeser tubuhnya ke samping, memberi jalan pada Karissa untuk masuk. “Di mana Aiden?” tanya Karissa, langsung pada intinya. Dia malas basa basi. Memandang wanita ini saja enggan.“Aiden ada di kamar, Nyonya.” Emma
“Nyonya, jika Anda lelah. Anda bisa tidur di kamar sebelah. Biasanya Tuan Damian tidur di sana jika sedang menginap.”Ucapan Emma membuat gerakan jemari Karissa yang semula sedang mengusap dahi Aiden jadi terhenti. Dia menoleh ke belakang dengan dahi berkerut pun jantungnya berdebar kencang.“Damian sering menginap?” tanyanya sedikit terbata.“Jangan salah paham, Nyonya. Tuan Damian sering rindu pada Aiden hingga dia pun memilih menginap di sini,” jawab Emma berusaha menyembunyikan senyuman samarnya.Dada Karissa bergemuruh. Kakinya juga jadi terasa berat untuk berdiri. Meski begitu Karissa tetap berusaha untuk beranjak dari kursi lalu berdiri tegap. Dia tidak mau terlihat lemah di depan wanita ini.“Jadilah perempuan yang tau diri, Emma.” Karissa mendekat setelah meraih tas dokternya. “Beginikah sikap seseorang yang sudah dibantu? Lalu sengaja menusuk orang yang sudah membantunya.”Emma menggeleng cepat seolah dia merasa begitu bersalah. “Tidak, Nyonya. Maaf, saya tidak bermaksud apap
Karissa meremas ponselnya sambil berdiri gelisah di depan ruang kepala koperasi rumah sakit. Dari semalam dia tidak bisa tidur karena memikirkan kondisi ayahnya di rumah.Kenapa saat dia di sana Vincent dan Darla tidak menceritakan apapun soal hutang piutang? Apalagi hutang itu dalam jumlah yang sangat besar. Kalau begini dia bisa apa?Ditariknya napas itu dalam-dalam. Satu-satunya jalan adalah mencoba mengajukan pinjaman pada koperasi rumah sakit.“Paling tidak aku bica meminta seperempatnya,” gumam Karissa meyakinkan diri.Diketuk pintu itu. Pagi ini biasanya Tuan Raulf masih ada di ruangan, belum keliling ke kantor koperasi pusat di gedung selatan rumah sakit.“Masuk!” sahut seseorang dari dalam.Karissa sekali lagi mengatur napasnya barulah dia masuk.“Dokter Karissa?” Pria paruh baya yang memakai kaca mata itu tersenyum hangat. “Silahkan duduk,” tunjuknya pada kursi di depan meja kerjanya.“Maaf mengganggu, Tuan Raulf,” ucap Karissa seraya duduk di kursi kayu itu.“Iya, bagaimana
“Cincin itu pasti kembali,” gumam Karissa sambil mengusap jemari yang kosong.Tadi, karena paksaan dari Darla yang mengirim foto kondisi rumah berantakan akibat diserang oleh gerombolan anak buah rentenir. Karissa dengan berat hati menjadikan cincin pernikahannya sebagai jaminan.Wajahnya masih tidak tenang meski sudah mengirim uang dua milyar lunas pada Darla. Namun, kekosongan jemarinya seolah membuat hatinya ikut kosong.“Dia ngga akan tau aku gadai cincin itu. Dia juga tak pernah memperhatikanku.”Karissa menarik napas panjang, melihat dirinya di cermin wastafel toilet ruang kerja departemen bedah. Sampai seseorang mengejutkannya.“Hei!” Siapa lagi kalau bukan Sienna.“Aku mencarimu di jam makan siang. Keluar dengan siapa? Suamimu?” tanyanya.“Ada urusan sedikit,” jawab Karissa sembari merapikan pakaiannya.Sienna mengangguk-angguk saja. Dia datang ke toilet hanya untuk mencuci tangan kemudian keduanya berjalan keluar ruangan.“Kamu tau, para anak buah Luciano itu sudah pulang. Pa
Nafas Karissa tercekat ketika Damian menyadari ada satu perhiasan yang hilang dari jemarinya. Terlebih ketika dia hendak menyembunyikan tangannya, Damian segera mencekal erat.“Mana cincin pernikahan kita?” tanyanya begitu dingin, menciptakan atmosfer ruangan yang mulai menegangkan.Sebisa mungkin Karissa menahan diri untuk tidak menunjukkan ketegangannya. Dia tersenyum tipis, seolah mengejek pria di depannya.“Cincin pernikahan? Untuk apa? Bukankah kita akan segera bercerai?”“Apa yang kamu lakukan pada cincin itu?”Karissa berusaha menarik tangannya, tapi tak bisa. “Itu milikku, aku lakukan apapun bukan urusanmu,” tegasnya.“Katakan dimana cincin itu!” desis Damian menajamkan sorot matanya serta mengercangkan cengkeraman di pergelangan tangan Karissa hingga nyaris meremukkan tulang kecil itu.“Aku membuangnya,” jawab Karissa asal.Damian melepas kasar tangan Karissa. Segera pula dia berdiri bersamaan dengan tangannya yang begitu mudah melempar meja di depannya.Karissa memekik kaget,
Sebuah tamparan menggema di ruang kecil rumah sederhana di pinggiran kota tepatnya daerah perkebunan anggur. Darla nyaris terjatuh ke lantai kalau saja dia tidak berpegangan pada nakas.Vincent menatap adiknya dengan mata memerah emosi.“Bagaimana bisa kamu memaksa Karissa melunasi hutang-hutangmu itu!” bentar Vincent.Darla menyentuh pipinya yang panas lalu kembali berdiri tegak untuk membalas sorot tajam kakaknya dengan sorot yang sama.“Kamu pikir aku berhutang untuk siapa? Untuk pengobatanmu dan semua kebutuhanmu, Kak!”“Kebutuhanku atau berfoya-foya dengan teman-temanmu itu?” Vincent tersenyum miring. Setelah tertangkap basah sering mentraktir teman dan kencan dengan beberapa pria menggunakan uang bulanan yang Karissa kirim, Darla masih saja berkilah.“Kamu sok baik di depan Damian supaya apa? Supaya rekening berjalanmu tidak berhenti?” Nada Vincent makin meninggi membuat Darla mulai sedikit gugup.Meski tahu perkataan Vincent benar, Darla merasa kesal. Dia lelah hidup berkecukup
Bagai burung yang terperangkap dalam sangkar emas. Istilah itu cocok untuk kondisi Karissa sekarang. Berada di mansion megah, tapi dia tak bisa kemana-mana. Martha memang menyiapkan makanan yang lezat. Obat dan vitamin ibu hamil. Serta membantu Karissa mengganti perban di kaki akibat goresan pecahan piring semalam.Namun, dirinya benar-benar tidak diperbolehkan keluar dari kamar walau hanya satu langkah. Ponsel juga disita. Argh! Karissa sudah ingin sekali marah. Apalagi teringat tugasnya di rumah sakit.“Tiga tahun pernikahan, aku baru dikaruniai anak.” Karissa yang tengah berdiri di balkon kamarnya pun menunduk sembari mengusap perut. “Mungkin karena sekarang Tuhan telah yakin, kalau aku dan bayiku ini sudah cukup kuat menghadapi orang macam Damian.”Matanya yang sayu itu beralih ke arah gerbang megah di kejauhan, di mana ada satu patung kepala serigala hitam di ujung atas gerbang.Sejenak Karissa larut dengan pemandangan yang memang sejak dulu seperti itu. Di halaman bahkan sampai
“Apa yang terjadi dengan cucu-cucuku?”Hector yang lebih dulu mendekat saat dokter membuka pintu ruang operasi. Tak langsung menjawab, pria yang masih memakai seragam operasi itu menggeser pandangan pada Luciano.“Bagaimana kondisi istriku?” tanya Luciano.Terdengar tenang, tapi tidak dengan sorotnya yang penuh rasa khawatir.“Nyonya Karissa sempat henti jantung dan pendarahan. Sampai sekarang pasien masih dalam masa kritis. Berdoa saja semoga dia bisa kuat sampai membuka mata untuk melihat serta menggendong anak-anaknya.” Dokter itu kini beralih pada Hector.“Bayi kembar telah lahir. Hanya saja kondisi prematur dan terpapar racun membuat mereka harus mendapat perawatan intensif. Tunggu dokter spesialis anak sedang mengurus semuanya.”***Luciano berdiri membeku di depan dinding kaca transparan. Di dalam ruangan, dua inkubator kecil ditempatkan berdekatan. Sepasang bayi kembar lelaki dan perempuan.Hati Luciano yang biasa keras tak bisa disentuh, kini rasanya hancur dan rapuh melihat
“Tekanan darah pasien makin turun! Percepat anestesi. Jangan sampai dia hilang kesadaran sepenuhnya sebelum kita mulai!”“Obat masuk. Kami pakai dosis rendah untuk menjaga kesadaran terbatas. Periksa saturasi oksigen!”Karissa sudah setengah sadar. Tenaga di tubuhnya entah hilang ke mana. Meski begitu, matanya sayunya masih bisa menangkap siapa saja yang sedang ada di sana.“Luciano ....” Mulut lemah itu masih memanggil suaminya.Tangan yang lemas tak berdaya di sisi tubuhnya masih berharap ada yang datang dan menggenggam hangat.“Di mana suaminya?”Terdengar suara yang mempertanyakan keberadaan Luciano. Pertanyaan yang sama, yang ada di pikiran Karissa.Para tenaga medis terus berupaya melakukan operasi dengan waktu yang menipis. Jangan sampai mereka kehilangan waktu yang bisa membuat ibu dan anak tidak bisa diselamatkan.Perawat menyerahkan alat bedah steril. Pisau pertama menyentuh kulit Karissa, menembus jaringan demi jaringan. Darah mulai keluar, tapi tekanan tetap dikontrol deng
“Di mana Luciano? Apa dia sudah membaca hasil DNA Karissa?” tanya Hector saat tiba di depan ruang ICU.“Tuan sedang ada di ruang dewan, Tuan,” jawab Sergio yang cukup terkejut akan kedatangan pria tua itu.Mood Hector terlihat sedang tidak baik. Rahangnya nampak mengeras dan genggaman di ujung tongkat pun erat.“Anak itu. Bisa-bisanya dia asal melepas kancil dari jeruji besi,” desis Hector menahan kemarahannya.Sergio yang belum paham, dia hanya menatap Hector sambil berpikir.“Kau sudah aku beritahu siapa Karissa sebenarnya supaya kamu bisa lebih waspada. Tapi kamu justru membiarkan Luciano melepas Vincent begitu saja!”Sang asisten terkesiap lalu membungkuk penuh rasa bersalah. “Maaf, Tuan. Saya belum paham penuh konsekuensi kalau sampai Tuan Vincent bebas.”Hector memukul lantai dengan tongkatnya sambil berdecak. Membuat Sergio seketika terjingkat.“Informasi Karissa darah murni Luther sudah disebarluaskan oleh Vincent kepada orang-orang yang masih setia pada keluarga itu! Apa menur
“Tuan, maaf. Ini berkas Anda ditemukan di bawah bantal rawat inap. Pagi tadi petugas kebersihan menitipkannya pada saya.” Sang direktur rumah sakit menyerahkan amplop coklat yang masih tersegel kepada Luciano.Pria itu tidak langsung menerima. Dia lebih dulu menutup pintu dengan hati-hati agar Karissa tidak terganggu tidurnya. Barulah ia mengulurkan tangan menerima amplop tersebut.“Ya.”Saking merasa berkas itu tidak penting, Luciano sampai lupa telah menyimpannya secara asal di ranjang rumah sakit.“Dan—“ Direktur yang tampak memiliki tujuan tertentu, sedikit ragu untuk melanjutkan. “Kejadian di lobi tadi, saya meminta maaf. Saya akan memberikan surat peringatan dua tingkat kepada dokter residen itu.”Pria dengan perut buncit dan bulatnya lalu mundur satu langkah sambil membungkuk. “Kami memohon agar Anda berkenan datang ke ruangan dan menerima permintaan maaf langsung dari kami.”Luciano menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia tidak ingin pikirannya terbebani oleh urus
Tamparan itu membuat semua pengawal termasuk Sergio serempak menarik pistol dari pinggang mereka lalu di arahkan ke wanita di sana. Sebelum ada yang terluka, Luciano langsung mengangkat tangannya.“Biarkan!” titahnya tanpa perubahan ekspresi, hanya dingin dan datar.Sementara Shiena, keberanian itu muncul begitu saja ketika amarah atas dendam lamanya pada sosok Luciano meluap. Apalagi ternyata identitas itu dimiliki oleh orang yang selama ini sangat dia hormati dan kagumi.“Jadi kamu adalah serigala penghisap darah berkedok kelinci yang nampak lembut dan manis? Sungguh aku makin membencimu, Luciano!” teriak Shiena hendak menyerang lagi, tapi dua pengawal langsung menakan lengannya.“Shiena, hentikan?” teriak direktur rumah sakit yang baru datang karena mendengar keributan di lobi.“Sekarang aku tau, kenapa ada keanehan di rumah sakit ini. Menerima pasien dengan luka tembak tanpa ada laporan ke kepolisian. Rupanya pemiliknya adalah penjahat itu sendiri!” teriaknya tak peduli.Shiena mer
“Kau bertanya apa hubunganku dengan keluarga Luther? Apa menurutmu aku sehebat itu?” ucap Vincent.Sayangnya sorot tajam Luciano masih menyala ke arahnya. Seolah tak percaya dengan jawaban pria paruh baya ini.“Mereka tidak mungkin bertanya tanpa sebab. Atau –“Luciano memiringkan kepala, lalu mengangkat dagu Vincent dengan satu jarinya.“Karissa adalah kerutunan Luther?” desisnya lirih.Vincent memperhatikan tatapan dari pria yang berdiri menjulang tinggi di depannya. Ada satu detik di mana lidahnya ingin bergerak mengucap semuanya. Ah, tidak. Ini belum saatnya. Kalau Luciano tahu bahwa Karissa adalah satu-satunya penerus darah murni Luther, dan anak yang dikandungnya adalah pewaris sah maka mereka tidak akan pernah aman.“Hahahaha! Maksudmu aku adalah anak dari keluarga itu? Apa kamu gila, Luciano?”Mata itu masih menyipit, meski tangannya sudah menjauh dari dagu Vincent.“Cocokkan saja DNA ku dengan DNA keluarga Luther. Orang seperti kalian pasti menyimpan basis data DNA di rumah sa
“Dok, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Karissa saat dokter memeriksanya pagi ini.Pria dengan jas putih itu tersenyum tipis. “Apa Anda tidak ingat sudah menelan cairan penggugur kandungan?”Dahi Karissa berkerut untuk coba mengingat. Kemudian menggeleng pelan saat dia merasa tidak melakukan hal segila itu.“Tidak perlu Anda pikirkan lagi. Anda tolong kendalikan diri, jangan stress dan makan dengan baik,” ucap dokter dengan tenang.Karissa diam, membiarkan dokter melakukan tugasnya. Dalam hatinya berpikir, apa mungkin Damian asli? Ingin bertanya pada Luciano, tapi dari kemarin pria itu selalu mengalihkan pembicaraan ketika dia bertanya banyak hal.“Tuan Damian sangat mencintai Anda. Hari itu, dia memilih menyelamatkan Anda karena situasinya darurat.”“Lalu, apa sekarang masih darurat?”Sang dokter diam sejenak untuk fokus menyuntikkan cairan melalui selang infus. Karissa yang merasakan sedikit reaksi di perut pun mendesis sambil mengusap perutnya.“Plasenta yang sudah terkena zat be
“Apa kali ini terasa manis?” bisik Luciano tepat di bibir Karissa yang baru saja dia cium dengan dalih menyuapi.Dan sialnya Karissa seperti terhipnotis. Dia mengangguk tipis dan kaku tanpa melepas tatapannya dari iris mata hitam sang suami.Senyuman smirk Luciano ukir tipis di sudut bibirnya. Tak mau membuang kesempatan yang selalu dia ciptakan sendiri, pria itu menggigit lagi biskuit dan kembali memasukkan ke mulut Karissa secara langsung.Tak ada penolakan. Wanita itu justru meremas selimutnya erat dan menerima dengan baik. Biskuit itu langsung remuk saat lidah mereka membelit bercampur dengan air liur yang tak lagi pahit, tapi sangat manit dan, panas!“Luciano, apa aku gila?” bisik Karissa dalam hati saat menikmati cara suaminya menyuapi. “Semua dalam dirinya kenapa selalu membuatku bertekuk lutut. Harusnya aku membencinya. Harusnya aku tak mau bersentuhan dengannya. Dia sudah menipuku habis-habisan dengan identitas palsu. Tapi –““Emhh ....” Karissa justru reflek melenguh ringan s
Langkah kaki Luciano terhenti saat mendapati Hector sudah berdiri di ujung lorong, berjalan ringan bersama tongkat kebesarannya. Pria tua itu seperti biasa, mengenakan mantel panjang dan tatapan yang selalu mengundang curiga. Seolah kematian bisa muncul dari balik senyumnya yang sopan.“Aku dengar, kamu sudah coba mengurus pemindahan nama,” ucap Hector saat mereka sama-sama berdiri berhadapan.“Hm,” jawab Luciano singkat.“Ya, seharusnya sejak dulu kamu memakai nama aslimu. Jadi tidak repot begini.”Luciano menarik napas dalam-dalam, menahan emosi yang mulai menghangat. Dia ingat, dulu Hector adalah orang yang pertama kali memberi ide supaya dia memakai identitas Damian untuk balas dendam pada Karissa. Bisa-bisanya sekarang berkata begitu.“Aku harus ke kantor. Jangan coba sentuh istriku. Atau opa benar-benar kehilangan bayi yang kau inginkan,” ucap Luciano dingin, menahan gejolak amarahnya.Hector mengangguk ringan, tak terguncang sedikit pun. “Aku tahu caraku menempatkan diri, Lucia