Aku menatap sekeliling kamar yang rasanya asing. Desainnya berbeda, lebih besar dari yang kukira. Ini adalah kedua kalinya aku memasuki kamar Mas Vino, yang pertama tadi pagi, karena di make-up di sana.
Pikiranku gamang, masih tidak menyangka kalau sekarang sudah menikah, dan bersuamikan Mas Vino. Mataku dari tadi memindai apapun yang ada di sini. Jadi gini ya, kamarnya orang sugih. Uapik tenan. Ini mah lebih besar dari rumahku malah.
Oh iya, soal rasa sama Mas Vino ... Mbohlah, aku nggak tahu, sebenarnya aku mengagumi Mas Vino dari pertama kali bertemu, dia tampan, nurut sama mamanya. Jarang lho ya, anak laki-laki yang udah besar begitu masih akrab sama ibunya. Aku bahkan sering memperhatikan dia diam-diam, walau kadang ketahuan juga.
Lagi-lagi aku tersenyum, mengingat kalau sekarang sudah menjadi istrinya Mas Vino, bukan karena dia kaya, aku tidak pernah memperhatikan hartanya. Tapi rasa bahagia itu hadir begitu saja, setelah statusku berubah jadi istrinya.
Awalnya aku mengira Mas Vino akan nolak permintaan Ibu, tahu sendiri kan, Mas Vino tuh sepertinya ora seneng karo aku. Buktinya dia sering menatap tajam. Tapi nggak nyangka, ternyata tadi malah Mas Vino yang mengiyakan. Padahal aku sendiri bingung mau jawab apa.
"Ngapain lo senyum-senyum?" Mas Vino menegurku dengan nada sinisnya. Sudah biasa aku mendapatkan perlakuan begitu darinya. Dia baru selesai mandi, rambutnya saja masih basah. Duh! Kok jadi makin tampan yo. kalau nggak salah, istilah yang aku denger dari tipi kemarin adalah sexy. Bener kan? Apalagi perutnya yang kayak tahu bulat itu lho, minta ditabok sama panci dapur. Mengundang banget buat dipegang kaum hawa.
Ah! Mboh lah. Aku ini mikir opo sih, kok jadi ke.mana-mana gini.
"Lo kenapa sih, Le. Mukul-mukul kepala gitu."
"Eh? Ndak apa-apa kok, Mas." Aku gelagapan, gugup banget soalnya. Belum pernah aku berduaan di dalam ruangan dengan lelaki yang hanya memakai handuk doang.
"Ya udah jangan diam aja. Cepetan mandi! Gue nggak mau deket-deket kalau lo bau."
Aku mengangguk, kemudian hendak ke luar kamar, tapi tidak jadi begitu Mas Vino kembali menegurku.
"Eh-eh, lo mau ke mana?"
"Mandi, Mas. Tadi Mas Vino bilang nyuruh mandi."
"Iya, tapi ngapain lo ke luar? Kamar mandi ada di dalem."
"Juleha, mau ngambil handuk, Mas. Di sini kan ndak ada handuknya Juleha."
Mas Vino berdecak, koyoke sebel karo aku.
"Pakai handuk gue aja, nggak usah buka-buka pintu." Mas Vino megang handuk yang menutupi bagian bawahnya, dengan cepat aku juga langsung teriak.
"Lo kenapa lagi sih, Le teriak-teriak. Belum juga gue apa-apain." Mas Vino mulai geram.
"Mas Vino mau ngapain pegang handuk yang Mas Vino pakai. Juleha ndak mau makai yang itu. Abis gesekan sama itu-nya Mas Vino." Aku masih menutup wajahku dengan tangan.
"Kotor mulu pikiran lo, handuk gue emang mu melorot, makanya gue pegang. Siapa juga yang mau ngasih lo handuk ini."
Eh?
Aku langsung membuka tanganku yang menutup wajah. Jadi aku salah mengira. Ya Allah, Juleha, malu-maluin diri aja kamu.
"Cepetan mandi. Abis itu lo tunaikan kewajiban lu." Mas Vino melemparkan handuk ke arahku, dan langsung aku tangkap dengan sigap, setelah itu langsung mengangguk cepat. Sebenarnya gugup.
Di dalam kamar mandi aku terus memegang dadaku yang lagi dangdutan. Duh, padahal nggak ada tetangga yang lagi kondangan, kenapa jedag-jedug nggak karuan coba. Tadi kalau nggak salah Mas Vino juga bilang tunaikan kewajiban kan? Kewajiban sing kepiye? Apa Mas Vino mau meminta hak-nya? Aduh, kok aku jadi takut gini. Rasanya sakit nggak ya kalau dimasukin gitu.
"Eh, ikan lele. Ngapain lo bengong aja. Buruan mandi! Ntar masuk angin, gue nggak mau tanggung jawab."
Lho? Mas Vino kok tahu aku belum mandi, dia ngintipin aku ya?
Reflek aku langsung melihat ke sekeliling, takut di pasang kamera tak terlihat yang biasanya sering aku lihat di tipi. Tapi kayaknya aman-aman aja, bahkan pintu kamar mandi juga udah aku kunci.
"Mas Vino kok tahu aku belum mandi? Ngintip yo!" Aku langsung membuat bentengan di depan dada.
"Nggak ada yang menarik buat diintip. Tepos semua gitu. Buruan lo mandi."
Aku mengamati tubuhku. Hilih, bilang tepos tapi ngintip.
"Mas Vino jangan bohong. Juleha nggak ikhlas kalau di intip."
"Ya ampun, Juleha, gue nggak ngintip. Bunyi air aja nggak kedengeran. Ya jelas gue tahu lo lagi mandi."
Eh iya ya. Aduh bego banget sih. Lagi-lagi memalukan diri sendiri, hebat kamu Juleha. Sayup-sayup aku juga dengar Mas Vino yang mengataiku.
"Dasar Streess!"
Sudahlah, tidak perlu aku hiraukan. Langsung saja aku membuka pakaianku buat mandi. Tapi pas mau nyalain airnya kok jadi bingung sendiri. Ini caranya gimana toh?
"Mas Vino."
"Apa?" Mas Vino membalas ketus.
"Ini cara nyalain krannya kepiye, ora mudeng, aku, Mas."
Aku pastikan Mas Vino sepertinya sudah menahan marah.
"Buka dulu pintunya, gue nggak bisa masuk!"
Lho? Piye iki. Aku kan udah nggak pakai baju. Oh iya, pakai handuk. Nggak apa-apa, Mas Vino nggak bakal napsu, dia bilang sendiri kok kalau aku tepos.
Aku langsung membuka pintu kamar mandi, dan membiarkan Mas Vino masuk, tanganku yang lain memegang erat handuk di tubuhku.
"Ndeso banget sih, lo! Gini aja nggak bisa, nih lihat caranya. Diinget-inget biar nggak tanya lagi."
Aku mengangguk sambil memperhatikan Mas Vino yang menyalakan kran, lalu kemudian disusul dengan keluarnya air dari atas.
"Kalau yang ini tinggal di pencet ujungnya nih. Paham nggak?"
"Paham, Mas. Owalah, jadi gitu caranya. Aku kira itu selang, Mas. Habis bisa molor panjang gitu. Makasih ya, Mas." Aku beralih menatap Mas Vino yang masih liatin aku terus, dan aku perhatikan dia liatin ke paha aku. Lho? Kok kayak orang pingin nerkam gitu, bukannya tadi bilangnya nggak minat ya.
"Mas Vino, udah, Mas. Makasih." Aku mengingatkannya, dan dia langsung gelagapan dan berdehem.
"Ekhem! Diinget-inget, awas kalau tanya lagi. Jadi cewek itu jangan katrok-katrok."
Seperti biasa omongan Mas Vino selalu ngejleb di hati. Dan setelah mengatakan itu Mas Vino pergi meninggalkanku.
Juleha emang katrok, Mas. Nggak usah diperjelas.
Setelah mandi aku langsung bergegas ke luar. Udah ganti baju juga di dalam.
"Lo udah siap, kan?"
Duh, rasane kok dredeg yo. Jangan-jangan bener lagi Mas Vino mau minta jatahnya. Sebenarnya aku belum siap. Tapi harus, apapun resikonya tugas istri memang melayani suaminya.
"Udah, Mas." Aku memilin baju semakin cepat, kebiasaan kalau lagi gugup dan kebingungan.
"Ya udah sini." Mas Vino menyuruhku mendekat. Tapi ada yang aneh, kok Mas Vino pakai baju gitu ya?
Maksudnya, dia pakai baju koko rapi banget, nggak keliatan mau hinak-hinuk.
Dengan ragu aku mulai mendekati Mas Vino.
"Cepetan, Juleha. Jangan lama-lama, keburu kemaleman entar!"
Mendengar suara Mas Vino yang naik, aku pun mempercepat langkah.
"M ... Mas, jangan keras-keras ya."
"Ya harus keras lah, ini kan malem jadi harus jahr, nggak mungkin gue diem aja."
Tuh, kan. Duh, Mas Vino kok gitu ya. Piye iki?
"Sakit nggak, Mas?"
Mas Vino mengerutkan alis, nggak tahu maksudnya apa, aku udah gugup.
"Sakit apaan? Nggak mungkin kalau sakit, yang ada makin sehat lo."
"Tapi jangan kasar-kasar ya, Mas. Juleha masih perawan."
Mas Vino semakin mengerutkan alisnya. " Maksud lo apaan sih, Le? Apa hubungannya sholat Isya' sama perawan?"
Sholat Isya'? Aduh! Jangan-jangan yang dimaksud Mas Vino menunaikan kewajiban itu adalah Sholat wajib. Aku dan Mas Vino kan belum sholat.
Duh, malu aku. Bisa-bisanya mikir sing ora-ora. Untuk yang kesekian kalinya aku kembali mempermalukan diri di malam pertama kami.
"Oh, gue tahu sekarang. Lo mikir yang bukan-bukan, kan, Le? Lo kira tunaikan kewajiban, itu kewajiban yang ehem, kan?"
Mas Vino tertawa, membuat wajahku semakin terasa panas. Duh, ketahuan lagi. Apa aku pura-pura lupa ingatan aja ya, terus bilang. Saya siapa, kamu siapa, kita lagi apa?
"Bukan! Juleha nggak mikir begitu."
"Ngeles ae lu, udah jelas-jelas ketahuan gitu. Gini ya, kalau emang lo ngak mikir yang bukan-bukan, emang apa hubungannya perawan sama sholat Isya, hmm?"
Aku menggigit bibir bawahku, bingung mau menjawab apa, karena memang itu kebenarannya.
Mas Vino kembali tertawa. "Gak bisa jawab kan lo. Hahaha."
"Mas Vino, wes lah ketawanya. Isin aku."
"Nggk nyangka gue, kalau otak lo nggak sepolos yang gue kira. Emang bener jangan lihat sesuatu dari covernya. Contohnya ya kayak lo gini."
Aku diam saja. Katain terus, Mas. Terus aja gitu, sampai Superman ganti sempak di dalam. terserah Mas Vino mau mikir apa. Aku udah nggak perduli.
"Le, lu beneran mau gituan sama gue?"
Kok Mas Vino tanyanya gitu, apa dia nggak mau nyentuh aku, gara-gara aku ini cewek ndeso, katrok?
"Kok Mas Vino tanyanya gitu?"
Mas Vino menatap lekat mataku, entah apa yang dipikirkannya aku nggak tahu.
"Nggak apa-apa. Ayo sholat keburu malem."
Tapi kata-katanya Mas Vino ada yang aneh, apa gara-gara efek usia yang semakin tua. Keburu malem? Bukannya ini memang sudah malem ya.
"Ini kan emang udah malem, Mas."
"Ck, ngeles aja lo, udah buruan sholat, abis ini lo jangan tidur sebelah gue, kalau gue khilaf, bisa bunting lo ntar."
Aku menunduk, memilin jariku, memikirkan perkataan Mas Vino. Dia takut aku hamil? Apa dia tidak ingin aku mengandung anaknya?
***
Pagi hari setelah sholat subuh, aku langsung membantu ibu di dapur, di sana juga sudah ada orang paruh baya, aku tidak tahu siapa, tapi kayaknya udah akrap sama Ibu.
"Pagi, Bu."
"Pagi, Juleha, pengantin baru kok udah bangun sih?"
"Hehehe iya, Bu. Maaf ya, Juleha baru bisa bantu Ibu, kesiangan tadi bangunnya."
Aku tersenyum, sebenarnya tidak enak, tapi mau bagaimana lagi gara-gara ndak bisa tidur jadinya kesiangan.
"Iya, nggak apa-apa, ibu maklum kok, namanya juga pengantin baru--eh, Juleha kenalin ini Bik Minah yang kemarin pulang kampung. Bik Minah ini mantu saya namanya Juleha."
Aku menyambut uluran tangan Bik Minah, kemudian menciumnya, sebagai rasa hormat karena dia lebih tua.
"Duh, Non. Kenapa dicium?"
"Nggak apa-apa. Bibi kan lebih tua dari Juleha."
"Ya tapi nggak enak, Non, saya."
Aku juga nggak enak ih kalau dipanggil 'non' enak dipanggil Juleha aja biar akrab.
"Nggak apa-apa, Bik, Juleha malah nggak enak kalau harus dipanggil--"
"Pagi, Mama."
"Kamu ini, Vin. Udah nikah juga jam segini baru bangun, pantes aja kawinnya lama."
Mas Vino nyengir lebar. "Mama nggak boleh gitu, semalem, kan Vino capek, Ma. Gara-gara ngajak Juleha goyang."
'Goyang? Maksute Mas Vino opo? Goyang opo? Goyang dombret atau jaran goyang?'
"Goyang opo, Mas? Semalem kan Mas Vino langsung tidur."
"Lo nggak perlu tau, Le. Otak lo masih terlalu bersih buat gue kotorin."
Kok malah jadi bingung yo. Ibu juga langsung memelototi Mas Vino
"Mas Vino mau dimasakin opo?"
"Lele goreng pedas, gak usah pakai sambal dan nggak pakai lele."
Lho Mas Vino kok aneh, minta lele goreng pedas kok nggak pakai sambal sama lele. Terus yang di goreng iku opo.
"Maksudnya apa sih, Mas. Nggak paham Juleha."
"Udah Juleha nggak usah diladenin suami kamu. Mending kamu mandi, Vin, biar seger gitu."
Mas Vino mengangguk, sebelum pergi dia masih saja bercanda.
"Bik Minah, makin tua kok makin cakep sih," ujarnya kemudian mengerlingkan sebelah matanya. Sikap humorisnya memang ditunjukan ke siapa saja, pengecualian diriku mungkin.
"Aden, bisa aja."
Setelah itu Mas Vino tertawa dan pergi meninggalkan kami di dapur.
Ah! Lelaki itu, tak pernah kusangka kalau akhirnya menjadi suamiku. Dalam hati sebenarnya aku memikirkan hal yang akan datang, akankah pernikahanku bersama Mas Vino bisa langgeng sampai tua, sedangkan dia saja sepertinya tidak menyukaiku.
***
hayuk tinggalin jejaknya, semoga suka ya
"Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap datang seekor nyamuk. Hap! Langsung ditikung."Eh? Kayak ada yang salah sama lirik gue, bener nggak ya kayak gitu?Kayaknya bener, soalnya tuh cicak pada berbaris rapi kayak mantan, terus giliran mau dideketin lagi eh, malah ditikung sama orang.Ckckck, kasian amat yak yang nasibnya kayak gitu. Untung gue nggak pernah. Nggak pernah absen maksudnya.Hahaha, bohong gue, selama pacaran dulu gue lancar jaya, mangkanya cewek sama mantan gue bertebaran di mana-mana kayak laler.Saat gue lagi asyik menghitung barisan mantan, tiba-tiba aja semuanya buyar gara-gara suara cempreng my wife"Mas Vino, sarapan wes siap. Mau makan dulu atau gimana?!"Seketika gue langsung bangun dari rebahan sambil mengusap kuping gue.Gila! Itu suara juleha at
"Engh ... Mas Vino?"Sayup-sayup gue denger suara orang melenguh di telinga gue. Tapi siapa ya? Apa jangan-jangan Mak Lampir yang kemarin minta sumbangan nggak gue kasih.Nggak gue peduliin, gue makin memepererat pelukan ke guling.Eh? Kok guling gue rada aneh sih, jadi lebih keras dan gerak-gerak. Males buka mata dan penasaran sama guling, akhirnya gue gerayangin aja. Di mulai dari atas, berbulu, turun lagi ke bawah kok makin gerak-gerak ya, terakhir gue pencet-pencet benda lunak tapi runcing. Gitu gue pencet lama, malah keluar suara."Mmhh, Mas Vino, Juleha nggak bisa napas."Seketika mata gue langsung melek, begitu mendengar suara Juleha."Wanjir, lo ngapain tidur di ketek gue?!"Gue langsung bangun, melepaskan Juleha yang mangap-mangap gara-gara tadi gue kekepin, ditambah lagi hidungnya tadi gue pencet keras banget lagi."Ngg
"Juleha, nanti kamu bisa tolongin Mama?"Saat ini aku memang sudah merubah panggilan buat Mamanya Mas Vino, nggak bilang ibuk lagi, karena kata Mama, aku yang sekarang jadi mantunya berarti sudah kayak anak sendiri, baik banget toh mertuaku.Aku nggak pernah menyangka kalau Mamanya Mas Vino bisa menerima aku dengan baik, padahal aku iki cewek ndeso, katrok, dan nggak cantik pula, tapi beliau bisa nerima aku apa adanya. Yo ... walaupun sikap Mas Vino masih saja sinis, tapi aku percaya suatu saat nanti Mas Vino bakal tresno karo aku.Soalnya pepatah di desaku mengatakan 'Tresno jalaran songko kulino' jadi kalau aku biasa meperin Mas Vino, pasti bakal luluh juga. Orang batu aja kena hujan bisa berlubang, apalagi hati manusia."Tolongin nopo, Ma?""Kamu nanti temenin Vino belanja kebutuhan rumah ya, tadi Vino udah Mama
Ternyata nguliahin Juleha nggak semudah yang gue kira. Ribet tau nggak sih. Penyebabnya karena dia nggak bawa ijazah, alias ketinggalan di kampung halamannya, jadinya gue dan Juleha akhirnya pulang ke kampung halamannya buat ngambil ijazah. Untung masih ada, nggak dimakan ama rayap.Awalnya, waktu gue sampai di rumah Juleha, tetangganya pada kaget semua, karena Juleha yang pulang-pulang naik mobil, dan situlah kenyinyiran dimulai, dari yang ngatain Juleha gini lah, gitu lah, sampai ngatain suaminya tua, lha? Secara otomatis mereka ngatain gue tua dong, enak banget kalau ngebacot. Emang mulutnya pada pedes semua, ngalahin mie Samyang yang pedesnya naudzubillah.Heran gue, ngapain sih pada iri dan soudzon, padahal mereka nggak tahu kejadian yang sebenarnya tapi udah men judge seenaknya aja. Walau pun gue nggak pernah respek sama Juleha, tapi yang namanya suami, istrinya digituin gue ng
Juleha dari tadi cuma menunduk doang gue liatin. Dia baru aja gue marahin gara-gara ketahuan jalan sama Bagus. Sebenarnya bukan jalan sih, cuma ngerjain tugas kuliah aja. Kebetulan dia satu kelompok sama Bagus. Tapi biar bagaimanapun, gue tetep aja nggak suka, apalagi ketemuannya di Cafe yang nuansanya romantis. Itu kerja kelompok apa kencan, emang ngerjain di kampus nggak bisa apa?Juleha dari tadi cuma menunduk doang gue liatin. Dia baru aja gue marahin gara-gara ketahuan jalan sama Bagus. Sebenarnya bukan jalan sih, cuma ngerjain tugas kuliah aja. Kebetulan dia satu kelompok sama Bagus. Tapi biar bagaimanapun gue tetep aja nggak suka, apalagi ketemuannya di cafe yang nuansanya romantis. Itu kerja kelompok apa kencan, emang ngerjain di kampus nggak bisa apa?!Nggak tahu juga, kenapa gue sekarang juga over posesi
"Gue nggak minta banyak kok, Le. Gue cuma mau lo menuhin hak gue sebagai suami lo. Jadi buat malam ini, gue mau lo mendesahkan nama gue." Deg! Waduh, piye iki. Maksute wik-wik gitu? "Mas ...." Aku menggigit bibirku, bingung mau bilang apa, aku ndak siap begituan sama Mas Vino. "Kenapa? Lo nggak mau?" Ada nada kecewa dari suaranya. Duh, rasanya dia kayak mau merkaos aku daripada minta hak-nya. Tapi aku penasaran, hak apa yang dimaksud Mas Vino, apa benar seperti yang aku bayangkan, jangan-jangan cuma zonk, dan itu cuma pikiran mesumku saja. "Bu ... bukan, emm ... menuhin hak Mas Vino itu maksudnya gimana toh?" Tidak salah kan, kalau aku memastikan, daripada diketawain kayak dulu. "Lo umur berapa sih, Le?" "Delapan belas tahun, Mas."
Aku menyenderkan kepala di tembok, tidak lupa dengan tangan yang menopang dagu. Sebenarnya aku tuh bingung sama permintaan Mas Vino yang nyuruh aku dandan cantik, sedangkan aku saja nggak bisa dandan. Udah gitu dia bilang mau mendengar desahanku lagi, baru membayangkan saja rasanya sangat merinding."Awsh!!" Aku langsung memegang pipiku yang terasa dingin. Ternyata pelakunya Bagus toh, dia dengan tampang tidak bersalahnya langsung tertawa dan duduk di depanku."Ngapain sih lo bengong aja di kantin tanpa pesen apa pun. Nggak punya duit?""Bukan."Bagus mana tahu kalau aku sedang dilanda kebingungan karena suamiku yang tiba-tiba meminta jatah."Nih minum. Muka lo nggak banget deh, Leha. Kayak ibu rumah tangga yang mikir utang."Aku berdecak, memang aku ini sudah jadi ibu rumah tangga, wong aku saja sudah nikah. Tapi ... ini permasalahannya beda, bukan karen
Pintu kamar mandi yang sedari tadi diam terus aku tatap dengan was-was. Dari tadi tanganku terus meremas sambil bibir saling menggigit. Serius, tanganku udah panas dingin lho ini, nunggu Mas Vino yang belum keluar juga dari kamar mandi. Apa aku buka sekarang aja ya baju luarnya, rasanya panas banget, jantungku yang dari tadi terus deg-degan membuat keringat semakin membasahi tubuhku. Nanti kalau bau asem kan malu-maluin. Aku mendekatkan ketekku ke arah hidung. Masih wangi. Untunglah. Kembali melirik pintu kamar mandi, suara air yang sedari tadi gemericik sudah tidak terdengar lagi, itu berarti Mas Vino sudah selesai. Waduh! Aku langsung berdiri dan kembali merapikan penampilanku. Mencoba memberanikan diri dan mengingat artikel yang tadi aku baca. "Kamu bisa Juleha." Aku menyemangati diri. Cklek! Mas Vino akhirnya keluar dengan badan yang lebih segar
Gue menatap bocil gue yang lagi main air, dia cuma pakai sempak doang di depan rumah sambil nyiprat-nyipratin air ke kucing yang kemarin ia temuin di got. Padahal itu kucing imut banget lho, tapi nggak tahu kenapa bisa nyungsep di got. Gue kira punya tetangga, tapi nggak ada tuh tetangga yang heboh nyariin kucingnya. Ya udah, sekarang dia rawat aja. "Dek, kasian kucingnya jangan dicipratin air terus." Gue menegur Ara yang masih asyik mainin air. "Ndak apa-apa, Yah. Lihat, lucu ya Yah, dia lari-lari." Dasar bocil! Dibilangin malah ketawa. Batu banget sih, anak siapa coba. "Ya Allah, Ara, kenapa cuma pakai sempak doang, Nak. Nanti masuk angin lho." Juleha yang baru saja datang langsung meletakkan kopiku di atas meja yang berada di dekatku. Lalu setelahnya dia hendak mendekati anaknya yang sekarang ngambil selang dan dimainin airnya sampai tumpah ke mana-mana. "Udah, Le, biarin aja. Tadi udah gue deketin suruh pakai kaos dalam nggak mau dia. Nih lihat, baju aku basah." Juleha meliha
“Kenapa, Mas?” Langkah kakiku langsung berhent begitu melihat Mas Vino yang menyentuh beberapa bagian bajunya, seperti tengah mencari sesuatu. “Handphone-ku nggak ada.” “Lho? Kok bisa? Mas Vino kan, rajin banget pijitin benda itu. Kok bisa hilang?” tanyaku ikutan panik. Apalagi itu bukan barang murah. Mengingat bagaimana bentuk gambar apel yang kegigit di belakang benda itu. Mas Vino nyengir lebar sambil menggaruk pelipisnya. “Nggak hilang kok, tapi kayaknya ketinggalan di mobil. Aku ambil dulu ya, kamu duluan saja.” “Tapi nanti kalau Mas Vino nggak nemuin Juleha gimana?” “Emang kamu sekecil upilnya semut apa, sampai nggak kelihatan. Tenang aja, dimanapun kamu bersembunyi, aku bakal tetep nemuin kamu.” Tuh kan, kumat lagi gombalannya. Ara saja sampai melongo melihat tingkah laku bapaknya itu. “Yah, Ala ajalin ngomong begitu dong.” “Ngomong apa?” Mas Vino yang semula ingin pergi jadi urung karena omongan anaknya. “Yang sepelti Ayah bilang ke Ibu tadi.” Mas Vino mengernyitkan a
Ara terlihat tertawa riang saat bermain dengan kakeknya. Saat ini kami tengah berada di rumah Pak Lik Jatmiko, sesekali kami memang mengunjungi beliau, kadang juga sampai bermalam di sini. Beliau sudah kembali ke kampong halamannya. Jadi, selama ada waktu luang atau sedang berlibur, kami akan datang ke sini, kadang juga beliau yang datang ke rumahnya Mas Vino.Tanggapan Mama mertuaku?Tentu saja Mama menyambutnya dengan baik. Tidak semua orang sugih itu kejam kayak di pilm-pilm. Meski pada awalnya aku juga berpikir begitu sih. Hihihi.Bukan hanya itu, Mas Vino juga memberi modal untuk lelaki paruh baya ini agar tidak perlu lagi bekerja keras di luar. Sekarang beliau jualan sembako di rumahnya. Toko kecil yang dibangun atas bantuan Mas Vino. Beruntung sekali aku mempunyai suami sepertinya.“Lho, cucunya berkunjung lagi, Pak?” Salah satu pembeli yang hendak membeli sesuatu itu bertanya saat melihat Ara sedang bermain di took. Aku hanya mengamatinya dari dalam sebelum akhirnya masuk ke d
Empat tahun sudah berlalu, kehidupan gue benar-benar berubah. Di umur gue yang sudah menginjak tiga puluh dua tahun ini, akhirnya gue mempunyai keluarga kecil, bersama seorang wanita yang tak pernah gue sangka sebelumnya. Seorang wanita ndeso, katrok yang jauh dari kriteria idaman gue selama ini. Tapi kalau Tuhan sudah menggariskan dia jodoh gue, gue bisa apa selain menerima, toh … ternyata dia juga jadi sumber kebahagiaan gue. Oh iya, anak gue udah umur empat tahun seperempat, dan pastinya makin aktif dong. Dia udah bisa jalan ke sana-ke mari nangkepin nyamuk, sampai emaknya aja dibuat kualahan sama tingkahnya yang begitu aktif. Awalnya gue sedih waktu lihat kondisi dia saat itu. Gue takut kalau dia bakal berbeda dengan bayi normal lainnya, tapi alhamdulilah, sekali lagi gue wajib bersyukur dengan perkembangannya sekarang yang begitu aktif dan cantik. Bibit cogan gue nurun ke dia dong pastinya, tapi ini versi cewek. "Ayah." Arabella berteriak begitu melihat gue keluar dari mobil, di
“Mas, ini gimana cara pakainya?”“Nggak tahu, aku nggak pernah pakai soalnya.”Juleha kembali memberenggut. Pagi-pagi sudah heboh sendiri. Maklum, hari ini adalah hari pertamanya kuliah setelah mengambil cuti. Anak kita juga sudah pulang ke rumah. Dia sudah diperbolehkan keluar dari incubator. Begitu dia diperbolehkan pulang, Mama dengan antusiasnya langsung menjemput cucu kesayangannya itu. Bahkan besoknya langsung mengadakan syukuran atas pulangnya Arabella.“Mas Vino bantuin dong!”Gue yang awalnya lagi siap-siap dengan mengancingkan lengan kemeja jadi urung, dan malah mendekati Juleha yang lagi memegang bulatan putih di tangannya itu. Untung saja Arabella sedang diajak Mama jalan-jalan di depan rumah, sambil sekalian berjemur. Jadi kami bisa siap-siap tanpa khawatir.“Biasanya ada cara pakainya lho, Le. Dikemasannya apa nggak ada?”“Oh iya-ya, coba Mas Vino baca biar Juleha yang praktikan.”“Ha?” Gue sampai menggaruk rambut mendengar usulan Juleha. Ada-ada saja sih. Duh, harusnya
"Emh." Aku mengerjapkan mata perlahan, tapi saat hendak menarik tanganku malah terasa berat, ternyata ada yang memegangnya. Melirik jam yang tergantung di dinding, ternyata udah mau masuk subuh.Aku mengusap surai hitam yang saat ini tengah rebah dengan wajah yang menghadap ke arahku. Mas Vino begitu manis, dia bahkan rela menjagaku sampai pagi begini, apalagi dengan posisi seperti ini. Pasti pegal sekali. Kenapa dia tidak tidur di sofa saja sih, kalau bangun nanti, pasti lehernya sakit.Aku menghembuskan napas perlahan, menyadari hari di mana Mas Vino ketemu sama Mbak Lidya dan berpelukan mesra, mereka memang pasangangan yang romantis, aku saja yang tak tahu dirinya mengiyakan permintaan Mama untuk menikah dengan Mas Vino. Sesak rasanya menyadari kalau suamiku belum juga mencintaiku. Mencintai sendirian itu menyakitkan. Tahu yang lebih parahnya lagi di mana? Aku malah berhalusinasi Mas Vino mengatakan mencintaiku dan tidak ingin merawat anaknya kalau bukan denganku. Aneh sekali 'kan.
Sepi. Itu yang gue rasain sekarang, gue kagen banget sama celotehnya Juleha, sama sikap katroknya yang dulu bikin gue ogah-ogahan dan ilfiel, bahkan sama bibir manyunnya yang sering bikin gue gemes. Kemarin gue emang salah sampai membandingkan scenario temen sama yang sudah diusun ke gue. Harusnya gue bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi Ayah. Lagi pula, setiap orang pasti ada jalan ceritanya sendiri dalam menggapai kebahagiannya.Sebenarnya kalau disuruh pilih, gue pingin banget kejadian kemarin adalah mimpi buruk belaka, dan saat bangun sudah disambut dengan senyuman Juleha, tapi apa daya … kalau penulis scenario hidup gue berkata lain, gue bisa apa selain menerima."Vin, kamu mau ke rumah sakit sekarang?" Mama menghentikan aktifitasnya begitu melihat gue turun dari tangga."Iya, Ma, kasian anak Vino sendirian." Gue tersenyum."Halah, alasan, paling kamu mau apel sama suster, kan." Mama memicing curiga."Hahaha, apanya yang mau diapelin sih, Ma. Menantu kesayangan
Gue duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetaran, di samping gue ada Pak Lik Jatmiko yang dari tadi mencoba menguatkan dengan sesekali mengusap punggung gue. Kepala gue dari tadi menunduk dengan posisis tangan saling menyatuh. Sungguh, perasaan gue nggak karuan, bahkan kemungkinan terburuk dari tadi terus kepikiran, meskipun sudah mencoba meyakinkan diri bahwa mereka akan baik-baik saja, tapi bayangan buruk sialan itu tetap aja berkelebat.Tes!Sial! Kenapa gue nangis lagi sih, cengeng banget. Andai saja gue dibolehin masuk buat lihat kondisi Juleha atau ikut menanganinya, mungkin gue sekarang bisa menyaksikan perjuangannya di dalam, tapi apa daya, para pihak medis yang menangani Juleha melarang gue, katanya nanti ditakutkan gue panik di dalam sana dan menganggu proses operasi."Vin?"Gue menoleh ke arah orang yang memanggil gue. Rayhan, Satria, dan Aris datang menghampiri gue dan menepuk pelan punggung gue. Gue emang sengaja ngabarin mereka buat meminta do'a untuk keselamatan anak d
Wanita ini masih tidak menjawab, dia malah berontak mencoba melepaskan cengkraman gue. Tidak mau kami jadi pusat perhatian dan terjadi drama kayak film Bollywood, gue langsung aja narik dia keluar, kemudian memutar tubuhnya dan menghadapkan ke arah gue.."Le, jangan nunduk. Angkat kepala kamu."Wanita ini masih menggeleng, rambutnya yang panjang nutupin mukanya, makanya nggak terlalu jelas. Karena nggak ada pilihan lain, gue sedikit memaksanya untuk mendongakkan kepalanya, lalu menyibak rambut di depan wajahnya, dan benar saja dugaan gue."Aku kangen sama kamu, Le. Kenapa pergi gitu aja, hmm?" Gue langsung memeluk dia di pinggir jalan, bodo amat jika kelakuan kita jadi tontonan. Gue terlalu rindu sama wanita ini. meskipun ada rasa kecewa, karena tidak ada balasan sama sekali dari wanita yang ada dalam rengkuhan gue ini. Bahkan setelah lima detik berlalu."Mas Vino lepasin Juleha, anak kita penyet ntar, kalau dipeluk keras begini."Gue terkekeh, senang sekali mendengar suaranya kembali