Dua minggu setelah pendekatan sama Lidya, kami akhirnya memutuskan menikah, kedua orang tua sudah merestui hubungan kami. Kalau dibilang pacaran, gue nggak tahu, soalnya selama kita dekat, gue nggak pernah nembak dia, Mama langsung nyuruh lamar ke rumahnya begitu kami udah jalan lima hari. Kalau masalah perasaan, jujur gue belum ada rasa sama dia, tapi menurut gue hal itu bisa tumbuh dengan berjalannya waktu. Toh Lidya juga termasuk tipe gue. Jadi bukan hal yang sulit kalau menumbuhkan rasa suka dan cinta sama dia.
Selama dua minggu ini, Lidya sikapnya juga agak berubah, kalau pertama kali dia ketemu gue masih anget alias baik-baik aja, sekarang beda, dia sedikit dingin sama gue, nggak tahu alasannya apa. Tapi selama pdkt sama doi, seingatnya, gue nggak pernah nyakitin perasannya apalagi dua-in seperti mantan dulu. Apa dia nggak nggak ada rasa sama gue ya? Kayaknya nggak mungkin deh, dia kayaknya nyaman aja tuh waktu gue ajak jalan. Bodo amatlah, gue nggak perduli, selama dia setuju dan gue nggak maksa, menurut gue ok-ok aja. Toh, kalau pun sekarang dia nggak suka, gue masih bisa buat dia jatuh cinta, terlihat terlalu percaya diri memang, tapi melihat cewek yang pernah gue pacarin sebelumnya, hal ini sepertinya tidak mustahil.
"Vin, kamu udah fitting baju sama cari cincin buat pernikahan kamu, kan?"
"Udah, Ma. Persiapan udah 99%. Tinggal konfirmasi lagi aja."
"Bagus kalau gitu. Akhirnya dua hari lagi kamu nggak jomblo lagi, Nak."
Gue tersenyum, kalau biasanya nggak suka sama perkataan Nyokap yang ngatain gue jomblo, kali ini beda, mungkin ini efek mau kawin, eh? Nikah maksudnya.
Akhirnya ... setelah sekian lama ngejomblo gue bakal nikah juga, walaupun dengan cara perjodohan, nggak apa-apa yang penting bisa nyusul Rayhan dan Satria yang udah punya keluarga kecil bahagia.
Undangan udah disebar, dua sohib gue juga udah dapet, tapi reaksinya itu loh bikin geloh.
"Kamu beneran mau nikah, Vin?" Itu reaksi Rayhan saat dia menerima undangan dari gue, masih normal ya, gue juga langsung mengangguk buat jawab dia, tapi abis itu dia ngomong lagi. Bikin hati yang semula adem jadi panas.
"Kirain, lo kagak bakal nikah, Vin. Gue kira lo belok. Hahaha."
Anjay si Rayhan, temenan sama gue udah berapa lama coba, masih aja mikir begitu.
"Lo aja yang pikun, Han. Lupa kalau dulu gue playboy,"
Rayhan tertawa, membuat Emran yang berada dalam gendongannya menatap heran. Mungkin aja dia mikir, 'Bapak gue sehat nggak ya?'
"Oh iya-ya, Vin. Lupa gue. Soalnya lo udah lama jomblo sih, kan gue jadi mikir yang bukan-bukan, tapi bisa aja sih, itu kamuflase lo."
Setdah, itu mulut atau boncabe ya, pedes bener.
"Kamuflase mbah mu kayang, lo kira gue bunglon yang bisa merubah diri. Udah ah, gue mau ke rumah Satria."
"Bukan bunglon, tapi buaya."
Serah deh, Han, serah, lo mah kayak cewek, harus bener pokoknya. Abis dari rumah Rayhan gue cabut menuju Satria home. Sok inggris dikit nggak apa-apalah. Setelah sampai di rumah Satria, reaksinya ternyata juga nggak kalah gila dari Rayhan.
"Vino Ardiansyah? Ini beneran lo yang mau nikah?"
Eh, Bambwank! emang temen dia yang namanya Vino Ardiansyah ada berapa, pakai tanya lagi.
"Bukan, Sat. Itu nama monyet peliharaan gue, mau kawin dia."
Mendengar jawaban gue yang ngawur, Satria malah tertawa ngakak, bikin gue makin gedeg aja sama dia.
"Sejak kapan lu bertransformasi jadi monyet?" Masih dengan tawanya Satria mukul lengan gue. Sebleng nih orang.
"Terus, Sat, terus, lanjutin aja ketawanya sampai anak lo lahir."
Mendengar perkataan sebal dari gue Satria mencoba meredakan tawanya.
"Sorry, Vin. Gue cuma bahagia, akhirnya sohib tuir gue nikah juga. Tapi gue kok merasa kasihan ya ...." Satria menggantungkan kalimatnya, bikin gue makin penasaran sama kelanjutannya. Kasihan? Emang siapa yang dikasihani? Monyet imajinasi gue?
"Maksud lo apaan sih, Sat? Kasihan? Apanya yang kasihan?"
Satria auto masang 'kased' alias muka sedih. "Gue kasihan sama cewek yang mau nikah sama lo, Vin. Kasihan dia harus dapet suami tuir kaya lo."
Kampret sekampret-kampret nya Satria. Ada yang punya golok nggak sih, rasanya pingin gorok tuh orang buat dijadiin lauk di resepsi ntar.
Kalau punya temen kata gini enaknya diapain sih??
***
Hari H akhirnya tiba, gue ngadep depan cermin buat memindai penampilan gue.
"Cowok ganteng akhirnya kawin." Gue bermonolog di depan cermin, sambil ketawa-ketiwi nggak jelas. Seneng banget rasanya, apalagi ngebayangin ibadah malem, yang wenak, mwehehehe.
Tahajut maksudnya. Pahamkan? Apa jangan-jangan ada yang mikir sampai ke adegan 21+ juga.
Pas lagi asyik-asyiknya ngaca, handphone gue tiba-tiba bunyi, menampilkan nama Lidya dan gambar amplop.
Tumben nih anak lewat sms, bukannya WhatsApp.
Tanpa babibu lagi gue langsung buka pesan calon istri. Pasti dia mau bilang kakau deg-degan, biasanya hal ini kan sering terjadi.
Begitu pesan udah kebuka, dan menampilkan beberapa kata yang disusun Lidya, mata gue langsung melebar setelah membaca pesannya. Bahkan berulang kali gue baca terus, takut kalau ada kalimat yang salah gue baca, tapi ternyata nggak. Tulisannya masih sama.
Gila nih cewek! Ngajak ribut apa.
Vin, maaf. Aku nggak bisa dateng di pernikahan kita. Aku nggak cinta sama kamu, udah ada cowok lain sebenarnya. Tapi aku nggak tega buat ngomong langsung sama kamu, maaf kalau ketidak jujuranku bakal ngebawa kita sampai sejauh ini. Maaf, Vin, karena aku nggak mikir dari awal kalau bakal gini jadinya. Sekali lagi maaf, Vin. Kamu boleh membenci aku. Terserah. Karena ini memang kesalahan ku. Maaf.
Lidya.
Bangsat!
Dia nggak pernah diajarin menghargai orang apa. Kalau kayak gini keluarga gue yang malu.
Dada gue panas rasanya, marah, bingung, semua jadi satu. Mama gue gimana, dia yang paling antusias nyambut hari ini. Dengan perasaan kesal gue melempar handphone di atas kasur, walau pun dalam kondisi gini, gue masih waras buat nggak ngebanting handphone.
"Vin?"
Gue menoleh ke sumber suara, ternyata Mama. Mukanya lesu, dan menampilkan wajah kecewa. Gue nggak tahu kenapa, tapi kalau dugaan gue bener, kayaknya ini nggak ada bedanya samama kabar yang gue dapet.
"Keluar yuk, Sayang."
Gue mengikuti Mama menuju dapur, kemudian duduk di kursi yang pernah diduduki Juleha.
"Maafin, Mama, Nak." Mama meluk gue sambil terisak.
"Mama nggak tahu, kalau Lidya nggak pernah mau nikah sama kamu."
"Mama tahu?"
Nyokap mengangguk, ia sudah melepaskan pelukannya. "Tadi Maya ke sini, dia minta maaf sama Mama, Lidyanya kabur, dia nggak mau nikah sama kamu. Sekarang gimana, Nak? Undangan udah disebar, beberapa jam lagi tamu juga udah dateng. Mama nggak tahu lagi, Vin harus gimana?"
Nyokap kembali terisak, membuat dada gue naik turun nahan amarah. Ini keterlaluan, setidaknya Lidya ngasih tahu jauh hari sebelumnya, kalau udah kaya gini bukan hanya gue yang malu tapi Nyokap juga. Gue nggak bisa lihat nyokap nangis kayak gini.
"Mama maunya gimana? Kalau Vino nggak apa-apa, Ma, nahan malu. Tapi kalau Mama, Vino nggakak pernah rela."
Hening. Gue sama Nyokap sama-sama diam. Dan beberapa menit kemudian keheningan kami dipecahkan oleh suara cempreng Juleha.
"Bu, ada tamu katanya koncone Mas Vino."
Nyokap menatap gue, sesekali pandangannya noleh ke Juleha.
"Vin, kamu nggak mau bikin Mama malu, kan?"
Gue langsung mengangguk. Udah pastilah.
"Juleha mau bantuin, Ibu."
Juleha juga langsung ngangguk.
"Nak, kamu mau kan nikah sama Vino, jadi menantu Ibu, nolongin Ibu sama Vino."
"Ma?!" Gue langsung melotot, protes nggak terima. Demi apapun gue nggak mau nikah sama Juleha, si cewek ndeso yang udik.
"Kamu itu kebahagiaan Mama, Vin. Mama itu pingin lihat kamu nikah, selagi Mama bisa mendampingi kamu ...."
Gue sebenernya mau motong omongan Nyokap, nggak suka kalau pembicaraannya mengarah ke situ, tapi nggak jadi, karena jari telunjuk Mama yang menginstruksi buat berhenti.
"Tolonglah, Vin. Selagi Mama masih hidup. Mama pingin mendampingi kamu nikah, gendong cucu dari kamu."
Gue kembali diam, nggak tahu lagi apa yang harus diomongin.
"Juleha gimana, Nak? Mau kan bantuin Ibu?"
Kali ini Juleha nggakgak langsung ngangguk, dia juga bingung kayaknya. Pandangannya sesekali mengarah ke gue, tapi gue cuma menatap dia dengan tatapan tajam.
"T ... tapi, Bu--"
"Ibu Mo--"
"Juleha pasti mau kok, Ma. Mama nggak usah mohon-mohon. Ya kan Le?"
Juleha diam. Nggakak ada respon sama sekali. Tangannya malah milin ujung bajunya semakin cepat.
"Diamnya Juleha itu jawaban, Ma. Biasanya kalau orang ditanya, dan dia diam, pasti dia mau. Udah Le, lu pergi ke kamar gue, biar ntar perias dateng buat make up, lu."
***
"Bagaimana saksi, sah?"
"Sah!"
Suara Rayhan yang paling keras di antara yang lainnya. Gue udah hafal sama suara dia, karena tadi pagi, orang yang bertamu paling awal adalah dia.
Sekarang status gue benar-benar berubah. Jadi suaminya Juleha. Vino yang katanya ogah dan nggak mau nikah sama Juleha akhirnya jadi suaminya, Vino yang mantannya bening kaya ilernya sapi, akhirnya nikah sama cewek udik.
"Hai, Bro. Selamat ya, akhirnya temen tuir gue nikah juga." Rayhan meluk gue sambil nepuk bahu keras. Kemudian disusul Satria dan istrinya yang berada di belakangnya.
"Thanks, udah dateng." Gue tersenyum, agak terpaksa sebenarnya. Hari yang gue kira bahagia nyatanya cuma ilusi semata.
"Lo kenapa sih, Vin? Udah nikah juga muka masih aja lecek."
"Nggak ada apa-apa, Sat. Gue cuma syok, nggak nyangka bakalan nikah." Alibi gue sebenarnya.
"Bini lo Manis. Siapin diri buat olahraga malem."
Gue cuma senyum, bukannya nggak tahu apa yang dimaksud Satria, tapi gue males nanggepin.
"Cie, kawin juga." Rayhan ngedipin matanya ke gue, nggak tahu maksudnya apaan.
"Cie ... yang ntar malem adegan mau plus-plus."
Nih orang kenapa nggakak turun-turun sih.
"Iya-iya, ntar malam gue kawin. Puas kalian?! Heran kenapa nggak turun-turn coba," sungut gue mulai jenhah.
"Tuh kan, Sat, udah nggak nahan pingin ke kamar."
"Biasa, Han. Manten anyar."
"Dedek Juleha, yang sabar ya, kalau nanti Vino lemes duluan, udah tua soalnya, hahaha."
Sialan si Rayhan! Terus apa tadi katanya ... Dedek? Belum digeplak aja dia sama bininya, sembarangan aja manggil istri orang.
"Pada nggak ada kerjaan ya, lo pada. Jangan lupa tahu diri, dateng ke sini harus bawa kado."
"Tenang aja, udah gue bawain kok, satu bungkus tai kucing rasa vanila."
Edan si Rayhan. Kenapa sih sifat somvlaknya nggak hilang-hilang, padahal udah punya anak juga.
"Udah sono lo pergi. Di tunggu anak, istri noh di sana." Gue nunjuk Aira dan anaknya yang lagi mau ngambil makan. Tadi mereka emang sama Rayhan, tapi Aira turun duluan karena anaknya yang merengek minta makan.
"Oh iya, ya, ada makanan gratis, lupa gue." Rayhan tertawa sambil menepuk pundak gue, kemudian turun menemui anak dan istrinya.
Setelah itu gue noleh ke Satria yang nyengir lebar. Dia dari tadi berdiri di samping Rayhan, gue harap dia nggak berulah kaya si tengil tadi.
"Apa lagi?!" gue nyolot sebelum dia buka suara.
"Santuy, Vin. Galak banget. Gue cuma mau bilang, debaynya harus segera jadi pokoknya, biar ntar kita bisa posting sama-sama, coming soon debay unyu."
Streess Satria! Emang nggak ada yang bener temen gue. Tapi untung dia nggak banyak ngomong kayak biasanya.
Setelah menyalami beberapa tamu undangan, gue menoleh ke arah Juleha. Muka dia udah lelah kayaknya.
"Capek, Le?"
"Iya, Mas. Masih lama ta?" Juleha mukul-mukul betisnya sambil sesekali mengusap kakinya.
"Bentar lagi, tinggal dikit kok."
Kali ini Juleha mengangguk. Wajahnya yang polos jadi kelihatan tambah manis. Kok gue baru tahu sih, dia semanis itu--nggak-nggak, dia itu cuma cewek udik, Vin. Lo nggak boleh jatuh hati sama dia.
Udahlah, yang penting sekarang gue nikah. Status baru, pasangan hidup baru, dan dengan orang yang nggak pernah gue duga sebelumnya. Juleha, seseorang yang ditolong Mama, dan akhirnya menjadi istri gue. Semesta memang unik menjodohkan kami.
Hayuk, man-manteman, jangan lupa tinggalin jejak ya buat cerita ini. Semoga kalian suka. Luv ❤️
Aku menatap sekeliling kamar yang rasanya asing. Desainnya berbeda, lebih besar dari yang kukira. Ini adalah kedua kalinya aku memasuki kamar Mas Vino, yang pertama tadi pagi, karena di make-up di sana. Pikiranku gamang, masih tidak menyangka kalau sekarang sudah menikah, dan bersuamikan Mas Vino. Mataku dari tadi memindai apapun yang ada di sini. Jadi gini ya, kamarnya orang sugih. Uapik tenan. Ini mah lebih besar dari rumahku malah. Oh iya, soal rasa sama Mas Vino ... Mbohlah, aku nggak tahu, sebenarnya aku mengagumi Mas Vino dari pertama kali bertemu, dia tampan, nurut sama mamanya. Jarang lho ya, anak laki-laki yang udah besar begitu masih akrab sama ibunya. Aku bahkan sering memperhatikan dia diam-diam, walau kadang ketahuan juga. Lagi-lagi aku tersenyum, mengingat kalau sekarang sudah menjadi istrinya Mas Vino, bukan karena dia kaya, aku tidak pernah memperhatikan harta
"Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap datang seekor nyamuk. Hap! Langsung ditikung."Eh? Kayak ada yang salah sama lirik gue, bener nggak ya kayak gitu?Kayaknya bener, soalnya tuh cicak pada berbaris rapi kayak mantan, terus giliran mau dideketin lagi eh, malah ditikung sama orang.Ckckck, kasian amat yak yang nasibnya kayak gitu. Untung gue nggak pernah. Nggak pernah absen maksudnya.Hahaha, bohong gue, selama pacaran dulu gue lancar jaya, mangkanya cewek sama mantan gue bertebaran di mana-mana kayak laler.Saat gue lagi asyik menghitung barisan mantan, tiba-tiba aja semuanya buyar gara-gara suara cempreng my wife"Mas Vino, sarapan wes siap. Mau makan dulu atau gimana?!"Seketika gue langsung bangun dari rebahan sambil mengusap kuping gue.Gila! Itu suara juleha at
"Engh ... Mas Vino?"Sayup-sayup gue denger suara orang melenguh di telinga gue. Tapi siapa ya? Apa jangan-jangan Mak Lampir yang kemarin minta sumbangan nggak gue kasih.Nggak gue peduliin, gue makin memepererat pelukan ke guling.Eh? Kok guling gue rada aneh sih, jadi lebih keras dan gerak-gerak. Males buka mata dan penasaran sama guling, akhirnya gue gerayangin aja. Di mulai dari atas, berbulu, turun lagi ke bawah kok makin gerak-gerak ya, terakhir gue pencet-pencet benda lunak tapi runcing. Gitu gue pencet lama, malah keluar suara."Mmhh, Mas Vino, Juleha nggak bisa napas."Seketika mata gue langsung melek, begitu mendengar suara Juleha."Wanjir, lo ngapain tidur di ketek gue?!"Gue langsung bangun, melepaskan Juleha yang mangap-mangap gara-gara tadi gue kekepin, ditambah lagi hidungnya tadi gue pencet keras banget lagi."Ngg
"Juleha, nanti kamu bisa tolongin Mama?"Saat ini aku memang sudah merubah panggilan buat Mamanya Mas Vino, nggak bilang ibuk lagi, karena kata Mama, aku yang sekarang jadi mantunya berarti sudah kayak anak sendiri, baik banget toh mertuaku.Aku nggak pernah menyangka kalau Mamanya Mas Vino bisa menerima aku dengan baik, padahal aku iki cewek ndeso, katrok, dan nggak cantik pula, tapi beliau bisa nerima aku apa adanya. Yo ... walaupun sikap Mas Vino masih saja sinis, tapi aku percaya suatu saat nanti Mas Vino bakal tresno karo aku.Soalnya pepatah di desaku mengatakan 'Tresno jalaran songko kulino' jadi kalau aku biasa meperin Mas Vino, pasti bakal luluh juga. Orang batu aja kena hujan bisa berlubang, apalagi hati manusia."Tolongin nopo, Ma?""Kamu nanti temenin Vino belanja kebutuhan rumah ya, tadi Vino udah Mama
Ternyata nguliahin Juleha nggak semudah yang gue kira. Ribet tau nggak sih. Penyebabnya karena dia nggak bawa ijazah, alias ketinggalan di kampung halamannya, jadinya gue dan Juleha akhirnya pulang ke kampung halamannya buat ngambil ijazah. Untung masih ada, nggak dimakan ama rayap.Awalnya, waktu gue sampai di rumah Juleha, tetangganya pada kaget semua, karena Juleha yang pulang-pulang naik mobil, dan situlah kenyinyiran dimulai, dari yang ngatain Juleha gini lah, gitu lah, sampai ngatain suaminya tua, lha? Secara otomatis mereka ngatain gue tua dong, enak banget kalau ngebacot. Emang mulutnya pada pedes semua, ngalahin mie Samyang yang pedesnya naudzubillah.Heran gue, ngapain sih pada iri dan soudzon, padahal mereka nggak tahu kejadian yang sebenarnya tapi udah men judge seenaknya aja. Walau pun gue nggak pernah respek sama Juleha, tapi yang namanya suami, istrinya digituin gue ng
Juleha dari tadi cuma menunduk doang gue liatin. Dia baru aja gue marahin gara-gara ketahuan jalan sama Bagus. Sebenarnya bukan jalan sih, cuma ngerjain tugas kuliah aja. Kebetulan dia satu kelompok sama Bagus. Tapi biar bagaimanapun, gue tetep aja nggak suka, apalagi ketemuannya di Cafe yang nuansanya romantis. Itu kerja kelompok apa kencan, emang ngerjain di kampus nggak bisa apa?Juleha dari tadi cuma menunduk doang gue liatin. Dia baru aja gue marahin gara-gara ketahuan jalan sama Bagus. Sebenarnya bukan jalan sih, cuma ngerjain tugas kuliah aja. Kebetulan dia satu kelompok sama Bagus. Tapi biar bagaimanapun gue tetep aja nggak suka, apalagi ketemuannya di cafe yang nuansanya romantis. Itu kerja kelompok apa kencan, emang ngerjain di kampus nggak bisa apa?!Nggak tahu juga, kenapa gue sekarang juga over posesi
"Gue nggak minta banyak kok, Le. Gue cuma mau lo menuhin hak gue sebagai suami lo. Jadi buat malam ini, gue mau lo mendesahkan nama gue." Deg! Waduh, piye iki. Maksute wik-wik gitu? "Mas ...." Aku menggigit bibirku, bingung mau bilang apa, aku ndak siap begituan sama Mas Vino. "Kenapa? Lo nggak mau?" Ada nada kecewa dari suaranya. Duh, rasanya dia kayak mau merkaos aku daripada minta hak-nya. Tapi aku penasaran, hak apa yang dimaksud Mas Vino, apa benar seperti yang aku bayangkan, jangan-jangan cuma zonk, dan itu cuma pikiran mesumku saja. "Bu ... bukan, emm ... menuhin hak Mas Vino itu maksudnya gimana toh?" Tidak salah kan, kalau aku memastikan, daripada diketawain kayak dulu. "Lo umur berapa sih, Le?" "Delapan belas tahun, Mas."
Aku menyenderkan kepala di tembok, tidak lupa dengan tangan yang menopang dagu. Sebenarnya aku tuh bingung sama permintaan Mas Vino yang nyuruh aku dandan cantik, sedangkan aku saja nggak bisa dandan. Udah gitu dia bilang mau mendengar desahanku lagi, baru membayangkan saja rasanya sangat merinding."Awsh!!" Aku langsung memegang pipiku yang terasa dingin. Ternyata pelakunya Bagus toh, dia dengan tampang tidak bersalahnya langsung tertawa dan duduk di depanku."Ngapain sih lo bengong aja di kantin tanpa pesen apa pun. Nggak punya duit?""Bukan."Bagus mana tahu kalau aku sedang dilanda kebingungan karena suamiku yang tiba-tiba meminta jatah."Nih minum. Muka lo nggak banget deh, Leha. Kayak ibu rumah tangga yang mikir utang."Aku berdecak, memang aku ini sudah jadi ibu rumah tangga, wong aku saja sudah nikah. Tapi ... ini permasalahannya beda, bukan karen
Gue menatap bocil gue yang lagi main air, dia cuma pakai sempak doang di depan rumah sambil nyiprat-nyipratin air ke kucing yang kemarin ia temuin di got. Padahal itu kucing imut banget lho, tapi nggak tahu kenapa bisa nyungsep di got. Gue kira punya tetangga, tapi nggak ada tuh tetangga yang heboh nyariin kucingnya. Ya udah, sekarang dia rawat aja. "Dek, kasian kucingnya jangan dicipratin air terus." Gue menegur Ara yang masih asyik mainin air. "Ndak apa-apa, Yah. Lihat, lucu ya Yah, dia lari-lari." Dasar bocil! Dibilangin malah ketawa. Batu banget sih, anak siapa coba. "Ya Allah, Ara, kenapa cuma pakai sempak doang, Nak. Nanti masuk angin lho." Juleha yang baru saja datang langsung meletakkan kopiku di atas meja yang berada di dekatku. Lalu setelahnya dia hendak mendekati anaknya yang sekarang ngambil selang dan dimainin airnya sampai tumpah ke mana-mana. "Udah, Le, biarin aja. Tadi udah gue deketin suruh pakai kaos dalam nggak mau dia. Nih lihat, baju aku basah." Juleha meliha
“Kenapa, Mas?” Langkah kakiku langsung berhent begitu melihat Mas Vino yang menyentuh beberapa bagian bajunya, seperti tengah mencari sesuatu. “Handphone-ku nggak ada.” “Lho? Kok bisa? Mas Vino kan, rajin banget pijitin benda itu. Kok bisa hilang?” tanyaku ikutan panik. Apalagi itu bukan barang murah. Mengingat bagaimana bentuk gambar apel yang kegigit di belakang benda itu. Mas Vino nyengir lebar sambil menggaruk pelipisnya. “Nggak hilang kok, tapi kayaknya ketinggalan di mobil. Aku ambil dulu ya, kamu duluan saja.” “Tapi nanti kalau Mas Vino nggak nemuin Juleha gimana?” “Emang kamu sekecil upilnya semut apa, sampai nggak kelihatan. Tenang aja, dimanapun kamu bersembunyi, aku bakal tetep nemuin kamu.” Tuh kan, kumat lagi gombalannya. Ara saja sampai melongo melihat tingkah laku bapaknya itu. “Yah, Ala ajalin ngomong begitu dong.” “Ngomong apa?” Mas Vino yang semula ingin pergi jadi urung karena omongan anaknya. “Yang sepelti Ayah bilang ke Ibu tadi.” Mas Vino mengernyitkan a
Ara terlihat tertawa riang saat bermain dengan kakeknya. Saat ini kami tengah berada di rumah Pak Lik Jatmiko, sesekali kami memang mengunjungi beliau, kadang juga sampai bermalam di sini. Beliau sudah kembali ke kampong halamannya. Jadi, selama ada waktu luang atau sedang berlibur, kami akan datang ke sini, kadang juga beliau yang datang ke rumahnya Mas Vino.Tanggapan Mama mertuaku?Tentu saja Mama menyambutnya dengan baik. Tidak semua orang sugih itu kejam kayak di pilm-pilm. Meski pada awalnya aku juga berpikir begitu sih. Hihihi.Bukan hanya itu, Mas Vino juga memberi modal untuk lelaki paruh baya ini agar tidak perlu lagi bekerja keras di luar. Sekarang beliau jualan sembako di rumahnya. Toko kecil yang dibangun atas bantuan Mas Vino. Beruntung sekali aku mempunyai suami sepertinya.“Lho, cucunya berkunjung lagi, Pak?” Salah satu pembeli yang hendak membeli sesuatu itu bertanya saat melihat Ara sedang bermain di took. Aku hanya mengamatinya dari dalam sebelum akhirnya masuk ke d
Empat tahun sudah berlalu, kehidupan gue benar-benar berubah. Di umur gue yang sudah menginjak tiga puluh dua tahun ini, akhirnya gue mempunyai keluarga kecil, bersama seorang wanita yang tak pernah gue sangka sebelumnya. Seorang wanita ndeso, katrok yang jauh dari kriteria idaman gue selama ini. Tapi kalau Tuhan sudah menggariskan dia jodoh gue, gue bisa apa selain menerima, toh … ternyata dia juga jadi sumber kebahagiaan gue. Oh iya, anak gue udah umur empat tahun seperempat, dan pastinya makin aktif dong. Dia udah bisa jalan ke sana-ke mari nangkepin nyamuk, sampai emaknya aja dibuat kualahan sama tingkahnya yang begitu aktif. Awalnya gue sedih waktu lihat kondisi dia saat itu. Gue takut kalau dia bakal berbeda dengan bayi normal lainnya, tapi alhamdulilah, sekali lagi gue wajib bersyukur dengan perkembangannya sekarang yang begitu aktif dan cantik. Bibit cogan gue nurun ke dia dong pastinya, tapi ini versi cewek. "Ayah." Arabella berteriak begitu melihat gue keluar dari mobil, di
“Mas, ini gimana cara pakainya?”“Nggak tahu, aku nggak pernah pakai soalnya.”Juleha kembali memberenggut. Pagi-pagi sudah heboh sendiri. Maklum, hari ini adalah hari pertamanya kuliah setelah mengambil cuti. Anak kita juga sudah pulang ke rumah. Dia sudah diperbolehkan keluar dari incubator. Begitu dia diperbolehkan pulang, Mama dengan antusiasnya langsung menjemput cucu kesayangannya itu. Bahkan besoknya langsung mengadakan syukuran atas pulangnya Arabella.“Mas Vino bantuin dong!”Gue yang awalnya lagi siap-siap dengan mengancingkan lengan kemeja jadi urung, dan malah mendekati Juleha yang lagi memegang bulatan putih di tangannya itu. Untung saja Arabella sedang diajak Mama jalan-jalan di depan rumah, sambil sekalian berjemur. Jadi kami bisa siap-siap tanpa khawatir.“Biasanya ada cara pakainya lho, Le. Dikemasannya apa nggak ada?”“Oh iya-ya, coba Mas Vino baca biar Juleha yang praktikan.”“Ha?” Gue sampai menggaruk rambut mendengar usulan Juleha. Ada-ada saja sih. Duh, harusnya
"Emh." Aku mengerjapkan mata perlahan, tapi saat hendak menarik tanganku malah terasa berat, ternyata ada yang memegangnya. Melirik jam yang tergantung di dinding, ternyata udah mau masuk subuh.Aku mengusap surai hitam yang saat ini tengah rebah dengan wajah yang menghadap ke arahku. Mas Vino begitu manis, dia bahkan rela menjagaku sampai pagi begini, apalagi dengan posisi seperti ini. Pasti pegal sekali. Kenapa dia tidak tidur di sofa saja sih, kalau bangun nanti, pasti lehernya sakit.Aku menghembuskan napas perlahan, menyadari hari di mana Mas Vino ketemu sama Mbak Lidya dan berpelukan mesra, mereka memang pasangangan yang romantis, aku saja yang tak tahu dirinya mengiyakan permintaan Mama untuk menikah dengan Mas Vino. Sesak rasanya menyadari kalau suamiku belum juga mencintaiku. Mencintai sendirian itu menyakitkan. Tahu yang lebih parahnya lagi di mana? Aku malah berhalusinasi Mas Vino mengatakan mencintaiku dan tidak ingin merawat anaknya kalau bukan denganku. Aneh sekali 'kan.
Sepi. Itu yang gue rasain sekarang, gue kagen banget sama celotehnya Juleha, sama sikap katroknya yang dulu bikin gue ogah-ogahan dan ilfiel, bahkan sama bibir manyunnya yang sering bikin gue gemes. Kemarin gue emang salah sampai membandingkan scenario temen sama yang sudah diusun ke gue. Harusnya gue bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi Ayah. Lagi pula, setiap orang pasti ada jalan ceritanya sendiri dalam menggapai kebahagiannya.Sebenarnya kalau disuruh pilih, gue pingin banget kejadian kemarin adalah mimpi buruk belaka, dan saat bangun sudah disambut dengan senyuman Juleha, tapi apa daya … kalau penulis scenario hidup gue berkata lain, gue bisa apa selain menerima."Vin, kamu mau ke rumah sakit sekarang?" Mama menghentikan aktifitasnya begitu melihat gue turun dari tangga."Iya, Ma, kasian anak Vino sendirian." Gue tersenyum."Halah, alasan, paling kamu mau apel sama suster, kan." Mama memicing curiga."Hahaha, apanya yang mau diapelin sih, Ma. Menantu kesayangan
Gue duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetaran, di samping gue ada Pak Lik Jatmiko yang dari tadi mencoba menguatkan dengan sesekali mengusap punggung gue. Kepala gue dari tadi menunduk dengan posisis tangan saling menyatuh. Sungguh, perasaan gue nggak karuan, bahkan kemungkinan terburuk dari tadi terus kepikiran, meskipun sudah mencoba meyakinkan diri bahwa mereka akan baik-baik saja, tapi bayangan buruk sialan itu tetap aja berkelebat.Tes!Sial! Kenapa gue nangis lagi sih, cengeng banget. Andai saja gue dibolehin masuk buat lihat kondisi Juleha atau ikut menanganinya, mungkin gue sekarang bisa menyaksikan perjuangannya di dalam, tapi apa daya, para pihak medis yang menangani Juleha melarang gue, katanya nanti ditakutkan gue panik di dalam sana dan menganggu proses operasi."Vin?"Gue menoleh ke arah orang yang memanggil gue. Rayhan, Satria, dan Aris datang menghampiri gue dan menepuk pelan punggung gue. Gue emang sengaja ngabarin mereka buat meminta do'a untuk keselamatan anak d
Wanita ini masih tidak menjawab, dia malah berontak mencoba melepaskan cengkraman gue. Tidak mau kami jadi pusat perhatian dan terjadi drama kayak film Bollywood, gue langsung aja narik dia keluar, kemudian memutar tubuhnya dan menghadapkan ke arah gue.."Le, jangan nunduk. Angkat kepala kamu."Wanita ini masih menggeleng, rambutnya yang panjang nutupin mukanya, makanya nggak terlalu jelas. Karena nggak ada pilihan lain, gue sedikit memaksanya untuk mendongakkan kepalanya, lalu menyibak rambut di depan wajahnya, dan benar saja dugaan gue."Aku kangen sama kamu, Le. Kenapa pergi gitu aja, hmm?" Gue langsung memeluk dia di pinggir jalan, bodo amat jika kelakuan kita jadi tontonan. Gue terlalu rindu sama wanita ini. meskipun ada rasa kecewa, karena tidak ada balasan sama sekali dari wanita yang ada dalam rengkuhan gue ini. Bahkan setelah lima detik berlalu."Mas Vino lepasin Juleha, anak kita penyet ntar, kalau dipeluk keras begini."Gue terkekeh, senang sekali mendengar suaranya kembali