" B-bapak Boy Azka?" Mata Rein dan Maira membelalak. Sepasang suami istri itu terkejut melihat ada pejabat negara yang belakangan mereka kenal sebagai orang tua kandung Syafa itu berada di tengah tengah pengusaha. "Silakan bergabung dengan Kami, Tuan Rein!" Boy Azka berdiri mempersilakan Rein dan Maira untuk duduk di dua kursi yang kosong. Sementara seorang wanita cantik duduk tepat di samping Boy Azka. Rein merasa canggung dengan sikap Boy Azka yang dia anggap berlebihan. "Apa kabar, Pak Boy?" Rein menyalami Boy Azka. Sementara Maira menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk pada Boy Azka dan wanita di sebelahnya. "Oh ya, kenalkan ini istri Saya, Firda." Rein dan Maira mengangguk seraya tersenyum ramah. Mereka mulai berbincang. "Tuan Rein, Saya mau Anda bisa membantu Saya untuk mengelola perusahaan." Setelah sedikit berbasa basi, Boy Azka mulai pada pembicaraan serius. "Perusahaan? Maaf, bukankah Bapak bekerja di pemerintahan?" sanggah Rein hati-hati. B
"Kak Paul ..., Ayo dooong! Udah siang ini ...!" Syafa berteriak melihat Paul masih sibuk menerima panggilan telepon di ruang tengah. "Ck, siapa sih yang telepon pagi-pagi?" gerutu Syafa sambil menghentakkan kakinya. Ia khawatir akan terlambat, karena hari ini adalah hari pertama ia kuliah. Sejak tadi gadis itu sudah siap, namun suaminya masih saja bicara di ponselnya dengan seseorang. Paul memberi kode pada Syafa untuk menunggu sebentar. Syafa yang tidak sabar justru menghampiri dan duduk di samping suaminya. "Siapa, sih?" desisnya lagi sambil mempertajam pendengarannya. Ia penasaran, karena Paul bicara sangat serius dan terkesan dekat dengan lawan bicaranya. "Sebaiknya kamu istirahat saja dulu, Aina. Utamakan kesehatan janinmu. Untuk acara syukuran, bisa kita jadwalkan ulang nanti." Hati Syafa langsung memanas mendengar nama Aina yang disebut oleh Paul. Wajahnya langsung cemberut. Setelah menutup panggilan dari Aina, Paul menoleh pada Syafa yang duduk di sampingnya. Ia semakin
"Ayoo, Bun, Bumi aja yang antar Bunda. Kasian Syafa, Bun!" Pria muda dengan rambut sedikit panjang itu terus mengikuti Firda dan berusaha membujuk. "Kalau Kamu kasian sama gadis itu, ya udah antar aja sana!"ketus Firda sambil membuka ponselnya. "Bumiii .., Aku aja yang naik taksi. Aku bisa, kok." Tiba-tiba Syafa keluar dari mobil dan berteriak. Terlihat ia berusaha sedang menghapus air mata dengan punggung tangannya. "Tuh kan, Bun. Syafa jadi merasa nggak enak." Firda hanya diam. Tak menggubris ucapan putranya. Sesekali ia melihat ke pintu gerbang. "Syafaaa, tunggu sebentar!" balas Bumi. Ia memutuskan untuk menyusul Syafa. Karena ia melihat Firda sudah memesan taksi online lewat aplikasi. Syafa berhenti ketika Bumi menarik tangannya. "Pulang sama Gue aja! Bisa dimarahin Ayah nanti kalau Lo pulang naik taksi!" "Tante Firda gimana?" Wajah Syafa terlihat merasa bersalah. "Bunda udah pesan taksi online. Nggak usah Lo pikirin!" Bumi sama sekali tak.melepaskan cengkraman tangannya
"Daddy ...., Daddy ...!" Suara Kaisar terdengar lantang. Bocah balita itu berlari ke dalam rumah menuju kamar Rein dan Maira. "Mama ... Daddy ..., ada dedek bayi." Rein dan Maira saling menoleh. Mereka terpaksa menghentikan aktivitas di pagi itu. Karena hari libur, Sejak subuh tadi keduanya belum keluar kamar. Mereka memilih untuk memanfaatkan kebersamaan mereka dengan saling melepas rindu. Beberapa hari ini Rein sering ke Bandung bersama Paul. "Sayang, Kaisar ternyata sudah bangun." Rein melepaskan pagutannya pada bibir Maira. Napas keduanya masih tersengal. Mereka baru saja ingin melanjutkan ke ronde kedua, setelah pertempuran pertama di bathub, saat mandi satu jam yang lalu. Sepasang suami istri itu bergegas memakai pakaian mereka. Rein yang lebih dulu selesai, segera beranjak dan menghampiri putra sambungnya. "Hai, jagoan! Ada apa?" Pria bule dengan jambang tebal itu berlutut di depan putranya. "Ada dede bayi, Daddy. Aku mau. Aku mau dede bayi." Rein mengerutkan keningnya.
Sekitar belasan mobil mewah terparkir di sekitar rumah berlantai dua dengan gaya eropa itu. Para tamu semua berpakaian formil dan elegan. Hampir semuanya berpasang-pasangan. Seorang model cantik yang sudah tak asing bernama Lunaya juga hadir malam itu. Artis papan atas itu tampil sangat memukau. Hampir semua mata tertuju pada wajah dan tubuhnya yang tinggi diatas rata-rata. "Silakan masuk, Tuan dan Nyonya ...!" Rein dan Maira bergandengan tangan, mengangguk ramah pada para pria bersafari yang bertugas menerima.tamu. "Kita temui Pak Boy Azka dulu!" bisik Rein pada Maira. Pandangan keduanya mengitari ruangan besar yang telah disulap menjadi ruang pesta yang sangat berkelas. Alunan musik yang syahdu terdengar indah. "Itu di sana!" tunjuk Maira yang melihat Boy Azka.sedang berbincang dengan beberapa pengusaha. "Kita di sini saja dulu." Melihat banyak pria paruh baya yang merupakan pengusaha kaya, Rein menahan istrinya untuk tidak mendekat. Maira menurut. Ia berdiri di sebelah Rei
"Ada apa denganmu, Mas? Kenapa malah bekrja sama dengan Morine? Bukankah Mas tidak suka dengan temanku itu?" Firda baru saja masuk ke kamar. Suaminya sudah bersiap hendak tidur. "Aku dan Morine ada urusan pekerjaan. Kami harus profesional." Firda hanya menghela napas panjang. "Kemana saja Kamu sejak tadi? Kenapa tidak menemaniku di acara makan malam tadi?" Firda memutar bola mata malas. "Sejak awal Aku ada di dekart Mas. Tapi Mas seakan tidak peduli denganku. Bahkan tidak memperkenalkan Aku pada para tamu. Lalu untuk apa aku di sana?" Nada bicara Firda terdengar kesal. Boy Azka sempat tersentak. Ia menyadari kesalahannya. Malam ini ia terlalu bahagia mendapatkan banyak relasi dan investor. Hingga ia sampai lupa untuk memperkenalkan Firda pada semua tamunya. Perlahan Boy bangkit dan menghampiri istrinya. "Maafkan Aku. Tadi Aku terlalu sibuk menyambut tamu-tamuku." Boy memeluk Firda dari belakang. "Kamu selalu wangi dan cantik." Pria paruh baya itu selalu kagum pada sang istr
"Bagaimana bisa Bi Ratna tau masalah ini? Sementara Aku istrimu nggak tau apapun, Mas?" Firda merasa tak dihargai oleh suaminya. "Kamu anggap apa aku ini,Mas? Oh iya. Aku lupa. Sejak dulu Aku ini hanya sebagai pelengkap saja dalam hidup Mas. Dari dulu Aku memang nggak berarti apa-apa buat Mas." Firda menangis sesenggukan di samping Boy. Tak lama terdengar suara ketukan pimtu kamar. "Permisi Pak, Bu. Bapak sudah ditunggu di depan. Mobil.sudah siap." Suara salah satu asisten rumah tangganya setengah berteriak dari luar. "Firda, Justru Aku tidak bilang sama kamu karena untuk menjaga perasaanmu. Saat itu Bumi masih belum genap setahun. Kamu masih menyusuinya. Aku tidak mau ada sesuatu terjadi pada rumah tangga kita. Sudahlah. Aku ada rapat pagi ini. I Love you. " Boy Azka mencium kening dan bibir Firda sebelum ia beranjak keluar dan pergi ke kantor. Firda ternganga. Jawaban Boy Azka sangat masuk akal. Bahkan sempat membuat hatinya menghangat. "Apa memang Aku yang terlalu menuntut pa
"ibu ini bukannya ... yang waktu itu datang bersama Ayah?" Netra Syafa melebar. Ingatannya kembali pada saat pertama kali ia bertemu dengan ayah kandungnya. Yaitu saat hari pernikahannya. "Iy-iyyaa,Non. Masuklah, Non!" Syafa naik ke dalam mobil dan duduk di samping Ratna. "Non Syafa sudah sembuh? Tidak pakai kursi roda lagi?" Syafa tersenyum. "Sudah enggak, Bu," jawab Syafa seraya menggeleng. Firda duduk di depan, samping Pak Supir. "Ke TPU Tanah kusir, Pak!" "Baik, Bu." Supir itu mengangguk mendengar perintah Firda. "Tante ..., maaf. Kita mau kemana?" Syafa bingung mendengar tempat tujuan yang disebutkan Firda. Daerah yang masih cukup asing baginya. "Nanti Kamu akan tau sendiri. Oh ya, Kamu sudah makan?" Lagi-lagi hati Syafa berdesir mendengar perhatian Firda. Cara bicara Firda yang lembut membuat hati Syafa seakan melompat-lompat kegirangan. "S-sudah, Tante." Mereka saling menatap lewat spion dalam mobil. Ingin rasanya Syafa menjerit histeris melihat senyum indah Firda