Pagi baru saja dimulai, tetapi Cahaya sudah jatuh cinta dengan kehidupan kampusnya. Ini adalah kehidupan yang sudah lama dia impikan. Setelah makan siang, semua orang kembali ke tempat tidur mereka untuk istirahat sejenak.
Cahaya, yang semalam tidur gelisah, berbaring dalam keadaan setengah sadar ketika dia mendengar suara lembut Dara memanggil namanya. “Aya,” suara Dara berbisik lembut, tangannya menyangga kepala saat berbaring miring.
“Hm?” Cahaya menoleh, menemukan mata Dara yang terfokus padanya, kepalanya sedikit terangkat dari bantal.
“Ada apa?” Cahaya berbaring miring, menatap mata Dara dengan rasa penasaran.
“Aku mau pinjam uang,” bisik Dara, suaranya nyaris tak terdengar.
Permintaan yang sederhana. Cahaya tidak sedang kesulitan uang. Dia hampir saja menanyakan jumlahnya ketika dia ingat bahwa situasi keuangannya tidak lagi sebebas dulu.
“Berapa yang kamu butuhkan?” tanyanya
Setelah kelas siang, Cahaya ikut bergabung dengan teman-temannya untuk makan di restoran kampus.Setelah itu, Dara pergi ke bimbingan, Indira menuju latihan tinju, dan Cempaka dijemput oleh bibinya.Kini, Cahaya sendirian di asrama.Dalam keheningan yang jarang terjadi, Cahaya duduk di meja dan mulai merapikan barang-barangnya. Dia memilah tugas-tugas lama, perlengkapan melukis, riwayat obrolan, log panggilan, kontak telepon, serta koneksi media sosial, termasuk akun yang didaftarkan oleh pemilik tubuh sebelumnya di platform video untuk mendokumentasikan perjalanan melukisnya.Cahaya terdiam sejenak, menatap layar komputer, dan menyadari bahwa ada potensi besar di sini.Melukis adalah bakat yang telah melekat padanya sejak kecil. Sebelum transmigrasi ini, keluarganya sangat terkenal dalam dunia seni dan perhiasan. Kakek dan kakak laki-lakinya menjalankan perusahaan perhiasan kelas dunia, sementara ibunya adalah pelukis terkenal yang set
Cempaka terdiam sejenak sebelum tersenyum penuh arti. "Aku tahu, pasti Galaxy memberi kamu beberapa saran semalam, kan?"Belum sempat Cahaya menjawab, ponselnya berdering, menampilkan nama Galaxy di layar.“Tsk,” Cempaka tersenyum jahil, melangkah ke kamar mandi untuk memberi mereka privasi.“Hallo,” Cahaya menjawab panggilan itu, sedikit bingung. Bukankah mereka baru saja bertemu hari ini?“Ada waktu yang nyaman besok malam?” tanya Galaxy langsung, suaranya terdengar tenang.Cahaya mengerutkan kening. Biasanya, dia pulang ke rumah setelah kelas Jumat sore untuk menghabiskan waktu bersama ayahnya, Karim. “Ada apa? Aku harus pulang besok untuk menemui ayahku.”“Aku akan mengantarmu pulang,” jawab Galaxy santai, “Tapi sebelum itu, aku ingin memperkenalkanmu kepada keluargaku.”Cahaya tertegun, “Tunggu... Apa yang kamu katakan? Bukankah ini terlalu cepat?&rdquo
Setelah kelas Jumat berakhir, Cahaya menerima pesan dari Galaxy. Dengan cepat, dia kembali ke asrama untuk berganti pakaian, lalu mengambil tasnya dan berjalan keluar menuju gerbang sekolah.Saat melangkah keluar, matanya tertuju pada sebuah mobil mewah yang terparkir di dekat kafe, tidak jauh dari gerbang. Mobil baru itu, yang sepertinya diatur oleh Rahadi, menarik perhatian banyak orang. Mereka tidak bisa menahan diri untuk melirik ke arah mobil tersebut saat mereka lewat.Dengan semangat, Cahaya melangkah cepat menuju mobil itu dan masuk dengan cekatan. Dia melemparkan tasnya ke kursi belakang dan berseru dengan antusias, “Mobil ini keren sekali, bahkan lebih keren dari foto-fotonya!”Galaxy, yang duduk di kursi pengemudi, melirik Cahaya dengan senyum santai. “Senang kamu suka,” katanya, suaranya tenang namun penuh arti. “Aku akan memberikannya padamu.”Mata Cahaya melebar karena terkejut mendengar kata-kata Galaxy.
Mobil berhenti dengan mulus di depan rumah besar keluarga Valden. Seorang pria paruh baya berpakaian rapi, yang jelas adalah seorang pelayan senior, langsung menghampiri Galaxy. Dengan sikap hormat namun kaku, dia menyapa, “Tuan Muda.”Galaxy, tanpa banyak basa-basi, melemparkan kunci mobil kepada pelayan itu sebelum beralih ke sisi lain mobil. Dia membuka pintu dengan anggun dan dengan lembut menggenggam tangan Cahaya, membantu gadis itu keluar. Cahaya merasa sedikit gugup, tapi sentuhan Galaxy yang tenang memberikan rasa aman.Pelayan tersebut berdiri di samping dengan ekspresi wajah dingin dan penuh rasa sinis, matanya menelusuri Cahaya dengan penilaian yang tidak terselubung.“Ini Nona Cahaya,” kata Galaxy dengan nada tenang namun penuh makna, menatap tajam ke arah pelayan yang terlihat gelisah di bawah tatapan itu.Pelayan tua tersebut sebenarnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran Cahaya, seorang gadis dari latar belak
Di ruang makan yang diterangi cahaya lembut, meja dipenuhi berbagai hidangan lezat, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Namun, ketegangan yang terasa di udara tidak dapat diabaikan."Apa yang terjadi tadi?" tanya Rahadi, matanya menyipit, mencoba memahami keributan yang terjadi di luar.Galaxy dengan tenang menarik kursi untuk Cahaya sebelum duduk di sampingnya. “Paman Li menunjukkan ketidakhormatan pada Cahaya, jadi aku memberinya sedikit pelajaran,” jawab Galaxy dengan nada datar.Darel, dengan alis terangkat, menjawab, "Aku belum pernah melihat Paman Li bersikap tidak hormat pada siapa pun."Paman Li, yang merupakan saudara dari pihak ibu Darel, adalah sosok yang dihormati di keluarga Valden. Mendengar ucapan Galaxy, Yuni ibu Darel, yang sedari tadi diam, tersenyum tipis. Dia kemudian menoleh ke arah Cahaya, bertanya dengan nada yang agak menantang, “Kamu Cahaya, ya?”Cahaya mengangguk patuh. “Ya, Tante,” j
'Paman?'Sebuah kesadaran tiba-tiba menyambar Cahaya, seolah kilat menghantam pikirannya. Galaxy memang memiliki seorang paman lagi selain Rahadi, namun dlam buku yang ia baca itu hanya menyebutkannya secara singkat—hanya dalam satu atau dua kalimat yang mudah terlewat. Kini, informasi itu kembali menghantui pikirannya dengan satu kata: "paman."Kegelapan yang menyelimuti hidup Galaxy sebenarnya dimulai ketika pamannya, Skylar Valden, dijebak dan jatuh dari kekuasaan. Kejadian itu terjadi pada musim panas, dengan semua orang di dalam buku mengenakan pakaian berlengan pendek.Apakah kejadian itu belum terjadi? Jka benar belum... Cahaya bisa memanfaatkan ini untuk memastikan bahwa itu tidak terjadi!"Ada apa?" tanya Galaxy ketika Cahaya tiba-tiba terdiam. Dia merapikan rambut Cahaya dengan lembut, seolah ingin menghapus kekhawatirannya. "Tidak enak? Mau aku ambilkan makanan lain?""Saya mau daging kecap," jawab Cahaya, matanya berbinar saat men
Dengan gerakan cepat, Darel menghentakkan sumpitnya ke meja, menciptakan suara "Craack!" yang tajam dan mengejutkan. Wajahnya memerah, penuh dengan emosi yang sulit ditahan. "Aku sudah kenyang!" serunya dengan nada ketus, berdiri dengan tiba-tiba dari kursinya."Duduklah," ujar Rahadi dengan nada tegas, alisnya berkerut dalam ketidakpuasan. "Kakakmu baru saja pulang, mari kita makan bersama dengan baik."Dengan enggan, Darel kembali duduk, tapi tidak tanpa membuat kursinya mengeluarkan bunyi keras, seakan mencerminkan kemarahan yang berkecamuk di dalam dirinya. Yuni, yang duduk di sebelahnya, segera mengikuti contoh Darel. Dengan gerakan cepat, ia meletakkan mangkuk dan sumpitnya, lalu berkata dengan dingin, "Aku ada urusan lain. Kalian lanjutkan makan saja."Tatapan putus asa Rahadi mengekor kepergian Yuni, namun dia tidak berusaha menahannya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa jika Yuni tetap tinggal, suasana di meja makan ini mungkin akan semakin memburuk.
“Paman, kau tahu aku tidak punya banyak hal lain yang bisa kuberikan,” kata Galaxy sambil dengan hati-hati menyajikan makanan ke piring Cahaya. Nada suaranya hangat, tapi ada kesan mendalam dalam kata-katanya, mengingat kembali percakapan sebelumnya. “Mobil ini adalah satu-satunya cara aku bisa menunjukkan ketulusanku kepada Aya.”Rahadi memandang Galaxy sejenak, matanya penuh dengan spekulasi sebelum bertanya dengan nada yang lebih ringan, “Kau masih memiliki keluarga Valden, bukan?”Namun, Galaxy hanya tersenyum tipis tanpa memberikan jawaban. Keheningan ini membuat Rahadi merasa lega, seolah-olah Galaxy masih memegang kendali atas situasi. Dalam upaya mengalihkan topik, Rahadi beralih pada Cahaya, bertanya dengan ramah, “Apakah kau bisa mengemudi?”Cahaya tersenyum patuh, “Bisa, Paman. Aku mengambil ujian mengemudi bersama teman sekamarku saat masih mahasiswa baru.”“Oh,” Rahadi me