" I love you, baby!" Indra mengecup lembut puncak kepala Aina yang saat ini berada dalam dekapannya. Keringat masih membasahi tubuh mereka. Padahal Indra sudah menjaga ritme permainannya agar lebih pelan dan lembut. Ia tak ingin terjadi sesuatu pada calon bayinya. "Tidurlah, Aku disini!" Aina menikmati pelukan suaminya. Indra sangat memanjakannya. Apalagi sejak mengetahui kehamilannya. Indra semakin menuruti apapun keinginannya. Perlakuan Indra pada Aina begitu lembut dan penuh kasih sayang. Tak berselang lama keduanya teridur pulas, hingga terdengar suara bel dari pintu unit mereka. Aina perlahan bangkit dengan melepaskan diri dari lingkaran lengan kekar milik Indra. Suaminya itu masih tertudur pulas. Ia Meraih kimono lalu memakainya. Dengan rasa penasaran Aina melangkah keluar hendak melihat siapa yang datang. Setelah terdengar bunyi bel untuk kesekian kalinya, perlahan Aina membuka pintu. Namun saat pintu terbuka, betapa terkejutnya ia melihat siapa yang datang "Cari siap
"Bu Anita harus dirawat. Kondisinya sangat lemah." Indra hanya mengangguk mendengar ucapan dokter yang memeriksa istrinya. Sementara dua orang perawat sedang memeriksakan selang infus pada salah satu lengan Anita. Indra menghubungi salah satu asistennya di kantor untuk mengurus administrasi rumah sakit. Ia juga meminta salah satu ARTnya untuk membawakan perlengkapan Anita. Brankar yang ditiduri Anita mulai di dorong menuju ruang perawatan. Indra meminta secepatnya istrinya itu dipindahkan ke ruang VVIP. Saat ini pikirannya tak lepas pada Aina. Ia mengkhawatirkn istri mudanya itu. Pria paruh baya itu semakin khawatir karena Aina tidak mengangkat panggilannya, juga tak membalas pesannya. "Maasss, Kamu di sini aja, ya! Aku nggak mau ditinggal lagi." Anita memohon dengan suara lemah. Indra tak menjawab. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sesekali memeriksa tetesan cairan selang infus yang menggantung pada tiang infus. "Permisi, ini makanan untuk Bu Anita!" Seorang petugas pantry m
"Astaga ..., kenapa sakit sekali? Ya Tuhan." Aina menyeret kakinya menuju kamar. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Satu tangannya memegang perut. Beberapa jam yang lalu di unit apartemen, Aina kebingungan hendak menghubungi siapa. Ia tidak mungkin egois untuk menghubungi Indra yang sedang membawa Anita ke rumah sakit. Aina perlahan duduk di tengah ranjang sambil mengusap perutnya. Wanita cantik itu khawatir dengan kehamilannya. Mengalami dua kali keguguran membuatnya lebih waspada dengan kehamilannya yang sekarang. "Siapa yang bisa menolongku? Paul? Tidak. Aku tidak mungkin minta tolong dia." Wanita itu terus membuka kontak nama di ponselnya. Hatinya mencelos, ternyata selama ini ia tidak punya banyak teman baik. Tiba-tiba jarinya terhenti saat melihat kontak nama Maira di ponselnya. Ia melihat riwayat percakapan yang sudah lama dan belum dihapus. Beberapa kali ia meneror Maira dengan mengirim video-video mesranya dengan Raka dulu. Namun Maira tidak pernah membalas apapun
"Tuan mana, mbak?" Maira bergegas turun dari mobil dan setengah berlari masuk ke rumah. "Non ditunggu Tuan sejak tadi. Sekarang Tuan ada di ruang tengah bersama Kaisar." Maira bergegas melangkah menghampiri suami dan putranya. "Mamaaa ... !" Kaisar berteriak kegirangan saat melihat Maira. "Sayang, Kamu nggak apa-apa?" Rein sontak bertanya saat melihat kedatangan istrinya. Maira membungkuk mencium pipi Kaisar yang menghampirinya dengan berlari. Kemudian Rein pun ikut mendekat. "Maafin Aku, Rein. Tadi Aku ..."" "Ayo ... sini duduk dulu." Rein meraih lengan istrinya dan membawanya ke sofa. Sementara Kaisar sudah lebih dulu melompat-lompat di sekitar mama dan daddynya "Yang penting Aku senang kamu nggak apa-apa. Kamu dan Pak Pardi tidak bisa dihubungi." Maira bernapas lega. Rein bukan tipe suami yang mudah marah atau emosi. Tadinya Ia pikir Rein kecewa karena ia tidak menepati janji. Namun ternyata Rein justru mengkhawatirkan dirinya. "Terimakasih atas pengertianmu, Rein. Acara
" B-bapak Boy Azka?" Mata Rein dan Maira membelalak. Sepasang suami istri itu terkejut melihat ada pejabat negara yang belakangan mereka kenal sebagai orang tua kandung Syafa itu berada di tengah tengah pengusaha. "Silakan bergabung dengan Kami, Tuan Rein!" Boy Azka berdiri mempersilakan Rein dan Maira untuk duduk di dua kursi yang kosong. Sementara seorang wanita cantik duduk tepat di samping Boy Azka. Rein merasa canggung dengan sikap Boy Azka yang dia anggap berlebihan. "Apa kabar, Pak Boy?" Rein menyalami Boy Azka. Sementara Maira menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk pada Boy Azka dan wanita di sebelahnya. "Oh ya, kenalkan ini istri Saya, Firda." Rein dan Maira mengangguk seraya tersenyum ramah. Mereka mulai berbincang. "Tuan Rein, Saya mau Anda bisa membantu Saya untuk mengelola perusahaan." Setelah sedikit berbasa basi, Boy Azka mulai pada pembicaraan serius. "Perusahaan? Maaf, bukankah Bapak bekerja di pemerintahan?" sanggah Rein hati-hati. B
"Kak Paul ..., Ayo dooong! Udah siang ini ...!" Syafa berteriak melihat Paul masih sibuk menerima panggilan telepon di ruang tengah. "Ck, siapa sih yang telepon pagi-pagi?" gerutu Syafa sambil menghentakkan kakinya. Ia khawatir akan terlambat, karena hari ini adalah hari pertama ia kuliah. Sejak tadi gadis itu sudah siap, namun suaminya masih saja bicara di ponselnya dengan seseorang. Paul memberi kode pada Syafa untuk menunggu sebentar. Syafa yang tidak sabar justru menghampiri dan duduk di samping suaminya. "Siapa, sih?" desisnya lagi sambil mempertajam pendengarannya. Ia penasaran, karena Paul bicara sangat serius dan terkesan dekat dengan lawan bicaranya. "Sebaiknya kamu istirahat saja dulu, Aina. Utamakan kesehatan janinmu. Untuk acara syukuran, bisa kita jadwalkan ulang nanti." Hati Syafa langsung memanas mendengar nama Aina yang disebut oleh Paul. Wajahnya langsung cemberut. Setelah menutup panggilan dari Aina, Paul menoleh pada Syafa yang duduk di sampingnya. Ia semakin
"Ayoo, Bun, Bumi aja yang antar Bunda. Kasian Syafa, Bun!" Pria muda dengan rambut sedikit panjang itu terus mengikuti Firda dan berusaha membujuk. "Kalau Kamu kasian sama gadis itu, ya udah antar aja sana!"ketus Firda sambil membuka ponselnya. "Bumiii .., Aku aja yang naik taksi. Aku bisa, kok." Tiba-tiba Syafa keluar dari mobil dan berteriak. Terlihat ia berusaha sedang menghapus air mata dengan punggung tangannya. "Tuh kan, Bun. Syafa jadi merasa nggak enak." Firda hanya diam. Tak menggubris ucapan putranya. Sesekali ia melihat ke pintu gerbang. "Syafaaa, tunggu sebentar!" balas Bumi. Ia memutuskan untuk menyusul Syafa. Karena ia melihat Firda sudah memesan taksi online lewat aplikasi. Syafa berhenti ketika Bumi menarik tangannya. "Pulang sama Gue aja! Bisa dimarahin Ayah nanti kalau Lo pulang naik taksi!" "Tante Firda gimana?" Wajah Syafa terlihat merasa bersalah. "Bunda udah pesan taksi online. Nggak usah Lo pikirin!" Bumi sama sekali tak.melepaskan cengkraman tangannya
"Daddy ...., Daddy ...!" Suara Kaisar terdengar lantang. Bocah balita itu berlari ke dalam rumah menuju kamar Rein dan Maira. "Mama ... Daddy ..., ada dedek bayi." Rein dan Maira saling menoleh. Mereka terpaksa menghentikan aktivitas di pagi itu. Karena hari libur, Sejak subuh tadi keduanya belum keluar kamar. Mereka memilih untuk memanfaatkan kebersamaan mereka dengan saling melepas rindu. Beberapa hari ini Rein sering ke Bandung bersama Paul. "Sayang, Kaisar ternyata sudah bangun." Rein melepaskan pagutannya pada bibir Maira. Napas keduanya masih tersengal. Mereka baru saja ingin melanjutkan ke ronde kedua, setelah pertempuran pertama di bathub, saat mandi satu jam yang lalu. Sepasang suami istri itu bergegas memakai pakaian mereka. Rein yang lebih dulu selesai, segera beranjak dan menghampiri putra sambungnya. "Hai, jagoan! Ada apa?" Pria bule dengan jambang tebal itu berlutut di depan putranya. "Ada dede bayi, Daddy. Aku mau. Aku mau dede bayi." Rein mengerutkan keningnya.
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!āKehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b