“Cincin itu pasti kembali,” gumam Karissa sambil mengusap jemari yang kosong.Tadi, karena paksaan dari Darla yang mengirim foto kondisi rumah berantakan akibat diserang oleh gerombolan anak buah rentenir. Karissa dengan berat hati menjadikan cincin pernikahannya sebagai jaminan.Wajahnya masih tidak tenang meski sudah mengirim uang dua milyar lunas pada Darla. Namun, kekosongan jemarinya seolah membuat hatinya ikut kosong.“Dia ngga akan tau aku gadai cincin itu. Dia juga tak pernah memperhatikanku.”Karissa menarik napas panjang, melihat dirinya di cermin wastafel toilet ruang kerja departemen bedah. Sampai seseorang mengejutkannya.“Hei!” Siapa lagi kalau bukan Sienna.“Aku mencarimu di jam makan siang. Keluar dengan siapa? Suamimu?” tanyanya.“Ada urusan sedikit,” jawab Karissa sembari merapikan pakaiannya.Sienna mengangguk-angguk saja. Dia datang ke toilet hanya untuk mencuci tangan kemudian keduanya berjalan keluar ruangan.“Kamu tau, para anak buah Luciano itu sudah pulang. Pa
Nafas Karissa tercekat ketika Damian menyadari ada satu perhiasan yang hilang dari jemarinya. Terlebih ketika dia hendak menyembunyikan tangannya, Damian segera mencekal erat.“Mana cincin pernikahan kita?” tanyanya begitu dingin, menciptakan atmosfer ruangan yang mulai menegangkan.Sebisa mungkin Karissa menahan diri untuk tidak menunjukkan ketegangannya. Dia tersenyum tipis, seolah mengejek pria di depannya.“Cincin pernikahan? Untuk apa? Bukankah kita akan segera bercerai?”“Apa yang kamu lakukan pada cincin itu?”Karissa berusaha menarik tangannya, tapi tak bisa. “Itu milikku, aku lakukan apapun bukan urusanmu,” tegasnya.“Katakan dimana cincin itu!” desis Damian menajamkan sorot matanya serta mengercangkan cengkeraman di pergelangan tangan Karissa hingga nyaris meremukkan tulang kecil itu.“Aku membuangnya,” jawab Karissa asal.Damian melepas kasar tangan Karissa. Segera pula dia berdiri bersamaan dengan tangannya yang begitu mudah melempar meja di depannya.Karissa memekik kaget,
Sebuah tamparan menggema di ruang kecil rumah sederhana di pinggiran kota tepatnya daerah perkebunan anggur. Darla nyaris terjatuh ke lantai kalau saja dia tidak berpegangan pada nakas.Vincent menatap adiknya dengan mata memerah emosi.“Bagaimana bisa kamu memaksa Karissa melunasi hutang-hutangmu itu!” bentar Vincent.Darla menyentuh pipinya yang panas lalu kembali berdiri tegak untuk membalas sorot tajam kakaknya dengan sorot yang sama.“Kamu pikir aku berhutang untuk siapa? Untuk pengobatanmu dan semua kebutuhanmu, Kak!”“Kebutuhanku atau berfoya-foya dengan teman-temanmu itu?” Vincent tersenyum miring. Setelah tertangkap basah sering mentraktir teman dan kencan dengan beberapa pria menggunakan uang bulanan yang Karissa kirim, Darla masih saja berkilah.“Kamu sok baik di depan Damian supaya apa? Supaya rekening berjalanmu tidak berhenti?” Nada Vincent makin meninggi membuat Darla mulai sedikit gugup.Meski tahu perkataan Vincent benar, Darla merasa kesal. Dia lelah hidup berkecukup
Bagai burung yang terperangkap dalam sangkar emas. Istilah itu cocok untuk kondisi Karissa sekarang. Berada di mansion megah, tapi dia tak bisa kemana-mana. Martha memang menyiapkan makanan yang lezat. Obat dan vitamin ibu hamil. Serta membantu Karissa mengganti perban di kaki akibat goresan pecahan piring semalam.Namun, dirinya benar-benar tidak diperbolehkan keluar dari kamar walau hanya satu langkah. Ponsel juga disita. Argh! Karissa sudah ingin sekali marah. Apalagi teringat tugasnya di rumah sakit.“Tiga tahun pernikahan, aku baru dikaruniai anak.” Karissa yang tengah berdiri di balkon kamarnya pun menunduk sembari mengusap perut. “Mungkin karena sekarang Tuhan telah yakin, kalau aku dan bayiku ini sudah cukup kuat menghadapi orang macam Damian.”Matanya yang sayu itu beralih ke arah gerbang megah di kejauhan, di mana ada satu patung kepala serigala hitam di ujung atas gerbang.Sejenak Karissa larut dengan pemandangan yang memang sejak dulu seperti itu. Di halaman bahkan sampai
Seorang pria tua ber-jas merald lengkap dengan tongkat kayu di tangannya, berdiri di tengah ruangan. Di mana sebuah lukisan besar tergantung di dinding utama.“20 tahun lalu, kamu sudah jadi orang yang aku pilih.”Lukisan itu menggambarkan Hector muda dengan jas hitam rapi, berdiri gagah di samping cucu kecilnya yang mengenakan setelan serupa. Ekspresi mereka sama-sama dingin, tegas, dan tanpa senyum. Lukisan itu membawa Hector ke masa lalu, kenangan akan dedikasinya membentuk pria kecil itu untuk menjadi penerus yang ia banggakan, meskipun dengan harga yang mahal.“Opa.”Suara lembut itu memecah keheningan. Hector berbalik perlahan, sampai dia menemukan wanita cantik berjalan mendekat.“Kamu selalu cantik dan mahal, Karissa,” puji Hector memperhatikan Karissa yang mengenakan gaun sederhana berwarna krem dengan rambut yang disanggul rapi. Karissa tersenyum tipis, tapi senyumnya itu tidak menyembunyikan rasa perih yang mengendap di hatinya.“Bagaimana kabar opa?” tanya Karissa setelah
“Nyonya, sebaiknya Anda jangan dulu membahas soal perceraian,” ucap Martha dengan nada hormat dan hati-hati.Karissa hanya menghela napas panjang sambil mengaduk bubur yang sedang dia masak di dalam panci. Rasanya dia lelah memikirkan soal rumah tangganya yang tak jelas ini.Setelah kekacauan akibat permintaan perceraian dia di depan Hector dan Damian, sang kakek pun memilih bermalam di mansion. Katanya tidak enak badan dan ingin dirawat oleh cucunya, Karissa. Jadilah kini wanita hamil itu menyiapkan bubur untuk hidangan makan malam sebelum meminum obat.“Saya mendengar kalau Tuan Hector ada gejala stroke karena hipertensi. Saya harap Nyonya bisa bersabar lagi.”“Semua menghawatirkan mereka. Tapi tidak ada satupun yang menghawatirkanku,” lirih Karissa masih dengan ekspresi datar dan lelahnya.Martha pun jadi merasa serba salah. “Nyonya ... bukan begitu.” Sungguh dia menyayangi Karissa seperti anaknya sendiri.“Martha, apa kamu bisa antar ini ke kamar opa? Perutku sedikit mual.”Sebena
Nyaman.Satu kata itu sudah cukup menggambarkan perasaan Karissa saat ini. Matanya masih terpejam, tapi kesadarannya mulai kembali. Rasanya ia belum ingin membuka mata karena pelukan ini begitu nyaman dan hangat. Satu lagi, harum, Karissa suka. "Damian? Aku tidak sedang bermimpi, kan?" tebaknya dalam hati. Meski belum membuka mata, ia sudah mengenali aroma parfum maskulin suaminya. Perlahan, Karissa membuka matanya. Benar, Damian masih terlelap, mendengkur halus sambil memeluknya erat. Kenapa? Tumben. Yang ia ingat, semalam ia mual-mual dan pusing juga perutnya kencang. Setelah itu, ia tertidur usai Damian membersihkan tubuhnya.Tiga tahun lamanya mereka menikah, meskipun baru saja bercinta semalaman, Karissa tidak pernah bangun dalam pelukan Damian seperti ini. Jadi, apakah perlakuan Damian sekarang adalah anugrah atau karena ada Opa Hector di mansion?Tidur Damian terusik saat Karissa mencoba bergerak ringan untuk meregangkan otot.“Kau di sini?” Karissa melepas pelukan Damian kemu
“Makan yang banyak ya, Sayang,” ucap Emma lembut menyuapi anaknya dengan bubur.Wajah kecil itu nampak pucat. Emma tak tau kenapa makin ke sini kesehatan Aiden makin menurun. Kadang anak ini nampak ceria dan bersemangat, tapi bisa saja tiba-tiba drop.“Mom, Aunty yang waktu itu suntik Aiden mana?” tanya pria kecil yang masih sedikit cadel dalam bicara.Emma jadi ingat Karissa, wanita itu pernah mengatakan kalau Aiden harus segera di bawa ke rumah sakit. Apa memang separang itu penyakit Aiden? Rasanya ragu, itu sebabnya Emma tidak langsung merespon perkataan Karissa.“Mooommm ....” panggil Aiden karena ibunya justru melamun.“Eh iya?”“Itu, Aiden pengin disuntik lagi. Soalnya suntikan Aunty cantik bikin badan Aiden jadi enak.”Emma tersenyum kaku. “Iya, nanti mommy telefon Aunty Karissa ya?”Dirasa bubur sudah habis, Karissa pun beranjak. Dia menyerahkan Aiden pada pengasuh untuk dibersihkan sedangkan dia harus bersiap berangkat ke kantor.Tak lama, kamar utama apartemen itu sudah terci
“Tekanan darah pasien makin turun! Percepat anestesi. Jangan sampai dia hilang kesadaran sepenuhnya sebelum kita mulai!”“Obat masuk. Kami pakai dosis rendah untuk menjaga kesadaran terbatas. Periksa saturasi oksigen!”Karissa sudah setengah sadar. Tenaga di tubuhnya entah hilang ke mana. Meski begitu, matanya sayunya masih bisa menangkap siapa saja yang sedang ada di sana.“Luciano ....” Mulut lemah itu masih memanggil suaminya.Tangan yang lemas tak berdaya di sisi tubuhnya masih berharap ada yang datang dan menggenggam hangat.“Di mana suaminya?”Terdengar suara yang mempertanyakan keberadaan Luciano. Pertanyaan yang sama, yang ada di pikiran Karissa.Para tenaga medis terus berupaya melakukan operasi dengan waktu yang menipis. Jangan sampai mereka kehilangan waktu yang bisa membuat ibu dan anak tidak bisa diselamatkan.Perawat menyerahkan alat bedah steril. Pisau pertama menyentuh kulit Karissa, menembus jaringan demi jaringan. Darah mulai keluar, tapi tekanan tetap dikontrol deng
“Di mana Luciano? Apa dia sudah membaca hasil DNA Karissa?” tanya Hector saat tiba di depan ruang ICU.“Tuan sedang ada di ruang dewan, Tuan,” jawab Sergio yang cukup terkejut akan kedatangan pria tua itu.Mood Hector terlihat sedang tidak baik. Rahangnya nampak mengeras dan genggaman di ujung tongkat pun erat.“Anak itu. Bisa-bisanya dia asal melepas kancil dari jeruji besi,” desis Hector menahan kemarahannya.Sergio yang belum paham, dia hanya menatap Hector sambil berpikir.“Kau sudah aku beritahu siapa Karissa sebenarnya supaya kamu bisa lebih waspada. Tapi kamu justru membiarkan Luciano melepas Vincent begitu saja!”Sang asisten terkesiap lalu membungkuk penuh rasa bersalah. “Maaf, Tuan. Saya belum paham penuh konsekuensi kalau sampai Tuan Vincent bebas.”Hector memukul lantai dengan tongkatnya sambil berdecak. Membuat Sergio seketika terjingkat.“Informasi Karissa darah murni Luther sudah disebarluaskan oleh Vincent kepada orang-orang yang masih setia pada keluarga itu! Apa menur
“Tuan, maaf. Ini berkas Anda ditemukan di bawah bantal rawat inap. Pagi tadi petugas kebersihan menitipkannya pada saya.” Sang direktur rumah sakit menyerahkan amplop coklat yang masih tersegel kepada Luciano.Pria itu tidak langsung menerima. Dia lebih dulu menutup pintu dengan hati-hati agar Karissa tidak terganggu tidurnya. Barulah ia mengulurkan tangan menerima amplop tersebut.“Ya.”Saking merasa berkas itu tidak penting, Luciano sampai lupa telah menyimpannya secara asal di ranjang rumah sakit.“Dan—“ Direktur yang tampak memiliki tujuan tertentu, sedikit ragu untuk melanjutkan. “Kejadian di lobi tadi, saya meminta maaf. Saya akan memberikan surat peringatan dua tingkat kepada dokter residen itu.”Pria dengan perut buncit dan bulatnya lalu mundur satu langkah sambil membungkuk. “Kami memohon agar Anda berkenan datang ke ruangan dan menerima permintaan maaf langsung dari kami.”Luciano menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia tidak ingin pikirannya terbebani oleh urus
Tamparan itu membuat semua pengawal termasuk Sergio serempak menarik pistol dari pinggang mereka lalu di arahkan ke wanita di sana. Sebelum ada yang terluka, Luciano langsung mengangkat tangannya.“Biarkan!” titahnya tanpa perubahan ekspresi, hanya dingin dan datar.Sementara Shiena, keberanian itu muncul begitu saja ketika amarah atas dendam lamanya pada sosok Luciano meluap. Apalagi ternyata identitas itu dimiliki oleh orang yang selama ini sangat dia hormati dan kagumi.“Jadi kamu adalah serigala penghisap darah berkedok kelinci yang nampak lembut dan manis? Sungguh aku makin membencimu, Luciano!” teriak Shiena hendak menyerang lagi, tapi dua pengawal langsung menakan lengannya.“Shiena, hentikan?” teriak direktur rumah sakit yang baru datang karena mendengar keributan di lobi.“Sekarang aku tau, kenapa ada keanehan di rumah sakit ini. Menerima pasien dengan luka tembak tanpa ada laporan ke kepolisian. Rupanya pemiliknya adalah penjahat itu sendiri!” teriaknya tak peduli.Shiena mer
“Kau bertanya apa hubunganku dengan keluarga Luther? Apa menurutmu aku sehebat itu?” ucap Vincent.Sayangnya sorot tajam Luciano masih menyala ke arahnya. Seolah tak percaya dengan jawaban pria paruh baya ini.“Mereka tidak mungkin bertanya tanpa sebab. Atau –“Luciano memiringkan kepala, lalu mengangkat dagu Vincent dengan satu jarinya.“Karissa adalah kerutunan Luther?” desisnya lirih.Vincent memperhatikan tatapan dari pria yang berdiri menjulang tinggi di depannya. Ada satu detik di mana lidahnya ingin bergerak mengucap semuanya. Ah, tidak. Ini belum saatnya. Kalau Luciano tahu bahwa Karissa adalah satu-satunya penerus darah murni Luther, dan anak yang dikandungnya adalah pewaris sah maka mereka tidak akan pernah aman.“Hahahaha! Maksudmu aku adalah anak dari keluarga itu? Apa kamu gila, Luciano?”Mata itu masih menyipit, meski tangannya sudah menjauh dari dagu Vincent.“Cocokkan saja DNA ku dengan DNA keluarga Luther. Orang seperti kalian pasti menyimpan basis data DNA di rumah sa
“Dok, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Karissa saat dokter memeriksanya pagi ini.Pria dengan jas putih itu tersenyum tipis. “Apa Anda tidak ingat sudah menelan cairan penggugur kandungan?”Dahi Karissa berkerut untuk coba mengingat. Kemudian menggeleng pelan saat dia merasa tidak melakukan hal segila itu.“Tidak perlu Anda pikirkan lagi. Anda tolong kendalikan diri, jangan stress dan makan dengan baik,” ucap dokter dengan tenang.Karissa diam, membiarkan dokter melakukan tugasnya. Dalam hatinya berpikir, apa mungkin Damian asli? Ingin bertanya pada Luciano, tapi dari kemarin pria itu selalu mengalihkan pembicaraan ketika dia bertanya banyak hal.“Tuan Damian sangat mencintai Anda. Hari itu, dia memilih menyelamatkan Anda karena situasinya darurat.”“Lalu, apa sekarang masih darurat?”Sang dokter diam sejenak untuk fokus menyuntikkan cairan melalui selang infus. Karissa yang merasakan sedikit reaksi di perut pun mendesis sambil mengusap perutnya.“Plasenta yang sudah terkena zat be
“Apa kali ini terasa manis?” bisik Luciano tepat di bibir Karissa yang baru saja dia cium dengan dalih menyuapi.Dan sialnya Karissa seperti terhipnotis. Dia mengangguk tipis dan kaku tanpa melepas tatapannya dari iris mata hitam sang suami.Senyuman smirk Luciano ukir tipis di sudut bibirnya. Tak mau membuang kesempatan yang selalu dia ciptakan sendiri, pria itu menggigit lagi biskuit dan kembali memasukkan ke mulut Karissa secara langsung.Tak ada penolakan. Wanita itu justru meremas selimutnya erat dan menerima dengan baik. Biskuit itu langsung remuk saat lidah mereka membelit bercampur dengan air liur yang tak lagi pahit, tapi sangat manit dan, panas!“Luciano, apa aku gila?” bisik Karissa dalam hati saat menikmati cara suaminya menyuapi. “Semua dalam dirinya kenapa selalu membuatku bertekuk lutut. Harusnya aku membencinya. Harusnya aku tak mau bersentuhan dengannya. Dia sudah menipuku habis-habisan dengan identitas palsu. Tapi –““Emhh ....” Karissa justru reflek melenguh ringan s
Langkah kaki Luciano terhenti saat mendapati Hector sudah berdiri di ujung lorong, berjalan ringan bersama tongkat kebesarannya. Pria tua itu seperti biasa, mengenakan mantel panjang dan tatapan yang selalu mengundang curiga. Seolah kematian bisa muncul dari balik senyumnya yang sopan.“Aku dengar, kamu sudah coba mengurus pemindahan nama,” ucap Hector saat mereka sama-sama berdiri berhadapan.“Hm,” jawab Luciano singkat.“Ya, seharusnya sejak dulu kamu memakai nama aslimu. Jadi tidak repot begini.”Luciano menarik napas dalam-dalam, menahan emosi yang mulai menghangat. Dia ingat, dulu Hector adalah orang yang pertama kali memberi ide supaya dia memakai identitas Damian untuk balas dendam pada Karissa. Bisa-bisanya sekarang berkata begitu.“Aku harus ke kantor. Jangan coba sentuh istriku. Atau opa benar-benar kehilangan bayi yang kau inginkan,” ucap Luciano dingin, menahan gejolak amarahnya.Hector mengangguk ringan, tak terguncang sedikit pun. “Aku tahu caraku menempatkan diri, Lucia
“Permisi, Anda dilarang buat keributan di sini.” Shiena berusaha meredam emosi wanita yang ada di tengah lorong karena ditarik oleh penjaga untuk menjauh.“Lepas! Aku hanya ingin menjenguk keponakanku!” teriak Darla, meronta.Sergio pun jadi ikut mendekat. “Nona, kondisi keponakanmu sangat tidak baik. Kalau Anda mencintainya, jangan buat kondisinya makin buruk,” ucapnya dingin.“Sudah cukup kesabaranku menghadapi kalian dan Damian.” Darla kembali berteriak, berharap Luciano mendengarnya.“Damian! Jangan sok-sokan mencintai Karissa! Keluarkan Kak Vincent dari penjara bawah tanah! Kau benar-benar ingin membuat mertuamu mati, hah! Damian – akh!”Mau tidak mau Sergio memukul tengkuk belakang Darla. Sampai wanita itu akhirnya pingsan.Shiena yang melihat hanya bisa menganga dengan sikap tak terduga Sergio untuk menangani wanita ini. Tapi tadi apa? Ayah Karissa di penjara.“Hei, tadi dia bilang –““Jangan keluar batas. Urus saja urusanmu sendiri,” sela Sergio lalu meninggalkan Shiena di sana