"Ayoo, Bun, Bumi aja yang antar Bunda. Kasian Syafa, Bun!" Pria muda dengan rambut sedikit panjang itu terus mengikuti Firda dan berusaha membujuk. "Kalau Kamu kasian sama gadis itu, ya udah antar aja sana!"ketus Firda sambil membuka ponselnya. "Bumiii .., Aku aja yang naik taksi. Aku bisa, kok." Tiba-tiba Syafa keluar dari mobil dan berteriak. Terlihat ia berusaha sedang menghapus air mata dengan punggung tangannya. "Tuh kan, Bun. Syafa jadi merasa nggak enak." Firda hanya diam. Tak menggubris ucapan putranya. Sesekali ia melihat ke pintu gerbang. "Syafaaa, tunggu sebentar!" balas Bumi. Ia memutuskan untuk menyusul Syafa. Karena ia melihat Firda sudah memesan taksi online lewat aplikasi. Syafa berhenti ketika Bumi menarik tangannya. "Pulang sama Gue aja! Bisa dimarahin Ayah nanti kalau Lo pulang naik taksi!" "Tante Firda gimana?" Wajah Syafa terlihat merasa bersalah. "Bunda udah pesan taksi online. Nggak usah Lo pikirin!" Bumi sama sekali tak.melepaskan cengkraman tangannya
"Daddy ...., Daddy ...!" Suara Kaisar terdengar lantang. Bocah balita itu berlari ke dalam rumah menuju kamar Rein dan Maira. "Mama ... Daddy ..., ada dedek bayi." Rein dan Maira saling menoleh. Mereka terpaksa menghentikan aktivitas di pagi itu. Karena hari libur, Sejak subuh tadi keduanya belum keluar kamar. Mereka memilih untuk memanfaatkan kebersamaan mereka dengan saling melepas rindu. Beberapa hari ini Rein sering ke Bandung bersama Paul. "Sayang, Kaisar ternyata sudah bangun." Rein melepaskan pagutannya pada bibir Maira. Napas keduanya masih tersengal. Mereka baru saja ingin melanjutkan ke ronde kedua, setelah pertempuran pertama di bathub, saat mandi satu jam yang lalu. Sepasang suami istri itu bergegas memakai pakaian mereka. Rein yang lebih dulu selesai, segera beranjak dan menghampiri putra sambungnya. "Hai, jagoan! Ada apa?" Pria bule dengan jambang tebal itu berlutut di depan putranya. "Ada dede bayi, Daddy. Aku mau. Aku mau dede bayi." Rein mengerutkan keningnya.
Sekitar belasan mobil mewah terparkir di sekitar rumah berlantai dua dengan gaya eropa itu. Para tamu semua berpakaian formil dan elegan. Hampir semuanya berpasang-pasangan. Seorang model cantik yang sudah tak asing bernama Lunaya juga hadir malam itu. Artis papan atas itu tampil sangat memukau. Hampir semua mata tertuju pada wajah dan tubuhnya yang tinggi diatas rata-rata. "Silakan masuk, Tuan dan Nyonya ...!" Rein dan Maira bergandengan tangan, mengangguk ramah pada para pria bersafari yang bertugas menerima.tamu. "Kita temui Pak Boy Azka dulu!" bisik Rein pada Maira. Pandangan keduanya mengitari ruangan besar yang telah disulap menjadi ruang pesta yang sangat berkelas. Alunan musik yang syahdu terdengar indah. "Itu di sana!" tunjuk Maira yang melihat Boy Azka.sedang berbincang dengan beberapa pengusaha. "Kita di sini saja dulu." Melihat banyak pria paruh baya yang merupakan pengusaha kaya, Rein menahan istrinya untuk tidak mendekat. Maira menurut. Ia berdiri di sebelah Rei
"Ada apa denganmu, Mas? Kenapa malah bekrja sama dengan Morine? Bukankah Mas tidak suka dengan temanku itu?" Firda baru saja masuk ke kamar. Suaminya sudah bersiap hendak tidur. "Aku dan Morine ada urusan pekerjaan. Kami harus profesional." Firda hanya menghela napas panjang. "Kemana saja Kamu sejak tadi? Kenapa tidak menemaniku di acara makan malam tadi?" Firda memutar bola mata malas. "Sejak awal Aku ada di dekart Mas. Tapi Mas seakan tidak peduli denganku. Bahkan tidak memperkenalkan Aku pada para tamu. Lalu untuk apa aku di sana?" Nada bicara Firda terdengar kesal. Boy Azka sempat tersentak. Ia menyadari kesalahannya. Malam ini ia terlalu bahagia mendapatkan banyak relasi dan investor. Hingga ia sampai lupa untuk memperkenalkan Firda pada semua tamunya. Perlahan Boy bangkit dan menghampiri istrinya. "Maafkan Aku. Tadi Aku terlalu sibuk menyambut tamu-tamuku." Boy memeluk Firda dari belakang. "Kamu selalu wangi dan cantik." Pria paruh baya itu selalu kagum pada sang istr
"Bagaimana bisa Bi Ratna tau masalah ini? Sementara Aku istrimu nggak tau apapun, Mas?" Firda merasa tak dihargai oleh suaminya. "Kamu anggap apa aku ini,Mas? Oh iya. Aku lupa. Sejak dulu Aku ini hanya sebagai pelengkap saja dalam hidup Mas. Dari dulu Aku memang nggak berarti apa-apa buat Mas." Firda menangis sesenggukan di samping Boy. Tak lama terdengar suara ketukan pimtu kamar. "Permisi Pak, Bu. Bapak sudah ditunggu di depan. Mobil.sudah siap." Suara salah satu asisten rumah tangganya setengah berteriak dari luar. "Firda, Justru Aku tidak bilang sama kamu karena untuk menjaga perasaanmu. Saat itu Bumi masih belum genap setahun. Kamu masih menyusuinya. Aku tidak mau ada sesuatu terjadi pada rumah tangga kita. Sudahlah. Aku ada rapat pagi ini. I Love you. " Boy Azka mencium kening dan bibir Firda sebelum ia beranjak keluar dan pergi ke kantor. Firda ternganga. Jawaban Boy Azka sangat masuk akal. Bahkan sempat membuat hatinya menghangat. "Apa memang Aku yang terlalu menuntut pa
"ibu ini bukannya ... yang waktu itu datang bersama Ayah?" Netra Syafa melebar. Ingatannya kembali pada saat pertama kali ia bertemu dengan ayah kandungnya. Yaitu saat hari pernikahannya. "Iy-iyyaa,Non. Masuklah, Non!" Syafa naik ke dalam mobil dan duduk di samping Ratna. "Non Syafa sudah sembuh? Tidak pakai kursi roda lagi?" Syafa tersenyum. "Sudah enggak, Bu," jawab Syafa seraya menggeleng. Firda duduk di depan, samping Pak Supir. "Ke TPU Tanah kusir, Pak!" "Baik, Bu." Supir itu mengangguk mendengar perintah Firda. "Tante ..., maaf. Kita mau kemana?" Syafa bingung mendengar tempat tujuan yang disebutkan Firda. Daerah yang masih cukup asing baginya. "Nanti Kamu akan tau sendiri. Oh ya, Kamu sudah makan?" Lagi-lagi hati Syafa berdesir mendengar perhatian Firda. Cara bicara Firda yang lembut membuat hati Syafa seakan melompat-lompat kegirangan. "S-sudah, Tante." Mereka saling menatap lewat spion dalam mobil. Ingin rasanya Syafa menjerit histeris melihat senyum indah Firda
"Gaunnya indah sekali ...," gumam Syafa. Satu tangannya mulai menyentuh gaun berwarna hitam dengan model kerah sanghai itu. Terdapat rample pemanis pada lengan dan di bagian atas perut. "Kamu suka?" Tiba-tiba terdengar suara bariton yang tak asimg mengejutkan Syafa. Gadis itu menoleh lantas matanya membelalak. "Kak.Paul? Kak Paul sudah pulang?" Syafa nyaris terpekik melihat suaminya sudah mandi dan memakai celana pendek. Rambutnya masih nampak basah. "Iya, Aku memang nggak ke Bandung." Syafa melotot mendengar pengakuan Paul. "Lalu kak Paul kemana aja sejak pagi?" Syafa sewot karena tadi pagi ia melihat Paul sudah sangat rapi dengan pakaian formil saat mengantarnya ke kampus. Pauk terkekeh. Gemas melihat bibir Syafa yang maju karena cemberut. Pipinya yang chuby tampak semakin bulat di antara hidungnya yang tinggi menjulang. "Tadi aku menemui Event Organizer yang akan bekerja sama dengan kita. Rencananya Aku ingin buat pesta kecil-kecilan untuk keluarga kita." Wajah Syafa seketi
" Apa Mas betah tinggal di apartemen kecil begini? Nggak kasian sama Aina dan bayinya nanti?" Anita menyamai langkah suaminya menuju kamar Aina. "Apa maksudmu?" Langkah Indra terhenti mendengar pertanyaan Anita yang dia pikir agak aneh. "Rumah kita besar, Mas. Kamu bisa ajak Aina tinggal bersama kita di sana." Indra menatap wajah Anita lekat. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Bukankah belum lama ini Anta memintanya untuk menceraikan Aina? Apa yang membuat wanita itu menjadi berubah 180 derajat? Anita tersenyum. Ia tau Indra sedang merasa kagum padanya. "Ooom ... ! Om lagi ngomong sama siapa, sih?" Terdengar teriakan Aina dari kamar. Keduanya menoleh dan bergegas melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa coklat muda itu. "Aina, kita kedatangan tamu." Indra lebih dulu masuk dan mendekat pada istri keduanya yang manja itu. Sementara Anita masih berdiri di dekat pintu, mengumpulkan kekuatan agar ia sanggup melihat kemesraan suaminya dengan wanita lain. "Sia