"Kenapa? Mbaknya terkagum-kagum ya, sama Aku?" Syafa yang semula terkejut melihat keberadaan Aina di ruangan Paul, secepat mungkin menguasai situasi. Ia tau Aina sedang terheran-heran melihat dirinya yang sudah tidak memakai kursi roda dan tampil lebih cantik. Syafa merasa puas melihat Aina ternganga, memandangnya dengan wajah kagum. Senyum kepuasan terukir dari wajah cantik gadis itu. "K-kamu ..." Aina spontan menunjuk ke arah Syafa. Paul melangkah menghampiri istrinya yang kini sedang tampil berbeda dari biasanya. Dengan gamis lengan panjang itu, Syafa terlihat lebih anggun dan dewasa. "Sayang, Kamu sudah pulang?" Tanpa canggung Paul mengecup lembut kening Syafa. Syafa mengangguk manja, lalu melingkarkan kedua tangannya pada perut suaminya. Aina sontak memalingkan wajahnya dari hadapan suami istri itu. "Ehm ... ehm ... Aku ke sini mau booking ruangan untuk acaraku. Apa bisa?'" Aina menjatuhkan tubuhnya di sofa sambil pura-pura merapikan rambutnya. "Bisa. Untuk tanggal berap
"Mau kemana, Mas? Aku masih sakit." Anita mencoba menahan Indra yang sudah terjaga sejak pagi. "Ke kantor. Malam ini Aku tidak pulang. Kamu nampaknya sudah sehat," Indra menjawab dengan dingin. Pria itu baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian kantornya. Anita menatap Indra penuh damba. Pria yang masih berstatus suaminya itu tampak jauh lebih tampan. Perutnya tak lagi buncit. Justru tubuhnya tampak semakin kekar dan berotot. Kulitnya lebih cerah dan tampan. Rambut Indra pun sudah tidak tipis dan rontok seperti dulu. Suaminya kini terlihat jauh lebih muda dan gagah. Namun sikap Indra justru semakin dingin padanya. Semalam pun ia tak berhasil merayu Indra agar mau menyentuhnya.. "Tinggallah di sini satu hari lagi, Mas. Aku tau kamu sudah punya seseorang di luar sana. Tapi Aku ini masih istrimu. Aku masih ingin merasakan cintamu." Anita bangkit dari ranjang dan berusaha memeluk suaminya dari belakang. Ia menggesekan bagian depan tubuhnya pada Indra. Biasanya Indra akan tergoda d
" I love you, baby!" Indra mengecup lembut puncak kepala Aina yang saat ini berada dalam dekapannya. Keringat masih membasahi tubuh mereka. Padahal Indra sudah menjaga ritme permainannya agar lebih pelan dan lembut. Ia tak ingin terjadi sesuatu pada calon bayinya. "Tidurlah, Aku disini!" Aina menikmati pelukan suaminya. Indra sangat memanjakannya. Apalagi sejak mengetahui kehamilannya. Indra semakin menuruti apapun keinginannya. Perlakuan Indra pada Aina begitu lembut dan penuh kasih sayang. Tak berselang lama keduanya teridur pulas, hingga terdengar suara bel dari pintu unit mereka. Aina perlahan bangkit dengan melepaskan diri dari lingkaran lengan kekar milik Indra. Suaminya itu masih tertudur pulas. Ia Meraih kimono lalu memakainya. Dengan rasa penasaran Aina melangkah keluar hendak melihat siapa yang datang. Setelah terdengar bunyi bel untuk kesekian kalinya, perlahan Aina membuka pintu. Namun saat pintu terbuka, betapa terkejutnya ia melihat siapa yang datang "Cari siap
"Bu Anita harus dirawat. Kondisinya sangat lemah." Indra hanya mengangguk mendengar ucapan dokter yang memeriksa istrinya. Sementara dua orang perawat sedang memeriksakan selang infus pada salah satu lengan Anita. Indra menghubungi salah satu asistennya di kantor untuk mengurus administrasi rumah sakit. Ia juga meminta salah satu ARTnya untuk membawakan perlengkapan Anita. Brankar yang ditiduri Anita mulai di dorong menuju ruang perawatan. Indra meminta secepatnya istrinya itu dipindahkan ke ruang VVIP. Saat ini pikirannya tak lepas pada Aina. Ia mengkhawatirkn istri mudanya itu. Pria paruh baya itu semakin khawatir karena Aina tidak mengangkat panggilannya, juga tak membalas pesannya. "Maasss, Kamu di sini aja, ya! Aku nggak mau ditinggal lagi." Anita memohon dengan suara lemah. Indra tak menjawab. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sesekali memeriksa tetesan cairan selang infus yang menggantung pada tiang infus. "Permisi, ini makanan untuk Bu Anita!" Seorang petugas pantry m
"Astaga ..., kenapa sakit sekali? Ya Tuhan." Aina menyeret kakinya menuju kamar. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Satu tangannya memegang perut. Beberapa jam yang lalu di unit apartemen, Aina kebingungan hendak menghubungi siapa. Ia tidak mungkin egois untuk menghubungi Indra yang sedang membawa Anita ke rumah sakit. Aina perlahan duduk di tengah ranjang sambil mengusap perutnya. Wanita cantik itu khawatir dengan kehamilannya. Mengalami dua kali keguguran membuatnya lebih waspada dengan kehamilannya yang sekarang. "Siapa yang bisa menolongku? Paul? Tidak. Aku tidak mungkin minta tolong dia." Wanita itu terus membuka kontak nama di ponselnya. Hatinya mencelos, ternyata selama ini ia tidak punya banyak teman baik. Tiba-tiba jarinya terhenti saat melihat kontak nama Maira di ponselnya. Ia melihat riwayat percakapan yang sudah lama dan belum dihapus. Beberapa kali ia meneror Maira dengan mengirim video-video mesranya dengan Raka dulu. Namun Maira tidak pernah membalas apapun
"Tuan mana, mbak?" Maira bergegas turun dari mobil dan setengah berlari masuk ke rumah. "Non ditunggu Tuan sejak tadi. Sekarang Tuan ada di ruang tengah bersama Kaisar." Maira bergegas melangkah menghampiri suami dan putranya. "Mamaaa ... !" Kaisar berteriak kegirangan saat melihat Maira. "Sayang, Kamu nggak apa-apa?" Rein sontak bertanya saat melihat kedatangan istrinya. Maira membungkuk mencium pipi Kaisar yang menghampirinya dengan berlari. Kemudian Rein pun ikut mendekat. "Maafin Aku, Rein. Tadi Aku ..."" "Ayo ... sini duduk dulu." Rein meraih lengan istrinya dan membawanya ke sofa. Sementara Kaisar sudah lebih dulu melompat-lompat di sekitar mama dan daddynya "Yang penting Aku senang kamu nggak apa-apa. Kamu dan Pak Pardi tidak bisa dihubungi." Maira bernapas lega. Rein bukan tipe suami yang mudah marah atau emosi. Tadinya Ia pikir Rein kecewa karena ia tidak menepati janji. Namun ternyata Rein justru mengkhawatirkan dirinya. "Terimakasih atas pengertianmu, Rein. Acara
" B-bapak Boy Azka?" Mata Rein dan Maira membelalak. Sepasang suami istri itu terkejut melihat ada pejabat negara yang belakangan mereka kenal sebagai orang tua kandung Syafa itu berada di tengah tengah pengusaha. "Silakan bergabung dengan Kami, Tuan Rein!" Boy Azka berdiri mempersilakan Rein dan Maira untuk duduk di dua kursi yang kosong. Sementara seorang wanita cantik duduk tepat di samping Boy Azka. Rein merasa canggung dengan sikap Boy Azka yang dia anggap berlebihan. "Apa kabar, Pak Boy?" Rein menyalami Boy Azka. Sementara Maira menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk pada Boy Azka dan wanita di sebelahnya. "Oh ya, kenalkan ini istri Saya, Firda." Rein dan Maira mengangguk seraya tersenyum ramah. Mereka mulai berbincang. "Tuan Rein, Saya mau Anda bisa membantu Saya untuk mengelola perusahaan." Setelah sedikit berbasa basi, Boy Azka mulai pada pembicaraan serius. "Perusahaan? Maaf, bukankah Bapak bekerja di pemerintahan?" sanggah Rein hati-hati. B
"Kak Paul ..., Ayo dooong! Udah siang ini ...!" Syafa berteriak melihat Paul masih sibuk menerima panggilan telepon di ruang tengah. "Ck, siapa sih yang telepon pagi-pagi?" gerutu Syafa sambil menghentakkan kakinya. Ia khawatir akan terlambat, karena hari ini adalah hari pertama ia kuliah. Sejak tadi gadis itu sudah siap, namun suaminya masih saja bicara di ponselnya dengan seseorang. Paul memberi kode pada Syafa untuk menunggu sebentar. Syafa yang tidak sabar justru menghampiri dan duduk di samping suaminya. "Siapa, sih?" desisnya lagi sambil mempertajam pendengarannya. Ia penasaran, karena Paul bicara sangat serius dan terkesan dekat dengan lawan bicaranya. "Sebaiknya kamu istirahat saja dulu, Aina. Utamakan kesehatan janinmu. Untuk acara syukuran, bisa kita jadwalkan ulang nanti." Hati Syafa langsung memanas mendengar nama Aina yang disebut oleh Paul. Wajahnya langsung cemberut. Setelah menutup panggilan dari Aina, Paul menoleh pada Syafa yang duduk di sampingnya. Ia semakin